Senin, 30 September 2019

Istilah Dan Pengertian Kesalahan (Schuld)

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah kita lalui kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Pengertian Perbuatan Pidana Dan Strafbaar Feit’, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Istilah dan Pengertian Kesalahan (Schuld).

Seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang bersifat melawan hukum, atau melakukan sesuatu perbuatan mencocoki dalam rumusan undang-undang hukum pidana sebagai perbuatan pidana, belumlah berarti bahwa dia langsung dipidana. Dia mungkin dipidana, yang tergantung kepada kesalahannya.[1]

Dapat dipidananya seseorang, terlebih dahulu harus ada dua syarat yang menjadi satu keadaan, yaitu perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai sendi perbuatan pidana, dan perbuatan yang dilakukan itu dapat dipertanggungjawabkan sebagai sendi kesalahan. Putusan untuk menjatuhkan pidana harus ditentukan adanya perbuatan pidana dan adanya kesalahan yang terbukti dari alat bukti dengan keyakinan Hakim terhadap seorang tertuduh yang dituntut di muka pengadilan.[2]

Vos menjelaskan bahwa tanpa sifat melawan hukumnya perbuatan tidaklah mungkin dipikirkan adanya kesalahan, namun sebaliknya sifat melawan hukumnya perbuatan mungkin ada tanpa adanya kesalahan. Prof. Moeljatno, S.H., menyatakan lebih baik dengan kalimat, bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana, tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana tidak selalu dia dapat dipidana.[3]

Istilah kesalahan berasal dari kata “schuld”, yang sampai saat sekarang belum resmi diakui sebagai istilah ilmiah yang mempunyai pengertian pasti, namun sudah sering dipergunakan di dalam penulisan-penulisan.[4]

Apakah pengertian kesalahan itu, menurut pandangan para ahli hukum pidana? Ternyata terdapat keanekaragaman pendapat mengenai apa yang dimaksud pengertian kesalahan.[5]

Menurut Jonkers di dalam keterangan tentang “schuldbegrip” membuat pembagian atas tiga bagian dalam pengertian kesalahan yaitu:[6]
  1. Selain kesengajaan atau kealpaan (opzet of schuld);
  2. Meliputi juga sifat melawan hukum (de wederrechtelijkheid);
  3. dan kemampuan bertanggung jawab (de toerekenbaarheid).
Pompe berpendapat bahwa pengertian kesalahan mempunyai tanda sebagai hal yang tercela (verwijtbaarheid) yang pada hakikatnya tidak mencegah (vermijdbaarheid) kelakuan yang bersifat melawan hukum (der wederrechtelijke gedraging). Kemudian dijelaskan pula tentang hakikat tidak mencegah kelakuan yang bersifat melawan hukum (vermijdbaarheid der wederrechtelijke gedraging) di dalam perumusan hukum positif, di situ berarti mempunyai kesengajaan dan kealpaan (opzet en onachtzaamheid) yang mengarah kepada sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dan kemampuan bertanggungjawab (toerekenbaarheid).[7]

Kedua pengertian tentang kesalahan tersebut di atas tampak sekali di dalam bidang kesalahan terselip elemen melawan hukum. Pendapat ini sebenarnya bertentangan dengan pandangan mengenai elemen melawan hukum seharusnya terletak pada bidang perbuatan pidana. Kemudian untuk lebih menyesuaikan dengan pandangan tentang perbuatan pidana dipisahkan dari kesalahan dengan unsurnya masing-masing, berikut ini dikemukakan dari beberapa ahli hukum yang berpandangan lain daripada yang tersebut lebih dahulu. Vos memandang pengertian kesalahan mempunyai tiga tanda khusus yaitu:[8]
  1. Kemampuan bertanggungjawab dari orang yang melakukan perbuatan (toerekeningsvatbaarheid van de dader);
  2. Hubungan batin tertentu dari orang yang berbuat, yang perbuatannya itu dapat berupa kesengajaan atau kealpaan;
  3. Tidak terdapat dasar alasan yang menghapus pertanggungjawaban bagi si pembuat atas perbuatannya.  
_________________________________
1. “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 135.
2.  Ibid. Hal.: 135.
3.  Ibid. Hal.: 135.
4.  Ibid. Hal.: 135.
5.  Ibid. Hal.: 136.
6.  Ibid. Hal.: 136.
7.  Ibid. Hal.: 136.
8.  Ibid. Hal.: 136-137.

Jumat, 27 September 2019

Contoh Surat Kuasa Pendaftaran Paten, Bilingual

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

POWER OF ATTORNEY TO FILING AND PROCESSING APPLICATION
(SURAT KUASA PENDAFTARAN PATEN)

I/We the undersigned:
(Saya/Kami yang bertanda tangan di bawah ini:)

Do hereby appoint and authorize the following Intellectual Property Rights (IPR) Consultant(s) with full power of substitution:
(Bersama ini menunjuk dan memberi kuasa penuh dengan hak substitusi kepada Konsultan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di bawah ini:)

Of the: .........................
(dari: .........................)

Domiciled at: .........................
(Yang berkedudukan di: .........................)

Jointly as well as separately, in particular:.......................
(Baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri, khusus: .......................)

To act for and on behalf of the undersigned, in filing and processing application(s) at Ministery of Law and Human Rights Republic of Indonesia, The Directorate General of Intellectual Property Rights, The Directorate of Patent, to file a Patent application in Indonesia for:
(Bertindak untuk dan atas nama penandatangan dalam mengajukan dan mengurus pada kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual, Direktorat Paten, permohonan Paten di Indonesia untuk:)

1. To make inquiries in which countries and the dates on which Patent applications for the same inventions have been filed, and also as to the objections of any nature, raised against such applications;
(Untuk meminta keterangan-keterangan di negara mana, dan kapan permohonan Paten untuk invensi yang sama itu telah diajukan dan juga tentang keberatan-keberatan apapun yang timbul dari permohonan Paten tersebut.)

