Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri Perubahan Gugatan. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri Perubahan Gugatan. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan

Jumat, 23 Juni 2023

Dasar Dan Alasan Hukum Mengajukan Peninjauan Kembali Perdata

 
(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Dasar Dan Alasan Hukum Mengajukan Kasasi Perdata", "Dasar Hukum Dan Alasan Mengajukan Banding Perkara Perdata" dan "Dasar Hukum Gugatan Perdata Wanprestasi Dan PMH", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Dasar Dan Alasan Hukum Mengajukan Peninjauan Kembali Perdata'.

Sejarah dan Pengertian Upaya Hukum Peninjauan Kembali

Konsep yang serupa dengan Peninjauan Kembali (PK) telah ada ketika Indonesia masih berada dalam kekuasaan pemerintah Hindia Belanda (1847-1940). Pada masa itu konsep memeriksa kembali suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dikenal dengan istilah Herziening van Arresten en Vonnissen dengan lembaga herziening sebagai pelaksana proses pemeriksaan. Ketentuan pelaksanaan herziening diatur dalam Het Reglement op de Strafvordering yang merupakan hukum acara pidana yang berlaku di pengadilan Raad van Justitie (RVJ) pada masa Hindia Belanda.[1]

Istilah peninjauan kembali dalam perundang-undangan nasional mulai dipakai pada Undang-Undang No 19 tahun 1964 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Dalam pasal 15 undang-undang tersebut disebutkan bahwa "Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimohon peninjauan kembali, hanya apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan, yang ditentukan dengan undang-undang". Permohonan PK dalam sistem peradilan umum di Indonesia diterima oleh Mahkamah Agung melalui Lembaga Peninjauan Kembali (Lembaga PK). Pada perkembangannya, keberadaan Lembaga PK dalam sistem peradilan di Indonesia mengalami tahap pasang-surut dalam arti kadang aktif kadang tidak. Sekitar tahun 1970-an, Lembaga PK menjadi tidak aktif. Lembaga PK kembali aktif dalam sistem peradilan Indonesia pada tahun 1980-an setelah terkuak kasus peradilan "Sengkon-Karta" yang menghebohkan dunia hukum Indonesia saat itu.[2]

Pengertian Peninjauan Kembali, adalah suatu upaya untuk memeriksa dan mementahkan kembali suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, guna membatalkannya. Permohonan peninjauan kembali tidak menghalangi jalannya eksekusi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.[3]

Peninjauan Kembali (PK) adalah 'suatu upaya hukum yang dapat ditempuh ... dalam suatu kasus hukum tertentu dan biasanya kasus hukum tersebut telah  memiliki kekuatan hukum tetap (Inkracht Van Gewijsde)'. Peninjauan kembali (PK) dapat dilakukan dalam perkara pidana maupun perdata.[4] Dalam konteks hukum Perdata, penulis memahami upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) sebagai lembaga peradilan luar biasa yang bisa diakses oleh Pihak pencari keadilan dalam hal adanya ketidakpuasan terhadap putusan perkara perdatanya yang telah berkekuatan hukum tetap. 

Dasar Hukum Peninjauan Kembali 

Adapun dasar hukum dari upaya hukum Peninjauan Kembali ini di antaranya yang paling utama adalah sebagai berikut:
  1. Undang-undang No.: 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
  2. Undang-undang No.: 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor: 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; dan
  3. Undang-undang No.: 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

Alasan Hukum Pengajuan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Perdata

Dalam putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, upaya hukum PK dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut (Pasal 67 UU Mahkamah Agung):[5]
  1. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
  2. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
  3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
  4. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
  5. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
  6. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
  7.  
Alasan-alasan hukum pengajuan upaya hukum PK di atas sepengalaman penulis sifatnya komplementer, artinya beberapa saja terpenuhi sudah cukup, tidak harus terdapat semuanya. 

Pasal 69 Undang-undang Mahkamah Agung juga mengatur terkait dengan jangka waktu. Tenggang waktu pengajuan permohonan uapaya hukum PK yang didasarkan atas alasan tersebut di atas adalah 180 hari untuk:[6]
  1. Yang disebut pada huruf 'a' sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;
  2. Yang disebut pada huruf 'b' sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;
  3. Yang disebut pada huruf 'c', 'd', dan 'f' sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;
  4. Yang tersebut pada huruf 'e' sejak sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara.

____________________
References:

1. "Peninjauan Kembali", id.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 23 Juni 2023, Link: https://id.wikipedia.org/wiki/Peninjauan_kembali
2. Ibid.
3. "Catat! Ini 2 Macam Upaya Hukum Perdata", www.hukumonline.com., Diakses pada tanggal 23 Juni 2023, Link: https://www.hukumonline.com/klinik/a/catat-ini-2-macam-upaya-hukum-perdata-lt63f6adcfdd1bf/
4. "PENINJAUAN KEMBALI (PK)", konspirasikeadilan.id., Fepi Patriani, Diakses pada tanggal 23 Juni 2023, Link: https://konspirasikeadilan.id/artikel/peninjauan-kembali-pk4555
5. "Aturan Permohonan Peninjauan Kembali (PK) Perkara Perdata", www.hukumonline.com., Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H., Diakses pada tanggal 23 Juni 2023, Link: https://www.hukumonline.com/klinik/a/aturan-permohonan-peninjauan-kembali-perkara-perdata-lt4a0bd93d0f7ac/
6. Ibid.

Kamis, 22 Juni 2023

Dasar Dan Alasan Hukum Mengajukan Kasasi Perdata

 
(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Dasar Hukum Dan Alasan Mengajukan Banding Perkara Perdata", "Dasar Hukum Gugatan Perdata Wanprestasi Dan PMH" dan "Contoh Memori Kasasi Perdata", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Dasar Dan Alasan Hukum Mengajukan Kasasi Perdata'.

Sejarah Dan Pengertian Kasasi 

Upaya hukum kasasi awalnya ada di Perancis. Setelah Belanda dijajah oleh Perancis, upaya hukum kasasi kemudian diterapkan di Netherland dan selanjutnya dilakukan oleh pemerintah Belanda dan dibawa ke Indonesia.[1]

Upaya hukum kasasi berasal dari kata kerja casser yang memiliki pengertian “membatalkan atau memecahkan” yang merupakan salah satu dari tindakan Mahkamah Agung RI sebagai pengawas tertinggi atas putusan-putusan pengadilan-pengadilan lain. Hal demikian disebabkan dalam tingkat kasasi yang tidak melakukan suatu pemeriksaan kembali dalam perkara tersebut.[2]

Pengertian kasasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Ahli. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kasasi adalah sebagai berikut:[3]
"Kasasi adalah pembatalan atau pernyataan tidak sah oleh Mahkamah Agung terhadap putusan hakim karena putusan tersebut menyalahi ataupun tidak sesuai dengan undang-undang".

Sedangkan menurut salah satu ahli, yaitu Tritaamidjaja, Kasasi diartikan sebagai berikut:[4]
"Pengertian kasasi ialah suatu jalan hukum yang gunanya untuk melawan keputusan-keputusan yang dijatuhkan dalam tingkat tertinggi yakni keputusan yang tak dapat dilawan atapun tidak dapat dimohon bandingan, baik karena kedua jalan hukum yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang, maupun didasarkan karena telah dipergunakan".

Bagi penulis, pengertian kasasi harus dikembalikan ke dalam tempatnya di dalam hukum acara, baik pidana, perdata, tata usaha negara dan lain-lainnya, yaitu sebagai upaya hukum terhadap putusan pada tingkat banding yang memeriksa kembali perkara dari aspek penerapan hukumnya (judex juris). 

Dasar Hukum Kasasi 

Ketentuan mengenai kasasi ini diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan diatur pula dalam Pasal 28 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 14 Tahun 1985 yang telah beberapa kali dirubah dan terakhir Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.[5]

Tenggang waktu untuk mengajukan kasasi adalah 14 hari sejak putusan atau penetapan Pengadilan Tinggi disampaikan kepada yang bersangkutan, serta 14 hari terhitung sejak menyatakan kasasi, pemohon wajib menyerahkan memori kasasi.[6]

Alasan Mengajukan Kasasi Dalam Perkara Perdata

Secara umum alasan dari seorang pihak mengajukan upaya hukum kasasi adalah adanya ketidakpuasan terhadap putusan pada tingkat Banding. Dengan kata lain, upaya hukum Kasasi merupakan upaya hukum yang dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan dan juga merasa kurang puas terhadap suatu putusan Judex facti, agar hakim Mahkamah Agung dapat memeriksa kembali perihal penerapan hukum dalam putusan dimaksud.[7]

Berbeda dengan banding, memori banding bukanlah menjadi kewajiban bagi pemohon banding, akan tetapi dalam kasasi, memori kasasi adalah kewajiban bagi pemohon kasasi untuk diserahkan. Artinya, apabila memori kasasi itu tidak dibuat, permohonan kasasi akan ditolak.[8]

