Tampilkan postingan dengan label Praktik Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Praktik Hukum. Tampilkan semua postingan

Senin, 24 Agustus 2020

Pembatasan Perkara Yang Dapat Dikasasi

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Mengintegrasikan Sistem Manajemen dalam Peradilan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Pembatasan Perkara yang Dapat Dikasasi.

Sistem ini seringkali ahli M. Yahya Harahap, S.H. kemukakan dalam berbagai tulisan. Bahkan alam kedudukan beliau sebagai Ketua Tim RUU Perubahan UU Nomor: 14 Tahun 1985, hal itu merupakan salah satu bagian yang tidak luput dari pembaruan sistem Peradilan di masa yang akan datang. Konsep ini dapat dijelaskan dengan singkat sebagai berikut:[1]
  1. Struktur Peradilan Tetap, jadi struktur peradilan yang ada sekarang tetap dipertahankan. Tidak perlu diubah, sehingga secara instansional tetap terdapat: a). Peradilan tingkat pertama oleh Pengadilan Negeri (PN); b). Tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi (PT); dan c). Kasasi oleh Mahkamah Agung (MA).
  2. Jenis Perkara Diklasifikasikan Berdasarkan Kualitas, jenis perkara biasa dan jenis perkara kecil (small claim). Dapat penulis tambahkan, bahwa terkait dengan perkara kecil, atau small claim, telah diatur dalam Perma Nomor: 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Betul bahwa untuk perkara jenis ini, dengan segala ketentuannya, tidak dikenal upaya hukum Kasasi, hanya banding saja, itu pun masih di Pengadilan Negeri setempat. 
Sistem ini bertujuan untuk:[2]
  1. Untuk memperpendek atau mengurangi upaya hukum terhadap perkara kecil;
  2. Untuk menghindari penumpukan (backlog) perkara pada tingkat Kasasi.
Realitanya, meskipun telah diterapkan Perma Nomor: 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, tidak serta merta membuat perkara yang melakukan upaya hukum sampai Kasasi berkurang signifikan. Hal ini tentu dikarenakan salah satunya alasan bahwa Perma dimaksud hanya meminimalisasi saja, nyatanya kriteria perkara sederhana juga sangat terbatas dan dengan syarat-syarat yang ketat. Sehingga belum mampu mengurangi ditempuhnya upaya hukum Kasasi oleh para pencari keadilan.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 231.
2. Ibid. Hal.: 231-232.

Mengintegrasikan Sistem Manajemen dalam Peradilan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Sulitnya Mendesain Sistem Peradilan Yang Efektif", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Mengintegrasikan Sistem Manajemen dalam Peradilan.

Sebenarnya berbagai sistem yang lebih efektif, banyak diajukan pada masa belakangan ini, antara lain dapat dilihat pada uraian berikut:[1]
  1. One Court Entry System, dimaksudkan dengan unified court system yang disebut one court system, yaitu bertujuan mengintegrasikan country court dengan high court. Dengan demikian, proses penyelesaian perkara dipersingkat menjadi satu tingkat. Dapat penulis tambahkan di sini, manajemen peradilan yang dimaksud telah diadopsi dalam penyelesaian perkara sederhana, sebagaimana diatur dalam Perma Nomor: 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, dimana banding dilakukan pada Pengadilan Negeri setempat.
  2. Full Pre-trial Disclosure, pada saat mengajukan gugatan, Penggugat harus sekaligus melengkapi atau melampirkan alat bukti. Hal ini bermaksud persidangan cukup memeriksa hal-hal tertentu saja, tidak bertele-tele. Dapat penulis tambahkan, manajemen peradilan seperti ini telah diterapkan dalam praktik, yaitu mengacu pada Perma Nomor: 3 Tahun 2018 Tentang Administrasi Perkara Secara Elektronik, dimana ketika Penggugat melakukan pendaftaran gugatan secara online, diharuskan meng-attach atau melampirkan dua alat bukti surat yang nantinya dalam persidangan secara tatap muka diajukan sebagai bukti.
  3. Timetable Program, sejak penerimaan berkas perkara, hakim wajib membuat program jadwal sidang sejak awal, yang mesti ditaati oleh Para Pihak dengan ancaman, pemeriksaan tetap dilanjutkan tanpa hadirnya pihak yang ingkar hadir. Sepengetahuan Penulis sebagai Advokat praktik, hal ini pun telah dilakukan berdasarkan Perma Nomor: 3 Tahun 2018 Tentang Administrasi Perkara Secara Elektronik, dimana pada sidang setelah perkara dinyatakan gagal pada tahap mediasi dan dikembalikan kepada Mejelis Hakim yang menangani perkara, dilakukan semacam hearing kepada Para Pihak terkait jalannya jadwal persidangan nantinya.
  4. Extra Hour's Sitting Per Day, adalah penambahan jam pemeriksaan sidang extra setiap hari sesuai dengan kebutuhan penyelesaian, dikaitkan dengan program jadwal sidang yang ditentukan dalam timetable, dengan imbalan uang lembur.
  5. In Court Arbitration System, yaitu penggabungan arbitrase dengan pengadilan. Apabila para pihak setuju, hakim bertindak sebagai arbiter, putusan yang dijatuhkannya merupakan putusan arbitrase (Arbiteral Award), yang langsung final and binding atau berkekuatan hukum tetap dan mengikat.
Dari uraian di atas, sepengalaman penulis sebagai advokat praktik, manajemen peradilan yang berbasiskan teknologi informasi telah beberapa diterapkan, diantaranya adalah nomor 1-3 sebagaimana disebutkan di atas, hal ini sesuai dengan Perma Nomor: 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana dan Perma Nomor: 3 Tahun 2018 Tentang Administrasi Perkara Secara Elektronik.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 230-231.

Sabtu, 22 Agustus 2020

Sulitnya Mendesain Sistem Peradilan Yang Efektif

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Panggilan Batal, Juru Sita Dapat Dihukum", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Sulitnya Mendesain Sistem Peradilan Yang Efektif. Tulisan ini adalah bagian dari Bab 7 Perihal Putusan Akta Perdamaian Dalam Rangka Sistem Mediasi dari Bukunya Hukum Acara Perdata, penulis M. Yahya Harahap. 

