Tampilkan postingan dengan label Praktik Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Praktik Hukum. Tampilkan semua postingan

Jumat, 02 Oktober 2020

Sita Berdasarkan Permohonan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Esensi Tindakan Penyitaan", dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Sita Berdasarkan Permohonan.

Menurut Pasal 226 dan Pasal 227 HIR atau Pasal 720 Rv maupun berdasarkan SEMA No.: 5 Tahun 1975, pengabulan dan perintah pelaksanaan sita, bertitik tolak dari permintaan atau permohonan Penggugat. Perintah penyitaan tidak dibenarkan berdasarkan ex-officio hakim.[1] Hal ini menerangkan bahwa titik tolak adanya pengabulan dan perintah sita adalah dari adanya niat dari Penggugat yang diwujudkan dengan sebuah permohonan.

Adapun bentuk permohonannya bertitik tolak dari prinsip pemeriksaan persidangan yang dianut dalam HIR-RBg, terutama terkait proses beracara secara lisan, dihubungkan dengan ketentuan Pasal 226 dan Pasal 227 HIR, maka bentuk permohonan sita adalah:[2]
  1. Bentuk lisan (oral), hal ini sesuai dengan prinsip yang dianut dalam HIR-RBg bahwa jalannya proses pemeriksaan di persidangan adalah beracara secara lisan (mondelinge procedure). Apabila permohonan sita diajukan dengan lisan, permintaan itu dicatat dalam berita acara sidang, dan berdasarkan itulah hakim mengeluarkan perintah sita apabila permohonan dianggap mempunyai dasar alasan yang cukup;
  2. Bentuk tertulis, bentuk ini dianggap paling tepat karena memenuhi administrasi yustisial yang lebih baik. Itu sebabnya Pasal 227 ayat (1) HIR menghendaki agar sita diajukan dalam bentuk tertulis berupa surat permintaan: a). Permintaan disatukan dengan surat gugatan, artinya diajukan bersama-sama dengan surat gugatan; dan b). Diajukan dalam surat tersendiri, artinya pengajuan sita dilakukan secara terpisah dari pokok perkara. Berarti permohonan sita diajukan tersendiri di samping gugatan pokok perkara. Menurut ahli M. Yahya Harahap, sikap ini dianggap berlebihan, karena dengan cara ini terdapat permohonan sita secara ganda.
Sangat lumrah jika sita diajukan dengan dua cara di atas, akan tetapi terkait dengan permohonan secara lisan, saat ini sudah sangat jarang. Sepengalaman penulis berpraktik sebagai advokat, lazimnya permohonan sita diajukan secara tertulis. Adapun hal yang menarik adalah, terkadang ada juga kuasa hukum yang mengajukan sita secara ganda, yaitu tidak hanya diajukan dalam surat gugatan, namun diajukan juga terpisah dalam persidangan. Salah satu alasannya adalah supaya ada penegasan, hal ini tidak dilarang, akan tetapi di lain sisi memang hal demikian menjadi overlapping
____________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 287.
2. Ibid., Hal.: 288-289.

Rabu, 30 September 2020

Esensi Tindakan Penyitaan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Pengertian dan Tujuan Penyitaan" dan pada kesempatan ini, masih dalam label praktik hukum, akan dibahas mengenai Esensi Tindakan Penyitaan.

Setelah memperhatikan pengertian penyitaan sebagaimana dimaksud dalam artikel sebelumnya, dapat dikemukakan beberapa esensi sebagai landasan penerapan penyitaan yang perlu diperhatikan.[1] Adapun esensi-esensi yang dimaksud akan diterangkan sebagai berikut.
  1. Sita merupakan tindakan eksepsional, dengan kata lain penyitaan termasuk salah satu acara mengadili yang bersifat istimewa, hal ini dikarenakan: a). Penyitaan memaksakan kebenaran Gugatan; b). Penyitaan membenarkan Putusan yang belum dijatuhkan;[2]
  2. Sita merupakan tindakan perampasan, jika ditinjau dari segi HAM, penyitaan tidak berbeda dengan perampasan harta kekayaan Tergugat. Padahal salah satu hak asasi yang paling mendasar adalah mempunyai hak milik, dan pada prinsipnya seseorang tidak boleh dirampas hak miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum. Akan tetapi, meskipun hak itu bersifat universal, tindakan perampasan itu dijustifikasi hukum acara, sehingga tindakan itu sah secara hukum. Perlu pertimbangan yang seksama dan objektif terkait pengabulan permintaan sita;[3]
  3. Penyitaan berdampak psikologis, dikarenakan pelaksanaannya dilakukan di tengah-tengah masyarakat, disaksikan oleh dua saksi dari Kepala Desa namun boleh juga ditonton masyarakat luas, secara administratif penyitaan barang tertentu harus diumumkan dengan cara mendaftarkannya di buku register kantor yang bersangkutan agar terpenuhi asas publisitas. Oleh karena itu penyitaan sangat berdampak psikologis berupa merugikan nama baik seseorang apalagi sebagai pelaku bisnis;[4]
  4. Tujuan penyitaan, adapun tujuan penyitaan adalah: a). Agar gugatan tidak ilusoir, artinya tidak dipindahkan kepada orang lain melalui jual-beli atau penghibahan, dan sebagainya serta tidak dibebani dengan sewa-menyewa atau diagunkan kepada pihak ketiga; b). Objek eksekusi sudah pasti, pada saat permohonan sita diajukan, Penggugat harus menjelaskan dan menunjukan identitas barang yang hendak disita. Menjelaskan letak, jenis, ukuran, dan batas-batasnya. Artinya sejak semula sudah diketahui dan dipastikan objek barang yang disita.[5]
_______________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 282-284.
2. Ibid. Hal.: 284.
3. Ibid. Hal.: 284-285.
4. Ibid. Hal.: 285-287.

Selasa, 29 September 2020

Pengertian dan Tujuan Penyitaan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Platform Hukumindo.com sebelumnya telah membahas mengenai 3 Kekuatan Hukum Penetapan Akta Perdamaian, sampai di situ selesai dibahas mengenai Mediasi dan Perdamaian. Selanjutnya kita akan beranjak ke bab berikutnya terkait dengan Penyitaan. Pada kesempatan ini, terlebih dahulu akan dibahas mengenai Pengertian dan Tujuan Penyitaan.

