Jumat, 31 Juli 2020

Mr. Kasman Singodimejo, Jaksa Agung Kedua R.I.

(Kejaksaan.go.id)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com dalam label 'Tokoh Hukum' telah membahas biografi singkat dari  "Mr. Gatot Taroenamihardja Jaksa Agung R.I. Pertama", dan Pada kesempatan ini akan membahas tokoh Mr. Kasman Singodimedjo, Jaksa Agung Kedua R.I.
 
Biografi Singkat

Kasman Singodimedjo bernama lengkap Mayjen TNI (Purn.) Prof.Dr.Mr. H.R. Kasman Singodimedjo. Pada tahun 1904 Kasman Singodimedjo lahir di di Desa Klapar, Bagelen, Purworejo, Jawa Tengah, tanggal 25 Februari 1904. Ia pernah sekolah di Batavia, namun kemudian pulang, melanjutkan sekolah di Kutoarjo dan Magelang. Di Kutoarjo, Kasman bergabung dengan .[1]

Mendapatkan pendidikan hukum pada Rechts Hoge School (RHS), Batavia (Jakarta), 1933-20 Agustus 1939 (Mr., 1939, Bagian Sosiologi Ekonomi). Beliau pernah menjabat di antaranya Ketua Moehammadijah, untuk Batavia & Buitenzorg (Jakarta & Bogor), 1939-1941. Juga Asisten Dosen Prof. van der Kolf, Rechts Hoge School (RHS), Batavia (Jakarta), 1939-1940. Anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Wakil Ketua dan kemudian Ketua Badan Keamanan Rakyat (BKR) Pusat 1945 merangkap Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Jakarta, 29 Agutus 1945-10 Oktober 1945; Pengacara, 1945-1946; Jaksa Agung RI, 6 November 1945-10 Mei 1946. Pada tahun 1982 Kasman Singodimedjo wafat di Jakarta, tepatnya pada 25 Oktober, dalam usia 78 tahun. Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas nama Pemerintah R.I. menetapkannya sebagai pahlawan nasional pada 2018.[2]

Menjabat sebagai Jaksa Agung R.I.

Pada saat menjabat sebagai menjadi Jaksa Agung, Kasman mengeluarkan Maklumat Jaksa Agung No. 3 tanggal 15 Januari 1946. Maklumat tersebut ditujukan kepada para Gubernur, Jaksa, dan Kepala Polisi tentang ajakan untuk membuktikan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, yaitu negara yang selalu menyelenggarakan pengadilan yang cepat dan tepat. Karena itu, ia menganjurkan agar segera menyelesaikan perkara-perkara kriminal yang belum diselesaikan. Polisi dan Jaksa dituntut untuk selalu menyelaraskan diri dengan pembangunan negara yang berdasarkan hukum dengan bantuan para hakim.[3]

Pada masa kepemimpinannya pula, ada instruksi Jaksa Agung yang sangat penting bagi perkembangan eselonisasi dan tata kerja kejaksaan selanjutnya. Dalam instruksi pertama (tanpa tanggal pengeluaran) yang ditujukan kepada Kepala-kepala pemerintah di Jawa dan Madura, antara lain dikemukakan bahwa susunan kejaksaan di Jawa dan Madura untuk sementara terdiri dari Kejaksaan Agung sebagai pusat yang langsung memimpin kejaksaan-kejaksaan di bawahnya. Dalam Instruksi Jaksa agung lainnya tanggal 20 Desember 1945 tentang Pengadilan Kepolisian yang ditujukan kepada Kepala Kepolisian, diberikan petunjuk bahwa sebelum diadakan ketentuan lain, maka hukum acara pidana yang dipakai adalah HIR dan ketentuan mengenai penahanan dalam pasal 9 Gunseikkeizirei (Peraturan Pidana militer) tidak lagi digunakan.[4]

Kesimpulan

Terdapat beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari kajian tentang Kasman Singodimedjo, diantaranya, pertama adalah beliau pernah menjabat sebagai Jaksa Agung R.I. yang kedua setelah Mr. Gatot Taroenamihardja. Kedua, dalam konteks perkembangan birokratisasi instansi Kejaksaan RI, beliau berjasa melakukan perkembangan eselonisasi dan tata kerja kejaksaan yang waktu itu baru lahir.
____________________
1. "Sejarah 25 Februari 1904: Pancasila & Lahirnya Kasman Singodimedjo", Tirto.id., Diakses pada 1 Agustus 2020, https://tirto.id/sejarah-25-februari-1904-pancasila-lahirnya-kasman-singodimedjo-dhHF
2. "Pahlawan Nasional Kasman Singodimedjo Si Singa Podium", Kompasiana.com, Diakses pada 1 Agustus 2020, https://www.kompasiana.com/ahmad25847/5cdbbcfe3ba7f737ed145ae2/pahlawan-nasional-kasman-singodimedjo-si-singa-podium    
3. "MR. KASMAN SINGODIMEDJO", Kejaksaan.go.id., diakses pada 31 Juli 2020, https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=12&ids=26 
4. Ibid.

Kamis, 30 Juli 2020

Mr. Gatot Taroenamihardja Jaksa Agung R.I. Pertama

(Kejaksaan.go.id)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu pada label Tokoh Hukum platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Soekanto Tjokrodiatmodjo, Kapolri Pertama", serta Pada kesempatan ini akan membahas tokoh Mr. Gatot Taroenamihardja selaku Jaksa Agung R.I. yang pertama.

Tidak banyak literatur yang membahas mengenai Jaksa Agung Republik Indonesia yang pertama di dunia maya. Namun hal ini tentu tidak menyurutkan penulis untuk menulis artikel yang satu ini, dengan segala keterbatasannya, artikel ini diharapkan mampu menambah referensi terkait hal dimaksud, atau setidaknya menyebarluarkan informasi yang telah ada.

Mr. Gatot Taroenamihardja adalah Jaksa Agung Republik Indonesia yang pertama. Mr. Gatot Taroenamihardja ditetapkan menjadi Jaksa Agung pada tanggal 19 Oktober 1945. Ketetapan yang diumumkan oleh Presiden Soekarno itu menandai eksistensi Kejaksaan dan Jaksa Agung sebagai lembaga dan jabatan penting di Indonesia. Pada tanggal 1 Oktober 1945, nama Mr. Gatot Taroenamihardja sebagai Jaksa Agung kembali diumumkan oleh Menteri Dalam Negeri dalam Maklumat Pemerintah. Masa jabatan Mr. Gatot Taroenamihardja sebagai Jaksa Agung pertama berlangsung sangat singkat. Sebab, pada tanggal 24 Oktober 1945, atas permintaan sendiri, ia diberhentikan dengan hormat oleh Presiden.[1] Meskipun masa jabatan yang diembannya sangatlah singkat, akan tetapi point pentingnya adalah beliau tercatat sebagai Jaksa Agung RI yang pertama.

Dalam masa jabatannya yang singkat itu, Mr. Gatot Taroenamihardja sempat mengeluarkan satu maklumat dan satu instruksi. Dalam maklumat tanggal 1 Oktober 1945 yang diumumkan bersama-sama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman, dikemukakan antara lain kedudukan struktural organik Kejaksaan dalam Lingkungan Departemen Kehakiman dan Jaksa Agung sebagai pemegang pimpinan Kepolisian Kehakiman. Sementara dalam instruksinya tertanggal 1 Oktober 1945, secara gamblang dan tegas Jaksa Agung memerintahkan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk bertindak lebih keras menjaga keamanan, terutama terhadap Belanda-Belanda yang mau membinasakan Republik Indonesia.[2] Penulis berpendapat bahwa dalam masa awal pembentukan negara tidaklah ideal memandang institusi Kejaksaan sebagaimana saat ini. Pada maklumat yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung yang pertama ini adalah seputar kedudukan struktural korps Penuntutan dalam Departemen Kehakiman, serta instruksinya seputar Belanda yang kembali membayangi untuk kembali ke tanah air.