Secara teori mungkin masih benar pandangan, bahwa dalam negara hukum tunduk kepada rule of law, dimana kedudukan peradilan dianggap sebagai pelaksana kekuasaan Kehakiman (judicial power), dimana peranannya adalah sebagai katup penekan atas segala pelanggaran hukum dan ketertiban masyarakat, oleh karena itu peradilan masih relevan sebagai the last resort untuk mencari keadilan.[1]

Akan tetapi pengalaman pahit menimpa masyarakat, mempertontonkan sistem peradilan yang tidak effektif dan tidak efisien. Penyelesaian perkara membutuhkan waktu bertahun-tahun, proses bertele-tele mulai dari banding, kasasi dan peninjauan kembali. Eksekusi pun dibenturkan lagi dengan adanya upaya verzet dan derden verzet. Padahal masyarakat membutuhkan penyelesaian yang cepat.[2] Bahkan sepengalaman penulis sebagai advokat praktik, tidak sering dijumpai dilakukan gugatan ulang lagi dari awal, padahal objek perkaranya adalah sama.

Akan tetapi, kenyataan praktik berbicara, sampai saat ini di negara manapun belum mampu mencipta dan mendesain sistem peradilan yang efektif. Dan pekerjaan mendesain sistem peradilan yang seperti itu, tidaklah gampang, dikarenakan terlalu banyak kepentingan yang harus dilindungi, Sedang pada lain sisi kepentingan itu bertentangan antara satu dengan yang lainnya.[3]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 229.
2. Ibid. Hal.: 229.
3. Ibid. Hal.: 229.

Jumat, 21 Agustus 2020

Panggilan Batal, Juru Sita dapat Dihukum

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Otentikasi Surat Panggilan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Panggilan Batal, Juru Sita dapat Dihukum.

Mengenai hal ini, tidak diatur dalam HIR dan RBg, tetapi ditemukan landasannya dalam Pasal 21 Rv. Selayaknya ketentuan ini dijadikan landasan hukum bagi Pengadilan untuk mengantisipasi tindakan juru sita yang sembrono. Menurut Pasal 21 Rv:[1]
  • Jika surat panggilan dinyatakan batal;
  • Hal itu terjadi disebabkan perbuatan juru sita (dilakukan dengan sengaja (intentional) atau karena kelalaian (omission));
  • Dalam hal seperti itu, Juru Sita dapat dihukum: (a. Untuk mengganti biaya Panggilan dan biaya acara yang batal; b. Juga untuk membayar ganti rugi atas segala kerugian yang diderita pihak yang dirugikan atas kebatalan itu berdasarkan PMH (Perbuatan Melawan Hukum yang digariskan Pasal 1365 KUH Perdata)).
Dalam pembaruan hukum acara yang akan datang, sudah saatnya untuk memperluas dan mempertegas tanggung jawab juru sita atas kesengajaan dan kelalaian yang dilakukan dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan. Ketentuan Pasal 21 Rv masih dianggap relevan sebagai dasar acuan.[2]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 228.
2. Ibid. Hal.: 228.

Kamis, 20 Agustus 2020

Otentikasi Surat Panggilan Sidang

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Tata Cara Pemanggilan Ditegakkan Azas Lex Fori", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Otentikasi Surat Panggilan Sidang.

Agar surat panggilan sah secara otentik, diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Hanya surat panggilan yang memiliki otentikasi yang sah sebagai surat atau relaas. Untuk itu harus memenuhi syarat-syarat berikut.[1]

Syarat pertama, Ditandatangani oleh Juru Sita. Apabila sudah ditanda-tangani, dengan sendirinya menurut hukum sah sebagai akta otentik yang dibuat oleh Pejabat Juru Sita. Kepalsuan otentikasinya, dapat dilumpuhkan berdasarkan putusan pidana pemalsuan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan isi atau tanda-tangan yang tercantum di dalamnya adalah palsu.[2]

Syarat kedua, Berisi keterangan yang ditulis tangan Juru Sita yang menjelaskan panggilan telah disampaikan di tempat tinggal yang bersangkutan secara in Person atau kepada Keluarga atau kepada Kepala Desa (Lurah). Belakangan untuk menghindari manipulasi atau pemalsuan pemanggilan dikembangkan praktik yang mengharuskan pihak yang dipanggil ikut membubuhkan tanda tangan pada surat panggilan. Pengembangan ini sangat efektif mengawasi kebenaran penyampaian panggilan. Adanya tanda tangan orang yang dipanggil merupakan bukti, bahwa panggilan telah benar-benar dilaksanakan sebagaimana mestinya.[3] Lihat contoh berikut:[4]

(pn-sengkang.go.id)

____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 227.
2. Ibid. Hal.: 227-228.
3. Ibid. Hal.: 228.
4. http://www.pn-sengkang.go.id/hubungi-kami/blog-pengadilan/relaas-panggilan-umum/item/relaas-panggilan-sidang.html

Rabu, 19 Agustus 2020

Tata Cara Pemanggilan Ditegakkan Azas Lex Fori

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Larangan Melakukan Pemanggilan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Tata Cara Pemanggilan Ditegakkan Azas Lex Fori.