Selain alasan umum dari seorang pihak mengajukan upaya hukum kasasi di atas, juga terdapat alasan-alasan yang sifatnya teknis hukum. Untuk melakukan kasasi, harus ada alasan-alasan yang digunakan sebagai dasar kasasi yaitu putusan atau penetapan pengadilan:[9]
  1. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
  2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; dan
  3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Berdasarkan dari Undang-undang No.: 5 Tahun 2004, Pasal 30 ayat (1) yang menyebutkan bahwa secara limitatif alasan-alasan dalam Permohanan Kasasi yakni:[10]

a. Tidak Berwenang ataupun Melampaui Batas Wewenang

Hakikatnya, pengertian tidak berwenang dalam ini bertendensi kepada suatu kompetensi relatif (relatieve competentie) dan kompetensi absolut (absolute competentie). Contoh konkretnya, Judex facti in casu suatu pengadilan Niaga telah mengadili perkara kepailitan dan PKPU yang seolah-olah merupakan kewenangannya, padahal sebenarnya mengenai judex facti tidak berwenang atau bukan merupakan kewenangannya. Sedangkan dalam alasan kasasi disebabkan judex facti yang melampui batas wewenang adalah bahwa judex facti telah mengadili tidak sesuai atau melebihi kewenangan yang ditentukan dalam Undang-Undang. Adapun perihal melampaui batas wewenang dapat diartikan sebagai Judex facti dalam putusannya telah mengabulkan lebih dari pada yang telah diminta Penggugat dalam surat gugatannya.[11]

b. Salah Menerapkan atau Melanggar Hukum yang Berlaku

Hakikat salah menerapkan hukum diartikan secara sederhana sebagai keliru memilah mana yang merupakan ketentuan hukum formal maupun hukum materiilnya. Kesalahan demikian dilihat dari penerapan hukum yang seharusnya diberlakukan. Sedangkan melanggar hukum bertendensi pada salah dan juga tidak sesuai serta bertentangan dari ketentuan yang seharusnya telah digariskan oleh Undang-Undang.[12]

c. Lalai Memenuhi Syarat-syarat yang Diwajibkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang Mengancam Kelalaian Itu dengan Batalnya Putusan yang Bersangkutan

Menurut hemat penulis, hal ini berarti ada kewajiban dari Judex Facti agar terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Tidak terpenuhinya syarat-syarat hukum ini oleh Judex Facti  dikualifikasi sebagai kelalaian yang kemudian harus dikoreksi oleh Judex Juris. Dalam hal kewajiban pemenuhan syarat-syarat ini tidak dipenuhi, maka Mahkamah Agung sebagai Judex Juris mempunyai kewenangan untuk membatalkan putusan pada tingkat dibawahnya. 

____________________
References:

1. "Pengertian Kasasi, Alasan, Proses & Fungsi Kasasi Bag I", tribratanews.kepri.polri.go.id., Diakses pada tanggal 22 Juni 2023, Link: https://tribratanews.kepri.polri.go.id/2021/06/02/pengertian-kasasi-alasan-proses-fungsi-kasasi-bag-i/
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. "Upaya Hukum Perdata", pn-karanganyar.go.id., Diakses pada tanggal 22 Juni 2023, Link: https://pn-karanganyar.go.id/main/index.php/tentang-pengadilan/kepaniteraan/kepaniteraan-perdata/719-upaya-hukum-perdata
6. "Catat! Ini 2 Macam Upaya Hukum Perdata", www.hukumonline.com., Diakses pada tanggal 22 Juni 2023, Link: https://www.hukumonline.com/klinik/a/catat-ini-2-macam-upaya-hukum-perdata-lt63f6adcfdd1bf/
7. tribratanews.kepri.polri.go.id., Op. Cit.
8. www.hukumonline.com., Op. Cit.
9. www.hukumonline.com., Op. Cit.
10. tribratanews.kepri.polri.go.id., Op. Cit.
11. tribratanews.kepri.polri.go.id., Op. Cit.
12. tribratanews.kepri.polri.go.id., Op. Cit.

Jumat, 14 April 2023

Contoh Akta Jual Beli Saham

 
(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo



JUAL BELI SAHAM
Nomor : 12

Pada hari ini, Senin, tanggal 22-6-2009 (dua puluh dua Juni dua ribu sembilan), pukul 11.20 (sebelas lewat dua puluh menit) Waktu Indonesia Barat. ---------------------------            
Menghadap kepada saya, (...) Sarjana Hukum, Notaris di Kota Bandung, dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang saya, notaris kenal dan akan disebutkan pada bagian akhir akta ini : ---------------------------

                   I. Tuan A, dst -------------------------------------------------------------------------------------
- menurut keterangannya dalam melakukan tindakan hukum tersebut dibawah ini telah mendapat persetujuan dari isterinya yaitu Nyonya A (...) Warga Negara Indonesia, yang turut pula menghadap kepada saya, notaris; --------------------------
                     - pihak pertama selanjutnya disebut "Penjual". --------------------------------------------
                   II. Tuan B, dst ------------------------------------------------------------------------------------ 
                     - pihak kedua, disebut pula "Pembeli"; ------------------------------------------------------
                   Para penghadap telah dikenal oleh saya, notaris. --------------------------------------------

Para penghadap pihak pertama menerangkan dengan ini telah menjual kepada penghadap pihak kedua, yang menerangkan dengan ini telah menerima membeli dari pihak pertama: sebanyak 15 (lima belas) saham, dalam perseroan terbatas "PT.         ", 
berkedudukan di Kota Bandung, Jalan (…) yang akta pendiriannya dan seluruh anggaran dasarnya serta perubahannya telah mendapat pengesahan dan persetujuan dari instansi yang berwenang, berdasarkan:--------------------------------------------------

- Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tanggal (...) nomor (...)  dan telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal (...) nomor (...), Tambahan Berita Negara nomor (...); -
- Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tanggal (...) nomor (...), dan telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal (...)  nomor (...), Tambahan Berita Negara nomor (...), dan perubahan terakhir atas anggaran dasar  perseroan telah mendapat persetujuan dari instansi yang berwenang, demikian berdasarkan : ---------------------------------------------
-  Keputusan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia tanggal (...) nomor (...)Berita Negara Republik Indonesia tanggal (...) nomor (...), Tambahan Berita Negara nomor (...) ; ---------------
-  selanjutnya dalam akta ini disebut pula "Perseroan"; -------------------------------               
dengan masing-masing saham bernilai nominal sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah). --------------------------------------------------------------------------------------------- 
                  Penjualan saham tersebut telah mendapat persetujuan dari para pemegang saham Perseroan sebagaimana ternyata dalam akta Risalah Rapat tertanggal hari ini nomor 10, yang telah dibuat oleh saya, notaris. ------------------------------------------------------

Selanjutnya para penghadap bersama ini menerangkan bahwa jual-beli saham ini telah dilakukan dan diterima dengan harga seluruhnya sebesar Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) untuk semua saham-saham tersebut dan uangnya oleh pembeli kepada penjual telah dibayar dengan tunai sebelum penandatanganan akta ini, sehingga akta ini oleh kedua belah pihak dinyatakan berlaku pula sebagai kuitansinya yang sah dan selanjutnya dengan peraturan-peraturan dan syarat-syarat sebagai berikut : ----

                   ---------------------------------------------- Pasal 1 ----------------------------------------------

                  Pembeli mulai hari ini menerima saham yang dibeli olehnya, oleh karena itu segala keuntungan, pendapatan, kerugian dan pajak mengenai yang dibeli itu mulai hari ini pula menjadi milik dan tanggungan pembeli. -------------------------------------------------------------------------------------

                   --------------------------------------------- Pasal 2 ----------------------------------------------

                  Pihak penjual menjamin bahwa apa yang dijual ersebut adalah benar miliknya dan ia berhak untuk melakukan penjualan tersebut dan bahwa apa yang dijual tersebut tidak digadaikan atau dibebani dengan apapun juga sehingga pembeli diberi jaminan bahwa terhadap penjualan ini pembeli dikemudian hari tidak akan mendapat gangguan dan/atau rintangan apapun juga. ---------------------------

                   ---------------------------------------------- Pasal 3 ----------------------------------------------

                  Pembeli mengetahui dengan betul keadaan Perseroan tersebut, sehingga tentang hal ini dikemudian hari tidak akan terjadi gugatan/tuntutan apapun juga kepada penjual.---------------------

                   ---------------------------------------------- Pasal 4 ----------------------------------------------

                  Pada waktu akta ini ditandatangani, surat-surat bukti saham dari Perseroan tersebut belum dicetak, hal mana telah diketahui oleh pembeli.-------------------------------------
                  Penyerahan dari (surat-surat bukti) saham tersebut di atas akan dilakukan sebagaimana mestinya atau menurut peraturan hukum. -------------------------------------
                  Untuk seperlunya pihak pertama dengan ini memberikan kekuasaan sepenuhnya kepada pihak kedua dengan hak untuk memindahkan kekuasaan tersebut kepada orang lain (substitusi) khusus untuk mengurus agar saham tersebut di atas tertulis dan terdaftar (di balik nama) ke atas nama pihak kedua  baik pada surat-surat bukti saham maupun dalam daftar pemegang saham yang bersangkutan. ---

                   -------------------------------------------- Pasal 5 ------------------------------------------------

                  Penjual bersama ini menerangkan memberi kekuasaan kepada pembeli, kekuasaan mana adalah kekuasaan tetap yang tidak dapat dicabut kembali serta tidak akan berakhir karena dasar-dasar/sebab-sebab yang tercantum dalam Undang-Undang untuk mengakhiri sesuatu kuasa karena kekuasaan ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari akta ini yang tidak akan dibuat jika kekuasaan ini dapat dihapuskan untuk meminta kepada Direksi Perseroan agar saham yang dibeli tersebut dipindahkan atas nama pembeli. ----------------------------------------------------------------

                   ------------------------------------------- Pasal 6 -------------------------------------------------                  
                  Untuk segala urusan mengenai perjanjian ini dengan segala akibatnya para pihak memilih tempat tinggal umum dan tetap pada Kantor Panitera Pengadilan Negeri (...) Kota Bandung. ------------------------------------------------------------------------------------
                   ----------------------------------- DEMIKIAN AKTA INI : -----------------------------------
(...)
____________________
Reference:

1. "Contoh Akta", lab-hukum.umm.ac.id., Diakses pada tanggal 21 Maret 2023, Link: https://lab-hukum.umm.ac.id. Hal.: 55-57.