Sebagai kesimpulan, dengan adanya artikel ini diharapkan sidang pembaca setidaknya mengetahui bahwa Jaksa Agung yang pertama Republik Indonesia dijabat oleh Mr. Gatot Taroenamihardja.
____________________
1.“Mr. Gatot Taroenamihardja", www.kejaksaan.go.id., diakses pada 29 Juli 2020, https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=12&ids=27.
2. Ibid.

Selasa, 28 Juli 2020

Panggilan yang Sah dalam Hal Tempat Tinggal Tergugat Diketahui


(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Isi Surat Panggilan Pertama Kepada Tergugat", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Panggilan yang Sah dalam Hal Tempat Tinggal Tergugat Diketahui.

Tentang cara panggilan menurut hukum, diatur dalam Pasal 390 ayat (1) dan ayat (3) HIR serta Pasal 1 dan Pasal 6 ke-7 Rv. Berdasarkan ketentuan-ketentuan ini, dapat diklasifikasikan tata cara panggilan berdasarkan faktor diketahui atau tidak tempat tergugat atau orang yang dipanggil.[1]

Apabila tempat tinggal atau tempat kediaman Tergugat atau orang yang dipanggil diketahui, tata cara pemanggilan yang sah adalah sebagai berikut:[2]
  • Harus disampaikan di tempat tinggal atau tempat domisili pilihan Tergugat (Pasal 390 ayat (1), Pasal 1 Rv.)
  • Disampaikan kepada yang bersangkutan sendiri, jadi harus disampaikan secara in person kepada Tergugat atau Keluarganya. Dalam praktik peradilan, ketentuan Pasal 3 Rv, telah dijadikan pedoman, praktik peradilan telah menganggap sah panggilan yang disampaikan kepada keluarga apabila tergugat secara in person tidak ditemui juru sita di tempat kediamannya. Pengertian keluarga di sini adalah meliputi istri dan anak yang sudah dewasa, ayah atau ibu. Tidak meliputi Pembantu Rumah Tangga dan Karyawan.
  • Disampaikan kepada Kepala Desa (lurah), apabila yang bersangkutan dan keluarga tidak ditemui juru sita di tempat tinggal atau kediaman. Tentang masalah kelalaian Kepala Desa (Lurah) menyampaikan panggilan segera kepada pihak yang berkepentingan, M. Yahya Harahap, S.H., menyetujui proposal yang termuat dalam Himpunan Materi Rapat Kerja Teknis 1997, Mahkamah Agung dengan para Ketua Pengadilan Tingkat Banding yang menegaskan agar dalam pembaruan hukum acara Perdata dicantumkan ancaman kepada Kepala Desa (Lurah) yang sengaja atau lalai menyampaikan relaas kepada pihak yang berkepentingan.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 221.
2. Ibid. Hal.: 222.

Senin, 27 Juli 2020

Isi Surat Panggilan Pertama kepada Tergugat


(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Bentuk Panggilan Sidang", dan Pada kesempatan ini akan membahas tentang Isi Surat Panggilan Pertama kepada Tergugat.

Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 121 ayat (1) HIR dan Pasal 1 Rv yang menjelaskan, surat panggilan pertama berisi: [1]
  • Nama yang dipanggil;
  • Hari dan jam serta tempat sidang;
  • Membawa saksi-saksi yang diperlukan;
  • Membawa segala surat-surat yang hendak digunakan, dan
  • Penegasan, dapat menjawab gugatan dengan surat.
Isi surat panggilan bersifat kumulatif, bukan alternatif. Sifat kumulatifnya adalah imperatif (memaksa) bukan fakultatif. Oleh karena itu, salah satu saja lalai mencantumkannya, mengakibatkan panggilan cacat hukum, dan dianggap tidak sah.

Terkait hal ini, coba kita lihat dalam tataran praktik dengan contoh yang Penulis ambil dari link Pengadilan Negeri Tangerang sebagai berikut:

(pn-tangerang.go.id)

Akan tetapi, untuk menghindari proses peradilan yang terlampau bercorak sempit dan kaku, jika salah satu di antaranya tidak tercantum, dapat ditolerir, asalkan kelalaian itu tidak mengenai nama orang yang dipanggil dan hari, serta tempat sidang.[2] Inilah realita dalam praktik, tidak sekaku sebagaimana diatur secara formal.

Selain itu, agar panggilan memenuhi syarat formal, Pasal 121 ayat (2) HIR dan Pasal 1 Rv mewajibkan juru sita untuk:[3]
  • Melampiri surat panggilan dengan salinan surat gugatan; dan
  • Salinan tersebut, dianggap gugatan asli.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 221.
2. Ibid. Hal.: 221.
3. Ibid. Hal.: .

Sabtu, 25 Juli 2020

Bentuk Panggilan Sidang

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Pejabat Pelaksana Pemanggilan Sidang", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Bentuk Panggilan.

Berdasarkan Pasal 390 ayat (1) HIR dan Pasal 2 ayat (3) Rv, Panggilan dilakukan dalam bentuk:[1]
  • Surat tertulis (in writing);
  • Lazim disebut surat panggilan atau relaas panggilan maupun berita acara panggilan; dan
  • Panggilan tidak dibenarkan dalam bentuk lisan (oral), karena sulit membuktikan keabsahannya. Oleh karena itu, panggilan dalam bentuk lisan tidak sah menurut hukum.
Sejauh mana cakupan, pengertian bentuk tertulis, perlu diperhatikan perluasan jangkauan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (3) Rv sebagai pedoman. Pasal ini membenarkan bentuk tertulis, meliputi:[2]
  • Telegram, dan
  • Surat tercatat.
Menurut pasal ini, panggilan yang dilakukan melalui telegram atau surat tercatat, dianggap sebagai panggilan atau pemberitahuan yang patut (properly). Bagaimana halnya bentuk panggilan elektronik melalui radio, televisi, atau komputer melalui internet? Dan bagaimana pula melalui iklan media cetak? Dari segi pendekatan hukum yang sempit dan kerangka berpikir formal, bentuk panggilan tersebut dianggap bertentangan dengan hukum. Akan tetapi zaman berubah, untuk mengakomodasi perubahan sosial, bentuk-bentuk tersebut kemudian diperbolehkan. Bahkan khusus mengenai bentuk panggilan melalui media cetak atau mass media, telah dibenarkan Pasal 27 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 9 Tahun 1975, dalam hal:[3]
  • Apabila yang dipanggil tidak diketahui tempat tinggalnya, panggilan dilakukan melalui pengumuman di salah satu atau beberapa surat kabar atau mass media;
  • Sekurang-kurangnya dilakukan dua kali;
  • Tenggang waktu antara pengumuman yang pertama dan kedua adalah satu bulan.
Penulis dapat menambahkan, bahwa seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi (internet), saat ini dalam praktik beracara, khususnya pada ranah acara perdata, telah memanfaatkan teknologi dimaksud, konkritnya relaas panggilan sidang dikirimkan ke alamat e-mail Para Pihak atau Kuasa hukumnya.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 220.
2. Ibid. Hal.: 220.
3. Ibid. Hal.: 220.

Jumat, 24 Juli 2020

Pejabat Pelaksana Pemanggilan Sidang

(getty images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Tahap Pemanggilan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Pejabat Pelaksana Pemanggilan Sidang.