Azas Lex Fori merupakan prinsip hukum perdata internasional yang menganjurkan hukum acara yang diterapkan ialah hukum nasional dari hakim yang memeriksa dan memutus perkara. Bertitik tolak dari prinsip tersebut, tata cara pemanggilan kepada Tergugat, meskipun dia pejabat diplomatik negara asing, tunduk kepada hukum acara negara tempat pengajuan Gugatan. Kalau pengajuan gugatan dalam sengketa perkara negara berdasarkan Hukum Acara Indonesia, dalam hal ini HIR sebagaimana yang diatur dalam Pasal 124 dan Pasal 390 HIR. Kasusnya, Penggugat adalah pemilik tanah dan bangunan di Jl. Wijaya, Persil Nomor: 36, HGB Nomor: 443. Tanah dan Bangunan sengketa dihuni staff Kedutaan Besar Amerika (Tergugat) dan sampai sekarang tidak dibayar sewanya. Atas peristiwa itu, Penggugat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.[1]

Atas gugatan tersebut, Tergugat mengajukan eksepsi yang mengatakan Panggilan tidak sah atas alasan dalam kedudukannya sebagai Badan Diplomatik negara asing, karena itu merupakan negara di luar RI, maka Panggilan untuk menghadiri sidang peradilan Indonesia, harus melalui prosedur diplomatik, yaitu melalui Pemerintah RI. Oleh karena panggilan langsung dilakukan Juru Sita kepada Kedubes Amerika, cara panggilan adalah keliru, karena tidak melalui prosedur yang benar, dan Pasal 118 ayat (1) HIR yang mengandung azas actor sequitor forum rei tidak dapat diterapkan kepada Tergugat.[2]

Terhadap eksepsi ini, Prof. Asikin Kusuma Atmadja berpendapat: "karena cara mengajukan perkara dan cara pemanggilan kedua belah pihak yang berperkara adalah sangat bersifat acara, maka dari itu harus tunduk pula kepada peraturan hukum dari negara hakim sendiri, in casu berlakulah hukum acara perdata yang diatur dalam HIR".[3]

Terkait dengan hal ini, Penulis selaku advokat praktik pernah menemukan sebuah kasus yang mirip, yaitu ketika Kedubes Malaysia digugat oleh warga negara Indonesia terkait dengan sengketa kepemilikan sebidang tanah di kawasan Kemang Jakarta Selatan. Persis, advokat senior di kantor penulis melakukan 'tangkisan' bahwa Panggilan tidak sah atas alasan dalam kedudukannya sebagai Badan Diplomatik negara asing, karena itu merupakan negara di luar RI, maka Panggilan untuk menghadiri sidang peradilan Indonesia, harus melalui prosedur diplomatik, yaitu melalui Pemerintah RI, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri. Alhasil eksepsi diterima dan gugatan Penggugat diputus tidak dapat diterima. Dalam menjawab eksepsi tersebut, Penggugat tidak mengemukakan dalil sebagaimana dikemukankan oleh Prof. Asikin sebagaimana telah dikutip di atas.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 227.
2. Ibid. Hal.: 227.
3. Ibid. Hal.: 227.

Selasa, 18 Agustus 2020

Larangan Melakukan Pemanggilan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Perihal Pendelegasian Pemanggilan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Larangan Melakukan Pemanggilan.

HIR dan RBg tidak mengatur larangan menyampaikan panggilan. Seolah-olah undang-undang tidak membatasi keleluasaan juru sita menyampaikan panggilan. Jika demikian halnya, hukum (secara tidak langsung) membenarkan juru sita menyampaikan panggilan pada hari libur atau tengah malam. Membenarkan kebolehan yang seperti itu, dapat menimbulkan tirani dan pelanggaran HAM.[1]

Untuk menghindari pemanggilan yang bercorak tidak berprikemanusiaan (inhumane) atau yang bersifat cruel (kejam), pemanggilan perlu berpedoman kepada ketentuan Pasal 17 dan 18 Rv berdasarkan asas process orde. Maksudnya, agar dapat ditegakkan tata cara pengadilan yang baik (procedure of good justice), pengadilan perlu menerapkan larangan menyampaikan panggilan yang diatur dalam Pasal 18 Rv, yang terdiri dari:[2]
  • Panggilan atau pemberitahuan tidak boleh disampaikan, sebelum jam 6 pagi;
  • Tidak boleh disampaikan, sesudah jam 6 sore; dan
  • Tidak boleh disampaikan pada hari Minggu.
Pengecualian terhadap larangan ini, hanya dapat dilakukan apabila:[3]
  • Ada izin dari Ketua Pengadilan Negeri;
  • Izin diberikan atas permintaan Penggugat;
  • Izin diberikan dalam keadaan mendesak; dan
  • Izin dicantumkan pada kepala surat Panggilan/Pemberitahuan.
Mengenai alasan keadaan mendesak, tergantung sepenuhnya pada penilaian hakim, asalkan hal itu dipertimbangkan secara objektif dan rasional dengan memperhatikan faktor urgensi dan relevansi.[4] Dengan demikian, penulis disini memberikan tambahan, bahwa dalam melakukan tugasnya, seorang juru sita harus memperhatikan sah dan patut-nya suatu pemanggilan.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 226.
2. Ibid. Hal.: 226.
3. Ibid. Hal.: 226.
4. Ibid. Hal.: 227.

Jumat, 14 Agustus 2020

Contoh Pencabutan Kuasa Perusahaan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Contoh Pernyataan Jaminan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang pencabutan surat kuasa, akan tetapi hal ini sedikit berbeda dengan contoh surat kuasa yang telah dimuat sebelumnnya, pada artikel ini akan dibuat pencabutan kuasa dari perusahaan.


PENCABUTAN KUASA

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Tn. ....................., Pengusaha, bertempat tinggal di ..................... jalan ..................... nomor: .........dalam hal ini bertindak sebagai Direktur Utama dari dan sebagaimana demikian untuk dan atas nama perseroan terbatas “PT.....................”, berkedudukan dan berkantor pusat di ....................., selanjutnya akan disebut juga “Perseroan”.

Yang bertanda tangan bertindak untuk dan atas nama perseroan tersebut, menerangkan dengan ini bahwa terhitung sejak tanggal ..................... Perseroan telah MENARIK KEMBALI surat kuasa yang telah diberikan oleh Perseroan kepada tuan ..........................

Surat kuasa mana dibuat di bawah tangan, bermeterai cukup, tertanggal ..................... dan dilegalisasi oleh Notaris .......................... di .......................... tertanggal .......................... Nomor: .........; Sehingga surat kuasa tersebut terhitung sejak tanggal ..........................TIDAK BERLAKU dan TIDAK DAPAT DIPERGUNAKAN LAGI.-----------------

Demikianlah surat pencabutan kuasa ini dibuat di .........................., pada hari ini, tanggal ..........................