Sabtu, 01 April 2023

Mengenal Istilah Jual Lepas, Jual Gadai dan Jual Tahunan dalam Hukum Tanah

 
(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Contoh Surat Kuasa Permohonan Perubahan Akta Kelahiran", "Contoh Gugatan Sengketa Tanah", "Contoh Perjanjian Jual Beli Tanah", "How To Buy Land In Indonesia?" dan "Principles of Buying Land in Indonesia", pada perkuliahan kali ini akan dibahas mengenai 'Mengenal Istilah Jual Lepas, Jual Gadai dan Jual Tahunan dalam Hukum Tanah'.

Jual lepas mengenai tanah ialah penyerahan sebidang tanah untuk selama-lamanya dengan penerimaan uang kontan (atau dibayar dahulu untuk sebagian), uang mana disebutkan--sebagai--uang pembelian. Dengan terlaksananya perjanjian jual-beli itu maka beralih lah hak milik tanah itu dari si penjual kepada si pembeli. Saat beralihnya hak milik tersebut ialah pada waktu si penjual dan si pembeli mengikrarkan perjanjian jual beli itu, dan uang pembelian telah diserahkan.[1]

Jual gadai ialah penyerahan tanah dengan pembayaran sejumlah uang secara kontan, (se)demikian rupa sehingga yang menyerahkan tanah itu masih mempunyai hak untuk mengembalikan tanah itu kepadanya dengan pembayaran kembali sejumlah uang yang tersebut. Termasuk juga seperti empang ikan dan sebagainya. Jual gadai juga dinamakan suatu perjanjian pelunasan (delgingsovereenkomst).[2]

Jual tahunan ialah penyerahan sebidang tanah kepada orang lain dengan pemberian sejumlah uang oleh orang lain itu dengan perjanjian bahwa setelah tanah itu ada beberapa waktu di tangan orang lain itu umpamanya 3 atau 4 tahun maka tanah akan dikembalikan. Jual tahunan ini dapat dipersamakan dengan persewaan dengan membayar sewa lebih dahulu (huur met vooruitbetaalde huur-schat). Jadi dianggap sebagai sewa akan tetapi uang sewanya telah dibayar lebih dahulu.[3] 

____________________
References:

1. "Jual Lepas, Jual Gadai dan Jual Tahunan" (Cetakan ke-3), Prof. S.A. Hakim, S.H., Elstar Offset ELEMAN, Bandung, 1975, Hal.: 9.
2. Ibid., Hal.: 28.
3. Ibid., Hal.: 52.

Kamis, 09 Maret 2023

Contoh Gugatan Pra Peradilan Alasan Status Tersangka

 
(iStock)

By:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Strange case, Robbing IDR 345.000,- Then Hide in a Cave for 14 Years", "Contoh Gugatan Di PTUN" dan "Contoh Surat Tuntutan Pidana Penipuan", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Contoh Gugatan Pra Peradilan Alasan Status Tersangka'. Sebelumnya juga telah pernah dimuat mengenai "Contoh Gugatan Pra Peradilan Pembatalan SP3", sehingga artikel ini merupakan artikel kedua yang sejenis.  Perhatikan contoh berikut ini:[1]


GUGATAN PRAPERADILAN

PERMOHONAN PRAPERADILAN

  ATAS NAMA PEMOHON :

……………………………………………………………………

 Terhadap

 Penetapan sebagai tersangka dalam dugaan Tindak Pidana Penipuan dan  Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 dan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Polri Daerah Metro Jaya Direktorat Reserse Kriminal Umum.

 MELAWAN

 DITREKRIMUM POLDA METRO JAYA

 Sebagai TERMOHON



Oleh :

Advokat / Penasehat Hukum dan Konsultan Hukum pada Kantor Hukum

S A & P

 DI PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN



Kepada Yth.
KETUA PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN
Jl. Ampera Raya, No. 133,
Jakarta Selatan 12550. 

Hal  :  Permohonan Praperadilan atas Nama …………………….. 


Dengan Hormat,

Perkenankanlah kami :

DR. (can) S A, SH., MH., H N, SH., M. D K, SH., S, SH. kesemuanya adalah Advokat dan Konsultan Hukum pada “S A & P” Advocate & Legal Consultant yang beralamat di Jl. HR. Rasuna Said, Kawasan Epicentrum Utama, Mall Epicentrum Walk, Office Suites A529, Kuningan – Jakarta Selatan 12940, Telp. (021) 5682703, HP. 0816521799, Email : saifulanam_law@yahoo.com.

Dalam hal ini bertindak berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal …………… 2016, baik secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama …………………………………………………………………………………, selanjutnya disebut sebagai PEMOHON.

——————–M E L A W A N———————

DITREKRIMUM POLDA METRO JAYA yang beralamat di Jl. Jenderal Sudirman 55 Jakarta 12190 selanjutnya disebut sebagai TERMOHON.

untuk mengajukan permohonan Praperadilan terhadap Penetapan sebagai tersangka dalam dugaan Penipuan dan  Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 dan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Polri Daerah Metro Jaya Direktorat Reserse Kriminal Umum.

Adapun yang menjadi alasan permohonan pemohon adalah sebagai berikut :

I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

a. Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.

b. Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”

c. Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

d. Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.

e. Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :

1. Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011
2. Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012
3. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012
4. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015
5. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015
Dan lain sebagainya

f. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :

Mengadili,

Menyatakan :

Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
[dst]
[dst]
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;

g. Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.


II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

1. PEMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI CALON TERSANGKA

Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.

“Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),”

Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka  untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.

Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas Pemohon sebagai calon tersangka. Berdasar pada Surat Panggilan untuk pertama kali dan satu-satunya oleh Termohon, yakni melalui surat panggilan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon dengan Nomor SPGL/1727/IX/2015/Ditreskrimum tertanggal 17 September 2015 tidak pernah membuktikan Pemohon diperiksa sebagai calon tersangka, akan tetapi Pemohon langsung dipanggil sebagai Tersangka oleh Termohon, sehingga tidak dengan seimbang Pemohon dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada Pemohon. Pemohon hanya diperiksa untuk pertama kali oleh Termohon pada pada saat setelah ditetapkan sebagai Tersangka yakni pada tanggal 21 September 2015.

Untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya. Tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.

Dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa pemeriksaan calon tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo.

2. TIDAK PERNAH ADA PENYELIDIKAN ATAS DIRI PEMOHON

Bahwa sebagaimana diakui baik oleh Pemohon maupun Termohon, bahwa penetapan tersangka atas diri Pemohon baru diketahui oleh Pemohon berdasarkan surat panggilan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon dengan Nomor SPGL/1727/IX/2015/Ditreskrimum tertanggal 17 September 2015. Bahwa apabila mengacu kepada surat panggilan tersebut, tidak pernah ada surat perintah penyelidikan kepada Pemohon. Padahal sesuai Pasal 1 angka 1 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan.

Bahwa hal itu senada dengan penyelidikan dan penyidikan, menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.

Lebih lanjut, Yahya Harahap menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.

Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama Pemohon.

Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan dengan Pemohon dengan tidak pernah diterbitkannya surat perintah penyelidikan atas diri pemohon, maka dapat dikatakan penetapan tersangka dengan atau tanpat surat perintah penyelidikan dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan.
 
3. PEMOHON DITETAPKAN SEBAGAI TERSANGKA, AKAN TETAPI TERUS-MENERUS DILAKUKAN PENYIDIKAN

Bahwa Pemohon ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 27 Agustus 2015, pada tanggal 21 September 2015 Pemohon masih dipanggil untuk dimintai keterangan untuk yang pertama kalinya melalui surat panggilan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon dengan Nomor SPGL/1727/IX/2015/Ditreskrimum tertanggal 17 September 2015. Kemudian telah terdapat 2 (dua) kali pengembalian berkas perkara dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta (P-19) berdasarkan Surat (P-19) Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta No. B5276/0.1.1/Epp.1/08/2016 tertanggal 4 Agustus 2016 dan Surat (P-19) Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta No. B-7163/0.1.1/Epp.1/11/2015 tertanggal 26 Nopember 2015, akan tetapi Pemohon masih dipanggil pada tanggal 13 september 2016 untuk pemeriksaan dalam rangka penyidikan tindak pidana berdasarkan surat Panggilan Nomor SPGL/16559/IX/2016/Ditreskrimum tertanggal 8 september 2016 untuk pemeriksaan penyidikan dari Polda Metro Jaya.