Untuk mengetahui pejabat yang resmi berwenang melaksanakan atau melakukan pemanggilan, merujuk kepada Ketentuan Pasal 388 Jo. Pasal 390 ayat (1) HIR, dan Pasal 1 Rv:[1]
  • Dilakukan oleh Juru Sita, sesuai dengan kewenangan relatif yang dimilikinya;
  • Jika orang yang hendak dipanggil berada di luar yurisdiksi relatif yang dimilikinya, pemanggilan dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 5 Rv, yaitu mendelegasikan pemanggilan kepada Juru Sita yang berwenang di wilayah hukum tersebut.
Dari penjelasan di atas, kewenangan atau yurisdiksi relatif juru sita, mengikuti yurisdiksi relatif Pengadilan Negeri (PN) tempatnya berfungsi. Pemanggilan yang dilakukan juru sita di luar yurisdiksi relatif yang dimilikinya, merupakan pelanggaran dan merupakan pelampauan batas wewenang (exceeding its power), dan berakibat:[2]
  • Pemanggilan dianggap tidak sah (illegal), dan
  • atas alasan, karena pemanggilan dilakukan oleh Pejabat Juru Sita yang tidak berwenang (unauthorized bailif).
Sesuai dengan ketentuan Pasal 39 UU Nomor: 6 Tahun 1986, secara formil jabatan fungsional juru sita telah merupakan salah satu subsistem dalam organisasi Pengadilan Negeri. Fungsi utamanya, membantu panitera melaksanakan pemanggilan, pemberitahuan, penyitaan, dan eksekusi.[3]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 219.
2. Ibid. Hal.: 219.
3. Ibid. Hal.: 220.

Rabu, 22 Juli 2020

Tahap Pemanggilan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Penetapan Hari Sidang", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Tahap Pemanggilan.

Setelah dilampaui tahap pengajuan gugatan, pembayaran biaya perkara, registrasi perkara, dan penetapan majelis hakim tentang hari sidang, tahap selanjutnya adalah berupa tindakan pemanggilan pihak Penggugat dan Tergugat untuk hadir di depan persidangan pengadilan (hearing) pada hari dan jam yang ditentukan.[1]

Terkait dengan tahapan pemanggilan, terdapat berbagai permasalahan dan tindakan hukum yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan dan penerapan pemanggilan, seperti yang dimaksud di bawah ini.[2]

Majelis Hakim Memerintahkan Pemanggilan

Setelah menerima pelimpahan berkas dari Ketua Pengadilan Negeri, majelis pemeriksa perkara segera menetapkan hari sidang. Dalam penetapan diikuti pencantuman perintah kepada Panitera atau Juru Sita untuk memanggil kedua belah pihak (Penggugat dan Tergugat), supaya hadir di depan sidang Pengadilan pada waktu yang ditentukan untuk itu. Berdasarkan Pasal 121 ayat (1) HIR, pemanggilan itu meliputi perintah agar para pihak juga menghadirkan saksi-saksi mereka.[3]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 219.
2. Ibid. Hal.: 219.
3. Ibid. Hal.: 219.

Penetapan Hari Sidang

(Getty Images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Penetapan Majelis oleh Ketua Pengadilan Negeri", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Penetapan Hari Sidang.

Yang menetapkan hari sidang adalah majelis yang menerima pembagian distribusi perkara.[1] Hal ini berarti yang menetapkan hari sidang bukan lagi Ketua Pengadilan Negeri, akan tetapi Majelis Hakim yang mengadili perkara. Dengan kata lain, Ketua Pengadilan Negeri setempat hanya bertugas mendelegasikan perkara kepada hakim-hakim yang berada di dalam lingkungan peradilannya. Pertanyaannya kemudian: Apakah Ketua Pengadilan Negeri bisa menunjuk dirinya dalam menangani suatu perkara? Jawabannya adalah bisa-bisa saja. 

Penetapan hari sidang, dituangkan dalam bentuk surat penetapan:[2]
  • Menurut Pasal 121 ayat (1) HIR, penetapan hari sidang harus dilakukan segera setelah majelis menerima berkas Perkara;
  • Menurut penggarisan Mahkamah Agung, paling lambat 7 (tujuh) hari dari tanggal penerimaan berkas perkara, majelis harus menerbitkan penetapan hari sidang;
  • Berdasarkan Pasal 121 ayat (3) HIR, penetapan hari sidang dimasukkan atau dilampirkan dalam berkas perkara, dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari berkas perkara yang bersangkutan.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 218.
2. Ibid. Hal.: 218-219.

Selasa, 21 Juli 2020

Penetapan Majelis oleh Ketua Pengadilan Negeri

(Getty Images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada artikel terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Registrasi Perkara", dan Pada kesempatan ini akan membahas tentang Penetapan Majelis oleh Ketua Pengadilan Negeri.

Setelah Ketua Pengadilan Negeri menerima berkas dari panitera, yang bersangkutan segera menetapkan majelis yang akan memeriksa dan memutusnya. Apabila ketua berhalangan, penetapan mejelis dilakukan oleh Wakil Ketua Pengadilan Negeri terkait. Dalam hal ini dilakukan secara:[1]
  • Jangka waktu penetapan, dilakukan secepat mungkin;
  • Jangka waktu yang digariskan oleh Mahkamah Agung paling lambat 7 (tujuh) hari dari tanggal penerimaan.
Langkah selanjutnya adalah Penyerahan kepada Majelis. Berkas kemudian harus dilakukan penyerahan segera, Mahkamah Agung menggariskan paling lambat 7 (tujuh) hari dari tanggal surat penetapan majelis.[2]

Langkah selanjutnya adalah terkait dengan jumlah majelis hakim. Majelis hakim paling sedikit 3 (tiga) orang. Pasal 15 UU Nomor: 14 Tahun 1970 (sebagaimana diubah dengan UU Nomor: 35 Tahun 1999) dan sekarang digariskan dalam Pasal 17 ayat (1) UU Nomor: 4 Tahun 2004 yang menentukan:[3]
  • Semua Pengadilan memeriksa dan memutus perkara, sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim kecuali apabila undang-undang menentukan lain;
  • Seorang bertindak sebagai Ketua majelis hakim (presiding judge), dan yang lain sebagai anggota.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 217-218.
2. Ibid. Hal.: 218.
3. Ibid. Hal.: 218.

Senin, 20 Juli 2020

Registrasi Perkara

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Pembayaran Biaya Panjar Perkara", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Registrasi Perkara.

Registrasi telah dijelaskan dahulu, Pasal 121 ayat (4) HIR menegaskan pendaftaran gugatan dalam buku register perkara, baru dapat dilakukan setelah Penggugat membayar biaya perkara. Apabila biaya perkara yang ditetapkan Pengadilan dibayar, Penggugat berhak atas pendaftaran gugatan serta panitera wajib mendaftarkan dalam buku register perkara.[1]

Hal-hal atau tindakan yang berhubungan dengan pendaftaran gugatan dalam buku register perkara terdiri atas:[2]
  • Pemberian Nomor Perkara, panitera memberi nomor perkara atas gugatan, berdasarkan nomor urut yang tercantum dalam buku register perkara;
  • Panitera Menyerahkan Perkara kepada Ketua Pengadilan Negeri, setelah panitera memberi nomor, perkara diserahkan atau dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Dalam hal ini penyerahan perkara harus dilakukan secepat mungkin, dan dalam buku "Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan" yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung RI menggariskan pelimpahan perkara dari panitera kepada Ketua PN dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari dari tanggal registrasi.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 217.
2. Ibid. Hal.: 217.

Jumat, 17 Juli 2020

Pembayaran Biaya Panjar Perkara

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Penyampaian Gugatan kepada Pengadilan Negeri", dan sebagai kelanjutannya pada kesempatan ini akan membahas tentang Pembayaran Biaya Perkara.