Penyitaan berasal dari terminologi beslag (Belanda), dan istilah Indonesia beslah, tetapi istilah bakunya ialah sita atau penyitaan. Dapat penulis tambahkan di sini terdapat transliterasi dari istilah beslag menjadi beslah. Pengertian yang terkandung di dalamnya ialah:[1]
  • Tindakan menempatkan harta kekayaan Tergugat secara paksa berada ke dalam keadaan penjagaan (to take into custody the property of a defendant);
  • Tindakan paksa penjagaan (custody) itu dilakukan secara resmi (official) berdasarkan perintah Pengadilan atau Hakim;
  • Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang disengketakan, tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat pembayaran atas pelunasan utang Debitur atau Tergugat, dengan jalan menjual lelang (executorial verkoop) barang yang disita tersebut;
  • Penetapan dan penjagaan barang yang disita, berlangsung selama proses pemeriksaan, sampai ada putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap, yang menyatakan sah atau tidak tindakan Penyitaan itu.
Berdasarkan uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan penyitaan adalah sebuah tindakan dari aparat penegak hukum, dalam hal ini Pengadilan melalui Juru Sita nantinya, guna melakukan penempatan secara paksa atas harta dari Tergugat atas nama hukum yang kemudian dijadikan pembayaran pelunasan hutang dari debitur atau Tergugat secara lelang.
________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Cetakan ke-10 tahun 2010,  Hal.: 282.

Sabtu, 26 September 2020

3 Kekuatan Hukum Penetapan Akta Perdamaian

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada label praktik hukum, sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai Putusan Perdamaian Yang Bertentangan dengan Undang-undang dapat Dibatalkan. Selanjutnya, yaitu pada kesempatan ini akan membahas mengenai 3 Kekuatan Hukum Penetapan Akta Perdamaian.

Kekuatan hukum apa saja yang melekat pada Putusan atau Penetapan Akta Perdamaian? Hal ini diatur dalam Pasal 1858 KUHPerdata dan Pasal 130 ayat (2) dan (3) HIR.[1]

Pada dasarnya ada tiga kekuatan hukum dalam suatu penetapan akta perdamaian, diuraikan sebagaimana berikut:
  1. Disamakan Kekuatannya dengan Putusan yang Berkekuatan Hukum Tetap, menurut Pasal 1858 ayat (1) KUHPerdata, perdamaian di antara pihak, sama kekuatannya seperti putusan hakim yang penghabisan. Hal inipun ditegaskan pada kalimat terakhir Pasal 130 ayat (2) HIR, bahwa putusan akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sifat kekuatan yang demikian merupakan penyimpangan dari ketentuan konvensional. Secara umum suatu putusan baru memiliki kekuatan hukum tetap, apabila terhadapnya sudah tertutup upaya hukum.[2]
  2. Mempunyai Kekuatan Eksekutorial, penegasan ini disebut dalam Pasal 130 ayat (2) HIR. Kalimat terakhir Pasal tersebut menegaskan, bahwa putusan akta perdamaian: a). Berkekuatan sebagai putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan b). Juga berkekuatan eksekutorial (executorial kracht) sebagaimana halnya putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Hal ini berarti apabila salah satu pihak tidak menaati atau melaksanakan pemenuhan yang ditentukan dalam perjanjian secara sukarela, maka ia dapat dimintakan eksekusi kepada Pengadilan Negeri, dan atas permintaan itu, Ketua Pengadilan Negeri menjalankan eksekusi sesuai dengan ketentuan Pasal 195 HIR.[3]
  3. Putusan Akta Perdamaian Tidak Dapat Dibanding, hal ini ditegaskan dalam Pasal 130 ayat (3) HIR. Putusan akta perdamaian, tidak dapat dibanding. Dengan kata lain, terhadap putusan tersebut tertutup upaya hukum banding dan kasasi. Larangan itu sejalan dengan ketentuan yang mempersamakan kekuatannya sebagai putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Hal itupun ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1038 K/Sip/1973, bahwa terhadap Putusan Perdamaian tidak mungkin diajukan permohonan Banding. Dijelaskan kenapa tidak dapat dibanding, karena sesuai ketentuan Pasal 154 RBg/ 130 HIR, putusan Perdamaian atau acte van vergelijk, merupakan suatu Putusan yang tertinggi, tidak ada upaya banding dan kasasi terhadapnya.[4]
Dengan kata lain, 3 kekuatan hukum Penetapan Akta Perdamaian adalah inkraht, executable, dan tidak dapat dilakukan upaya hukum. Case closed.
____________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Ke-10 Tahun 2010, Hal.: 279.
2. Ibid. Hal.: 279.
3. Ibid. Hal.: 280.
4. Ibid. Hal.: 280-281.

Jumat, 25 September 2020

Putusan Perdamaian Yang Bertentangan Dengan Undang-Undang Dapat Dibatalkan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai 4 Syarat Formil Putusan Perdamaian, dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Putusan Perdamaian yang Bertentangan dengan Undang-undang dapat Dibatalkan.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, penetapan akta perdamaian dibuat oleh Hakim bertitik tolak dari hasil kesepakatan para pihak yang berperkara. Oleh karena kesepakatan itu merupakan produk persetujuan para pihak yang digariskan Pasal 1320 KUHPerdata, maka terhadapnya berlaku ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata yang melarang persetujuan mengandung kuasa yang haram, yaitu persetujuan tidak boleh melanggar atau bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan yang baik dan ketertiban umum. Akibat lebih lanjut larangan ini dikaitkan dengan akta perdamaian, hakim tidak dibenarkan mengukuhkan kesepakatan dalam bentuk penetapan akta perdamaian yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.[1]

Bahkan larangan itu secara khusus diatur secara rinci dalam pasal-pasal berikut:[2]
  1. Pasal 1859 ayat (1) KUHPerdata, pasal ini melarang persetujuan perdamaian yang mengandung kekhilafan, mengenai orangnya, atau mengenai pokok perselisihan;
  2. Pasal 1859 ayat (2) KUHPerdata, persetujuan perdamaian tidak boleh dilakukan dengan cara penipuan dan pemaksaan;
  3. Pasal 1860 KUHPerdata, penetapan akta perdamaian yang bersumber dari persetujuan yang mengandung kesalahpahaman tentang duduk perkara, mengenai alas hak yang batal, bertentangan dengan Pasal 1860 KUHPerdata, terhadap hal dimaksud dapat dibatalkan;
  4. Pasal 1861 KUHPerdata, persetujuan perdamaian yang diadakan berdasarkan surat-surat yang kemudian dinyatakan palsu dianggap mengandung cacat materiil, oleh karena itu dianggap tidak sah dan batal demi hukum;
  5. Pasal 1862 KUHPerdata, suatu persetujuan mengenai sengketa yang sudah berakhir berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap (res judicata), namun hal itu tidak disadari para pihak atau salah satu pihak mengakibatkan persetujuan itu batal. Oleh karena itu, penetapan akta perdamaian yang bersumber dari persetujuan yang demikian dapat diajukan pembatalan.
Dari penjelasan di atas, putusan akta perdamaian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum yang digariskan Pasal 1337 KUHPerdata. Begitu pula halnya, putusan itu tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Pasal 1859, 1860, 1861 dan 1862 KUHPerdata. Apabila putusan tersebut mengandung salah satu cacat yang disebut dalam pasal-pasal dimaksud, dapat dijadikan alasan untuk menuntut pembatalan terhadapnya.[3]   
____________
Referensi:
1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Ke-10 Tahun 2010, Hal.: 277.
2. Ibid. Hal.: 277-279.
3. Ibid. Hal.: 279.