Bahwa hal tersebut merupakan salah satu bentuk kesewenang-wenangan Penyidik, dimana berkas perkara telah dinyakan lengkap (P-21), akan tetapi masih dilakukan pemanggilan untuk dimintai keterangan, dengan demikian sangat bertentangan dengan makna sesungguhnya dari pengertian “PENYIDIKAN” itu sendiri. Hal mana dalam proses penyelidikan belum ada tersangka, kalaupun ada orang yang diduga pelaku tindak pidana. Sedangkan penetapan tersangka merupakan proses yang terjadi kemudian, letaknya di akhir proses penyidikan. Menemukan tersangka menjadi bagian akhir dari proses penyidikan. Bukan penyidikan baru ditemukan tersangka. Hal itu sesuai dengan Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan dalam KUHAP.

Bahwa hal tindakan Termohon telah melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b yang pada intinya menyatakan dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum. Sehinga dengan demikian apabila telah dinyatakan (P-21). Penyidik tidak dapat lagi melakukan pemeriksaan guna kepentingan penyidikan.

Bahwa berdasar pada uraian diatas, dimana penyidik telah menyatakan (P-21) akan tetapi masih dipanggil untuk dilakukan pemeriksaan guna kepentingan penyidikan, maka surat panggilan tersebut merupakan panggilan yang tidak sah dikarenakan Penyidik tidak memiliki kompetensi guna melakukan Penyidikan, karena beban tugas dan tanggung jawab telah berpindah kepada Jaksa Penuntut Umum. Untuk itu tindakan Penyidik yang demikian merupakan tindakan yang unprosedural, sehingga dengan demikian penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dikategorikan cacat hukum.
 
4. TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA

Bahwa Termohon dalam menetapkan tersangka dalam dugaan Penipuan dan Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 dan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Polri Daerah Metro Jaya Direktorat Reserse Kriminal Umum kepada Pemohon hanya berdasar pada 15 Keterangan Saksi, 1 keterangan ahli hukum, dan 1 dokumen yang telah disita, hal ini berdasar pada surat panggilan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon dengan Nomor SPGL/1727/IX/2015/Ditreskrimum tertanggal 17 September 2015.

Bahwa sebagaimana diketahui melalui pengembalian berkas perkara oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, terdapat 2 (dua) kali pengembalian berkas perkara dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta (P-19) berdasarkan Surat (P-19) Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta No. B5276/0.1.1/Epp.1/08/2016 tertanggal 4 Agustus 2016 dan Surat (P-19) Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta No. B-7163/0.1.1/Epp.1/11/2015 tertanggal 26 Nopember 2015, dimana menurut masih terdapat kekurangan salah satunya alat bukti yang harus dilengkapi baik secara formil maupun materiil.

Bahwa melalui surat kejaksaan tinggi tanggal 26 November 2015 telah diyatakan bahwa dalam waktu 14 (empat belas) hari saudara melengkapi kelengkapan formil dan materil berkas perkara. kemudian melalui surat kejaksaan tinggi tanggal 4 agustus 2016 menyatakan masih terdapat kekurangan untuk dilengkapi. Terhadap 2 (dua) surat Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta tersebut, Termohon tidak dan atau belum pernah melengkapi yang sedianya wajib dilengkapi oleh Termohon, akan tetapi Termohon tetap menyatakan diri telah lengkap dengan menyatakan (P-21) melalui surat Panggilan Nomor SPGL/16559/IX/2016/Ditreskrimum tertanggal 8 september 2016.

Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP.

Bahwa berdasar pada argument-argument sebelumnya, maka Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan Penipuan dan Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 dan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Polri Daerah Metro Jaya Direktorat Reserse Kriminal Umum kepada Pemohon, mengingat dalam pemeriksaan oleh Termohon, termohon selalu mendasarkan pada alat bukti yang sebelumnya telah dinyatakan belum lengkap oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan Pemohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum.
 
5. PERBUATAN PEMOHON MURNI MERUPAKAN HUBUNGAN HUKUM KEPERDATAAN

Bahwa pembelian saham antara Pelapor dengan Pemohon dituangkan dalam bentuk Perjanjian Master Agrement tanggal 25 Mei 2013, dan atas kesepakatan tersebut telah dibuat akta kesepakatan dihadapan Notaris Saharto Suhardjo, SH, yaitu Akta Gadai Saham No. 7 tertanggal 29 Agustus 2013, kemudian dilanjutkan dengan Akta Notaris No. 3 tanggal 5 September 2013. Terhadap akta perjanjian tersebut telah memunculkan perikatan antar kedua belah pihak yang bersifat pos factum, yaitu fakta terjadi setelah peristiwa yang dilaporkan oleh pelapor. Untuk itu hubungan hukum antara kedua belah pihak merupakan hubungan hukum yang bersifat keperdataan.

Bahwa terdapat perbedaan antara Wanprestasi dan Penipuan. Wanprestasi dapat berupa: (i) tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan; (ii) melaksanakan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya; (iii) melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat; atau (iv) melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Pihak yang merasa dirugikan akibat adanya wanprestasi bisa menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian atau meminta ganti kerugian pada pihak yang melakukan wanprestasi. Ganti kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata-nyata telah dikeluarkan, kerugian yang timbul sebagai akibat adanya wanprestasi tersebut, serta bunga. Wanprestasi ini merupakan bidang hukum perdata. Sedangkan penipuan masuk ke dalam bidang hukum pidana (delik pidana) (ps. 378 KUHP). Seseorang dikatakan melakukan penipuan apabila ia dengan melawan hak bermaksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain. “Melawan hak” di sini bisa dicontohkan memakai nama palsu, perkataan-perkataan bohong, dll.

Bahwa berdasar pada kenyataan yang terjadi pada Pemohon, antara pemohon dengan pelapor diikat melalui perjanjian yang sama-sama beritikat baik untuk memenuhi perjanjian, tidak ada maksud melakukan penipuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, sehinga dengan demikian tidak tepat apabila Pemohon disangka melakukan dugaan Penipuan dan  Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 dan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena hubungan hukumnya merupakan hubungan hukum keperdataan.

Bahwa hal itu juga diperkuat oleh surat kejaksaan tinggi tanggal 26 November 2015 (Surat (P-19) Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta No. B-7163/0.1.1/Epp.1/11/2015) telah menyatakan bahwa hubungan hukum yang dilaporkan oleh pelapor bukanlah termasuk tindak pidana penipuan melainkan keperdataan dalam hubungannya dengan masalah Wanprestasi. Hal ini sejalan dengan perkara perdata yang masih berjalan di Pengadilan yang dimohonkan oleh Pelapor.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka tidak dapat dikatakan Pemohon dapat kenakan Pasal-Pasal dalam dugaan Penipuan dan  Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 dan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana seperti halnya dilakukan Termohon kepada Pemohon.
 
6. PENGEMBALIAN BERKAS DARI KEJAKSAAN KE KEPOLISIAN DALUARSA (TIDAK SAH)

Bahwa berdasar pada Pasal 138 ayat (2) KUHAP dinyatakan bahwa Penyidik wajib melengkapi berkas perkara dalam waktu 14 (empat belas) hari.

Bahwa berdasar surat Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta kepada Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya pengembalian berkas perkara oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, melalui Surat (P-19) Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta No. B-7163/0.1.1/Epp.1/11/2015 tertanggal 26 Nopember 2015, bahwa Berkas perkara H. Naldy Haroen dikembalikan dikarenakan secara Formil dan Materiil tidak lengkap, serta diperintahkan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari untuk dilengkapi. Serta isi dari surat tersebut pada intinya menyatakan BAHWA HUBUNGAN HUKUM YANG DILAPORKAN OLEH PELAPOR BUKANLAH TERMASUK TINDAK PIDANA PENIPUAN MELAINKAN KEPERDATAAN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN MASALAH WANPRESTASI.

Bahwa dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana diperintahkan oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dan berdasar pada Pasal 138 ayat (2) KUHAP, Termohon tidak dapat melengkapi kekurangan berkas perkara dengan sebagaimana mestinya.

Bahwa selain itu berdasar pada Surat dari BARESKRIM MABES POLRI Nomor B/4284/WAS/VI/2016/Bareskrim tertanggal 30 Juni 2016 (copy terlampir) telah memerintahkan kepada Termohon untuk “MENGHENTIKAN PENYIDIKAN DENGAN ALASAN BUKAN MERUPAKAN TINDAK PIDANA”

Bahwa berdasarkan Surat (P-19) Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta No. B5276/0.1.1/Epp.1/08/2016 tertanggal 4 Agustus 2016 (8 bulan setelah diperintahkan untuk melengkapi berkas perkara) bahwa Perbaikan Berkas perkara H. Naldy Haroen diterima pada tanggal 23 Juni 2016 dan masih terdapat kekurangan baik dari segi Formil dan Materiil, dengan demikian membuktikan Penyerahan Kekurangan Berkas Perkara H. Naldy Haroen cacat prosedur, dimana melebihi jangka waktu yang ditentukan yakni maksimal 14 (empat belas) hari. Apabila merujuk kepada surat Kejaksaan Tinggi tanggal 26 November 2015 dan surat kejaksaan tinggi tanggal 4 agustus 2016, terdapat tenggang waktu 8 (delapan) bulan guna melengkapi berkas perkara dari Kepolisian kepada Kejaksaan.