Pasal 121 ayat (4) HIR menyatakan dengan tegas pembayaran biaya perkara. Disebut juga panjar perkara, pembayaran biaya perkara merupakan syarat imperatif (imperative requirement) atau syarat memaksa atas pendaftaran perkara dalam buku registrasi. Konsekuensi atas ketentuan Pasal ini, selama Penggugat belum membayar lunas biaya perkara yang ditetapkan Panitera PN, belum timbul kewajiban hukum (legal obligation) bagi PN untuk memasukkan gugatan dalam buku register perkara. Akibat lebih lanjut dari keadaan ini, gugatan dimaksud tidak dapat diproses pelimpahan dan pendistribusiannya, sehingga tidak mungkin diperiksa dan diputus melalui proses persidangan.[1]

Lebih lanjut terkait dengan pembayaran biaya perkara ini dapat dijabarkan sebagai berikut:[2]
  1. Yang dimaksud biaya perkara, biaya perkara yang harus dibayar Penggugat adalah panjar biaya perkara, yang disebut juga biaya sementara, agar gugatan dapat diproses dalam pemeriksaan persidangan. Biaya sementara berpatokan pada Pasal 182 ayat (1) HIR dapat bertambah sesuai dengan kebutuhan proses pemeriksaan.
  2. Patokan Menentukan Panjar Biaya, patokan menentukan besarnya panjar biaya perkara menurut Pasal 121 ayat (4) HIR, didasarkan pada taksiran menurut keadaan, meliputi komponen: a). Biaya kantor kepaniteraan dan biaya meterai; b). Biaya melakukan panggilan saksi, ahli, juru bahasa, dan biaya sumpah; c). Biaya pemeriksaan setempat; d). Biaya juru sita melakukan pemanggilan dan pemberitahuan; dan e). Biaya eksekusi.
  3. Dimungkinkan Berperkara Tanpa Biaya (Prodeo), pada Bab ketujuh, bagian ketujuh HIR, mengatur tentang izin berperkara tanpa biaya, disebut juga berperkara secara prodeo atau kosteloos (free of charge). 1. Syarat berperkara tanpa biaya, diatur dalam Pasal 237 HIR yang menegaskan, bagi orang-orang yang tidak mampu membayar biaya perkara, dapat diberi izin untuk berperkara tanpa biaya; 2. Pengajuan oleh Penggugat, Pasal 238 ayat (1) HIR, diajukan pada saat penyampaian surat gugatan dan dapat juga diajukan secara lisan; 3. Syarat permintaan, Pasal 238 ayat (3), disertai surat keterangan tidak mampu dari Kepala Kepolisian Setempat. Ketentuan ini sekarang tidak tepat, dalam praktik dilakukan oleh Pemerintah Setempat, seperti Lurah atau Kepala Desa; 4. Proses pemberian izin, Pasal 239 aat (1) HIR, permintaan dilakukan pada sidang pertama, sebelum majelis memeriksa perkara, dapat diputus terlebih dahulu, dan pihak lawan bisa mengajukan perlawanan; 5. Putusan izin prodeo tidak bisa dibanding. Dasar Pasal 291 HIR. Merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir. 
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 214.
2. Ibid. Hal.: 215-216.

Kamis, 16 Juli 2020

Penyampaian Gugatan kepada Pengadilan Negeri

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Perihal Pemanggilan", pada kesempatan ini kita akan mundur sedikit ke perihal tahapan maupun tindakan yang mendahului pemanggilan. Pada bagian pertama, akan di bahas tentang Penyampaian Gugatan kepada Pengadilan Negeri.

Sesuai dengan tata tertib beracara yang digariskan Pasal 118 ayat (1) dan Pasal 121 ayat (4) HIR, panggilan merupakan tindakan lanjutan dari tahap berikut ini.[1]

Tahapan yang dimaksud yang pertama adalah tahapan penyampaian gugatan kepada Pengadilan Negeri. Penyampaian atau pengajuan gugatan kepada Pengadilan Negeri oleh Penggugat. Menurut Pasal 118 ayat (1) HIR, gugatan perdata harus dimasukkan kepada Pengadilan Negeri berdasarkan kompetensi relatif:[2]
  • Dalam bentuk surat gugatan (in writing),
  • Ditandatangani oleh Penggugat atau kuasanya, dan
  • Dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Sepengalaman penulis berpraktik sebagai advokat tentu tidak sesederhana ketentuan Pasal 118 ayat (1) HIR di atas, tentu secara teknis Penggugat atau Kuasa Hukumnya harus lebih mawas diri. Pertama, terkait dengan  surat gugatan, setelah ditandatangani dan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang dituju, kemudian surat gugatan di photo copy sebanyak (eksemplar) para pihak yang ada di dalam surat gugatan ditambah tiga eksemplar majelis hakim dan satu panitera pengganti, hal ini nantinya akan dimintakan ketika melakukan pendaftaran di Pengadilan Negeri terkait. 

Kedua, masih terkait hal itu, juga harus didaftarkan surat kuasa dalam hal memakai kuasa hukum, lazimnya surat kuasa di photo copy rangkap 3 (tiga) dan disertai dengan Kartu Tanda Anggota (KTA) organisasi advokat terkait dan photo copy Berita Acara Sumpah (BAS) advokat yang diterbitkan oleh Pengadilan Tinggi tempat dimana advokat tersebut dilantik.

Setelah dilakukan langkah pertama dan kedua sebagaimana disebutkan di atas, kemudian petugas pada loket pendaftaran akan mengeluarkan slip estimasi panjar perkara. Kemudian Pengugat harus membayarkannya di kasir, dan slip setoran dikasir kemudian dibawa kembali ke loket pendaftaran dan setelah itu lazimnya diterbitkan nomor perkara.

Ketiga, perlu dipertimbangkan juga perihal pendaftaran perkara secara online. Hal ini mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung R.I. Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik dimana pendaftaran perkara, dan bahkan proses acara, dilakukan secara daring. Sepengetahuan penulis, hal ini telah diterapkan di beberapa Pengadilan Negeri, khususnya pilot project, seperti Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dimana pendaftar harus membuat account terlebih dahulu sebelum melakukan pendaftaran. Selanjutnya pendaftaran bisa secara elektronik dengan mengikuti dan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan. Terkait hal ini, penulis akan membahasnya pada bagian tersendiri. 
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 214.
2. Ibid. Hal.: 214.

Perihal Pemanggilan

(Getty Images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada bahasan sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai Kekuasaan Mengadili dengan artikel terakhir berjudul "Negara/Pemerintah Dapat Digugat pada Setiap Pengadilan Negeri (PN)", dan Pada kesempatan selanjutnya akan membahas Tata Cara Panggilan Dan Proses Yang Mendahuluinya. Pertama-tama akan dibahas pada artikel ini tentang Pengertian Panggilan.