Selasa, 22 September 2020

4 Syarat Formil Putusan Perdamaian

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai Tempat dan Biaya Mediasi, dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Syarat Formil Putusan Perdamaian.

Permasalahan syarat formil putusan perdamaian tidak hanya merujuk pada ketentuan Pasal 130 dan 131 HIR, tetapi juga pada ketentuan lain seperti Bab XVIII, Buku Ketiga KUHPerdata (Pasal 1851-1864). Tanpa mengurangi ketentuan PERMA Nomor: 2 Tahun 2003 sebagai modifikasi Pasal 130 HIR, Pasal 154 RBg, mediator maupun hakim perlu mengetahui setidaknya 4 syarat formil putusan perdamaian yang akan dibahas berikut.[1]

Pertama, persetujuan perdamaian harus mengakhiri perkara secara tuntas dan keseluruhan. Tidak boleh ada yang tertinggal. Perdamaian harus membawa para pihak terlepas dari seluruh sengketa. Tidak ada lagi yang disengketakan karena semuanya telah diatur dan dirumuskan penyelesaiannya dalam perjanjian. Selama masih ada yang belum diselesaikan dalam kesepakatan, putusan perdamaian yang dikukuhkan dalam bentuk penetapan akta perdamaian mengandung cacat formil, karena bertentangan dengan persyaratan yang ditentukan Pasal 1851 KUHPerdata. Oleh karena itu, jika syarat ini dihubungkan dengan proses mediasi yang digariskan PERMA Nomor: 2 Tahun 2003, hakim harus benar-benar memperhatikan hal tersebut, pada saat diminta pengukuhan menjadi akta perdamaian. Sekiranya para pihak ternyata tidak mengakhiri sengketa yang diperkarakan secara tuntas, hakim dapat menolak mengukuhkannya menjadi akta perdamaian.[2] 

Kedua, syarat kedua sebagaimana digariskan oleh Pasal 1851 KUHPerdata mengenai bentuk persetujuan adalah: a). Berbentuk akta tertulis, boleh di bawah tangan yang ditanda-tangani kedua belah pihak; b). Tidak dibenarkan persetujuan dalam bentuk lisan atau oral; c). Setiap persetujuan perdamaian yang tidak dibuat secara tertulis, dinyatakan tidak sah. Mengenai hal ini, Pasal 11 ayat (1) PERMA sudah sejalan dengan Pasal 130 HIR dan Pasal 1851 KUHPerdata, yang mengharuskan kesepakatan wajib merumuskan secara tertulis.[3] 

Ketiga, syarat ini berkaitan dengan ketentuan Perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 ke-2 Jo. Pasal 1330 KUHPerdata. Meskipun Pasal 1320 KUHPerdata mempergunakan istilah tidak cakap dan Pasal 1852 KUHPerdata istilah tidak mempunyai kewenangan, maksudnya adalah sama, yaitu yang bertindak membuatnya tidak mempunyai kekuasaan untuk itu, disebabkan yang bersangkutan tidak mempunyai kedudukan dan kapasitas sebagai persona standi in judicio. Yang tidak cakap ini berdasarkan Pasal 1330 KUHPerdata terdiri atas orang yang belum dewasa dan orang yang dibawah pengampuan. Namun yang dimaksud dengan orang yang tidak mempunyai kekuasaan membuat perdamaian, lebih luas dari itu. Meliputi juga badan hukum yang belum mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM, dianggap tidak memiliki kekuasaan membuat persetujuan perdamaian atas nama Perseroan (PT) yang bersangkutan.[4] Menurut hemat penulis, singkatnya seseorang yang membuat perjanjian di sini adalah harus dalam kedudukan dan kapasitasnya sebagai persona standi in judicio. 

Keempat, seluruh pihak yang terlibat dalam perkara ikut dalam persetujuan Perdamaian. Artinya yang terlibat dalam persetujuan perdamaian tidak boleh kurang dari pihak yang terlibat dalam perkara. Semua orang yang bertindak sebagai Penggugat dan orang yang ditarik sebagai Tergugat, mesti seluruhnya ikut ambil bagian sebagai pihak dalam persetujuan perdamian. Membuat kesepakatan yang tidak mengikutsertakan seluruh pihak Penggugat dan Tergugat dianggap mengandung cacat plurium litis consortium, yaitu tidak lengkap pihak yang berdamai.[5]
_______________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2020, Hal.: 275.
2. Ibid. Hal.: 275.
3. Ibid. Hal.: 275-276.
4. Ibid. Hal.: 276.
5. Ibid. Hal.: 276-277.

Sabtu, 19 September 2020

Tempat Dan Biaya Mediasi

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya dalam label praktik hukum, platform Hukumindo.com telah membahas mengenai 5 Tahap Ruang Lingkup Pra Mediasi. Dan selanjutnya pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Tempat dan Biaya Mediasi.
 
Ketentuan mengenai tempat dan biaya mediasi diatur dalam BAB IV PERMA Nomor: 2 Tahun 2003, terdiri dari Pasal 15. Tidak banyak permasalahan teknis yang menyangkut dengan persoalan ini. Adapun hal-hal yang penting adalah sebagai berikut:[1]
  1. Tempat Penyelenggaraan Mediasi, pada umumnya diselenggarakan di salah satu Ruang Pengadilan. Inilah ketentuan umum (general rule) yang harus diterapkan: a). Diselenggarakan di salah satu ruang pengadilan tingkat pertama; b). Jika ketentuan ini dihubungkan dengan sistem proses mediasi yang digariskan Pasal 14 ayat (1), yang menganut asas tidak terbuka untuk umum, penyelenggaraannya tidak mesti pada ruang sidang tertentu; c). Akan tetapi kalau objek mediasi sengketa publik yang menganut asas mutlak terbuka untuk umum sebagaimana yang digariskan Pasal 14 ayat (2), proses mediasi mesti dilakukan pada salah satu ruang sidang yang telah ditentukan. Mediasi juga dapat dilakukan di tempat lain, tidak mutlak di salah satu ruang pengadilan, dengan syarat: a). Disepakati oleh para pihak; b). Bersedia memikul biaya berdasarkan kesepakatan para pihak;
  2. Biaya Penyelenggaraan Mediasi, terkait masalah biaya, biaya mediasi disebut nominal or low cost. Sehubungan dengan itu, agar proses mediasi yang diatur dalam PERMA Nomor: 2 Tahun 2003 tidak mengalami erosi, asas biaya rendah (nominal cost) yang menjadi landasan perkembangan mediasi di negara lain, harus dijaga dan dipelihara. Hal ini meliputi: a). Penyelenggaraan di Ruang Pengadilan, tidak dikenakan biaya; b).  Apabila penyelenggaraan di tempat lain, biaya dibebankan kepada para pihak berdasarkan kesepakatan; c). Penggunaan mediator hakim, jika mediatornya hakim tidak dipungut biaya; d). Jika menggunakan mediator bukan hakim, maka biaya ditanggung para pihak; e). Dalam hal tidak mampu, tidak dipungut biaya mediator.
Hal lain yang perlu dikemukakan berkenaan dengan biaya jasa mediator adalah PERMA tidak mengatur berapa besarnya, menurut ahli M. Yahya Harahap, S.H., hal ini perlu diatur lebih lanjut, supaya terdapat kepastian hukum tentang masalah tersebut.[2] Sepengalaman penulis sebagai advokat praktik, untuk berberapa Pengadilan yang mempunyai beban perkara yang cukup banyak, ribuan perkara per tahunnya, misalnya Pengadilan Agama Jakarta Selatan, sesi mediasi disediakan khusus mediator bersertifikat yang stand by di Pengadilan, sehingga hakim pokok perkara tidak dibebani oleh hal lain di luar tugas utamanya, terkait dengan biaya tentunya tidak gratis layaknya Hakim Mediator pada Pengadilan Negeri, namun juga tidak mahal yaitu di kisaran Rp. 100.000,- (Seratus ribu Rupiah). Harga yang sangat wajar.
______________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Ke-10 tahun 2010, Hal.: 269-270.
2. Ibid., Hal.: 270.