2. To prepare, to sign and to file the necessary documents, and if necessary, to amend, to separate, complete or to withdraw the applications;
(Mempersiapkan, menandatangani, dan mengajukan dokumen-dokumen penting, dan jika perlu, memperbaiki, memisahkan, menyempurnakan atau mencabut permohonan tersebut.)

3. To request for examination of the subject Patent application, to appear where and when necessary, and to file motion(s) of appeal(s) whenever deemed necessary, to appeal by filing a notice of appeal if the Application Department has decided that the entire application or part of it shall not published, or of the patent applied for has not been granted at all or has been granted in part on in a modified form;
(Mengajukan permintaan pemeriksaan atas permohonan Paten, menghadap bilamana dianggap perlu, dan mengajukan permohonan-permohonan banding apabila dianggap perlu, mengajukan memori-memori keberatan apabila permohonan Paten yang bersangkutan tidak akan diumumkan seluruhnya atau sebagian atau permohonan Paten ditolak sama sekali, atau dikabulkan sebagian, atau dikabulkan hanya dalam keadaan telah diubah.)

4. To reply to petitions, notices of opposition and notices of appeal filed by third parties.
(Menjawab surat-surat permohonan, surat-surat keberatan dan surat-surat keberatan yang diajukan oleh Pihak lain.)

5. To make all payments under the Patent Act or as may be demanded under the Patent Rules from the undersigned, and to receive from the Directorate of Patent any or all relative documents for and on behalf of the undersigned with the understanding that each of the Proxy reserves the right of substitution on legal condition, along with the respondsibility of the undersigned for the payment thereof.
(Melakukan semua pembayaran berdasarkan Undang-undang Paten atau berdasarkan atas suatu Peraturan Pemerintah tentang Paten yang ditujukan kepada penandatangan, dan menerima segala sesuatu dokumen dari Direktorat Paten untuk dan atas nama dari penandatangan dengan pengertian bahwa setiap kuasa mempunyai hak substitusi menurut hukum, dan penandatangan berkewajiban untuk menanggung biaya yang bersangkutan.)

Date:...................
(Tanggal: ...................)

Signature: ...................
(Tanda tangan: ...................)


Catatan: untuk dokumen dalam format word, silahkan diunduh pada link berikut ini.

Lihat juga contoh surat kuasa pendaftaran Merk (bilingual) pada link berikut ini.

___________________
Referensi: "Panduan Lengkap Membuat Surat-surat Kuasa", Frans Satriyo Wicaksono, S.H., Jakarta, Visimedia, 2009, Hal.: 185-187.

Rabu, 25 September 2019

Kata Mutiara Hukum Terpilih I (Selected Law Quotes I)

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelum membaca lebih lanjut Kata Mutiara Hukum Terpilih I (Selected Law Quotes) ini, lihat juga "Kata Mutiara Hukum Terpilih II (Selected Law Quotes II)" kemudian "Kata Mutiara Hukum Terpilih III (Selected Law Quotes III)", serta "Kata Mutiara Hukum Terpilih IV (Selected Law Quotes IV)"

“Law is order, and good law is good order”.
(Hukum adalah ketertiban, dan hukum yang baik adalah ketertiban yang baik).

ARISTOTLE, Politics.

“The law is the public conscience”.
(Hukum adalah hati nurani  publik)

THOMAS HOBBES, Leviathan.

“Lawyers are the only persons in whom ignorance of the law is not punished”.
(Pengacara adalah satu-satunya orang di mana ketidaktahuannya akan hukum tidak dihukum)

JEREMY BENTHAM, The Canadian Bar Journal, Jun. 1966.

“An unjust law is itself a species of violence”.
(Hukum yang tidak adil adalah bagian dari spesies kekerasan)

MAHATMA GANDHI, Non-Violence in Peace and War.

“Bad laws are the worst sort of tyranny”.
(Hukum yang buruk adalah jenis dari  tirani.)

EDMUND BURKE, speech at Bristol previous to the election of 1780.

“Wherever Law ends, Tyranny begins”.
(Ketika tidak ada lagi hukum, maka dimulailah tirani.)

JOHN LOCKE, Second Treatise of Government.

“For there is but one essential justice which cements society, and one law which establishes this justice. This law is right reason, which is the true rule of all commandments and prohibitions. Whoever neglects this law, whether written or unwritten, is necessarily unjust and wicked.”
(Karena hanya ada satu keadilan esensial yang memperkuat masyarakat, dan satu hukum yang menetapkan keadilan ini. Hukum ini adalah alasan yang benar, yang merupakan aturan sebenarnya dari semua perintah dan larangan. Siapa pun yang mengabaikan hukum ini, baik tertulis maupun tidak, tentu tidak adil dan jahat.)

MARCUS TULLIUS CICERO, The Laws.

“The end of law is not to abolish or restrain, but to preserve and enlarge freedom. For in all the states of created beings, capable of laws, where there is no law there is no freedom”.
(Akhir dari hukum bukanlah untuk menghapuskan atau menahan, tetapi untuk memelihara dan memperbesar kebebasan. Karena di semua negara makhluk yang diciptakan, sadar hukum, diketika tidak ada hukum tidak ada kebebasan.)

JOHN LOCKE, Second Treatise of Government.