Hukum acara perdata mengartikan Panggilan sebagai: menyampaikan secara resmi (official) dan patut (properly) kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara di Pengadilan, agar memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan majelis hakim atau Pengadilan.[1]

Menurut Pasal 388 dan Pasal 390 ayat (1) HIR, yang berfungsi melakukan panggilan adalah juru sita. Hanya panggilan yang dilakukan juru sita yang dianggap sah dan resmi. Kewenangan juru sita ini, berdasarkan Pasal 121 ayat (1) HIR diperolehnya lewat perintah ketua (Majelis Hakim) yang dituangkan dalam penetapan hari sidang atau penetapan pemberitahuan. [2]

Pemanggilan atau panggilan (convocation, convocatie) dalam arti sempit dan sehari-hari sering diidentikan, hanya terbatas pada perintah menghadiri sidang pada hari yang ditentukan. Akan tetapi, dalam hukum acara perdata, sebagaimana dijelaskan Pasal 388 HIR, pengertian panggilan meliputi makna dan cakupan yang lebih luas, yaitu:[3]
  • Panggilan sidang pertama kepada Penggugat dan Tergugat;
  • Panggilan menghadiri sidang lanjutan kepada Pihak-pihak atau salah satu pihak apabila pada sidang yang lalu tidak hadir baik tanpa alasan yang sah atau berdasarkan alasan yang sah;
  • Panggilan terhadap saksi yang diperlukan atas permintaan salah satu pihak berdasarkan Pasal 139 HIR (dalam hal mereka tidak dapat menghadirkan saksi yang penting ke Persidangan);
  • Selain daripada itu, panggilan dalam arti luas meliputi juga tindakan hukum berupa pemberitahuan atau aanzegging (notification), antara lain: a). Pemberitahuan putusan PT dan MA; b). Pemberitahuan permintaan banding kepada Terbanding; c). Pemberitahuan memori banding dan kontra memori banding, dan d). Pemberitahuan permintaan kasasi dan memori kasasi kepada Termohon Kasasi.  
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 213.
2. Ibid. Hal.: 213
3. Ibid. Hal.: 213-214.

Rabu, 15 Juli 2020

Negara/Pemerintah Dapat Digugat pada Setiap Pengadilan Negeri (PN)

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Asas Forum Rei Sitae", dan Pada kesempatan ini akan membahas tentang Negara atau Pemerintah Dapat Digugat pada Setiap PN.

HIR maupun RBg tidak mengatur forum kompetensi relatif suatu perkara apabila Pemerintah Indonesia bertindak sebagai Penggugat atau Tergugat mewakili negara. Pada masa yang lalu, Pasal 99 ayat (18) Rv mengatur secara khusus kompetensi relatif penyelesaian sengketa yang melibatkan negara sebagai pihak Penggugat atau Tergugat. Ketentuan itu berbunyi: "Dalam hal Pemerintah Indonesia mewakili Negara bertindak sebagai Penggugat atau Tergugat maka Jakarta dianggap sebagai tempat tinggalnya".[1]

Apabila berpedoman pada ketentuan tersebut, dikaitkan dengan patokan kompetensi relatif berdasarkan tempat tinggal tergugat yang digariskan Pasal 118 ayat (1) HIR, jika ditarik sebagai Tergugat Pemerintah Indonesia dalam kapasitasnya mewakili negara maka PN yang berwenang mengadilinya adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.[2]

Apakah ketentuan Pasal 99 ayat (18) Rv dapat diterapkan? Dapat, berdasarkan process doelmatigheid! Akan tetapi, jika ketentuan ini diterapkan secara mutlak dan imperatif pada masa sekarang, sangat bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan yang digariskan Pasal 4 ayat (2) UU Nomor: 4 tahun 2004. Terkait hal ini, Prof. Subekti memberikan pendapat bahwa: "untuk memberi keleluasaan kepada pencari keadilan mungkin lebih tepat apabila Negara dapat digugat di setiap Pengadilan Negeri di mana perwakilan Departemen yang bersangkutan berada".[3]

Pendapat itu sangat berdasar, mengingat praktik peradilan sendiri telah mengakui kedudukan cabang atau perwakilan perseroan atau Pemerintahan di daerah sebagai persona standi in judicio dalam kapasitasnya sebagai perwakilan atau kuasa hukum (legal mandatory, legal representative) dari Kantor Pusat atau Pemerintah Pusat. Dengan demikian gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri tempat kedudukan Gubernur, Bupati, Walikota atau Kanwil, Kepala Dinas dan seterusnya. Dalam kapasitas mereka sebagai legal mandatory dari Pemerintah Indonesia atau Departemen (saat ini sudah berubah menjadi Kementrian) yang bersangkutan. Untuk itu tidak memerlukan surat kuasa khusus dari Pemerintah Pusat. Berdasarkan penjelasan di atas, tidak dilarang menerapkan ketentuan Pasal 99 ayat (18) Rv sebagai pedoman, asal tidak bersifat imperatif.[4] 
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 202.
2. Ibid. Hal.: 202.
3. Ibid. Hal.: 202.
4. Ibid. Hal.: 202-203.

Minggu, 12 Juli 2020

Penjabaran Wanprestasi

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Pengertian Wanprestasi", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Penjabaran Wanprestasi. Adapun wanprestasi jika dilakukan penjabaran adalah sebagai berikut.

Timbulnya ganti rugi (Schade vergoeding), timbulnya ganti kerugian tidak dengan sendirinya timbul pada saat kelalaian. Ganti rugi baru efektif menjadi kemestian debitur setelah debitur dinyatakan lalai. Dengan kata lain mensyaratkan adanya terlebih dahulu pernyataan lalai dari kreditur. Dalam istilah lain disebut dengan "debitur harus berada dalam 'in gebrekke stelling' atau 'in mora stelling'".[1]

Bentuk pernyataan lalai, adapun mengenai bentuk pernyataan lalai atau 'in gebrekke stelling' ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata, yaitu: a). Berbentuk surat perintah (bevel) atau akta lain yang sejenis; b). Berdasarkan kekuatan perjanjian itu sendiri; c). Jika tegoran kelalaian sudah dilakukan barulah menyusul 'peringatan' atau 'aannmaning' dan bisa juga disebut 'sommasi' (peringatan).[2]

Tidak tepat waktu (Niet Tijdig), berarti debitur tidak menepati pelaksanaan pemenuhan prestasi sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dengan lewatnya tenggang waktu pelaksanaan, debitur sudah dianggap lalai atau berada dalam keadaan lalai yang disebut juga "in mora" atau dengan istilah yang paling umum disebut "verzuim", artinya debitur tidak tepat waktu melaksanakan perjanjian.[3]

Tidak sepatutnya memenuhi (Niet behoorlijk nakoming), ada yang berpendapat bahwa dalam keadaan "tidak sepatutnya melaksanakan pemenuhan perjanjian", menyebabkan  kreditur "tidak perlu" lagi melakukan "tegoran kelalaian". Dengan demikian debitur tanpa tegoran kelalaian sudah berada dalam keadaan lalai (genrekke stelling).[4]

____________________
1.“Segi-segi Hukum Perjanjian”, M. Yahya Harahap, S.H., Alumni, Bandung, 1986, Hal.: 61-62.
2. Ibid. Hal.: 62.
3. Ibid. Hal.: 63.
4. Ibid. Hal.: 64.

Sabtu, 11 Juli 2020

Kompetensi Relatif Berdasarkan Pemilihan Domisili

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Asas Forum Rei Sitae", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Kompetensi Relatif Berdasarkan Pemilihan Domisili.