Jumat, 18 September 2020

5 Tahap Ruang Lingkup Pra Mediasi

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Ruang lingkup tahap pra mediasi diatur dalam BAB II PERMA Nomor: 2 Tahun 2003 yang terdiri dari Pasal 3-7. Tahap ini merupakan persiapan ke arah proses tahap mediasi. Sebelum pertemuan dan perundingan membicarakan penyelesaian materi pokok sengketa dimulai, lebih dahulu dipersiapkan prasarana yang dapat menunjang penyelesaian sengketa melalui perdamaian.[1]

Adapun 5 tahap pra mediasi dimaksud adalah sebagai berikut:[2]
  1. Hakim memerintahkan Menempuh Mediasi, langkah pertama yang mesti dilakukan Hakim pada tahap pra mediasi adalah memerintahkan para pihak lebih dahulu untuk menempuh mediasi, perintah dilakukan pada sidang pertama, sebelum membuka acara replik-duplik, dan syarat penyampaian perintah adalah sidang dihadiri kedua belah pihak.
  2. Hakim wajib menunda persidangan, hal ini berarti hakim wajib menunda persidangan, dan para pihak wajib lebih dahulu menempuh proses mediasi. Penundaan dimaksud adalah untuk memberi kesempatan para pihak agar menyelesaikan sengketa melalui proses mediasi.
  3. Hakim wajib memberi penjelasan tentang Prosedur dan Biaya Mediasi, pada bagian ini hakim wajib memberi penjelasan mengenai tata cara dan prosedur mediasi, seperti pemilihan mediator dll. Serta mengenai biaya mediasi, juga wajib diberikan penjelasan oleh hakim. 
  4. Wajib memilih Mediator, hal mengenai kewenangan untuk memilih mediator sepenuhnya adalah prerogatif para pihak yang berperkara, berdasarkan kesepakatan dan hakim tidak mempunyai kewenangan untuk menunjuk mediator secara ex-officio dalam keadaan normal.
  5. Proses Mediasi oleh Mediator Luar, pada dasarnya apa yang digariskan di sini tidak termasuk lingkup pra mediasi, namun lebih tepatnya sebagai tahap mediasi. Untuk mengikuti alur berpikir PERMA, tidak salah jika dimasukkan di sini. Hal ini adalah proses mediasi menggunakan mediator di luar daftar mediator yang dimiliki pengadilan. 
Jika penulis bandingkan dengan praktik di lapangan, maka setelah pemanggilan para pihak lengkap, hakim akan memerintahkan untuk dilakukan mediasi. Dengan demikian konsekwensinya adalah sidang pokok perkara ditunda, sampai ada hasil mediasi, umumnya 30 hari namun juga bisa ditambah. Terkait prosedur akan dijelaskan oleh hakim yang mengadili pokok perkara dan juga oleh hakim mediator atau mediator bersertifikat, bahkan dalam tahap advance tidak lagi dijelaskan, karena para pihak melalui kuasa hukumnya sudah paham mengenai prosedur yang akan ditempuh dalam mediasi. Terkait biaya, sering dijumpai para pihak memilih hakim mediator yang ditunjuk oleh majelis hakim pokok perkara, pertimbangannya adalah hal ekonomi, karena sudah include dalam biaya panjar perkara, atau setidaknya berbiaya minim. Hal ini belum menjadi perhatian di kalangan profesi advokat, karena bisa saja ditunjuk mediator bersertifikat dan konsekwensinya tentu saja adalah charge ke klien bertambah. 
______________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Ke-10 tahun 2010, Hal.: 251-259.

Kamis, 17 September 2020

Lingkup Integrasi Mediasi Dalam Sistem Peradilan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu, dalam label Praktik Hukum, platform Hukumindo.com telah membahas mengenai Landasan Formil Prosedur Mediasi,  dan pada kesempatan ini akan membahas mengenai Lingkup Integrasi Mediasi dalam Sistem Peradilan.

Lingkup integrasi mediasi dalam sistem peradilan yang diatur dalam PERMA Nomor: 2  Tahun 2003, meliputi hal-hal sebagaimana berikut:[1]
  1. Institusionalisasi Proses Mediasi dalam Sistem Peradilan, merupakan pelembagaan proses mediasi dalam badan peradilan;
  2. Pengertian Mediasi, adalah proses penyelesaian sengketa di Pengadilan melalui perundingan antara pihak yang berperkara, serta perundingan yang dilakukan para pihak dibantu oleh mediator;
  3. Yang Bertindak Sebagai Mediator, klasifikasi mediator diatur dalam Pasal 1 butir 2 dan Pasal 5 ayat (1) PERMA Nomor: 2  Tahun 2003;
  4. Lingkup Yurisdiksi, adalah batas-batas kewenangan berlakunya proses integrasi mediasi dalam sistem Peradilan;
  5. Proses Mediasi Bersifat Memaksa, bersifat memaksa atau compulsory. Artinya, para pihak yang berperkara tidak mempunyai pilihan selain mesti dan wajib menaatinya (comply);
  6. Jangka Waktu Proses Mediasi, mengenai jangka waktu mediasi terdapat dua versi, pertama sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) yaitu 30 hari kerja, dan kedua yaitu sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) yaitu dua puluh hari kerja.
__________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Ke-10 tahun 2010, Hal.: 244-251.  