Yang bertanda tangan,
PT. ........................



(..........................)
Direktur Utama
____________________
Referensi:
  1. Contoh-contoh Kontrak, Rekes & Surat Resmi Sehari-hari Jilid 3”, Prof. Mr. Dr. S. Gautama, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, Hal.: 96.
  2. Untuk dokumen dalam format word, silahkan diunduh pada link berikut ini.

Kamis, 13 Agustus 2020

Contoh Pernyataan Jaminan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Contoh Perjanjian Nikah", serta Pada kesempatan ini akan membahas Contoh Pernyataan Jaminan.

Pernyataan Jaminan

Yang bertanda tangan di bawah ini:

- Nyonya ....................., Partikelir, bertempat tinggal di .........................

Dengan ini menyatakan:

- Bahwa yang bertanda-tangan mengetahui benar bahwa tuan A selanjutnya akan disebut juga DEBITUR, benar dan dengan sah berhutang kepada perseroan: PT. ........................berkedudukan di ......................, selanjutnya akan disebut juga BANK, seperti ternyata dari Akta Perjanjian Pengakuan Hutang dan Pemberian Jaminan, tertanggal ........................ dibawah nomor ......................dibuat dihadapan ......................Notaris di ......................, selanjutnya akan disebut juga:

------------------------PERJANJIAN HUTANG-----------------------

- Bahwa untuk menjamin pembayaran kembali sebagaimana mestinya dan seluruh hutang DEBITUR dan bunga-bunganya, berdasarkan PERJANJIAN HUTANG, yang harus dibayar oleh DEBITUR kepada BANK, maka yang bertanda tangan, selanjutnya akan disebut juga PERJANJIAN, dengan ini berjanji serta mengikatkan diri untuk membayar kepada BANK, dengan segera dan secara sekaligus atas permintaan pertama dari BANK, sejumlah Rp. ......................................................atau seluruh jumlah yang terhutang oleh DEBITUR kepada BANK baik hutang pokok maupun bunga-bunga dan lain-lain biaya yang harus dibayar oleh DEBITUR kepada BANK, pada saat penagihan oleh BANK itu.-----------------------------
- Penjamin dengan ini dengan tegas melepaskan semua hak-hak dan hak-hak utama yang diberikan oleh seorang penjamin berdasarkan Undang-undang, terutama: 

a. Hak penjamin untuk memohon kepada BANK bahwa harta kekayaan DEBITUR terlebih dahulu harus dipergunakan untuk pembayaran kembali seluruh jumlah yang terhutang oleh DEBITUR kepada BANK (eerdere uitwinning);------------------------b. Hak untuk memohon kepada BANK untuk membagi-bagi Hutang DEBITUR yang dijamin oleh Penjamin, diantara para penjamin lain (schuldsplitsing);----------------
c. Hak-hak yang membebaskan seorang Penjamin dari tanggung jawab dan tanggungan sebagaimana termaktub dalam Pasal 1430, 1847, 1848 dan 1849 dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berlaku di Negara Republik Indonesia;------------------

DEMIKIANLAH surat pernyataan ini dibuat di .......................................pada hari ini ..................

Menyetujui,           Yang Bertanda Tangan, 
Bank,


(..........................) Nyonya...........................
                                  Penjamin

____________________
Referensi: 

Rabu, 12 Agustus 2020

Contoh Perjanjian Nikah

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Kesempatan terdahulu platform Hukumindo.com telah memuat beberapa artikel terkait dengan contoh perjanjian, diantaranya adalah "Contoh Perjanjian Sewa Menyewa Tanah", dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Contoh Perjanjian Nikah (Marriage Agreement/Huwelijkse voorwaarden).

Perjanjian Nikah

A dan B, berkenaan dengan Perkawinan yang akan dilangsungkan oleh mereka, telah bersepakat untuk mengatur harta kekayaannya dengan Perjanjian Nikah (huwelijkse voorwaarden), sebagai berikut:

Pasal 1

Diantara suami-isteri tidak akan ada campuran harta benda (gemeenschap van goederen), juga tidak akan ada campuran buah hasil pencarian dari masing-masing; Campuran harta-benda, campuran laba dan rugi serta campuran buah hasil dan penghasilan dengan surat ini secara tegas ditiadakan.

Pasal 2

Suami-isteri masing-masing tetap mempunyai dan memiliki segala harta yang masing-masing dimiliki pada waktu hari kawin dan juga harta-harta yang diperoleh masing-masing selama perkawinan berlangsung, baik dari harta warisan, hibah wasiat atau hibah hidup (legaat of schenking) atau dengan cara lain;

Suami-isteri masing-masing juga tetap mempunyai segala harta yang diterima atau diperoleh masing-masing karena pembelian atau penukaran dari masing-masing harta kekayaannya;

Piutang-piutang dari masing-masing suami-isteri pada hari kawin dan yang timbul selama perkawinan berlangsung, kepada masing-masing dan hutang-hutang, yang dibuat oleh masing-masing selama perkawinan tetap menjadi piutang-piutang atau hutang-hutang masing-masing.

Pasal 3

Pihak isteri tetap mempunyai hak urus dan mengurus hartanya yang bergerak dan tidak bergerak, dan akan mempunyai hak bebas untuk memakai dan mempergunakan hasil-hasil dari harta kekayaannya dan penghasilannya yang diterimanya dari manapun juga. Jika pihak suami mengurus harta-harta itu, maka ia wajib bertanggung-jawab atas harta-harta itu.