Bahwa kuat dugaan telah terjadi PENYALAHGUNAAN kewenangan dikarenakan kuat dugaan Penyidik dalam melengkapi kekurangan berkas Perkara kepada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta berdasarkan Surat (P-19) Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta B5276/0.1.1/Epp.1/08/2016 tertanggal 4 Agustus 2016 (copy terlampir) CACAT HUKUM, dikarenakan telah melebihi jangka waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana ditentukan dalam Pasal 138 ayat (2) KUHAP (kurang lebih 8 bulan dalam melengkapi kekurangan berkas Perkara), dan berdasarkan Surat (P-19) Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta No. B-7163/0.1.1/Epp.1/11/2015 tertanggal 26 Nopember 2015 (copy terlampir), Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta telah menentukan sikap bahwa “HUBUNGAN HUKUM YANG DILAPORKAN OLEH PELAPOR BUKANLAH TERMASUK TINDAK PIDANA PENIPUAN MELAINKAN KEPERDATAAN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN MASALAH WANPRESTASI”, serta diperkuat melalui Surat dari BARESKRIM MABES POLRI Nomor B/4284/WAS/VI/2016/Bareskrim tertanggal 30 Juni 2016 (copy terlampir) telah memerintahkan bahwa “MENGHENTIKAN PENYIDIKAN DENGAN ALASAN BUKAN MERUPAKAN TINDAK PIDANA”.

Berdasar pada analisa diatas, maka jelas penyerahan berkas perkara dari Termohon kepada Jaksa Penuntut Umum adalah cacat hukum, mengingat telah melewati jangka waktu yang telah ditentukan oleh KUHAP, untuk itu penetapan tersangka terhadap Pemohon tidak sah.
 
7. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM

1. Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.

2. Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama  dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.

3. Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’

4. Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).

5. Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :

ditetapkan oleh pejabat yang berwenang

– dibuat sesuai prosedur; dan

– substansi yang sesuai dengan objek Keputusan

Bahwa sebagaiman telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku.

6. Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan A Quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :

Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah

Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan.

7. Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keuputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.


III. PETITUM

Berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :

1. Menyatakan diterima permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;

2. Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka dengan dugaan Penipuan dan Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 dan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Polri Daerah Metro Jaya Direktorat Reserse Kriminal Umum adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

3. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;

4. Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon;

5. Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;

6. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.

PEMOHON  sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara a quo  dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.

Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa Permohonan a quo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Jakarta, 28 September 2016

Hormat kami,
Advokat / Penasehat Hukum dan Konsultan Hukum pada kantor hukum
S A & P


Meterai Rp. 10.000,-
Ttd.

DR. (can) S A, SH., MH.


________________
Reference:

1. "CONTOH GUGATAN PRAPERADILAN", www.saplaw.top., Diakses pada tanggal 5 Maret 2023, Link: https://www.saplaw.top/contoh-gugatan-praperadilan/


Senin, 05 Desember 2022

Contoh Blangko Surat Permohonan Perselisihan Hasil Pilkada

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Crypto Master Falls Poor, His Company Debts IDR 48 Trillion!", "Mendorong Pengisian Jabatan Wakil Gubernur D.K.I. Jakarta Melalui Mekanisme Gugatan". "Perbedaan Pilpres Di Amerika Dengan Indonesia" dan "Golput Sebagai Anomali dalam Logika Aristotelian Undang-undang PEMILU", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Contoh Blangko Surat Permohonan Perselisihan Hasil Pilkada '.


CONTOH PERMOHONAN PERSELISIHAN HASIL PILKADA KABUPATEN / KOTA / PROVINSI

PERMOHONAN PERSELISIHAN HASIL

PILKADA KABUPATEN …………

 

PERMOHONAN KEBERATAN

ATAS HASIL PENGHITUNGAN SUARA

PEMILIHAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

KABUPATEN …………….. TAHUN 2015

Antara :

………………………….. dan …………………………..

Calon Bupati & Wakil Bupati …………………………..

Pasangan Calon No. Urut 1  ……………………………..    selaku PEMOHON I

………………………….. dan …………………………..

Calon Bupati & Wakil Bupati …………………………..

Pasangan Calon No. Urut 2   …………………………….   selaku PEMOHON II

M e l a w a n :

KPU Kabupaten ………..   …………………………. selaku TERMOHON

Di

MAHKAMAH KONSTITUSI  REPUBLIK INDONESIA


Jakarta,  21 Desember 2015

Kepada Yth,
Ketua Mahkamah Konstitusi
di-
    Jl. Medan Merdeka Barat No. 6
    Jakarta 10110.


Perihal: Permohonan Keberatan Atas Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ………………, Provinsi ……….. Tahun 2015



Dengan hormat,

Bersama ini :

N a m a   :
Alamat    :
No. KTP :

N a m a   :
Alamat    :
No. KTP :

adalah Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati ………………………….. masa jabatan 2015 – 2020  Nomor Urut ………………………….. dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) ………………………….. Tahun 2015 selanjutnya disebut sebagai PEMOHON I.

N a m a   :
Alamat    :
No. KTP :

N a m a   :
Alamat    :
No. KTP :

adalah Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati ………………………….. masa jabatan 2015 – 2020  Nomor Urut ………………………….. dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) ………………………….. Tahun 2015 selanjutnya disebut sebagai PEMOHON I.

Pemohon I dan Pemohon II secara bersama-sama disebut sebagai PARA PEMOHON.

Masing-masing Pemohon I dan Pemohon II berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal ………………. memberikan Kuasa kepada ……………….. dan …………….. adalah para advokat pada …………………………….., Yang beralamat di …………………………………….., baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama bertindak untuk dan atas kepentingan Pemohon I,  dan II  sepakat untuk memilih domisili hukum dalam mengajukan Permohonan PHP ini di Kantor ……………………………………….

Para Pemohon mengajukan Permohonan Keberatan atas Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Tingkat Kabupaten oleh Komisi Pemilihan Umum ………….. dan Keputusan Komisi Pemilihan Umum ………………………. Nomor ……………………. tentang penetapan Hasil dan Calon Terpilih Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten …………………. Tahun 2015 tanggal ……………., yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten ………………., beralamat di ……………………………, untuk selanjutnya disebut sebagai; TERMOHON.

Adapun alasan dan argumen hukum permohonan keberatan a quo sebagaimana terurai di bawah ini :

I. Kewenangan Mahkamah

Bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 junctis Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang, dan Pasal 2 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Mahkamah Konstitusi berwenang memeriksa dan mengadili Perkara Perselisihan Penetapan Perolehan Suara Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota sampai dibentuknya badan peradilan Khusus;

II. Kedudukan Hukum (Legal Standing)

Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 157 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang, serta Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota diatur ketentuan antara lain:
  1. Pengajuan Permohonan pembatalan Penetapan hasil perhitungan dengan perolehan suara oleh KPU/KIP Propinsi dan KPU/KIP Kabupaten/Kota dapat diajukan oleh para pasangan calon peserta Pemilihan;
  2. Selain dapat diajukan oleh Pasangan Calon Peserta Pemilihan sebagaimana dimaksud ayat (1), Permohonan dapat diajukan oleh Pemantau Pemilihan.

Bahwa, Pemohon I adalah Pasangan Calon Pilkada …………………. Tahun 2015 dengan Nomor Urut 1 dan Pemohon II adalah Pasangan Calon Pilkada ……………….. Tahun 2015 dengan Nomor Urut 2, maka sesuai uraian beberapa pasal tersebut di atas, Para Pemohon dapat dikualifikasi memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Kabupaten ………………… Tahun 2015;

III. Tenggang Waktu Pengajuan Permohonan

Bahwa Termohon telah membuat Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada tanggal …………….;

Permohonan Keberatan yang diajukan oleh PEMOHON atas Berita Acara a quo tersebut di atas telah diajukan dalam suatu berkas permohonan keberatan kepada Mahkamah Konstitusi R.I. pada tanggal  ……………………;

Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 157 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang, serta Pasal 10 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menentukan, permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara Pilkada diajukan ke Mahkamah paling lambat batas waktu 3×24 jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh masing-masing KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 157 ayat (5) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Keputusan Termohon tersebut ditetapkan hari ……………………….., dan PEMOHON telah mengajukan permohonan kebaratan dimaksud pada hari  ……………………. sehingga dapat dikualifikasi sebagai memenuhi ketentuan yang tersebut di dalam Pasal 157 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang, serta Pasal 10 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, sehingga Permohonan yang diajukan oleh PEMOHON masih dalam tenggang waktu sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundangan a quo.

Pokok Permohonan:

1. Bahwa, berdasarkan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di oleh Komisi Pemilihan Umum ………….. tanggal …………….. (Bukti P – 1).

2. Bahwa, berdasarkan Keputusan Termohon tanggal …………………. Nomor …………………………… (Bukti P – 2) tentang Penetapan Hasil dan calon Terpilih Pemilihan Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah ………………….. Tahun 2015, telah menetapkan Hasil Pemilihan Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah ……………. Tahun 2015, berdasarkan peringkat perolehan suara sah sebagai berikut:

NO. NAMA PASANGAN PEROLEHAN SUARA PERSENTASE KETERANGAN
1.
2.
3.

3. Bahwa, pelaksanaan pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Bupati ………… Periode 2015-2020 telah dilaksanakan oleh Termohon pada hari  tanggal …………………………;

4. Bahwa, Pemohon mengajukan keberatan dan permohonan penyelesaian perselisihan atas hasil penghitungan suara berdasarkan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh Komisi Pemilihan Umum ………………. tanggal ………………. yang kemudian ditetapkan oleh Termohon dengan Surat Keputusan Nomor …………………. dan Berita Acara tertanggal ……………………..;

5. Bahwa, alasan Pemohon mengajukan Permohonan ini disebabkan adanya pelanggaran secara sistematis, terstruktur dan masif baik yang dilakukan oleh Termohon maupun yang dilakukan oleh Pasangan Nomor Urut ……………….