“The wisdom of a law-maker consisteth not only in a platform of justice, but in the application thereof;  taking into consideration by what means laws may be made certain.”
(Kebijaksanaan seorang pembuat hukum tidak hanya terdiri dari landasan keadilan, tetapi juga penerapannya; mempertimbangkan dengan cara apa hukum mendapat kepastian.)

FRANCIS BACON, The Advancement of Learning.

“It may be true that the law cannot make a man love me, but it can stop him from lynching me, and I think that's pretty important.”
(Mungkin benar bahwa hukum tidak dapat membuat seorang pria mencintaiku, tetapi itu bisa menghentikannya dari membantai saya, dan aku pikir itu cukup penting.)

MARTIN LUTHER KING, JR., attributed, King: Pilgrimage to the Mountaintop.

“The law cannot save those who deny it but neither can the law serve any who do not use it. The history of injustice and inequality is a history of disuse of the law. Law has not failed--and is not failing. We as a nation have failed ourselves by not trusting the law and by not using the law to gain sooner the ends of justice which law alone serves.
(Hukum tidak bisa menyelamatkan mereka yang menyangkalnya tetapi hukum juga tidak bisa melayani siapa pun yang tidak menggunakannya. Sejarah ketidakadilan dan ketidaksetaraan adalah sejarah tidak digunakannya hukum. Hukum tidak gagal - dan tidak akan pernah gagal. Kita sebagai bangsa telah gagal dengan tidak mempercayai hukum dan dengan tidak menggunakan hukum untuk mendapatkan keadilan secepatnya yang seyogyanya didapatkan dari hukum.)

LYNDON B. JOHNSON, Memorial Day remarks in Gettysburg, Pennsylvania, May 30, 1963.

“Necessity has no law”.
(Keterdesakan/kepepet tidak ada dasar hukumnya.)

LATIN PROVERB.

“If you make 10,000 regulations you destroy all respect for the law”.
(Jika Anda membuat 10.000 peraturan, Anda menghancurkan semua penghormatan terhadap hukum.)

WINSTON CHURCHILL, speech in House of Commons, Feb. 3, 1949.

“If nature does not ratify law, then all the virtues may lose their sway”.
(Jika alam tidak meratifikasi hukum, maka semua kebajikan akan kehilangan kendali.)

MARCUS TULLIUS CICERO, The Laws.

“Bad laws are not forever and if we work together, we can change them”.
(Aturan hukum yang buruk tidak akan selamanya dan jika kita bekerja bersama, kita bisa mengubahnya.)

EDWARD SNOWDEN, "NSA reform in the US is only the beginning", The Guardian, May 22, 2015”.

“We cannot expect people to have respect for law and order until we teach respect to those we have entrusted to enforce those laws”.
(Kita tidak dapat mengharapkan orang untuk menghormati hukum dan ketertiban sampai kita mengajarkan rasa hormat kepada mereka yang telah kita percayai untuk menegakkan hukum itu.)

HUNTER S. THOMPSON, Songs of the Doomed.

---------------------------------

Dipilih dan diterjemahkan dari situs www.notable-quotes.com, sumber URL: http://www.notable-quotes.com/l/law_quotes.html

Senin, 23 September 2019

Basic Agrarian Law of Republic of Indonesia, Bilingual

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Undang-undang ini disebut juga sebagai Undang-undang Pokok Agraria atau familiar dalam dunia hukum disingkat dengan "UUPA", yang disahkan pada tanggal 24 September 1960.

Undang-undang ini terdiri dari 70 Pasal, 4 Bab, dan 5 Bagian. Dengan segala kompleksitas materi muatan yang diaturnya, Undang-undang ini terbilang terbatas juga singkat.

Berikut adalah Undang-undang Pokok Agraria dimaksud dalam dua bahasa, yaitu Indonesia dan Inggris, untuk tautan klik di sini. 


Jumat, 20 September 2019

Contoh Surat Kuasa Menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Surat Kuasa

Pada hari ini, ..........., tanggal ........... (...........), bulan ..........., tahun ........... (...........), yang bertanda tangan di bawah ini:

..................., lahir di ..........., pada tanggal ........... (...........) bulan ..........., tahun ........... (...........), bertempat tinggal di kota ..........., jalan ..........., nomor: ..........., dalam hal ini bertindak selaku Direktur dari dan oleh karena itu untuk dan atas nama PT. ..........., berkedudukan di Kota ..........., yang anggaran dasarnya tercantum dalam Akta Nomor: ..........., tertanggal ........... dibuat di hadapan ..........., S.H., Notaris di Kota ..........., disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia dengan Surat keputusannya tertanggal ..........., Nomor: ..........., selanjutnya disebut Pemberi Kuasa.

Dengan ini memberikan kuasa kepada:

..........., lahir di ..........., pada tanggal ........... (...........), bulan ..........., tahun ........... (...........), beralamat di ..........., Nomor: ..........., Kota ..........., dalam hal ini bertindak selaku Manager ..........., dari PT. ..........., selanjutnya disebut Penerima Kuasa.

----------------KHUSUS-------------

Untuk mewakili Pemberi Kuasa menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT. ......................, sebagaimana dimaksud dalam pengumuman surat kabar ..........., tanggal ..........., yang akan dilaksanakan pada:

Hari/Tanggal : ...........
Waktu : ........... WIB
Tempat : ...........

Selanjutnya Penerima Kuasa berhak memasuki ruangan rapat, mengikuti jalannya rapat, memberikan usulan-usulan, dan menandatangani surat-surat, keputusan-keputusan yang diambil, menolak dan/atau menerima usulan-usulan dari peserta rapat lainnya, dengan kata lain mewakili kepentingan Pemberi Kuasa yang terbaik dalam arti seluas-luasnya dalam Rapat Umum Pemegang Saham PT. ........... tersebut.