Pasal 4

Dari harta barang-barang terangkat serta yang diperoleh selama waktu perkawinan berlangsung oleh karena warisan, hibah wasiat atau hibah hidup, atau dengan cara lain oleh masing-masing suami dan isteri, harus dibuat suatu daftar atau harus ternyata dengan surat-surat;

Pihak suami mewajibkan diri sendiri untuk memberi bantuan, supaya diadakan pendaftaran tersebut;

Apabila daftar-daftar dari harta dan barang-barang bergerak dan yang diperoleh si isteri selama perkawinan tidak ada, atau tidak ada surat-surat yang menyatakan barang-barang apakah yang dahulu ada atau berapakah harganya maka pihak isteri atau ahli warisnya berhak untuk membuktikan bekas adanya atau harganya barang-barang itu, dengan saksi-saksi atau apabila perlu dengan pengetahuan orang umum (algemene bekendheid). 

Pasal 5

Semua pakaian dan perhiasan badan yang ada pada sewaktu-waktu, jadi juga diwaktu terputusnya perkawinan, tetap menjadi milik dari suami dan isteri yang memakai pakaian-pakaian dan perhiasan badan itu atau milik dari suami atau isteri untuk siapa pakaian atau persiapan badan itu diuntukan pemakaiannya Pakaian dan Perhiasan badan tersebut, dipandang sebagai pakaian dan perhiasan badan yang dibawa oleh masing-masing suami-isteri pada waktu perkawinan atau yang diterima selama waktu perkawinan atau dipandang sebagai ganti dari satu dan lainnya, sehingga antara suami-isteri dan hal itu tidak ada perhitungan apa-apa. Pada akhirnya pada pihak menerangkan, bahwa dalam perkawinan dibawa oleh Pihak A uang tunai sebesar Rp. ..................................(..................Rupiah) dan bagian dalam harta peninggalan ayahnya, almarhum C, harta peninggalan mana sekarang belum dibagi. 

__________

Catatan: 
1. Menurut Pasal 147 KUHPerdata (BW), Perjanjian Nikah harus dibuat dihadapan seorang Notaris.

Referensi: "Contoh-contoh Kontrak Rekes & Surat Resmi Sehari-hari (Jilid I)", Prof. Mr. Dr. S. Gautama, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1994, Hal.: 118.

Selasa, 11 Agustus 2020

Perihal Pendelegasian Pemanggilan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Jarak Waktu Antara Pemanggilan dengan Hari Sidang", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Pendelegasian Pemanggilan.

Pengertian

Pengertian pendelegasian adalah tindakan melimpahkan pelaksanaan pemanggilan kepada juru sita pada Pengadilan Negeri yang lain. Apabila orang yang hendak dipanggil berada di luar yurisdiksi relatif juru sita yang mendelegasikan, misalnya Tergugat bertempat tinggal di wilayah Bandung, sedangkan perkaranya disidangkan di Pengadilan Negeri Bogor. Dalam hal seperti ini, juru sita Pengadilan Negeri Bogor, tidak berwenang menyampaikan panggilan, karena orang yang hendak dipanggil berada dalam yurisdiksi atau kompetensi relatif Pengadilan Negeri Bandung. Jalan ke luar yang harus ditempuh juru sita Pengadilan Negeri Bogor, mendelegasikan atau melimpahkan kewenangannya kepada juru sita Pengadilan Negeri Bandung.[1]

Dasar Hukum

Mengenai pendelegasian pemanggilan, tidak diatur dalam HIR dan RBg, namun dijumpai dalam Rv, sebagaimana diatur dalam Pasal 5. Ketentuan ini secara analogis dapat dipedomani oleh Pengadilan Negeri dengan acuan penerapan sebagai berikut[2]
  1. Orang yang hendak dipanggil berada di luar wilayah hukum Juru Sita;
  2. Pemanggilan dilaksanakan oleh Juru Sita Pengadilan Negeri yang meliputi wilayah hukum tempat tinggal orang yang hendak dipanggil;
  3. Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan meminta bantuan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat tinggal Tergugat, untuk memerintahkan Juru Sita Pengadilan Negeri tersebut menyampaikan Panggilan;
  4. Ketua Pengadilan Negeri yang diminta bantuan, mengeluarkan perintah pemanggilan kepada Juru Sita berdasarkan permintaan bantuan dimaksud;
  5. Segera setelah itu, menyampaikan langsung kepada Ketua Pengadilan Negeri yang melimpahkan, tentang pelaksanaan panggilan yang dilakukan.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 225-226.
2. Ibid. Hal.: 226.

Sabtu, 08 Agustus 2020

Jarak Waktu antara Pemanggilan dengan Hari Sidang

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Pemanggilan Terhadap yang Meninggal", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Jarak Waktu antara Pemanggilan dengan Hari Sidang.

Pasal 122 HIR dan Pasal 10 Rv, mengatur jarak waktu antara Penggilan dengan Hari Sidang. Dapat dijabarkan sebagai berikut:[1]
  1. Patokan Menentukan Jarak Waktu, Berdasarkan Faktor Jarak Antara Tempat Tinggal Tergugat dengan Gedung Tempat Sidang Dilangsungkan, klasifikasi jarak waktu dapat dipedomani ketentuan Pasal 10 Rv, yaitu: a). 8 (delapan) hari, apabila jarak tempat tinggal Tergugat dengan Gedung PN (tempat sidang) tidak jauh, b). 14 (empat belas) hari, apabila jaraknya agak jauh, dan c). 20 (dua puluh) hari jika jaraknya jauh. Sebagai tambahan, sepengalaman penulis sebagai Advokat praktik, untuk delegasi pemanggilan yang berbeda wilayah kompetensi relatifnya, dalam hal ini bisa dikategorikan 'jarak jauh', pemanggilan dilakukan rata-rata 3 (tiga) minggu. 
  2. Jarak Waktu Panggilan dalam Keadaan Mendesak, Pasal 122 HIR mengatur jarak waktu pemanggilan dengan hari sidang dalam keadaan mendesak: a). Jarak waktunya dapat dipersingkat; b). Batas waktu mempersingkat, tidak boleh kurang dari 3 (tiga) hari. Terkait dengan keadaan mendesak, tergantung penilaian majelis hakim;
  3. Jarak Waktu Pemanggilan Orang yang Berada di Luar Negeri, pada prinsipnya didasarkan pada perkiraan yang wajar, adapun faktor yang diperhatikan: a). Jarak tempat tinggal Tergugat dengan Indonesia pada satu segi serta jarak tempat tinggal Tergugat dengan Konsulat Jenderal R.I., dan b). Faktor birokrasi yang harus ditempuh dalam penyampaian Panggilan;
  4. Penentuan Jarak Waktu, Apabila Tergugat Terdiri dari Beberapa Orang, dalam menghadapi kasus jarak waktu pemanggilan dengan hari sidang yang tergugatnya terdiri dari beberapa orang, tidak diatur dalam HIR. Oleh karena itu, dapat dipedomani ketentuan Pasal 14 Rv yang menggariskan: a). Tidak boleh berpatokan kepada tempat tinggal Tergugat yang paling dekat; b). Harus didasarkan kepada tempat tinggal Tergugat yang paling jauh.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 225.