Menurut Pasal 118 ayat (4) HIR, para pihak dalam perjanjian dapat menyepakati domisili pilihan yang berisi klausul, sepakat memilih Pengadilan Negeri tertentu yang akan berwenang menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian. Pencantuman klausul, harus berbentuk akta tertulis:[1]
  • Dapat langsung dicantumkan sebagai klausul dalam perjanjian pokok, atau
  • Dituangkan dalam akta tersendiri yang terpisah dari perjanjian pokok.
Mengenai penerapan domisili pilihan harus benar-benar didasarkan pada rumusan Pasal 118 ayat (4) HIR itu sendiri, seperti yang dijelaskan di bawah ini:[2]
  1. Domisili Pilihan Tidak Mutlak Menyingkirkan Asas Actor Sequitor Forum Rei, Persetujuan para pihak mengenai pilihan domisili, pada prinsipnya tunduk kepada kebebasan asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang digariskan Pasal 1338 KUH Perdata. Oleh karena itu, kesepakatan tersebut mengikat (binding) kepada para pihak untuk menaati dan melaksanakan.
  2. Kebebasan Memilih pada Pihak Penggugat, Pemilihan domisili kompetensi relatif yang digariskan Pasal 118 ayat (4) HIR, Pasal 142 ayat (4) RBg atau Pasal 99 ayat (16) Rv, berkaitan dengan Pasal 24 KUH Perdata. Kebebasan memilih kompetensi relatif dalam hal ada kesepakatan pilihan domisili, menurut undang-undang sepenuhnya berada pada pihak Penggugat, bukan pada pihak Tergugat.
  3. Terhadap Pilihan Penggugat Tidak Dapat Diajukan Eksepsi, Kepada pihak yang bertindak dan mengambil inisiatif sebagai Penggugat, undang-undang memberi kebebasan memilih di antara kompetensi relatif berdasarkan domisili atau tempat tinggal Tergugat. Bertitik tolak dari kebebasan tersebut, tidak ada dasar hukum bagi Tergugat untuk mengajukan eksepsi terhadap kompetensi relatif yang dipilih Penggugat. Pengadilan harus menolak eksepsi yang demikian, atas dasar pengajuan gugatan tidak melanggar batas dan sistem kompetensi relatif yang digariskan Pasal 118 ayat (4) HIR.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 200.
2. Ibid. Hal.: 200-202.

Jumat, 10 Juli 2020

Asas Forum Rei Sitae

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Kebolehan Menerapkan Kompetensi Relatif Berdasarkan Tempat Tinggal Penggugat", dan Pada kesempatan ini akan membahas tentang asas forum rei sitae.

Makna forum rei sitae, gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri berdasarkan patokan tempat terletak benda tidak bergerak yang menjadi objek sengketa. Penggarisan forum ini, diatur dalam Pasal 118 ayat (3) HIR kalimat terakhir, yang berbunyi: "atau kalau tuntutan itu tentang barang tetap (tidak bergerak), maka tuntutan itu diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya terletak barang itu".[1]

Ketentuan pasal ini sama dengan Pasal 142 ayat (5) RBg yang menjelaskan: "Dalam gugatannya mengenai barang tetap maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di wilayah beberapa Pengadilan Negeri, gugatan diajukan kepada salah satu Ketua Pengadilan Negeri tersebut atas pilihan Penggugat".[2]

Apa yang digariskan dalam Pasal 142 ayat (5) RBg, diatur dalam Pasal 99 ayat (8) dan (9) Rv: a). Apabila gugatan mengenai sengketa hak atas benda tetap, gugatan diajukan berdasarkan forum rei sitae yakni kepada Pengadilan Negeri meliputi daerah hukum tempat terletak barang tersebut; b). Apabila benda tetap yang digugat terletak di beberapa wilayah hukum Pengadilan Negeri yang berbeda, gugatan dapat diajukan kepada salah satu Pengadilan Negeri atas pilihan Penggugat.[3]

Penerapan yang dikemukakan tersebut dijelaskan dalam putusan Mahkamah Agung Nomor: 1382 K/Sip/1971 tertanggal 4 November 1975 yang memuat pertimbangan: "karena sawah dan kebun yang manjadi objek gugatan terletak di luar wilayah hukum Pengadilan Negeri Takalar, maka Pengadilan Negeri tersebut tidak berwenang mengadilinya, oleh karena itu gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima".[4]

Hal ini dikuatkan oleh Pendapat ahli Subekti dan Soepomo, dapat disimpulkan dari kalimat: "atau jika gugatannya mengenai barang tak bergerak (misalnya tanah), maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam daerah hukumnya barang itu terletak".[5] 

____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 198.
2. Ibid. Hal.: 198.
3. Ibid. Hal.: 198.
4. Ibid. Hal.: 198-199.
5. Ibid. Hal.: 199.

Kamis, 09 Juli 2020

Contoh Perjanjian Sewa Menyewa Tanah

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Kesempatan terdahulu platform Hukumindo.com telah memuat beberapa artikel terkait dengan contoh perjanjian, diantaranya adalah Contoh Perjanjian Jual-Beli TanahContoh Perjanjian Jual-Beli Mobil dan Contoh Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah. Dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Contoh Perjanjian Sewa Menyewa Tanah.

PERJANJIAN SEWA MENYEWA TANAH

Nomor: [...................]

Perjanjian ini dibuat pada hari [..................] tanggal [.............] antara:

[......................] (Sebagai pihak yang menyewakan, untuk selanjutnya disebut sebagai “PIHAK PERTAMA”),

Dan,

[.....................] (Sebagai pihak penyewa, untuk selanjutnya disebut “PIHAK KEDUA”).

MENGINGAT:

Bahwa [..................]
Bahwa [..................]
Bahwa PIHAK KEDUA berkeinginan untuk menyewa tanah seluas [.........] yang terletak di [.............] dengan batas-batas:
- Utara : [.................]
- Selatan : [.................]
- Barat : [.................]
- Timur : [.................]
Bahwa [..................]

MAKA, berkenaan dengan keterangan-keterangan tersebut di atas, kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan Perjanjian Sewa Menyewa Tanah (selanjutnya disebut “Perjanjian”) atas dasar syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

Pasal 1
KESEPAKATAN

PIHAK PERTAMA dengan ini sepakat untuk menyewakan kepada PIHAK KEDUA dan PIHAK KEDUA dengan ini pula sepakat untuk menyewa dari PIHAK PERTAMA sebidang tanah yang berukuran [.....] X [.....], atau seluas [.....] meter persegi yang terletak di wilayah [..............], Kel./Ds.: [..............], Kecamatan [..............], Kab./Kota [..............], dengan batas-batas:
- Utara : [.................]
- Selatan : [.................]
- Barat : [.................]
- Timur : [.................]
(Selanjutnya disebut “Tanah”)  

Pasal 2
TUJUAN

Bahwa PIHAK KEDUA akan mempergunakan Tanah tersebut untuk keperluan [.....................].

Pasal 3
SERAH TERIMA TANAH

Pada saat perjanjian ini ditandatangani, PIHAK PERTAMA menyerahkan Tanah kepada PIHAK KEDUA dan PIHAK KEDUA menerima penyerahan ini sesuai menurut kondisi yang nyata pada hari penyerahan tersebut yang dituangkan dalam suatu Berita Acara Serah Terima (selanjutnya disebut “Berita Acara Serah Terima”).

Pasal 4
JANGKA WAKTU
  1. Sewa menyewa ini dibuat untuk jangka waktu [.......] ([....]) tahun, dan dapat diperpanjang atas persetujuan kedua belah pihak.
  2. Jangka waktu itu dihitung mulai dari tanggal [..............] yang akan berakhir dengan sendirinya menurut hukum pada tanggal [....................].
  3. Apabila PIHAK KEDUA bermaksud untuk memperpanjang Jangka Waktu Sewa ini, maka PIHAK KEDUA wajib untuk memberitahukan secara tertulis kepada PIHAK PERTAMA selambat-lambatnya [....] bulan sebelum berakhirnya Perjanjian ini.

Pasal 5
PENGGUNAAN TANAH
  1. PIHAK KEDUA tidak akan mempergunakan Tanah itu untuk tujuan yang lain dari pada yang disepakati dalam Perjanjian ini, kecuali mendapat ijin tertulis terlebih dahulu dari PIHAK PERTAMA.
  2. PIHAK KEDUA wajib melaksanakan [...........] (penggunaan tanah).
  3. PIHAK KEDUA wajib menyelesaikan kegiatan pembangunannya sebagaimana yang ada pada ayat (2) di atas dalam jangka waktu paling lambat [......] ([....]) bulan sejak tanggal dimulainya kegiatan pembangunan tersebut.
  4. PIHAK PERTAMA wajib mentaati dan memenuhi segala perangkat peraturan perundangan yang berlaku sekarang maupun yang akan datang yang ditetapkan oleh Pihak Yang Berwajib mengenai pemakaian bangunan pabrik dan/atau pekarangannya dan segala pelanggaran atas peraturan itu semuanya menjadi tanggungan PIHAK KEDUA.