Rabu, 16 September 2020

Landasan Formil Prosedur Mediasi

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai Kenyataan Mediasi di Pengadilan, dan untuk kesempatan ini, masih dalam label praktik hukum, akan membahas perihal Landasan Formil Prosedur Mediasi.

Landasan formil mengenai integrasi mediasi dalam sistem peradilan pada dasarnya tetap bertitik tolak dari ketentuan Pasal 130 HIR dan Pasal 145 RBg. Namun untuk lebih memberdayakan dan mengefektifkannya, Mahkamah Agung memodifikasinya ke arah yang bersifat memaksa (compulsory). Adapun penjabarannya adalah sebagai berikut:[1]
  1. Semula Diatur dalam SEMA No. 1 Tahun 2002, SEMA ini diterbitkan pada tanggal 30 Januari 2002 yang berjudul Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR). Penerbitan SEMA tersebut bertitik tolak dari salah satu hasil Rakernas MA di Yogyakarta pada tanggal 24 s.d. 27 September 2001. Motivasi yang mendorongnya, adalah untuk membatasi perkara kasasi secara substantif dan prosesual. Sebab apabila peradilan tingkat pertama mampu menyelesaikan perkara melalui perdamaian, akan berakibat turunnya jumlah perkara pada tingkat Kasasi.
  2. Disempurnakan dalam PERMA No. 2 Tahun 2003, umur SEMA No. 1 Tahun 2002, hanya 1 Tahun 9 bulan, pada tanggal 11 September 2003, MA mengeluarkan PERMA No. 2 Tahun 2003 sebagai penggantinya. Pasal 17 PERMA ini menegaskan: "Dengan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) ini, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/ 145 RBg) dinyatakan tidak berlaku".
  3. Alasan Penerbitan PERMA, dalam konsiderans dikemukakan beberapa alasan yang melatarbelakangi penerbitan PERMA menggantikan SEMA No. 1 Tahun 2002, antara lain: a). Mengatasi penumpukan perkara; b). SEMA No. 1 Tahun 2002, belum lengkap; c). Pasal 130 HIR, Pasal 154 RBg, dianggap tidak memadai.
_______________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Ke-10 Tahun 2010, Hal.: 242-243.

Selasa, 15 September 2020

Kenyataan Mediasi Di Pengadilan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah memposting artikel berjudul: "Upaya Mendamaikan Bersifat Imperatif", sebagai kelanjutannya, berikut akan dibahas tentang Kenyataan Mediasi Di Pengadilan.

Kenyataan praktik yang dihadapi, jarang dijumpai putusan perdamaian. Produk yang dihasilkan peradilan dalam penyelesaian perkara yang diajukan kepadanya, hampir 100% berupa putusan konvensional yang bercorak menang atau kalah (winning or losing). Berdasarkan fakta ini, kesungguhan, kemampuan dan dedikasi hakim untuk mendamaikan boleh dikatakan sangat mandul. Akibatnya, keberadaan Pasal 130 HIR, Pasal 154 RBg dalam hukum acara, tidak lebih dari hiasan belaka atau rumusan mati.[1] Penulis sependapat bahwa selama menjalani praktik beracara di Pengadilan, sangat sedikit perkara yang berhasil dengan jalan damai.

Ada yang berpendapat, kemandulan itu bukan semata-mata disebabkan faktor kurangnya kemampuan, kecakapan dan dedikasi haki, tetapi lebih didominasi motivasi dan peran advokat atau kuasa hukum. Mereka lebih cenderung mengarahkan proses litigasi berjalan terus mulai dari peradilan tingkat pertama sampai peninjauan kembali, demi mengejar professional fee yang besar dan berlanjut.[2] Dapat penulis tambahkan di sini, Penulis telah mengalami sendiri perkara-perkara yang terjadi perdamaian atau berlanjut ke pokok perkara, argumentasi bahwa dominasi motivasi peran advokat atau kuasa hukum dalam kemandulan keberhasilan mediasi di Pengadilan adalah tidak benar, banyak hal yang menjadi faktor penentu keberhasilan sebuah mediasi di Pengadilan, dan sepanjang Penulis berpraktik, sebagai advokat profesional hukumnya adalah wajib menjelaskan hukum materiil dan prosedur hukum (acara) yang akan dilalui oleh klien beserta implikasi yang akan didapatkannya. Maka keputusan terjadinya perdamaian atau tidak (berlanjut pada tahap litigasi berikutnya) ada di tangan klien, bukan advokat atau kuasa hukum.

Pada umumnya sikap dan perilaku hakim menerapkan Pasal 130 HIR, hanya bersifat formalitas. Kalau begitu, kemandulan peradilan menghasilkan penyelesaian melalui perdamaian bukan karena distorsi pihak advokat atau kuasa hukum, tetapi melekat pada diri hakim yang lebih mengedepankan sikap formalitas daripada panggilan dedikasi dan seruan moral sesuai dengan ungkapan yang mengatakan: "Keadilan yang hakiki diperoleh pihak yang bersengketa melalui Perdamaian".[3] Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Penulis berpendapat keputusan untuk berdamai ada pada para pihak yang berperkara, tidak dibebankan kepada kuasa hukum atau hakim mediator.
__________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Ke-10 Tahun 2010, Hal.: 241.
2. Ibid. Hal.: 241.
3. Ibid. Hal.: 241.

Senin, 14 September 2020

Contoh Surat Kuasa Pendaftaran Go-Biz atau Grab Merchant

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada artikel terdahulu, platform Hukumindo.com telah mengajak sidang pembaca untuk mengetahui salah satu Contoh Surat Kuasa untuk Membayar Pajak Kendaraan Bermotor, dan pada kesempatan berikut ini akan diberikan Contoh Surat Kuasa Pendaftaran Go-Biz atau Grab Merchant.

Dalam dunia yang serba digital seperti sekarang ini, sektor bisnis telah menyatu dengan teknologi informasi yang memungkinkan keduanya bersatu dalam menghasilkan cuan. Salah satu peluang saat ini yang bisa dilirik kaum millenial adalah dengan berbisnis pada platform seperti Go-Biz terbitan Gojek dan Grab Merchant yang diampu Grab. Tentu saja untuk melakukan pendaftaran pada kedua platform dimaksud dapat dikuasakan, berikut salah satu contoh surat kuasanya.

SURAT KUASA

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : ............................
NIK : ............................
Sex : ............................
Tempat/Tgl. Lahir : ............................
Pekerjaan : ............................
Alamat : ............................
Pemilik Toko : ............................
Alamat Toko : ............................

Untuk selanjutnya disebut sebagai Pemberi Kuasa. Dengan ini menerangkan memberi kuasa kepada:

Nama : ............................
NIK : ............................
Sex : ............................
Tempat/Tgl. Lahir : ............................
Pekerjaan : ............................
Alamat : ............................

Untuk selanjutnya disebut sebagai Penerima Kuasa.