6. Bahwa, pelanggaran-pelaranggaran tersebut telah dipersiapkan secara terencara sejak awal, mulai dari proses pembuatan Daftar Pemilih Tetap, proses kampanye dan masa tenang, saat pencoblosan hingga proses rekapitulasi penghitungan suara di tingkat Kabupaten.

1. Adanya Upaya Penghalangan Penggunaan Hak Pilih Oleh Termohon Secara  Secara Sistematis, Terstruktur dan Masif Mengakibatkan Banyak Pemilih Tidak Dapat Menggunakan Hak Pilihnya.

PELANGGARAN – PELANGGARAN SEBELUM DAN SAAT PENCOBLOSAN.

Termohon Tidak Pernah Melakukan Rapat Pleno Penetapan DPT dengan Para Pemohon Sebagai  Peserta Pilkada.

  • Termohon Sengaja Tidak Menyampaikan Undangan Untuk Memilih pada Para Pemilih.
  • Termohon Sengaja Tidak Secara Benar Mensosilisasikan Pemilih Dapat Memilih Dengan Menunjukkan  KTP.
  • Pemasangan DPT oleh Termohon di banyak TPS yang Tidak Sesuai dengan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.
  • Adanya Pelanggaran-Pelanggaran yang Dilakukan Termohon beserta Jajaran Petugas Pelaksana Pilkada yang Menguntungkan Salah Satu Calon.

PELANGGARAN – PELANGGARAN SETELAH PENCOBLOSAN

  • Banyaknya Pelanggaran Penyalahgunaan Wewenang Dilakukan Oleh Termohon Dalam Penyelenggaraan Pilkada di Kabupaten ………….
  • Adanya Pemilih di Bawah Umur di Banyak TPS.
  • Tentang Upaya Penghilangan Hak Pilih Secara Sistematis, Terstruktur dan Massif yang dilakukan oleh Termohon
  • Pelanggaran Administrasi  Pilkada

2. Adanya Praktek Politik Uang (Money Politics) Dilakukan Oleh Tim Pasangan Calon Nomor Urut ………………
3. Adanya Intimidasi yang Dilakukan oleh Tim Pasangan Calon Nomor Urut …………………..
4. Adanya Upaya Penghalangan Penggunaan Hak Pilih Oleh Termohon Secara  Secara Sistematis, Terstruktur dan Masif Mengakibatkan Banyak Pemilih Tidak Dapat Menggunakan Hak Pilihnya.

PELANGGARAN – PELANGGARAN SEBELUM DAN SAAT PENCOBLOSAN.

Bahwa, Termohon yang bertindak tidak netral telah memanfaatkan proses pembuatan DPT untuk kepentingan Pasangan Nomor Urut ………..

1. Termohon Tidak Membuat DPT Secara Benar yang Berakibat Hilangnya Hak Pilih

  1. Bahwa, Termohon sengaja tidak memasukkan hasil pemutakhiran data pemilih yang dirimkan oleh petugas pemutakhiran data yang diperoleh dari RT-RW ke dalam DPT. Akibatnya, ketika pemilihan berlangsung, banyak penduduk yang memiliki hak pilih namun namanya tidak tercatat dalam DPT dan akhirnya tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Selain itu, ketika pelaksanaan Pilkada, baru kemudian diketahui banyak nama yang sudah meninggal dipergunakan namanya oleh orang lain untuk memilih dan banyak pemilih di bawah umur yang dapat memilih karena namanya ada di DPT.
  2. Banyaknya penduduk yang kehilangan hak pilih dan adanya nama yang sudah meningal dipergunakan untuk memilih serta pemilih di bawah umur telah membuat proses pilkada …………. tahun 2015 menjadi cacat.

2. Termohon Tidak Pernah Melakukan Rapat Pleno Penetapan DPT dengan Para Pemohon Sebagai  Peserta Pilkada.

  1. Termohon tidak pernah melakukan pleno dengan para Pemohon sebagai  Peserta Pilkada Kabupaten ……….. dalam Menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan tidak pernah menyerahkan DPT kepada para Peserta Pilkada dalam hal ini pada Para Pemohon.
  2. Bahwa tindakan yang dilakukan Termohon dikualifikasi sebagai pelanggaran yang disengaja karena Termohon memang menghalang-halangi akses Para Pemohon terhadap DPT.
  3. Bahwa, tindakan Termohon tidak melakukan rapat pleno Penetapan DPT yang dihadiri dan ditandatangani oleh Para Pemohon dan/atau Tim Sukses Para Pemohon sebagai Peserta Pilkada adalah merupakan tindakan  awal Termohon yang perlu ditengarai sebagai tindakkan Termohon yang secara sistematis, terstruktur dan massif bermaksud menghilangkan hak pemilih dengan cara yang tidak transparan dan akutabel terhadap penetapan DPT sehingga  mengakibatkan  banyak nama–nama yang ada di dalam DPT tidak dapat dikontrol kebenarannya baik oleh peserta Pilkada maupun para  pemilih,akibatnya banyak pemilih yang  tidak dapat menggunakan hak pilihnya.
  4. Tindakan sistematis Termohon selanjutnya adalah tidak pernah memberikan daftar DPT kepada Para Pemohon dan atau Tim Suksesnya sebagai pasangan calon nomor urut 1, 2 dan 3 walaupun  telah berulang- ulangkali diminta Para Pemohon, namun baru kemudian Termohon berikan DPT setelah tanggal Pemilihan /pencoblosan dilakukan. Dengan demikian sampai pelaksanaan pemilihan Para Pemohon tidak mengetahui berapa jumlah pemilih yang ada di DPT. Tindakan Termohon a quo merupakan tindakan yang bertentangan dengan azas LUBER JURDIL sebagai penyelenggara Pilkada di ………………. Serangkaian tindakan Termohon tidak secara terbuka mengumumkan daftar pemilih sementara, daftar pemilih tambahan dan daftar pemilih tetap melanggar azas pemilu.
  5. Bahwa atas pelanggaran yang dilakukan oleh Termohon terhadap DPT tersebut mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum atas DPT yang digunakan sebagai dasar dalam Rekapitulasi Perhitungan Hasil Perolehan Suara Pilkada …………………. oleh Termohon karena faktanya penetapan DPT tidak pernah dilakukan Termohon dengan melibatkan Para Pemohon sebagai Peserta Pilkada …………… Tahun ………………
  6. Bahwa, dengan tidak adanya keterlibatan para Pemohon dalam penetapan DPT dan para Pemohon tidak pernah menerima turunan /soft copy DPT maka para Pemohon tidak mengetahui adanya perubahan-perubahan yang ada didalam DPT dan para Pemohon meragukan Termohon telah melakuan pemutakhiran data dari Daftar Pemilih Sementara (DPS) menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT) setelah menerima DP4 (Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu) yang diserahkan oleh Pemerintah ………………………..,  karena masih  banyak nama orang yang sudah meninggal masih tercantum dalam DPT tanpa ada catatan dan banyak pemilih dibawah umur.
  7. Bahwa, tindakan Termohon tidak melakukan pemutakhiran data a quo adalah merupakan kesengajaan untuk   menghilangkan hak pilih wajib pilih, tidakan Temohon tersebut  tidak sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2010, sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1) yang menyatakan: “Pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dilakukan terhadap penduduk dan/atau pemilih, dengan ketentuan: (a). Telah memenuhi syarat usia pemilih, yaitu sampai dengan hari dan tanggal pemungutan suara Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah sudah genap berumur 17 tahun atau lebih; (b). Belum berumur 17 (tujuh belas) tahun, tetapi sudah/ pernah kawin; (c). Perubahan status anggota tentara nasional Indonesia dan kepolisian Negara Republik Indonesia menjadi status sipil atau purnatugas atau sebaliknya; (d). Tidak terdaftar dalam data pemilih yang digunakan untuk penyusunan daftar pemilih dalam Pemilu kepala daerah dan Wakil kepala Daerah berdasarkan data kependudukan yang disampaikan pemerintah daerah atau Pemilu terakhir; (e). Telah meningal dunia; (f). Pindah domisili/ sudah tidak berdomisili di desa / kelurahan tersebut; (g). yang terdaftar pada dua kali lebih domisili yang berbeda; (h). perbaikan identitas pemilih; (i). Yang sudah terdaftar tetapi sudah tidak memenuhi syarat sebagai pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2).
  8. Hilangnya Hak Pemilih Karena Tidak Dimasukkannya Nama Pemilih Dalam DPT. Bahwa terdapat banyak masyarakat yang namanya tidak tercatat dalam DPT padahal mereka telah memenuhi syarat sebagai pemilih.
  9. Bahwa hilangnya hak pilih ini terjadi di beberapa TPS,terutama di ………………., antara lain yang berhasil dicatat : (Bukti P – 3).
No. TPS Kelurahan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

10. Bahwa di beberapa TPS, petugas TPS masih menggunakan DPT yang belum diperbaharui dan DPT yang tidak sesuai dengan keadaan di lapangan sehingga berpotensi terjadi penggelembungan dan pengurangan suara (Bukti P – 4). Sebagai contoh hal ini antara lain terjadi di:

  • Di TPS ……………, Distrik …………….,  terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh termohon dimana DPT yang digunakan masih DPT yang berdasarkan pada DPT Pemilu Nasional Pilpres dan Legislatif 2009.
  • Di TPS …………….., Distrik …………, terdaftar di No ……. dengan NIK ……………… dengan nama pemilih …………… ternyata sudah meninggal pada tahun ………….
  • Di TPS …………….., Distrik …………, terdaftar di No urut ……………. dengan pemilih bernama ……………., ternyata merupakan anak yang masih bersekolah di SD  namun telah dapat memilih.
  • Di TPS ………….. Kelurahan …………, Distrik ………, terdapat dalam DPT nama orang yang sudah meninggal.
  • Di TPS ……………, Distrik ……….., terdapat penyelewengan data DPT dengan adanya pemilih dengan usia dibawah umur namun dapat mencoblos.