Demikian Surat Kuasa ini dibuat pada hari dan tanggal sebagaimana tersebut di awal untuk dilaksanakan dan dipergunakan dengan penuh tanggung jawab.

Penerima Kuasa Pemberi Kuasa PT. .................

.................                     .................
                                     Direktur

Catatan: untuk dokumen dalam format word, silahkan diunduh pada link berikut ini.

Lihat juga contoh surat kuasa pendaftaran Paten pada link berikut ini.

___________________
Referensi: "Panduan Lengkap Membuat Surat-surat Kuasa", Frans Satriyo Wicaksono, S.H., Jakarta, Visimedia, 2009, Hal.: 146-147.

Rabu, 18 September 2019

Pengertian Perbuatan Pidana Dan Strafbaar Feit

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah kita lalui kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Istilah dan Perbuatan Pidana’, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Pengertian Perbuatan Pidana dan Strafbaar Feit.

Perlu dijelaskan dahulu adanya penafsiran yang sama atau yang berbeda mengenai pengertian “perbuatan pidana” dan “tindak pidana”. Selain pengertian yang diajukan oleh Jonkers, juga telah dikembangkan pengertian perbuatan pidana yang terpisah dari pertanggungjawaban pidana, sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Moeljatno.[1]

Konsekuensi dari rumusan strafbaar feit menurut pandangan Pompe, Jonkers dan Vos telah tumbuh pemikiran baru yang membuat pemisahan antara "de strafbaarheit van het feit” dan “de strafbaarheid van de dader”. Dengan perkataan lain tumbuh pemikiran baru tentang pemisahan antara “perbuatan yang dilarang dengan ancaman pidana” dan “orang yang melanggar larangan yang dapat dipidana”, di satu pihak tentang perbuatan pidana dan di lain pihak tentang kesalahan.[2]

Prof. Moeljatno, S.H., adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang telah menganut dan memperkenalkan pengajaran hukum pidana Indonesia tentang perlunya susunan pemikiran yang memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana.[3]

Dasar pemikiran adanya perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana masih dapat dilengkapi dengan masalah yang ditimbulkan karena adanya perbandingan rumusan strafbaar feit di satu pihak oleh Simons dan Jonkers, sedangkan di lain pihak oleh Van Hamel dan Pompe. Simons dan Jonkers dengan rumusannya tentang strafbaar feit telah merumuskan adanya unsur “schuld (opzet of schuld)” dan “toerekeningsvatbaar”, dimana kedua unsur itu dicantumkan bersama-sama dalam rumusan strafbaar feit. Dari rumusan Simons dan Jonkers itu kiranya tidak akan mengalami kesulitan untuk memahami dasar pemikiran tentang pemisahan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Namun di dalam rumusan strafbaar feit yang klasik dari Van Hamel dan rumusan strafbaar feit yang teoritis dari Pompe di situ dijumpai unsur “schuld” saja, sehingga dasar pemikiran yang ada harus tersusun menjadi perbuatan pidana dan kesalahan dalam hukum pidana.[4]

Doktrin pemisahan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana, maupun pemisahan antara perbuatan pidana dan kesalahan dalam hukum pidana, kiranya tidak perlu dipandang sebagai perbedaan prinsip, apabila diikuti pandangan itu bahwa toerekeningsvatbaarheid adalah dasar yang penting untuk adanya schuld, jadi hanyalah letak penekanan saja yang menitikberatkan pada toerekeningsvatbaarheid (pertanggungan jawab) ataukah pada schuld (kesalahan).[5]

Prof. Moeljatno, S.H., memberikan arti “perbuatan pidana” mengandung pengertian bahwa: pertama, adalah kelakuan dan kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan, dan yang kedua, adalah perbuatan pidana tidak dihubungkan dengan kesalahan yang merupakan pertanggungjawaban pidana pada orang yang melakukan perbuatan pidana. Apabila disimpulkan, maka perbuatan pidana itu hanyalah menunjukan sifatnya perbuatan yang terlarang dengan diancam pidana.[6] 

_________________________________
1. “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 125.
2.  Ibid. Hal.: 127.
3.  Ibid. Hal.: 127.
4.  Ibid. Hal.: 128-129.
5.  Ibid. Hal.: 129.
6.  Ibid. Hal.: 129-130.

Jumat, 13 September 2019

Contoh Surat Kuasa Untuk Menjual Kendaraan Bermotor


(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo


Surat Kuasa

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : ..........................
Pekerjaan : ..........................
Alamat : ..........................

Berdasarkan dan dalam kedudukannya selaku peminjam dari kendaraan bermotor yang akan di sebut di bawah ini. Untuk selanjutnya disebut Pemberi Kuasa, dengan ini memberi kuasa penuh dengan hak substitusi kepada:

PT.........................., berkedudukan di .........................., untuk selanjutnya disebut Penerima Kuasa.

Atas hak-hak Pemberi Kuasa dari Kendaraan bermotor yang tersebut di bawah ini:

Merek : ..........................
Type : ..........................
No. Chasis : ..........................
No. Mesin : ..........................
No. Polisi : ..........................
Warna : ..........................

Selanjutnya disebut Kendaraan Bermotor.

Dan hak-hak atas Kendaraan Bermotor yang dipergunakan sebagai jaminan pelunasan Utang Pemberi Kuasa kepada Penerima Kuasa berdasarkan Perjanjian Pengakuan Utang dengan Penyerahan Hak Milik secara Fiducia yang telah ditanda-tangani pada tanggal .........................., berikut perubahan-perubahan, perjanjian-perjanjian, serta penambahannya yang sudah dibuat atau akan dibuat pada kemudian hari (untuk selanjutnya disebut Perjanjian).