Selasa, 04 Agustus 2020

Pemanggilan Terhadap yang Meninggal

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Pemanggilan Tergugat yang Berada di Luar Negeri", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Pemanggilan Terhadap yang Meninggal.

Tata cara pemanggilan terhadap Tergugat yang meninggal dunia merujuk kepada ketentuan Pasal 390 ayat (2) HIR dan Pasal 7 Rv. Berdasarkan ketentuan itu, apabila Tergugat atau orang yang hendak dipanggil meninggal dunia, adalah sebagai berikut:[1]
  1. Apabila Ahli Waris Dikenal, Panggilan ditujukan kepada semua ahli waris sekaligus tanpa menyebutkan nama dan tempat tinggal mereka satu persatu. Dalam hal itu cukup disebut nama dan tempat tinggal Pewaris yang meninggal itu. Panggilan disampaikan di tempat tinggal almarhum (pewaris) yang terakhir.
  2. Apabila Ahli Waris Tidak Dikenal, a). Panggilan disampaikan kepada Kepala Desa (Lurah) di tempat tinggal terakhir almarhum; b). Selanjutnya, Kepala Desa (Lurah) segera menyampaikan Panggilan tersebut kepada ahli waris almarhum; c). Jika Kepala Desa (Lurah) tidak mengetahui dan tidak mengenal ahli waris, panggilan dikembalikan kepada Juru Sita yang dilampiri dengan surat keterangan tidak diketahui dan tidak dikenal. Atas dasar penjelasan Kepala Desa (Lurah) itu, Juru Sita dapat menempuh tata cara melalui Panggilan Umum.
Sedikit memberikan komentar terkait dalam hal apabila ahli waris dikenal, sepengalaman Penulis sebagai Advokat ketika beracara (perkara sengketa kepemilikan tanah di daerah Jakarta Selatan), justru diarahkan oleh majelis hakim untuk dilakukan perubahan surat gugatan, dan diminta untuk mencantumkan seluruh ahli waris beserta alamatnya. Tentu hal ini sungguh memberatkan, karena melacak hal demikian bukanlah pekerjaan yang mudah. Ternyata setelah membaca pendapat dari ahli M. Yahya Harahap, S.H. di atas dengan berpegang pada ketentuan Pasal 390 ayat (2) HIR dan Pasal 7 Rv, Panggilan cukup ditujukan kepada semua ahli waris sekaligus tanpa menyebutkan nama dan tempat tinggal mereka satu persatu, tentu hal ini sangat menggembirakan Penulis. Hal yang sama Penulis harapakan kepada sidang Pembaca. 
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 224.

Pemanggilan Tergugat yang Berada di Luar Negeri

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Panggilan yang Sah dalam Hal Tempat Tinggal Tergugat Tidak Diketahui", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Pemanggilan Tergugat yang Berada di Luar Negeri.

Mengenai hal ini tidak diatur dalam HIR dan RBg, akan tetapi dalam Pasal 6 ke-8 Rv ada diatur pemanggilan terhadap mereka yang bertempat tinggal di luar Indonesia dan tidak diketahui tempat tinggalnya di Indonesia dengan cara:[1]
  • Panggilan disampaikan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) sesuai dengan yurisdiksi relatif yang dimilikinya;
  • Selanjutnya, JPU memberi tanda mengetahui pada surat aslinya, dan
  • Mengirimkan turunannya kepada Pemerintah (barangkali Menteri Luar Negeri) untuk disampaikan kepada yang bersangkutan.
Dalam praktik, tampaknya ketentuan Pasal 6 ke-8 Rv tersebut, dijadikan pedoman dengan jalan memodifikasi lebih sederhana, dengan acuan sebagai berikut:[2]
  1. Tempat Tinggalnya di Luar Negeri Diketahui, a). Panggilan disampaikan melalui jalur diplomatik; b). Penyampaiannya kepada Departemen Luar Negeri (Deplu)--saat ini sudah Kementerian Luar Negeri--kedutaan, atau Konsulat, langsung dilakukan juru sita tanpa melibatkan JPU;
  2. Tempat Tinggalnya Tidak Diketahui, dalam kasus seperti ini, tata cara pemanggilan tunduk kepada ketentuan Pasal 390 ayat (3) HIR dan Pasal 6 ke-7 Rv, yaitu disampaikan melalui Panggilan Umum.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 224.
2. Ibid. Hal.: 224.

Senin, 03 Agustus 2020

Panggilan yang Sah dalam Hal Tempat Tinggal Tergugat Tidak Diketahui

(Getty Images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Panggilan yang Sah dalam Hal Tempat Tinggal Tergugat Diketahui", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Panggilan yang Sah dalam Hal Tempat Tinggal Tergugat Tidak Diketahui.