11. Bahwa, terdapat kejanggalan – kejanggalan mengenai DPT yang mana data tersebut tidak diambil dari data sebelumnya yang mencakup data pemilih sementara (DPS), DPT Pileg maupun PILPRES sehingga menyebabkan keanehan berupa banyaknya pemilih yang terdaftar sebagai DPT di PILEG dan PILPRES namun pada saat Pilkada ……………………, nama mereka tidak lagi terdapat dalam DPT.

12. Bahwa, berkaitan dengan DPT yang bermasalah dan tidak akurat tersebut di atas, ternyata dapat dibuktikan oleh Pemohon bahwa perbuatan tersebut dilakukan secara sengaja oleh Termohon, terstruktur, sistemik  dan secara massif, sangat potensial dan de facto memberikan keuntungan kepada Pasangan Calon Nomor Urut ………….. karena hal tersebut membuat Pasangan Calon Nomor Urut …………. ditetapkan oleh Termohon sebagai Pasangan Calon Terpilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ……………………….;

13. Keberadaan para pemilih banyak tidak dapat menggunakan hak pilihnya seperti tersebut di atas, adalah tidak lain campur tangan dari Termohon yang juga sesungguhnya mempunyai ”kedekatan” yang beraroma nepotisme dengan pasangan calon nomor urut ………., Pasangan dimaksud karena kapasitas pengaruhnya dapat lebih leluasa berkomunikasi dan mempengaruhi secara langsung dalam pengangkatan aparat penyelenggara pemilu lainnya. Dimana Pengangkatan KPPS, PPS tidak melibatkan Kepala Desa dan pengangkatan PPK tidak melibatkan Camat.

14. Karena banyaknya pelanggaran yang dilakukan Termohon dalam pengangkatan  aparat penyelenggara pemilu lainnya di Kabupaten ……………….., sehingga keberpihakannya sangat kentara, terutama dalam tidak menyebarkan undangan memilih, menolak pemilih yang hanya membawa KTP dan pengerahan masa pemilih yang tidak sah.

3. Termohon Sengaja Tidak Menyampaikan Undangan Untuk Memilih pada Para Pemilih.

1. Adanya kesengajaan dari Termohon untuk  menghalangi  banyak pemilik suara untuk memilih, dilakukan oleh Termohon dan jajaran penyelenggara dibawahnya dengan cara tidak menyampaikan undangan untuk memilih pada para pemilih, ini dapat dibuktikan dengan banyaknya undangan dan kartu pemilih yang ditemukan tidak disampaikan pada para pemilih. Beberapa di antaranya bentuk fisiknya berhasil ditemukan oleh warga, antara lain: (Bukti P – 5)

No. KELURAHAN/KAMPUNG DISTRIK TPS JUMLAH YANG TIDAK DIBAGIKAN JUMLAH DPT
1.
2.
3.
4.
TOTAL

2. Bahwa undangan memilih ini sengaja tidak dibagikan kepada simpatisan atau pendukug Para Pemohon. Sebaliknya, Surat undangan memilih ini hanya dibagikan kepada orang-orang yang mendukung Pasangan Nomor Urut …….. atau yang diperkirakan dapat diarahkan untuk memilih Pasangan Nomor Urut …………

3. Bahwa akibat tidak mendapat undangan, calon pemilih yang diketahui merupakan simpatisan Para Pemohon tidak dapat memilih. Hal ini dapat pula terlihat dari angka partisipasi pemilih dan banyaknya calon pemilih yang tidak jadi memilih karena tidak dapat kartu pemilih.

4. Bahwa bukti-bukti yang ditemukan oleh Para Pemohon merupakan sebagian dari bukti-bukti yang berhasil dikumpulkan karena memang tidak dibagikannya surat undangan merupakan perbuatan yang sudah direncanakan demi kepentingan Pasangan Calon Nomor Urut 4 (empat).

4. Termohon Sengaja Tidak Secara Benar Mensosilisasikan Pemilih Dapat Memilih Dengan Menunjukkan KTP

1. Bahwa, para Pemohon banyak menerima masukan dari masyarakat di beberapa wilayah antara lain …………………………………. banyak undangan untuk memilih tidak disampaikan pada Pemilih. Pemohon telah mengajukan protes dan mendesak pada Termohon agar Termohon membuat pemberitahuan berupa Surat Edaran   kepada Seluruh petugas penyelenggara Pilkada di ………….. ditingkat PPK dan KPPS, pemilih yang tidak dapat undangan memilih agar tetap datang ke TPS untuk memilih/mencoblos dengan menunjukkan KTP. Permintaan Pemohon tersebut ditolak oleh Termohon dengan alasan yang tidak jelas. Keesokan harinya ………………. Pemohon mendesak kembali pada Termohon untuk mengeluarkan surat edaran a quo, setelah didesak berulangkali Termohon ………………… tetap tidak mau mengeluarkan Surat Edaran.

2. Tindakan Termohon a quo telah merugikan para pendukung yang akan memilih Para  Pemohon, karena …………. tidak ada bukti tertulis dari  KPU ………. memperbolehkan pemilih memilih tanpa surat undangan memilih. Akibatnya banyak pemilih di ……….. tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Dan tindakan Termohon tersebut disengaja dengan tujuan untuk memenangkan Pasangan Calon Nomor Urut …………..

5. Pemasangan DPT oleh Termohon yang Tidak Sesuai dengan Ketentuan Perundang – Undangan.

1. Tindakan sistematis Termohon untuk menghilangkan banyak suara pemilih dilakukan dengan sengaja Termohon dan penyelenggara dibawahnya ditingkat TPS banyak tidak memasang DPT di TPS –TPS .

2. Bahwa, selain banyaknya masyarakat yang tidak terdaftar dalam DPT, pada saat pencoblosan KPPS tidak membagikan DPT kepada para saksi resmi dari setiap pasangan calon, dan tidak pula ditempelkan di TPS.

Bahwa hal ini antara lain terjadi di: (Bukti P – 6)

–     TPS … dan TPS … Kelurahan ……………..;

–     TPS  ………………….; dan

–     TPS  ……………….

–     TPS ……………………..

3. Bahwa akibat tidak adanya DPT yang dipegang oleh para saksi resmi maupun yang ditempel, maka mempersulit para saksi untuk memeriksa apakah pemilih yang menggunakan hak pilihnya, adalah sesuai dengan DPT atau tidak.

6. Adanya Pelanggaran-Pelanggaran yang Dilakukan Termohon beserta Jajaran Petugas Pelaksana Pilkada yang Menguntungkan Salah Satu Calon

1. Bahwa, Termohon beserta jajarannya telah berlaku tidak netral dan tidak profesional yang telah merugikan Para Pemohon.

2. Terjadi pelanggaran-pelanggaran yang terstruktur, sistematis dan massif yang dilakukan Termohon beserta jajarannya yang menguntungkan Pasangan Calon Nomor Urut ……………..

3. Bahwa, jajaran pihak termohon (…………………….) telah menemui pasangan calon nomor urut ……… untuk menggelar suatu rapat yang mana rapat tersebut dirahasiakan oleh jajaran pihak termohon dan Pasangan Calon Nomor Urut ……….. Bahwa di beberapa tempat, antara lain di ……………………….. telah terjadi pengarahan yang dilakukan oleh anggota PPS di dalam TPS kepada pemilih untuk memilih Pasangan Nomor Urut ………….. ketika mencoblos di bilik suara.

4. Bahwa, kemudian terjadi penghalang – halangan kepada saksi TPS salah satu calon di …………………. untuk mendapatkan akses kepada berita acara penghitungan suara. Saksi diintimidasi oleh petugas TPS ketika mau meminta haknya mendapatkan C-1 KWK untuk saksi. Akhirnya saksi bisa mendapatkan setelah memfotokopi formulir tersebut.

5. Bahwa di ………………….. Panitia Pemilihan di TPS mencoblos sendiri surat –surat suara untuk kepentingan Nomor Urut …………. Saksi tidak boleh mengikuti proses pencoblosan karena dihalang-halangi PPS.

7. Adanya Pemilih di Bawah Umur di Banyak TPS

1. Bahwa ditemukan adanya pemilih di bawah umur yaitu ………. orang anak di bawah umur …………. tahun di TPS ……………….
2. Bahwa di TPS ………………….., juga ditemukan pemilih di bawah umur yaitu …………… orang anak yang kira-kira masih …………… Mereka diberikan undangan memilih dan menggunakannya untuk memilih.
3. Bahwa pemilih di bawah umur juga ditemukan di TPS …………………………..
4. Bahwa temuan mengenai pemilih di bawah umur juga berdasarkan laporan-laporan tertulis sebagai berikut (Bukti P – 9):

Laporan tertulis atas nama …………….. tertanggal …………
Laporan tertulis atas nama …………….. tertanggal …………
Laporan tertulis atas nama …………….. tertanggal …………

PELANGGARAN –PELANGGARAN SETELAH PENCOBLOSAN

Banyaknya Pelanggaran Penyalahgunaan Wewenang Dilakukan Oleh Termohon Dalam Penyelenggaraan Pilkada di Kabupaten …………….