Kuasa-kuasa sebagaimana tertulis ini tidak dapat berakhir karena sebab-sebab yang disebut dalam Pasal 1813 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau karena sebab-sebab apapun dan dapat sewaktu-waktu dilaksanakan oleh Penerima Kuasa tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu baik secara tertulis maupun tidak tertulis.

Kuasa-kuasa yang diberikan adalah melakukan tindakan-tindakan di bawah ini, jika pemberi kuasa lalai dalam melakukan kewajiban-kewajiban sesuai dengan Perjanjian Utang dengan Penyerahan Hak Milik Secara Fiducia:

1. Untuk mengambil secara langsung barang milik PT. .......................... FINANCE yang dipakai pemberi kuasa berupa kendaraan seperti tersebut di halaman ini.
2. Memasuki ruangan tempat tinggal atau kantor pemberi kuasa atau ditempat lain dimana kendaraan tersebut berada.
3. Memberikan persetujuan untuk mengadakan pemblokiran atas STNK & BPKB, serta mengurus dan menyelesaikan balik nama kendaraan tersebut untuk kepentingan pemberi kuasa.
4. Mengambil kendaraan tersebut dari tangan pemberi kuasa atau pihak lain siapapun adanya dan membawanya ketempat yang dianggap baik oleh penerima kuasa.
5. Menjual kendaraan tersebut di atas pada pihak ketiga menurut harga yang dianggap patut oleh penerima kuasa, membayar ongkos pengambilan dan penjualan dari hasil penjualan tersebut, serta memotongkan hasil penjualan bersih dari buku utang pemberi kuasa dengan memberikan bukti pemotongan pada pemberi kuasa.

Kota/Kabupaten ..................., tanggal ................

Penerima Kuasa Pemberi Kuasa

................. .................

Catatan: untuk dokumen dalam format word, silahkan diunduh pada link berikut ini.

Lihat juga contoh surat kuasa selanjutnya untuk mengurus Visa, bisa dilihat pada link berikut.
___________________
Referensi: "Panduan Lengkap Membuat Surat-surat Kuasa", Frans Satriyo Wicaksono, S.H., Jakarta, Visimedia, 2009, Hal.: 90-92.


Selasa, 10 September 2019

Memahami Perbedaan Nota Kesepahaman (M.o.U) Dengan Perjanjian

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya yang berkaitan dengan praktik bisnis, tidak jarang dijumpai istilah ‘nota kesepahaman’ yang merupakan terjemahan dari bahasa Inggris Memorandum of Understanding atau sering disingkat dengan ‘M.o.U’ dengan Perjanjian atau agreement. Seringkali istilah ini dijumbuhkan, terutama ketika dibawa ke dalam ranah hukum, meskipun demikian kedua istilah ini memang saling kait mengkait dan berdekatan, sedangkan untuk membedakan dan memahami keduanya diperlukan usaha lebih serta ketelitian.

Istilah Nota Kesepahaman (M.o.U)

‘M.o.U’ adalah kepanjangan dari istilah dalam bahasa Inggris yaitu Memorandum of Understanding. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia disebut dengan ‘nota kesepahaman’. Dengan demikian istilah ini terdiri dari dua kata, yaitu: (1). Memorandum, yaitu suatu ringkasan pernyataan secara tertulis yang isinya menjelaskan mengenai syarat sebuah perjanjian atau transaksi, dan (2) Understanding, yaitu suatu pernyataan persetujuan tidak langsung atas perjanjian lainnya yang sifatnya informal atau persyaratan yang longgar.[1]

Beberapa pakar hukum memberikan pendapat sebagai berikut:[2]
  • Erman Radjagukguk: “M.o.U adalah suatu dokumen yang isinya memuat saling pengertian di antara para pihak sebelum perjanjian dibuat. Isi dari Memorandum of Understanding harus dimasuk-kan ke dalam kontrak, sehingga ia mempunyai kekuatan mengikat”.
  • Munir Fuady: “M.o.U adalah perjanjian pendahuluan, dalam arti nantinya akan diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian lain yang mengaturnya secara detail, karena itu, memorandum of understanding berisikan hal-hal yang pokok saja. Adapun mengenai aspek lain-lain dari M.o.U relatif sama dengan perjanjian lainnya”.
Dari kedua pendapat pakar hukum di atas, terdapat beberapa ‘key words’ atau kata kunci yang mengacu pada istilah M.o.U, diantaranya adalah ‘dokumen pra perjanjian’, ‘perjanjian pendahuluan’, ‘dijabarkan dalam perjanjian’, ‘berisikan hal-hal pokok saja’. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa istilah M.o.U atau Nota Kesepahaman ini adalah semacam dokumen tertulis yang merupakan perjanjian pendahuluan adapun isinya adalah berupa hal-hal pokok yang kelak diperjanjikan lebih rinci.