-----------------KHUSUS--------------

Untuk melakukan pendaftaran pada platform ............................ (Go-Biz atau Grab Merchant) ............................ atas toko milik Pemberi Kuasa yang bernama ............................   

Sehubungan dengan pemberian kuasa ini, Penerima Kuasa berhak melakukan hal-hal sebagaimana berikut:
  1. Mengisi dan menandatangani formulir pendaftaran;
  2. Mengumpulkan dan menyerahkan semua berkas-berkas yang diperlukan untuk pendaftaran;
  3. Mengunggah (upload) dan mengunduh (download) semua berkas-berkas yang diperlukan untuk pendaftaran pada platform terkait;
  4. Melakukan wawancara dengan petugas perusahaan yang ditunjuk dalam hal diperlukan;
  5. Dalam hal perlu, menghadap petugas perusahaan dan melakukan segala bentuk komunikasi untuk kelancaran proses pendaftaran;
  6. Melakukan tindakan lain sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan aturan yang berlaku.
Demikian surat kuasa ini dibuat pada hari dan tanggal sebagaimana tersebut di bawah, bermeterai cukup, untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Kab./Kota......................., Tanggal......../....../20.......

Penerima Kuasa          Pemberi Kuasa



(........................) (........................)

_______________

Kamis, 10 September 2020

Upaya Mendamaikan Bersifat Imperatif

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu pada label Praktik Hukum, platform Hukumindo.com telah membahas tentang Hukum Acara Menghendaki Perdamaian, dan pada kesempatan berikut ini akan dibahas mengenai Upaya Mendamaikan Bersifat Imperatif.

Pada prinsipnya upaya hakim untuk mendamaikan para pihak bersifat imperatif. Hakim wajib berupaya mendamaikan Para Pihak yang berperkara. Hal itu dapat ditarik dari ketentuan Pasal 131 ayat (1) HIR, yang mengatakan:[1]
  • Jika hakim tidak dapat mendamaikan para pihak,
  • Maka hal itu mesti disebut dalam berita acara sidang.
Jadi menurut Pasal ini, kalau Hakim tidak berhasil mendamaikan, ketidakberhasilan itu mesti ditegaskan dalam berita acara sidang. Kelalaian menyebutkan hal itu dalam berita acara mengakibatkan pemeriksaan perkara:[2]
  • Mengandung cacat formil, dan
  • Berakibat pemeriksaan batal demi hukum.
Kalau begitu, upaya mendamaikan adalah bersifat imperatif. Tidak boleh diabaikan dan dilalaikan. Proses pemeriksaan yang tidak menempuh dan tidak dimulai tahap mendamaikan adalah batal menurut hukum. Dengan demikian, hal ini berarti:[3]
  1. Secara ekstrem Pemeriksaan yang Mengabaikan Tahap Mendamaikan, Tidak Sah. Bertitik tolak dari Pasal 130 ayat (1) Jo. Pasal 131 ayat (1) HIR, hakim yang mengabaikan pemeriksaan tahap mendamaikan dan langsung memasuki tahap pemeriksaan jawab-menjawab, dianggap melanggar tata tertib beracara, sehingga proses pemeriksaan dikualifikasi undue process.
  2. Pencantuman Upaya Mendamaikan dalam Putusan, sesuai ketentuan Pasal 131 ayat (1) HIR dimaksud, upaya mendamaikan mesti dicantumkan dalam berita acara sidang. Namun tidak terbatas dalam berita acara saja, tapi juga dalam Putusan. Bunyinya paling sedikit: "hakim telah berupaya mendamaikan Para Pihak, tetapi tidak berhasil...". 
_____________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Ke-10 tahun 2010, S.H., Hal.: 239.
2. Ibid. Hal.: 240.
3. Ibid. Hal.: 240-241.

Rabu, 09 September 2020

Hukum Acara Menghendaki Perdamaian

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com dalam label Praktik Hukum telah membahas mengenai Keuntungan Penyelesaian Sengketa Secara Damai, dan pada kesempatan ini akan membahas tentang perihal Hukum Acara Menghendaki Perdamaian.

Sebenarnya sejak semula Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 RBg mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai. Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi:[1]
"Jika pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka Pengadilan Negeri dengan pertolongan Ketua mencoba akan memperdamaikan mereka".

Selanjutnya, ayat 2 berbunyi:[2]

"Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menaati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa". 

Bertitik tolak dari ketentuan Pasal ini, sistem yang diatur hukum acara dalam penyelesaian perkara yang diajukan kepada Pengadilan Negeri, hampir sama dengan court connected arbitration system, dimana pertama-tama hakim menolong para pihak yang bersengketa untuk berdamai, kedua apabila tercapai kesepakatan damai dituangkan dalam perjanjian perdamaian, dan terhadap perjanjian perdamaian dibuatkan putusan Pengadilan yang menghukum para pihak untuk menepati perjanjian perdamaian tersebut.[3]

Jika demikian, bertitik tolak dari Pasal 130 HIR dalam Hukum Acara Perdata menunjukan sejak jauh dari sebelum sistem ADR dikenal pada era sekarang, telah dipancangkan landasan yang menuntut dan mengarahkan penyelesaian sengketa melalui Perdamaian.[4]

________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Ke-10 2010, Hal.: 238.
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.

Selasa, 08 September 2020

Keuntungan Penyelesaian Sengketa Secara Damai

 
(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com dalam label Praktik Hukum ini telah membahas tentang Penyelesaian Melalui Perdamaian, dan selanjutnya pada artikel ini akan membahas mengenai Keuntungan Penyelesaian Sengketa Secara Damai.

Penyelesaian perkara melalui Perdamaian, apakah itu dalam bentuk mediasi, konsiliasi, expert determination, atau mini trial mengandung berbagai keuntungan substansial dan psikologis, yang terpenting di antaranya adalah:[1]
  1. Penyelesaian Bersifat Informal, dalam artian kedua belah pihak melepaskan diri dari kekakuan istilah hukum, dan memakai pendekatan bercorak nurani dan moral;
  2. Yang Menyelesaikan Sengketa Para Pihak Sendiri, dalam artian penyelesaian para pihak tidak diserahkan kepada Pihak Ketiga seperti Hakim atau Arbiter;
  3. Jangka Waktu Penyelesaian Pendek, paling lama waktu penyelesaian satu atau dua minggu, atau paling lama satu bulan, asal ada ketulusan dan kerendahan hati kedua belah Pihak;
  4. Biaya Ringan, boleh dikatakan tidak diperlukan biaya, meskipun ada sangat murah atau zero cost;
  5. Aturan Pembuktian Tidak Perlu, tidak ada pertarungan yang sengit dari para pihak untuk saling membantah dan menjatuhkan lawan;
  6. Proses Penyelesaian Bersifat Konfidensial, dalam artian penyelesaian perdamaian bersifat rahasia;
  7. Hubungan Para Pihak Bersifat Kooperatif, hal ini dikarenakan yang berbicara dalam penyelesaian adalah hati nurani, terjalin penyelesaian berdasarkan kerja sama;
  8. Komunikasi dan Fokus Penyelesaian, dalam penyelesaian perdamaian terwujud komunikasi aktif antara Para Pihak, dalam komunikasi itu terpancar keinginan untuk memperbaiki Perselisihan dan Kesalahan masa lalu menuju hubungan yang lebih baik di masa depan;
  9. Hasil yang Dituju Sama Menang, hasil akhir yang dituju adalah sama, yaitu win win solution, dengan menjauhi sifat egoistik;
  10. Bebas Emosi dan Dendam, dalam arti meredam sikap emosional tinggi dan bergejolak ke arah suasana bebeas emosi selama berlangsung penyelesaian maupun setelah Penyelesaian dicapai. 
____________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Ke-10, 2020, Hal.: 236-238.