Pasal 390 ayat (3) HIR dan Pasal 6 ke-7 Rv mengatur tata cara penyampaian Panggilan kepada Tergugat yang tidak diketahui tempat tinggalnya. Kapan secara hukum tempat tinggal tergugat tidak diketahui? Hal itu berpatokan pada faktor:[1]
  1. Surat gugatan sendiri menyatakan dengan tegas pada identitas Tergugat, bahwa tempat tinggal atau tempat kediamannya tidak diketahui;
  2. Atau pada identitas Tergugat, surat gugatan menyebutkan dengan jelas tempat tinggalnya, tetapi pada saat juru sita melakukan pemanggilan, ternyata Tergugat tidak ditemukan di tempat tersebut dan menurut penjelasan Kepala Desa (Lurah), yang bersangkutan sudah meninggalkan tempat itu tanpa menyebut alamat tempat tinggal yang baru.
Menghadapi kasus seperti itu, secara faktual tidak diketahui tempat tinggal Tergugat di Indonesia maupun di Luar Negeri. Untuk mengantisipasi keadaan yang seperti itu, undang-undang telah menentukan cara panggilan yang sah menurut hukum:[2]
  1. Surat panggilan (surat juru sita) disampaikan kepada Bupati atau Wali Kota, sesuai dengan yurisdiksi atau kompetensi relatif yang dimilikinya.
  2. Bupati atau Walikota tersebut: a). Mengumumkan atau memaklumkan surat juru sita itu; b). Caranya, dengan jalan menempelkannya pada pintu umum kamar Persidangan Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Tata cara pemanggilan yang diatur dalam Pasal 390 ayat (3) HIR dalam praktik sehari-hari, disebut panggilan umum atau pemberitahuan umum (general convocation). Akan tetapi, tata cara ini dianggap kurang realistis (unrealistic), karena pengumuman panggilan hanya ditempelkan di pintu ruang pengadilan.[3]

Agar pemanggilan dalam bentuk ini lebih objektif dan realistis, perlu Pengadilan Negeri memedomani ketentuan Pasal 6 ke-7 Rv yang menegaskan:[4]
  • Selain penempelan di pintu sidang;
  • Pengumuman pemanggilan tersebut harus dimuat dalam salah satu harian atau surat kabar yang terbit di wilayah hukum atau yang terbit berdekatan dengan wilayah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Dengan cara ini, jangkauan Pemanggilan menjadi lebih luas, dan kemungkinan untuk diketahui oleh Tergugat jauh lebih efektif.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 223.
2. Ibid. Hal.: 223.
3. Ibid. Hal.: 223.

Selasa, 28 Juli 2020

Panggilan yang Sah dalam Hal Tempat Tinggal Tergugat Diketahui


(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Isi Surat Panggilan Pertama Kepada Tergugat", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Panggilan yang Sah dalam Hal Tempat Tinggal Tergugat Diketahui.

Tentang cara panggilan menurut hukum, diatur dalam Pasal 390 ayat (1) dan ayat (3) HIR serta Pasal 1 dan Pasal 6 ke-7 Rv. Berdasarkan ketentuan-ketentuan ini, dapat diklasifikasikan tata cara panggilan berdasarkan faktor diketahui atau tidak tempat tergugat atau orang yang dipanggil.[1]

Apabila tempat tinggal atau tempat kediaman Tergugat atau orang yang dipanggil diketahui, tata cara pemanggilan yang sah adalah sebagai berikut:[2]
  • Harus disampaikan di tempat tinggal atau tempat domisili pilihan Tergugat (Pasal 390 ayat (1), Pasal 1 Rv.)
  • Disampaikan kepada yang bersangkutan sendiri, jadi harus disampaikan secara in person kepada Tergugat atau Keluarganya. Dalam praktik peradilan, ketentuan Pasal 3 Rv, telah dijadikan pedoman, praktik peradilan telah menganggap sah panggilan yang disampaikan kepada keluarga apabila tergugat secara in person tidak ditemui juru sita di tempat kediamannya. Pengertian keluarga di sini adalah meliputi istri dan anak yang sudah dewasa, ayah atau ibu. Tidak meliputi Pembantu Rumah Tangga dan Karyawan.
  • Disampaikan kepada Kepala Desa (lurah), apabila yang bersangkutan dan keluarga tidak ditemui juru sita di tempat tinggal atau kediaman. Tentang masalah kelalaian Kepala Desa (Lurah) menyampaikan panggilan segera kepada pihak yang berkepentingan, M. Yahya Harahap, S.H., menyetujui proposal yang termuat dalam Himpunan Materi Rapat Kerja Teknis 1997, Mahkamah Agung dengan para Ketua Pengadilan Tingkat Banding yang menegaskan agar dalam pembaruan hukum acara Perdata dicantumkan ancaman kepada Kepala Desa (Lurah) yang sengaja atau lalai menyampaikan relaas kepada pihak yang berkepentingan.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 221.
2. Ibid. Hal.: 222.

Senin, 27 Juli 2020

Isi Surat Panggilan Pertama kepada Tergugat


(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Bentuk Panggilan Sidang", dan Pada kesempatan ini akan membahas tentang Isi Surat Panggilan Pertama kepada Tergugat.

Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 121 ayat (1) HIR dan Pasal 1 Rv yang menjelaskan, surat panggilan pertama berisi: [1]
  • Nama yang dipanggil;
  • Hari dan jam serta tempat sidang;
  • Membawa saksi-saksi yang diperlukan;
  • Membawa segala surat-surat yang hendak digunakan, dan
  • Penegasan, dapat menjawab gugatan dengan surat.
Isi surat panggilan bersifat kumulatif, bukan alternatif. Sifat kumulatifnya adalah imperatif (memaksa) bukan fakultatif. Oleh karena itu, salah satu saja lalai mencantumkannya, mengakibatkan panggilan cacat hukum, dan dianggap tidak sah.

Terkait hal ini, coba kita lihat dalam tataran praktik dengan contoh yang Penulis ambil dari link Pengadilan Negeri Tangerang sebagai berikut:

(pn-tangerang.go.id)

Akan tetapi, untuk menghindari proses peradilan yang terlampau bercorak sempit dan kaku, jika salah satu di antaranya tidak tercantum, dapat ditolerir, asalkan kelalaian itu tidak mengenai nama orang yang dipanggil dan hari, serta tempat sidang.[2] Inilah realita dalam praktik, tidak sekaku sebagaimana diatur secara formal.