Ketika M.o.U dimaknai sebagai perjanjian pendahuluan, maka di dalam M.o.U biasanya dicantumkan “intention to create legal relation” oleh kedua belah pihak.[3]

Ciri-ciri Nota Kesepahaman (M.o.U)

Adapun ciri-ciri dari Nota Kesepahaman (M.o.U) adalah sebagai berikut:[4]
  1. Umumnya isi M.o.U dibuat secara ringkas, bahkan seringkali hanya dibuat satu halaman saja.
  2. Isi di dalam M.o.U adalah hal-hal yang sifatnya pokok atau umum saja.
  3. M.o.U sifatnya pendahuluan, dimana akan diikuti oleh kesepakatan lain yang isinya lebih detail.
  4. M.o.U jangka memiliki jangka waktu yang cukup singkat, misalnya sebulan hingga satu tahun. Jika tidak ada tindak lanjut dengan perjanjian yang lebih rinci dari kedua belah pihak, maka nota kesepakatan tersebut batal.
  5. Umumnya nota kesepahaman (M.o.U) dibuat dalam bentuk perjanjian di bawah tangan.
  6. M.o.U digunakan sebagai dasar untuk membuat perjanjian untuk kepentingan banyak pihak, misalnya: investor, kreditor, pemegang saham, pemerintah, dan lainnya.
Perlu di pahami, dalam praktik, meskipun M.o.U dikatakan mempunyai salah satu ciri yaitu ‘ringkas’ (Catatan: untuk contoh Nota Kesepahaman (M.o.U) yang ringkas/sederhana dapat dengan mudah diperoleh contohnya di internet), akan tetapi hal ini sangat tergantung dari volume perihal yang nantinya akan diatur, adakalanya ketika isi dari perihal yang akan diatur ini juga banyak, maka M.o.U-nya juga tidak hanya satu halaman saja, namun lebih dari itu. Perhatikan contoh yang dikutip dari situs www.acehkita.com[5], terkait Nota Kesepahaman (M.o.U) antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka berikut ini.

Tujuan Nota Kesepahaman (M.o.U)

Pada dasarnya M.o.U yang dibuat oleh para pihak memiliki tujuan tertentu. Menurut Munir Fuady, beberapa tujuan dari M.o.U adalah sebagai berikut:[6]
  • Memudahkan Proses Pembatalan Suatu Kesepakatan. Dalam hal untuk prospek bisnis yang belum jelas benar sehingga masih ada kemungkinan terjadi pembatalan kesepakatan. Dalam hal ini, pembuatan M.o.U karena belum ada kepastian mengenai kesepakatan kerja sama namun kedua belah pihak perlu merasa perlu menindaklanjuti kemungkinan kerjasama tersebut.
  • Sebagai Ikatan yang Sifatnya Sementara. Proses kesepakatan dan penandatanganan kontrak biasanya membutuhkan waktu dan negosiasi yang cukup alot. Maka M.o.U dibuat dan berlaku untuk sementara agar kedua belah pihak memiliki ikatan sebelum penandatanganan kontrak kerjasama.
  • Sebagai Pertimbangan dalam Kesepakatan. Tidak jarang pihak-pihak yang ingin bekerjasama masih ragu dan membutuhkan waktu untuk berpikir mengenai penandatanganan kerjasama yang akan dilakukan. Maka untuk sementara dibuatlah Nota Kesepahaman.
  • Sebagai Gambaran Besar Kesepakatan. Nota kesepahaman dibuat dan ditandatangani oleh pejabat eksekutif suatu perusahaan dimana isinya lebih umum. Sedangkan isi perjanjian yang lebih rinci akan dibuat dan dinegosiasikan oleh staf-staf yang menguasai hal-hal teknis.
Manfaat Nota Kesepahaman (M.o.U)

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Nota Kesepahaman (M.o.U) seyogyanya memiliki manfaat bagi para pihak yang ingin membuat suatu perjanjian. Terdapat dua manfaat dari M.o.U, yaitu:[7]
  1. Manfaat Yuridis. Manfaat yuridis adalah adanya kepastian hukum bagi kedua belah pihak yang membuat kesepakatan. Selain itu, M.o.U dapat berlaku sebagai Undang-Undang bagi setiap pihak yang membuatnya.
  2. Manfaat Ekonomis. Manfaat ekonomisnya adalah adanya penggerakan hak milik sumber daya yang awalnya nilai penggunaannya rendah menjadi lebih tinggi setelah adanya M.o.U.
Definisi Perjanjian & Unsur-unsurnya

Perjanjian adalah salah satu istilah hukum. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum  antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Dengan demikian, terdapat beberapa unsur dari Perjanjian. Pertama adalah unsur adanya perbuatan. Kedua adalah adanya subjek hukum, dalam hal ini bisa satu orang dengan satu orang lainnya, atau lebih. Unsur ketiga adalah timbulnya hubungan hukum berupa perikatan. Unsur terakhir atau keempat adalah adanya hak dan kewajiban para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian.

Syarat Sahnya Perjanjian

Syarat-syarat sahnya sebuah perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu sebagai berikut:

1.    Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.    Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.    Suatu hal tertentu;
4.    Suatu sebab yang halal.

Syarat pertama dan kedua dinamakan syarat subjektif, karena berkenaan dengan para subjek yang membuat perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat dinamakan syarat objektif karena berkenaan dengan objek dalam perjanjian.[8]

Syarat Pertama “sepakat mereka yang mengikatkan diri” berarti, para pihak yang membuat perjanjian harus sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok atau materi yang diperjanjikan, dimana kesepakatan itu harus dicapai dengan tanpa ada paksaan, penipuan atau kekhilafan (Pasal 1321 KUH Perdata). Misalnya, sepakat untuk melakukan jual-beli tanah, harganya, cara pembayarannya, penyelesaian sengketanya, dsb. Syarat Kedua, “kecakapan untuk membuat suatu perikatan” Pasal 1330 KUH Perdata sudah mengatur pihak-pihak mana saja yang boleh atau dianggap cakap untuk membuat perjanjian.[9]

Syarat Ketiga “suatu hal tertentu” maksudnya adalah dalam membuat perjanjian, apa yang diperjanjikan (objek perikatannnya) harus jelas. Setidaknya jenis barangnya itu harus ada (lihat Pasal 1333 ayat 1 KUH Perdata). Misalnya, jual beli tanah dengan luas 500 M2, terletak di Jl. Merpati No: 15, Jakarta Pusat, yang berbatasan dengan sebelah utara dengan sungai Ciliwung, sebelah selatan dengan Jalan Raya Bungur, sebelah timur dengan sekolah dasar inpres, dan sebelah barat dengan tempat pemakaman umum. Syarat Keempat “suatu sebab yang halal” berarti tidak boleh memperjanjikan sesuatu yang dilarang undang-undang atau yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai kesopanan ataupun ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata). Misalnya melakukan perjanjian jual beli Narkoba, atau perjanjian jual beli orang/manusia, dsb. Perjanjian semacam ini adalah dilarang dan tidak sah.[10]

Kekuatan Hukum Perjanjian

Mengenai kekuatan hukum perjanjian, diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang–undang bagi mereka yang membuatnya”.