Minggu, 06 September 2020

Penyelesaian Melalui Perdamaian

(iStock)

Oleh:

Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai 7 Kritik Mendunia Terhadap Peradilan, dan pada kesempatan ini akan membahas mengenai Penyelesaian Melalui Perdamaian.

Penyelesaian sengketa melalui perdamaian jauh lebih efektif dan efisien. Itu sebabnya pada masa belakangan ini berkembang berbagai cara penyelesaian sengketa di luar Pengadilan, yang dikenal dengan Alternative Dispute Resolution (ADR), dalam berbagai bentuk seperti:[1]

  • Mediasi (mediation) melalui sistem kompromi di antara para pihak, sedangkan pihak ketiga yang bertindak sebagai mediator hanya sebagai fasilitator;
  • Konsiliasi (conciliation) melalui konsiliator, Pihak Ketiga sebagai konsiliator merumuskan perdamaian, akan tetapi keputusan tetap pada Para Pihak;
  • Expert Determination, menunjuk seorang ahli memberi penyelesaian yang menentukan, keputusan yang diambilnya mengikat para pihak;
  • Mini Trial, hal mana Para Pihak sepakat menunjuk seorang advisor yang akan bertindak: a). Memberi opini kepada kedua belah pihak; b). Opini diberikan advisor setelah mengdengar permasalahan sengketa dari kedua belah Pihak; c). Opini berisi kelemahan dan kelebihan masing-masing Pihak, serta memberi pendapat bagaimana cara penyelesaian yang harus ditempuh Para Pihak.
Demikian sepintas bentuk-bentuk cara penyelesaian sengketa yang berkembang di luar Pengadilan maupun arbitrase. Memang masih ada lagi bentuk lain seperti summary jury trial, namun apa yang dikemukakan di atas membuktikan perkembangan cara penyelesaian sengketa di luar Pengadilan.[2] Penulis kira hal ini cukup menarik dengan makin beragamnya penyelesaian sengketa secara perdamaian di luar litigasi Pengadilan.

_____________

Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap., S.H., Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Ke-Sepuluh: 2010, Hal.: 236.

2. Ibid., Hal.: 236.

Senin, 31 Agustus 2020

Contoh Surat Kuasa untuk Membayar Pajak Kendaraan Bermotor

(Futuready.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Contoh Surat Kuasa Mengurus Balik Nama PBB", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Contoh Surat untuk Kuasa Membayar Pajak Kendaraan Bermotor.


SURAT KUASA

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : ............................
NIK : ............................
Sex : ............................
Tempat/Tgl. Lahir : ............................
Pekerjaan : ............................
Alamat : ............................

Untuk selanjutnya disebut sebagai Pemberi Kuasa. Dengan ini menerangkan memberi kuasa kepada:

Nama : ............................
NIK : ............................
Sex : ............................
Tempat/Tgl. Lahir : ............................
Pekerjaan : ............................
Alamat : ............................

Untuk selanjutnya disebut sebagai Penerima Kuasa.

-----------------KHUSUS--------------

Untuk membayar Pajak Kendaraan Bermotor (BPKB) Roda Empat, dengan rincian sebagai berikut:

- Nama Pemilik : ............................
- Nomor Polisi : ............................
- BPKB Nomor : ............................
- STNK Nomor : ............................
- Merk : ............................
- Type : ............................
- Tahun Pembuatan : ............................
- Nomor Mesin : ............................
- Nomor Rangka : ............................
- Bahan Bakar : ............................

Pada Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT) ............................, beralamat di ............................, sebesar Rp. ............................ (............................Rupiah). 

Sehubungan dengan pemberian kuasa ini, Penerima Kuasa berhak menghadap pejabat pada loket instansi yang ditunjuk, melengkapi berkas-berkas lampiran yang diperlukan baik asli maupun photo copy, melakukan pembayaran-pembayaran atas nama Pemberi Kuasa, mengambil asli bukti pembayaran pajak kendaraan dan menyerahkannya kepada Pemberi Kuasa, serta melakukan perbuatan-perbuatan lain yang diperlukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Demikian kuasa ini diberikan untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Demikian surat kuasa ini dibuat pada hari dan tanggal sebagaimana tersebut di bawah, bermeterai cukup, untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Kab./Kota......................., Tanggal......../....../20.......

Penerima Kuasa          Pemberi Kuasa




(........................) (........................)
_______________


Jumat, 28 Agustus 2020

Contoh Surat Kuasa Mengurus Balik Nama PBB

(kaltim.tribunnews.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Contoh Surat Kuasa Pengambilan BPKB", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Contoh Surat Kuasa Mengurus Balik Nama PBB.

SURAT KUASA

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : ............................
NIK : ............................
Sex : ............................
Tempat/Tgl. Lahir : ............................
Pekerjaan : ............................
Alamat : ............................

Untuk selanjutnya disebut sebagai Pemberi Kuasa. Dengan ini menerangkan memberi kuasa kepada:

Nama : ............................
NIK : ............................
Sex : ............................
Tempat/Tgl. Lahir : ............................
Pekerjaan : ............................
Alamat : ............................

Untuk selanjutnya disebut sebagai Penerima Kuasa.

-----------------KHUSUS--------------

Untuk mengurus balik nama SPPT Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas objek pajak dengan rincian sebagai berikut:

- Nomor Objek Pajak : ............................
- Nama Pemilik : ............................
- Alamat : ............................

Menjadi atas nama Pemberi Kuasa, yang pengurusannya adalah Pada Loket Unit Pelayanan Pajak Daerah (UPPD) Kecamatan ............................, beralamat di ............................ 