Pasal 6
HARGA SEWA
  1. Sewa menyewa tanah (selanjutnya disebut “Harga Sewa”) dalam perjanjian ini sebesar [.....] per meter persegi per bulan atau keseluruhannya sebesar [......] per bulan.
  2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas jasa penyewaan Tanah, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terhadap Tanah dan pajak-pajak lain yang ditetapkan oleh Pemerintah yang timbul berdasarkan Perjanjian ini serta sepanjang tidak ada peraturan lain mengenai pajak yang akan diterapkan oleh Pemerintah menjadi tanggung jawab dan harus dibayar oleh [..........].

Pasal 7
PEMBAYARAN HARGA SEWA
  1. Pembayaran Harga Sewa oleh PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA dapat dilakukan dalam mata uang Rupiah. Untuk bukti penerimaan Harga Sewa dan Biaya Perawatan PIHAK PERTAMA akan memberikan tanda bukti penerimaan tersendiri kepada PIHAK KEDUA.
  2. [.................] (Tata cara Pembayaran Sewa):
a. Harga Sewa dibayarkan di muka untuk setiap periode satu bulan (setiap tanggal ...).


Pasal 8
PEMELIHARAAN/PERAWATAN OLEH PIHAK PERTAMA
  1. PIHAK PERTAMA berjanji untuk setiap saat memelihara dan merawat dengan baik seluruh lingkungan dalam wilayah usaha PIHAK PERTAMA termasuk memelihara kebersihan dan kelestarian lingkungan serta sarana-sarana yang digunakan secara bersama-sama.
  2. Selanjutnya PIHAK PERTAMA mengambil tindakan-tindakan pencegahan untuk menjaga keamanan dalam lingkungan wilayah usaha PIHAK PERTAMA, akan tetapi PIHAK PERTAMA tidak bertanggung jawab atas tindakan-tindakan Pihak Ketiga yang dapat mengakibatkan kerusakan dan/atau kerugian pada PIHAK KEDUA.

Pasal 9
PEMELIHARAAN/PERAWATAN OLEH PIHAK KEDUA
  1. PIHAK KEDUA wajib menggunakan dan memelihara Tanah dengan sebaik-baiknya sebagai seorang penyewa yang jujur dan baik serta membayar segala ongkos dan biaya yang ditimbulkan berkenaan dengan pemeliharaan/perawatan dan penggunaan Tanah. Ketentuan di atas berlaku pula bagi bangunan milik PIHAK KEDUA sendiri yang didirikan di atas Tanah yang disewakan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Perjanjian ini, termasuk pula pengecatan secara berkala, sekurang-kurangnya sekali dalam [.......] ([......]) tahun, penyediaan alat-alat pemadam kebakaran secukupnya serta usaha-usaha lainnya untuk menjaga dan mempertahankan kelestarian lingkungan.
  2. PIHAK KEDUA tidak diperbolehkan membuat bangunan, sumur bor atau galian-galian lain di atas Tanah yang disewakan tanpa izin tertulis terlebih dahulu dari PIHAK PERTAMA.
  3. PIHAK KEDUA wajib mentaati dan mematuhi segala perangkat peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang maupun akan datang yang ditetapkan oleh peraturan mengenai pemakaian bangunan pabrik dan/atau pekarangannya dan segala pelanggaran atas peraturan itu semuanya menjadi tanggungan PIHAK KEDUA.

Pasal 10
ASURANSI

Selama berlangsungnya Jangka Waktu Sewa Menyewa, PIHAK KEDUA wajib mengasuransikan bangunan yang didirikan di atas Tanah yang disewanya berikut turutannya serta harta benda yang berada dalam bangunan tersebut terhadap resiko kerugian atau kerusakan karena bahaya kebakaran dan bahaya-bahaya lainnya yang dianggap perlu atas beban dan biaya PIHAK KEDUA.

Pasal 11
JAMINAN PIHAK PERTAMA
  1. PIHAK PERTAMA menjamin PIHAK KEDUA bahwa apa yang disewakan dalam Perjanjian ini adalah merupakan haknya PIHAK PERTAMA, bebas dari sengketa atau sitaan dan tidak dalam keadaan disewakan/dijual kepada pihak lain.
  2. PIHAK PERTAMA selanjutnya menjamin PIHAK KEDUA bahwa PIHAK KEDUA dapat menjalankan hak-haknya sebagai penyewa dari Tanah tersebut dengan tidak mendapat gangguan dari pihak lain dan segala kerugian yang diderita oleh PIHAK KEDUA sebagai akibat dari gangguan-gangguan itu, jika ada, menjadi tanggungan PIHAK PERTAMA, kecuali hal-hal yang terjadi karena Keadaan Kahar (force majeure).
  3. Yang dimaksud dengan Keadaan Kahar adalah keadaan seperti, namun tidak terbatas pada perang, kebakaran, banjir, huru-hara, pemogokan yang timbul dan terjadinya bukan disebabkan oleh kedua belah pihak dalam Perjanjian ini, bencana alam, atau kejadian-kejadian lainnya yang berada di luar kemampuan para pihak yang ada dalam Perjanjian ini.

Pasal 12
PENGALIHAN
  1. PIHAK KEDUA tidak dapat memindahkan ataupun mengalihkan hak sewa berdasarkan Perjanjian ini baik untuk keseluruhan maupun untuk sebagian kepada Pihak lainnya kecuali dengan izin tertulis dari PIHAK PERTAMA, yang dituangkan dalam suatu perjanjian pengalihan sewa-menyewa Tanah.
  2. Sejak Perjanjian pengalihan itu ditandatangani oleh PIHAK PERTAMA, PIHAK KEDUA dan Pihak Ketiga maka Pihak Ketiga yang menerima pengalihan itu wajib membayar Harga Sewa dan memenuhi kewajiban-kewajiban lainnya yang diatur dalam Perjanjian ini dan setuju atas perubahan-perubahan Harga Sewa, Uang Jaminan, Jangka Waktu Sewa serta persyaratan khusus lainnya baik yang diatur dalam Perjanjian ini maupun dalam Perjanjian Pengalihan Sewa Menyewa Tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas.

Pasal 13
PEMUTUSAN PERJANJIAN OLEH PIHAK KEDUA

PIHAK KEDUA berhak setiap saat memutuskan hubungan sewa menyewa berdasarkan Perjanjian ini sebelum saat berakhirnya Jangka Waktu Sewa Menyewa dengan syarat sebagai berikut:
  1. PIHAK KEDUA terlebih dahulu memberitahukan maksudnya secara tertulis sekurang-kurangnya [.....] ([.....]) bulan sebelum Perjanjian ini putus. PIHAK PERTAMA akan memberikan jawaban secara tertulis kepada PIHAK KEDUA tentang permintaan tersebut disertai dengan pemberitahuan hak-hak dan kewajiban-kewajiban lain yang harus dipenuhi kedua belah pihak, termasuk kewajiban untuk memenuhi biaya penggunaan Fasilitas oleh PIHAK KEDUA (dalam hal PIHAK KEDUA menggunakan Fasilitas dari PIHAK PERTAMA).
  2. PIHAK KEDUA tidak berhak menuntut pengembalian uang sewa dan biaya perawatan yang telah diterima oleh PIHAK PERTAMA dari PIHAK KEDUA untuk jangka waktu sewa menyewa yang belum dinikmati oleh PIHAK KEDUA.
  3. PIHAK KEDUA tidak berhak menuntut pengembalian uang jaminan yang telah dibayarkan oleh PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA.