Sudah cukup jelas bahwa terkait dengan perjanjian-perjanjian yang dibuat secara sah, maka berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang mengikatkan diri pada perjanjian yang telah dibuat.

Perbedaan Nota Kesepahaman (M.o.U) dengan Perjanjian

Setelah mempelajari kedua hal di atas, yaitu Nota Kesepahaman (M.o.U) dengan Perjanjian (agreement), maka menurut Penulis, terdapat setidaknya tiga perbedaan penting. Pertama adalah perbedaan Istilah. Apakah di dalam KUH Perdata dikenal istilah Nota Kesepahaman (M.o.U)? Jawabannya adalah KUH Perdata tidak mengenal istilah Nota Kesepahaman atau M.o.U., istilah ini menurut hemat penulis muncul dalam konteks keseharian, khususnya banyak dipergunakan dalam bidang bisnis. Oleh karena itu perlu ditegaskan bahwa secara hukum tidak dikenal istilah Nota Kesepahaman (M.o.U), yang dikenal adalah istilah Perjanjian. KUH Perdata tidak mengenal istilah Pra Perjanjian atau Perjanjian Pendahuluan.

Kedua adalah terkait isi. Telah diuraikan di atas bahwa Nota Kesepahaman (M.o.U) mempunyai muatan perjanjian yang ringkas, memuat hal-hal yang sifatnya umum atau pokok saja, sifatnya pendahuluan, dimana akan diikuti oleh kesepakatan lain yang isinya lebih detail, jangka waktunya pendek, dll. Sedangkan Perjanjian, sebagaimana ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, hanya diatur mengenai syarat-syarat terpenuhinya perjanjian yang sah. Apakah bisa sebuah dokumen dinamakan Nota Kesepahaman (M.o.U) sedangkan isinya ternyata berupa perjanjian sederhana yang sah secara hukum? Jawabannya adalah sepanjang memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maka dokumen yang dinamakan Nota Kesepahaman (M.o.U) dimaksud sah dan mengikat para pihak secara hukum.

Ketiga adalah terkait kekuatan hukumnya. Sebagaimana diuraikan di atas, dikarenakan Nota Kesepahaman ini adalah bukan istilah hukum, maka tidak diatur dalam KUH Perdata mengenai kekuatan hukumnya. Sedangkan sebuah perjanjian, sebagaimana diterangkan sebelumnya, berlaku sebagai Undang-undang bagi para pihak yang mengikatkan diri pada perjanjian yang telah dibuatnya. Akan tetapi, perlu dicermati bahwa sebuah dokumen yang dinamakan Nota Kesepahaman (M.o.U) pun yang isinya ternyata berupa perjanjian sederhana yang sah secara hukum adalah mengikat para pihak yang membuatnya layaknya Undang-undang.

Semoga bermanfaat.

___________________________________
1. "Arti MoU (Memorandum of Understanding): Pengertian, Tujuan, Manfaat, dan Jenisnya", www.maxmanroe.com, Diakses pada 10 September 2019, https://www.maxmanroe.com/vid/bisnis/arti-mou.html.
2.  Ibid.
3.  Ibid.
4.  Ibid.
5. "Naskah Perjanjian Damai RI dan GAM", www.acehkita.com, Tanggal 23 November 2011, Diakses tanggal 10 September 2019, http://www.acehkita.com/naskah-perjanjian-damai-ri-dan-gam/
6.  www.maxmanroe.com., Op.Cit.
7.  www.maxmanroe.com., Op.Cit.
8.  Syarat Sahnya Perjanjian", Konsultanhukum.web.id, Diakses tanggal 10 September 2019, https://konsultanhukum.web.id/syarat-sahnya-perjanjian/
9.  Ibid.
10.  Ibid.

Senin, 09 September 2019

Istilah Dan Perbuatan Pidana

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo


Telah kita lalui kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Tempus Delicti dan Locus Delicti, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Istilah dan Perbuatan Pidana.

Perbuatan pidana merupkan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Perbuatan pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkret dalam lapangan hukum pidana, sehingga perbuatan pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.[1]

Adakalanya istilah dalam pengertian hukum telah menjadi istilah dalam kehidupan masyarakat, atau sebaliknya istilah dalam kehidupan bermasyarakat yang dipergunakan sehari-hari dapat menjadi istilah dalam pengertian hukum, misalnya istilah percobaan, sengaja, dan lain sebagainya. Sebelum menjelaskan arti pentingnya istilah perbuatan pidana sebagai pengertian hukum, terlebih dahulu dibentangkan tentang pemakaian istilah perbuatan pidana yang beraneka ragam. Singkat kata, di dalam ilmu pengetahuan hukum secara universal dikenal dengan istilah “delik”. Demikian juga, para pengarang Belanda pada umumnya mempergunakan istilah yang sama “strafbaar feit”.[2]