Sehubungan dengan pemberian kuasa ini, Penerima Kuasa berhak melakukan pengisian formulir permohonan balik nama, mengisi formulir SPOP (Surat Pemberitahuan Objek Pajak) dan LSPOP (Lampiran Surat Pemberitahuan Objek Pajak), mengumpulkan dan menyerahkan foto copy syarat-syarat dokumen yang diperlukan, melakukan pembayaran-pembayaran tunggakan atas nama Pemberi Kuasa dalam hal terdapat adanya tunggakan, menandatangani formulir-formulir dalam hal diperlukan, mengambil SPPT PBB yang telah dibaliknamakan dan menyerahkannya kepada Pemberi Kuasa, serta melakukan perbuatan-perbuatan lain yang diperlukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Demikian kuasa ini diberikan untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Demikian surat kuasa ini dibuat pada hari dan tanggal sebagaimana tersebut di bawah, bermeterai cukup, untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Kab./Kota......................., Tanggal......../....../20.......

Penerima Kuasa       Pemberi Kuasa



(........................) (........................)
_______________

Kamis, 27 Agustus 2020

Contoh Surat Kuasa Pengambilan BPKB

(Polri.go.id)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Contoh Pencabutan Kuasa Perusahaan", serta Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Contoh Surat Kuasa Pengambilan BPKB. Adakalanya seseorang tidak mempunyai waktu untuk mengambil bukti kepemilikan penting mobil di sebuah leasing, padahal cicilan telah lunas, dengan surat kuasa yang dimuat pada artikel ini anda dapat mengkuasakan kepada orang lain untuk mengambil dan menyerahkannya kepada si empunya.


SURAT KUASA

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : ............................
NIK : ............................
Sex : ............................
Tempat/Tgl. Lahir : ............................
Pekerjaan : ............................
Alamat : ............................

Untuk selanjutnya disebut sebagai Pemberi Kuasa. Dengan ini menerangkan memberi kuasa kepada:

Nama : ............................
NIK : ............................
Sex : ............................
Tempat/Tgl. Lahir : ............................
Pekerjaan : ............................
Alamat : ............................

Untuk selanjutnya disebut sebagai Penerima Kuasa.

-----------------KHUSUS--------------

Untuk mengambil Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) Roda Empat, dengan rincian sebagai berikut:

- Nomor : ............................
- Nama Pemilik : ............................
- Nomor Polisi : ............................
- Merk : ............................
- Type : ............................
- Tahun Pembuatan : ............................
- Nomor Mesin : ............................
- Nomor Rangka : ............................
- Bahan Bakar : ............................

Pada Leasing ............................, cabang ............................, beralamat di ............................

Sehubungan dengan pemberian kuasa ini, Penerima Kuasa berhak melakukan pengambilan atas Asli Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) Roda Empat sebagaimana tersebut di atas, untuk kemudian diserahkan kepada Pemberi Kuasa.

Demikian kuasa ini diberikan untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Demikian surat kuasa ini dibuat pada hari dan tanggal sebagaimana tersebut di bawah, bermeterai cukup, untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Kab./Kota......................., Tanggal......../....../20.......

Penerima Kuasa          Pemberi Kuasa




(........................) (........................)
_________________

7 Kritik Mendunia Terhadap Peradilan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Sistem Penggabungan Pengadilan dengan Arbitrase", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang 7 Kritik Mendunia Terhadap Peradilan.

Berbagai usaha dan pemikiran yang bertujuan mendesain peradilan yang lebih efektif dan efisien telah dikemukakan, tetapi sampai sekarang belum membuahkan hasil yang memuaskan. Sementara itu, kritik global yang ditujukan kepada Pengadilan semakin menderu. Semua kritik itu bernada tidak puas atas kinerja dan keberadaan Peradilan.[1]

Dapat dikemukakan beberapa kritik tajam yang dialamatkan kepada Pengadilan, terutama setelah era 1980, antara lain:[2]
  1. Penyelesaian sengketa lambat, penyakit kronis yang diderita dan menjangkiti semua badan peradilan dalam segala tingkat peradilan di seluruh dunia adalah: a). Penyelesaian sangat lambat atau buang waktu; b). Terjadi sebagai akibat sistem pemeriksaannya yang sangat formal, dan sangat teknis; c). Pada sisi lain, arus perkara semakin deras baik secara kuantitas dan kualitas, sehingga terjadi beban yang berlebihan.
  2. Biaya perkara mahal, pada dasarnya biaya perkara mahal, dan biaya itu semakin mahal sehubungan dengan lamanya waktu penyelesaian. Semakin lama proses penyelesaian, semakin banyak biaya yang dikeluarkan. Biaya pengacara di Amerika rata-rata US $ 250 per jam.
  3. Peradilan tidak tanggap, berdasarkan pengamatan, peradilan kurang tanggap (unresponsive) dalam bentuk perilaku: a). Tidak tanggap membela dan melindungi kepentingan umum yang sering diabaikan, kurang perduli terhadap kebutuhan dan keadilan masyarakat luas; b). Pengadilan sering berlaku tidak adil, sering melayani lembaga besar atau orang kaya saja, sebaliknya tidak memihak rakyat biasa dan sering memperlakukan rakyat dimaksud secara tidak wajar.
  4. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah, sebaliknya malah menimbulkan masalah baru. Dalam artian, putusan pengadilan tidak memberikan solusi yang menyeluruh. Bahkan tidak memuaskan yang kalah maupun yang menang.
  5. Putusan pengadilan membingungkan, sering disebut juga erratic. Terkadang tanpa alasan yang kuat dan masuk akal, contoh dalam pengabulan tuntutan ganti rugi, kadang dikabulkan besar jumlahnya dan kadang tuntutan ganti rugi ditolak, padahal alasan hukumnya kuat.
  6. Putusan pengadilan tidak memberi kepastian hukum, belakangan ini sering ditemukan putusan yang berdisparitas, padahal kasusnya sama. Padahal sesuai dengan doktrin hukum, seharusnya diberi perlakuan yang sama.
  7. Kemampuan para hakim bercorak generalis, pada umumnya ada yang mengatakan bahwa hakim menghadapi berbagai hanya bersifat generalis saja. Kualitas dan kemampuan profesionalisme mereka pada bidang tertentu sangat minim, sehingga diragukan kemampuan menyelesaikan sengketa secara tepat dan benar sesuai dengan asas-asas maupun doktrin dan paradigma yang berlaku pada sengketa tersebut.
Terkait dengan 7 kritik mendunia terhadap Peradilan di atas, Penulis berpendapat bahwa hal tersebut adalah sebuah kewajaran, akan tetapi sepengetahuan penulis, juga telah dilakukan berbagai upaya perbaikan sehingga arahnya sudah benar. Satu contoh saja, terkait kritik akan kemampuan hakim yang bercorak generalis, sepengetahuan Penulis telah banyak hakim-hakim yang melanjutkan pendidikan dan turut serta dalam pelatihan yang sifatnya adalah kekhususan, hal ini tentu membantu mengembangkan kapasitas setiap hakim dalam mengadili perkara.
___________________

Referensi:
1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Kesepuluh-2010, Hal.: 233.
2. Ibid. Hal.: 233-235.

Amount of Authorized Capital of Foreign Investment Companies in Indonesia

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Three Ways to Conduct FDI in Indonesia ...