Selain itu, agar panggilan memenuhi syarat formal, Pasal 121 ayat (2) HIR dan Pasal 1 Rv mewajibkan juru sita untuk:[3]
  • Melampiri surat panggilan dengan salinan surat gugatan; dan
  • Salinan tersebut, dianggap gugatan asli.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 221.
2. Ibid. Hal.: 221.
3. Ibid. Hal.: .

Sabtu, 25 Juli 2020

Bentuk Panggilan Sidang

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Pejabat Pelaksana Pemanggilan Sidang", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Bentuk Panggilan.

Berdasarkan Pasal 390 ayat (1) HIR dan Pasal 2 ayat (3) Rv, Panggilan dilakukan dalam bentuk:[1]
  • Surat tertulis (in writing);
  • Lazim disebut surat panggilan atau relaas panggilan maupun berita acara panggilan; dan
  • Panggilan tidak dibenarkan dalam bentuk lisan (oral), karena sulit membuktikan keabsahannya. Oleh karena itu, panggilan dalam bentuk lisan tidak sah menurut hukum.
Sejauh mana cakupan, pengertian bentuk tertulis, perlu diperhatikan perluasan jangkauan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (3) Rv sebagai pedoman. Pasal ini membenarkan bentuk tertulis, meliputi:[2]
  • Telegram, dan
  • Surat tercatat.
Menurut pasal ini, panggilan yang dilakukan melalui telegram atau surat tercatat, dianggap sebagai panggilan atau pemberitahuan yang patut (properly). Bagaimana halnya bentuk panggilan elektronik melalui radio, televisi, atau komputer melalui internet? Dan bagaimana pula melalui iklan media cetak? Dari segi pendekatan hukum yang sempit dan kerangka berpikir formal, bentuk panggilan tersebut dianggap bertentangan dengan hukum. Akan tetapi zaman berubah, untuk mengakomodasi perubahan sosial, bentuk-bentuk tersebut kemudian diperbolehkan. Bahkan khusus mengenai bentuk panggilan melalui media cetak atau mass media, telah dibenarkan Pasal 27 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 9 Tahun 1975, dalam hal:[3]
  • Apabila yang dipanggil tidak diketahui tempat tinggalnya, panggilan dilakukan melalui pengumuman di salah satu atau beberapa surat kabar atau mass media;
  • Sekurang-kurangnya dilakukan dua kali;
  • Tenggang waktu antara pengumuman yang pertama dan kedua adalah satu bulan.
Penulis dapat menambahkan, bahwa seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi (internet), saat ini dalam praktik beracara, khususnya pada ranah acara perdata, telah memanfaatkan teknologi dimaksud, konkritnya relaas panggilan sidang dikirimkan ke alamat e-mail Para Pihak atau Kuasa hukumnya.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 220.
2. Ibid. Hal.: 220.
3. Ibid. Hal.: 220.

Jumat, 24 Juli 2020

Pejabat Pelaksana Pemanggilan Sidang

(getty images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Tahap Pemanggilan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Pejabat Pelaksana Pemanggilan Sidang.

Untuk mengetahui pejabat yang resmi berwenang melaksanakan atau melakukan pemanggilan, merujuk kepada Ketentuan Pasal 388 Jo. Pasal 390 ayat (1) HIR, dan Pasal 1 Rv:[1]
  • Dilakukan oleh Juru Sita, sesuai dengan kewenangan relatif yang dimilikinya;
  • Jika orang yang hendak dipanggil berada di luar yurisdiksi relatif yang dimilikinya, pemanggilan dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 5 Rv, yaitu mendelegasikan pemanggilan kepada Juru Sita yang berwenang di wilayah hukum tersebut.
Dari penjelasan di atas, kewenangan atau yurisdiksi relatif juru sita, mengikuti yurisdiksi relatif Pengadilan Negeri (PN) tempatnya berfungsi. Pemanggilan yang dilakukan juru sita di luar yurisdiksi relatif yang dimilikinya, merupakan pelanggaran dan merupakan pelampauan batas wewenang (exceeding its power), dan berakibat:[2]
  • Pemanggilan dianggap tidak sah (illegal), dan
  • atas alasan, karena pemanggilan dilakukan oleh Pejabat Juru Sita yang tidak berwenang (unauthorized bailif).
Sesuai dengan ketentuan Pasal 39 UU Nomor: 6 Tahun 1986, secara formil jabatan fungsional juru sita telah merupakan salah satu subsistem dalam organisasi Pengadilan Negeri. Fungsi utamanya, membantu panitera melaksanakan pemanggilan, pemberitahuan, penyitaan, dan eksekusi.[3]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 219.
2. Ibid. Hal.: 219.
3. Ibid. Hal.: 220.

Rabu, 22 Juli 2020

Tahap Pemanggilan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Penetapan Hari Sidang", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Tahap Pemanggilan.

Setelah dilampaui tahap pengajuan gugatan, pembayaran biaya perkara, registrasi perkara, dan penetapan majelis hakim tentang hari sidang, tahap selanjutnya adalah berupa tindakan pemanggilan pihak Penggugat dan Tergugat untuk hadir di depan persidangan pengadilan (hearing) pada hari dan jam yang ditentukan.[1]

Terkait dengan tahapan pemanggilan, terdapat berbagai permasalahan dan tindakan hukum yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan dan penerapan pemanggilan, seperti yang dimaksud di bawah ini.[2]

Majelis Hakim Memerintahkan Pemanggilan

Setelah menerima pelimpahan berkas dari Ketua Pengadilan Negeri, majelis pemeriksa perkara segera menetapkan hari sidang. Dalam penetapan diikuti pencantuman perintah kepada Panitera atau Juru Sita untuk memanggil kedua belah pihak (Penggugat dan Tergugat), supaya hadir di depan sidang Pengadilan pada waktu yang ditentukan untuk itu. Berdasarkan Pasal 121 ayat (1) HIR, pemanggilan itu meliputi perintah agar para pihak juga menghadirkan saksi-saksi mereka.[3]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 219.
2. Ibid. Hal.: 219.
3. Ibid. Hal.: 219.

What is a Bridging Visa?

( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Indonesia Immigration Implements Bridging ...