Maksud diadakannya istilah perbuatan pidana, peristiwa pidana, tindak pidana, dan sebagainya itu adalah untuk mengalihkan bahasa dari istilah asing strafbaar feit. Namun belum jelas apakah di samping mengalihkan bahasa dari istilah strafbaar feit itu, dimaksudkan untuk mengalihkan makna dan pengertiannya juga. Oleh karena sebagian besar karangan ahli hukum belum dengan jelas dan terperinci menerangkan pengertian istilah, ataukah sekedar mengalihkan bahasanya. Hal ini yang merupakan pokok pangkal perbedaan pandangan.[3]

Di pandang dari sudut pengalihan pengertian inilah yang banyak menimbulkan persoalan, dimana masing-masing pihak seolah-olah mempunyai jarak perbedaan seperti antara bumi dan langit. Apakah terjadinya perbedaan istilah itu membawa akibat pula berbedanya pengertian hukum yang terkandung di dalamnya. Memang demikianlah pendapat pada umumnya, namun tidak mutlak bahwa istilah yang berbeda selamanya mesti berbeda pengertian, misalnya antara straf dan maatregel adalah berbeda, sedangkan antara beveiligingsmaatregel dan maatregel adalah sama, meskipun kesemuanya itu menyangkut sanksi hukum pidana.[4]

Selain itu, di tengah-tengah masyarakat juga dikenal istilah “kejahatan” yang menunjukan pengertian melanggar norma dengan mendapat reaksi masyarakat melalui putusan hakim agar dijatuhi pidana, dan masih ada lagi istilah “kejahatan” menurut arti kriminologi, yang terakhir ini pengertiannya terlampau luas karena mencakup semua perbuatan tercela atau tidak susila. Kejahatan dalam arti hukum yang dipakai sehari-hari oleh masyarakat itu tidak lebih dari arti perbuatan pidana.[5]
_________________________________
1.  “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 124.
2.  Ibid. Hal.: 124-125.
3.  Ibid. Hal.: 125.
4.  Ibid. Hal.: 125.
5.  Ibid. Hal.: 125.

Kamis, 05 September 2019

Tempus Delicti Dan Locus Delicti

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah kita lalui kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Pertumbuhan dan Batasan Sifat Melawan Hukum Materiil’, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai tempat dan waktu terjadinya delik.

Di mana tempatnya dan kapan terjadinya delik itu dilakukan, dalam kenyataan tidak begitu mudah untuk menetapkan, mengingat undang-undang tidak memberikan ketentuan, yang berarti diserahkan kepada perkembangan ilmu pengetahuan dan keputusan hakim dalam yurisprudensi. Sebagaimana lazimnya apabila tidak ada ketentuan yang tegas, hal itu akan menimbulkan berbagai pandangan di dalam doktrin. Dalam kepustakaan mengenai tempat dan waktu terjadinya delik dinamakan locus delicti dan tempus delicti.[1]

Ajaran tentang locus delicti dan tempus delicti, akan diselesaikan dengan cara yang sama, namun cara itu dapat berbeda karena berlainan tolak pangkal berpikirnya. Van Bemmelen memulai dengan sudut pandangan bahwa delik itu pada dasarnya terdiri atas kelakuan (gedraging), seperti halnya mengambil dalam kejahatan pencurian atau merampas nyawa dalam kejahatan pembunuhan, akan tetapi kelakuan itu kadang-kadang dibantu dengan sebuah alat (instrumen) agar orang yang berbuat itu dapat bekerja dengan baik, dan kadang-kadang juga kelakuan itu mempunyai akibat (gevolgen) yang terjadi di lain tempat (atau waktu) daripada tempat atau waktu kelakuan. Pada umumnya locus dan tempus delicti berpedoman dimana tempat dan waktu kelakuan secara materiele (materiele gedraging) terjadi sesuai dengan rumusan delik.[2]

Pada dasarnya locus dan tempus delicti berpedoman menurut kelakuan yang secara materiil terjadi, akan tetapi adakalanya terjadi keadaan yang menyertai untuk diperluas dengan “alat/instrumen” dan atau “akibat/gevolgen”, sehingga dapat disimpulkan hanya diakui tiga ajaran, yaitu:
  1. Yang mendasarkan di mana perbuatan terjadi yang dilakukan oleh seseorang;
  2. Yang mendasarkan di mana alat yang dipakai untuk melakukan perbuatan;
  3. Yang mendasarkan atas di mana akibat yang langsung menimbulkan kejadian dan di mana akibat itu ditentukan atau telah selesai oleh delik.

Namun dari ketiga ajaran itu, dapat digabungkan menjadi bersifat kompromi, yang dinamakan “theorie van de meervoudige plaats en tijds”.[3]

Kegunaan teori penentuan locus delicti dan tempus delicti adalah untuk memecahkan persoalan tentang berlakunya peraturan hukum pidana atau kewenangan instansi untuk menuntut dan mengadili. Locus delicti mempunyai arti penting bagi berlakunya KUHP berhubung dengan Pasal 2-8, dan kekuasaan instansi kejaksaan untuk menuntut maupun pengadilan yang mengadili. Tempus delicti mempunyai arti penting bagi lex temporis delicti maupun hukum transitor, dan mengenai keadaan jiwa atau umur dari terdakwa, serta berlakunya tenggang daluwarsa.[4]
_________________________________
1.“Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 121.
2.  Ibid. Hal.: 122.
3.  Ibid. Hal.: 122.
4.  Ibid. Hal.: 123.

TEOFL Requirements for Civil Servant Candidate Tests Challenged to the Indonesia Constitutional Court

( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Massachusetts Court Jurisprudence: Wedding...