Pasal 14
PEMUTUSAN PERJANJIAN OLEH PIHAK PERTAMA

PIHAK PERTAMA berhak untuk memutuskan hubungan Sewa Menyewa berdasarkan Perjanjian ini dengan segera tanpa pemberitahuan atau peringatan terlebih dahulu kepada PIHAK KEDUA dalam hal-hal sebagai berikut:
  1. Apabila PIHAK KEDUA lalai membayar Harga Sewa, Biaya Perawatan dan/atau tagihan lainnya yang terhutang selama [......] ([......]) bulan setelah pembayaran Harga Sewa dan/atau tagihan tersebut jatuh tempo.
  2. Apabila kegiatan/usaha PIHAK KEDUA dihentikan untuk sementara berdasarkan instruksi/penetapan dari Instansi yang berwenang, atau izin usahanya dicabut oleh PIHAK PERTAMA.

Segala akibat kerugian yang diderita oleh PIHAK KEDUA karena tindakan PIHAK PERTAMA tersebut di atas sepenuhnya menjadi tanggung jawab dan beban PIHAK KEDUA semata-mata dan dengan ini pula PIHAK KEDUA mengikatkan diri untuk tidak mengajukan tuntutan apapun juga terhadap PIHAK PERTAMA berkenaan dengan pengembalian Harga Sewa, Biaya Perawatan, Uang Jaminan yang telah dibayarkan kepada PIHAK PERTAMA dan kerugian lain yang dideritanya.

Pasal 15
PUTUSNYA PERJANJIAN SEWA MENYEWA KARENA KEADAAN MEMAKSA

Apabila karena Keadaan Kahar, Tanah yang disewakan atau bagian daripadanya rusak sedemikian rupa, sehingga tidak dapat lagi digunakan sesuai dengan tujuannya maka Perjanjian Sewa Menyewa ini putus demi hukum terhitung sejak keadaan memaksa itu terjadi. Dalam hal itu PIHAK KEDUA tetap berkewajiban untuk melunasi pembayaran uang sewa, biaya perawatan dan tagihan-tagihan lainnya yang tertunggak.

Pasal 16
PENYERAHAN TANAH PADA SAAT BERAKHIRNYA PERJANJIAN
  1. Apabila Perjanjian ini berakhir karena telah berakhirnya Jangka Waktu Sewa dan apabila Tanah tidak diserahkan kepada Pihak Ketiga atau kepada PIHAK PERTAMA, maka PIHAK KEDUA wajib mengosongkan dan menyerahkan kembali Tanah yang disewakan kepada PIHAK PERTAMA dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya permintaan/pemberitahuan secara tertulis dari PIHAK PERTAMA untuk mengosongkan dan penyerahan tersebut.
  2. Apabila setelah PIHAK KEDUA mengosongkan dan menyerahkan Tanah kepada PIHAK PERTAMA masih juga terdapat barang-barang/mesin-mesin/peralatan-peralatan milik PIHAK KEDUA yang tertinggal di atas Tanah yang disewakan, maka PIHAK PERTAMA berhak untuk menyingkirkan barang-barang/mesin-mesin/peralatan-peralatan tersebut dengan cara yang dianggapnya baik dan wajar. PIHAK KEDUA dengan ini sepakat untuk tidak mengajukan tuntutan dan/atau keberatan-keberatan yang mungkin dapat diajukan terhadap PIHAK PERTAMA berkenaan dengan penyingkiran barang-barang/mesin-mesin/peralatan-peralatan tersebut di atas.
  3. Apabila PIHAK KEDUA lalai untuk mengosongkan dan menyerahkan Tanah yang disewakan pada PIHAK PERTAMA dalam jangka waktu yang ditentukan dalam ayat (1) di atas maka PIHAK PERTAMA berhak membongkar bangunan yang ada di atas Tanah tersebut dan menguasainya dengan cara yang dirasa baik oleh PIHAK PERTAMA tanpa perlu meminta izin dari Pengadilan atau instansi yang berwenang.
  4. Hak untuk melakukan sendiri pengosongan Tanah berikut segala sesuatu yang berada di atas Tanah tersebut adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian ini, sehingga untuk itu suatu Surat Kuasa Khusus tidak diperlukan lagi, jika PIHAK KEDUA cidera janji dan PIHAK PERTAMA akan menggunakan haknya.
  5. PIHAK KEDUA tidak berhak, setelah penyerahan Tanah kepada PIHAK PERTAMA atau sesudahnya, untuk mengajukan tuntutan pembayaran uang pindah ataupun pembayaran atau pengganti lainnya dari biaya-biaya yang mungkin telah dikeluarkannya untuk peningkatan, memperbaiki atau merawat Tanah.
  6. Kewajiban-kewajiban sebagaimana ditetapkan dalam ayat-ayat di atas akan tetap berlaku meskipun Perjanjian ini telah berakhir atau diputuskan.

Pasal 17
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
  1. Perselisihan yang terjadi antara PIHAK PERTAMA dengan PIHAK KEDUA mengenai Perjanjian ini atau setiap bagian dari padanya akan diselesaikan secara musyawarah oleh kedua belah pihak.
  2. Apabila tidak diperoleh penyelesaian, maka kedua belah Pihak dengan ini memilih tempat kediaman yang sah dan tidak berubah di Kantor Pengadilan Negeri [.....................].

Pasal 18
HUKUM YANG BERLAKU

Perjanjian ini tunduk pada hukum serta peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia. Selanjutnya yang berkaitan dengan Perjanjian ini kedua belah pihak sepakat untuk mengesampingkan Pasal 1266 dan Pasal 1267 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan kuasa yang diberikan berdasarkan Perjanjian ini merupakan kuasa yang tidak dapat dicabut kembali karena alasan apapun termasuk alasan yang termuat dalam Pasal 1813 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Pasal 19
KETENTUAN LAIN-LAIN
  1. Jika terjadi perubahan terhadap syarat-syarat yang menyimpang dari Perjanjian ini dilihat dalam konteksnya secara menyeluruh maka hal demikian tidak dapat diartikan bahwa seolah-olah PIHAK PERTAMA telah melepaskan haknya untuk mengajukan tuntutan terhadap PIHAK KEDUA berkenaan dengan cidera janji oleh PIHAK KEDUA yang berkaitan dengan kewajiban-kewajibannya berdasarkan Perjanjian ini.
  2. Perubahan dan/atau tambahan atas ketentuan-ketentuan serta pengaturan atas hal-hal yang belum/belum cukup diatur dalam Perjanjian ini hanya dapat dilakukan dengan suatu addendum yang disepakati oleh kedua belah pihak dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian ini.
Perjanjian ini dibuat dan ditanda tangani oleh Para Pihak dalam keadaan sadar dan tanpa paksaan dari pihak manapun. Perjanjian ini dibuat rangkap dua dan dibubuhi meterai cukup dan keduanya mempunyai kekuatan hukum yang sah.


PIHAK PERTAMA    PIHAK KEDUA


(___________)         (___________)

Saksi-saksi

Saksi Pihak Pertama Saksi Pihak Kedua


(___________)         (___________)

__________________________


Referensi: "Mengurus Sendiri Surat-surat Penting dan Surat Izin Usaha", Burhanudin Ali, SDB, Jakarta, Hi-Fest Publishing, 2008, Hal.: 175-182.

Because of Criticizing Animal Care Centers, An Irish Tourist Arrested In Dubai

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " TEOFL Requirements for Civil Servant Ca...