Senin, 02 September 2019

Pertumbuhan dan Batasan Sifat Melawan Hukum Materiil

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Dalam kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Tentang Elemen Melawan Hukum’, telah dibahas sekilas perihal melawan hukum, pada kesempatan ini akan diperluas dengan kajian mengenai pertumbuhan dan batasan sifat melawan hukum materiil.

Pertumbuhan Sifat Melawan Hukum Materiil

Pengaruh yang datangnya dari luar yang berasal dari perkembangan ilmu kemasyarakatan, politik dan lain sebagainya memberikan corak aneka ragam terhadap sifat melawan hukum yang materiil. Diantaranya, sifat melawan hukum materiil diartikan bertentangan dengan norma kebudayaan, bertentangan dengan kewajiban orang, secara negatif diartikan sebagai orang berbuat tidak melawan hukum apabila orang dengan daya upaya betul-betul untuk tujuan yang berguna, diartikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan dasar pikiran faham nasional sosialis (Jerman pada masa pemerintahan Hitler), diartikan sebagai perbuatan yang membahayakan masyarakat (Uni Soviet).[1]

Dengan demikian terdapat perluasan artian daripada perbuatan melawan hukum materiil sedemikian rupa, sehingga memerlukan kewaspadaan untuk mengikuti ajaran sifat melawan hukum yang materiil itu, dan dengan sendirinya harus disesuaikan dengan dasar bangsa dan negara. Berpangkal dari batasan tersebut, diperlukan pemisahan yang membedakan antara pandangan perbuatan melawan hukum materiil terbatas murni dalam norma-norma hukum, dan pandangan melawan hukum materiil yang luas berdasarkan sendi-sendi budaya yang dihukumkan.[2]

Batasan Sifat Melawan Hukum Materiil

Kiranya tidak ada alasan untuk menolak diterimanya pandangan perbuatan melawan hukum materiil dalam pengertian terbatas sebagai “perbuatan melawan hukum yang bertentangan dengan undang-undang, asas-asas umum, dan norma-norma hukum tidak tertulis”. Hal mana pernah dianut di dalam putusan pengadilan HR 20 Februari 1933 NJ 1933 W. No.: 12600. Selain itu, diterimanya perbuatan melawan hukum secara materiil juga diperkuat dari pengaruh yang terdapat dalam praktik hukum, seperti: diterimanya penafsiran extensieve, dll.[3]

Simons dalam Bambang Poernomo adalah tergolong sarjana yang tidak dapat menerima pandangan perbuatan melawan hukum secara materiil, menurutnya apabila suatu perbuatan telah masuk ke dalam rumusan delik dan dalam undang-undang tidak ditentukan pengecualiannya, maka hakim harus menjalankan undang-undang, dan supaya apa yang ditetapkan dalam hukum positif oleh pembentuk undang-undang tidak lagi diuji oleh pribadi Hakim. Para pendukungnya adalah Jonkers, Vos, dan Hazewinkel Suringa.[4]

Vos menyatakan dengan tegas berhubung adanya Pasal 1 ayat (1) KUHP penerapannya harus dalam peranan yang negatif, yaitu secara formil memenuhi rumusan delik, akan tetapi secara materiil tidak melawan hukum sehingga perbuatan itu tidak dipidana. Sedangkan menurut Jonkers menyatakan bahwa berhubung dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP bagi suatu perbuatan yang dapat dipidana sedikit-dikitnya disyaratkan perbuatan itu formil melawan hukum dan selanjutnya apakah perbuatan itu materiil juga harus melawan hukum.[5]

Sebagai contoh, seorang dokter yang melakukan abortus karena alasan medis tidak terkena Pasal 348 KUHP, serombongan ekspedisi yang membunuh atas permintaan seorang anggotanya yang mengalami luka-luka parah tanpa pertolongan tidak dikenai Pasal 344 KUHP, dokter hewan yang menyakiti hewan ternak dengan vaccinasi tidak dikenal peraturan Veewet, seorang bapak yang memukul pemuda yang menggoda anak perempuannya tidak dikenai Pasal 352 KUHP, dan semua kejadian itu didasarkan atas asas-asas umum dalam hukum tidak tertulis, sehingga tidak dapat dijatuhkan pidana bagi orang yang melakukan perbuatan seperti contoh-contoh tersebut, karena perbuatan melawan hukum materiil.[6]

Perbuatan melawan hukum yang dinyatakan sebagai elemen delik biasanya disebut dengan perkataan “melawan hukum”, akan tetapi di dalam undang-undang kadangkala dipergunakan perkataan lain yang bersifat implisit seperti dengan tanpa izin, dll. Sebaliknya, di dalam pasal-pasal KUHP yang lain tidak ditentukan dalam rumusan, sehingga tidak dijumpai perkataan melawan hukum.[7]  
_________________________________
1.“Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 116.
2.  Ibid. Hal.: 116-117.
3.  Ibid. Hal.: 117.
4.  Ibid. Hal.: 118.
5.  Ibid. Hal.: 118.
6.  Ibid. Hal.: 118.
7.  Ibid. Hal.: 118-119.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Knowing Joint Venture Companies in FDI Indonesia

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Basic Requirements for Foreign Direct I...