1. Bahwa terdapat pelanggaran yang sangat serius dalam proses pemilihan di ……………. Kotak suara yang dikirimkan dari ………….. ke …………… ternyata kosong, tidak ada surat suaranya. Akibatnya, seluruh suara …………… bermasalah.

2. Bahwa pada saat dilakukannya hasil perhitungan suara pada Rapat Pleno tingkat kabupaten …………… oleh pihak Termohon pada tanggal …………….., terdapat kesalahan – kesalahan dan ketidaksesuaian  penghitungan.

3. Kesalahan-kesalahan dan ketidaksesuaian ini berulangkali terjadi, terutama yang menjadi masalah krusial di ………………. Setelah mencoba melakukan perbaikan, tidak dapat disepakati oleh saksi-saksi Para Pemohon.

4. Bahwa kesalahan yang terjadi diatas karena terdapatnya kesalahan dari penghitungan suara tingkat TPS yang terjadi secara meluas (pengisian form C-1 dan rekapitulasi suara yang tidak sesuai dengan prosedur) di ………………, terstruktur dan masif di seluruh kabupaten ……………. sehingga pada saat rapat pleno, kesalahan tersebut dilanjutkan dari tingkat TPS sampai ke penghitungan suara di kabupaten.

5. Bahwa saksi-saksi Para Pemohon mengajukan keberatan dan meminta penghitungan suara diulang kembali dari awal untuk …………., karena perbedaan tersebut merugikan Para Pemohon, namun keberatan tersebut tidak diakomidir sama sekali oleh Termohon.

6. Bahwa selain keberatan mengenai penghitungan suara …………, saksi-saksi Para Pemohon juga berkeberatan atas pelanggaran-pelanggaran yang sistematis, terstruktur dan massif yang terjadi di berbagai tempat di ………………..

7. Proses penghitungan suara yang dipenuhi pelanggaran dan penolakan pendatanganan formulir keberatan oleh Termohon telah merugikan Para Pemohon, dan merupakan pelanggaran serius.

Tentang Upaya Penghilangan Hak Pilih Secara Sistematis, Terstruktur dan Massif yang dilakukan oleh Termohon

1. Bahwa terdapat fakta yang ditemukan oleh Pemohon dimana Termohon dengan secara sengaja dan nyata telah melakukan modus lain dalam penghilangan hak pilih pemilih di beberapa TPS di wilayah beberapa kecamatan dengan cara menempatkan pemilih tersebut untuk memilih di tempat yang jauh dari domisilinya, sehingga Pemilih tidak dapat menggunakan hak pilihnya dikarenakan harus melakukan perjalanan yang cukup jauh dari tempat tinggalnya, padahal terdapat beberapa TPS yang lebih dekat dengan tempat tinggal pemilih tersebut;

2. Bahwa perbuatan Termohon tersebut sangat merugikan Pemohon, yaitu hilangnya potensi penambahan suara Pemohon dalam jumlah yang cukup banyak dan mengakibatkan Pemohon kalah selisih suara dengan Pasangan Calon Nomor Urut ……. berdasarkan rekapitulasi perhitungan perolehan suara oleh Termohon;

3. Bahwa perbuatan Termohon tersebut telah melanggar Asas Dalam Penyelenggaraan Pemilu ”TPS ditentukan lokasinya di tempat yang mudah dijangkau, termasuk orang penyandang cacat serta menjamin setiap pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung bebas dan rahasia”.

4. Bahwa dengan demikian upaya pelanggaran terstruktur, sistematis dan massif terbukti dilakukan oleh Termohon selaku Penyelenggara Pilkada yang seharusnya taat azas dan aturan serta bersikap profesional, dan menjaga independensi Termohon sehingga pada akhirnya merugikan kepentingan Pemohon.

Pelanggaran Administrasi  Pilkada

1. Bahwa seluruh tindakan atau perbuatan Termohon selaku penyelenggara Pilkada …………….. telah melanggar prinsip penting di dalam pemilu yang meliputi asas LUBER dan JURDIL dan sekaligus telah merusak sendi-sendi demokrasi, yaitu meliputi: melakukan pelanggaran dalam Rapat Pleno Rekapitulasi Pengitungan Perolehan Suara di Tingkat Kabupaten, Perubahan Dokumen Berita Acara, keberpihakan kepada salah satu pasangan calon, khusunya Pasangan Calon Nomor Urut ………, dan/atau telah berbuat curang terhadap pembuatan DPT yang menguntungkan kepada salah satu pasangan calon, penghilangan hak pilih dan pelanggaran adminsitratif lainnya. Hal tersebut telah melanggar Pasal 2 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 12 Tahun 2010 menyatakan, ”Penyelenggara Pemilu berpedoman kepada asas, mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib penyelenggara pemilu, kepentingan umum, keterbukaan, proposionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisien dan ekfektivitas”;

Adanya Praktek Politik Uang (Money Politics) yang Dilakukan Oleh Tim Pasangan Calon Nomor Urut ………………….

1. Bahwa Termohon membiarkan Pasangan Calon Nomor Urut …………. melakukan praktek politik uang dalam pelaksanaan Pilkada di ………………… tahun ………….

2. Bahwa pola praktek money politics yang dilakukan Pasangan Calon Nomor Urut ………. dilakukan sejak sebelum hingga setelah berlangsungnya pemungutan suara, terutama selama masa kampanye dan pada masa tenang, dengan cara-cara antara lain sebagai berikut:

- Tim Pasangan Calon Nomor Urut ………. membawa beras dan BBM dengan kapal motor yang bertujuan untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat Kampung ……………….
Salah satu Pasangan Calon Nomor urut …………. turun langsung di ………….. untuk membagi-bagikan uang.
- Tim sukses dan tim pendukung Pasangan Nomor Urut ………… membagikan BBM gratis kepada para penduduk di berbagai tempat dan meminta penduduk memilih Pasangan Nomor Urut ……….., hal ini terutama terjadi …………….
- Tim Sukses Pasangan Nomor Urut …………. membagikan uang dengan jumlah mulai dari …………… sampai dengan Rp ………………. per orang dengan cara antara lain membagikan uang dalam amplop pada calon pemilih yang di dalamnya terdapat tulisan pilih nomor ………….
Tim Sukses Pasangan Nomor Urut …………. juga memberikan membagi-bagikan uang kepada warga yang diakui sendiri oleh Tim Sukses Pasangan Nomor Urut ……….. dan petugas TPS di depan umum ………………

3. Bahwa Ketentuan Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undangtelah menegaskan larangan politik uang, sebagai berikut: “Calon dan/atau Tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk untuk mempengaruhi pemilih

4. Bahwa Bahwa praktek politik uang yang dilakukan secara langsung oleh Tim Sukses Pasangan Nomor Urut …………dan bersama dengan tim pendukungnya tersebut, memang merupakan bagian dari upaya sistematis pemenangan dan dukungan terhadap Pasangan Nomor Urut ……….. sampai menggunakan cara-cara yang tidak patut yang dapat merusak sendi-sendi demokrasi.

Adanya Banyak Intimidasi yang Dilakukan oleh Tim Pasangan Calon Nomor Urut 4 (Empat).

1. Bahwa pada tanggal ………….. di , pada saat pemungutan suara ada beberapa orang yang mengancam pemilih yang hendak mencoblos. Pemilih merupakan pendukung Pasangan Calon Nomor Urut ……….., namun harus memilih Pasangan Calon Nomor Urut ………… dan setelah itu akan diberikan uang.

2. Bahwa setelah pemungutan suara yang berlangsung di Kampung Sabon Distrik Waan, Kepala Kampung Sabon………………. melakukan intimidasi terhadap pendukung Pasangan Calon Nomor ……………….

3. Bahwa di beberapa tempat, Tim Pendukung Pasangan Nomor ………. memasang sasi (tanda adat sebagai larangan) untuk melarang pendukung Pasangan Calon Nomor Urut lain untuk masuk, dan hanya tim Pasangan Calon Nomor Urut ……..yang boleh masuk. Namun demikian, hal ini tidak dilarang oleh Termohon beserta jajarannya.

4. Bahwa terdapat berbagai ancaman dan intimidasi oleh Tim Pendukung pasangan calon nomor …………. dan menakut-nakuti warga serta Tim Pendukun Para Pemohon.

5. ………………………………, dapat dikatakan merupakan daerah yang dihuni oleh multi etnis, intimidasi yang dilakukan oleh Tim Pemenang  calon nomor ………….. adalah selalu menyatakan  antara lain adalah ”kalau tidak memilih calon nomor ………… silahkan meninggalkan ……………….” Pernyataan tersebut merupakan intimdasi bagi para Pemilih yang berasal dari luar ………………. padahal banyak pendatang yang telah menjadi penduduk sah di  Kabupaten …………….. Tindakan Tim Sukses a aquo jelas bertentangan azas Pemilu Luber Jurdil.

6. Bahwa selain Pilkada harus sesuai dengan “asas luber dan jurdil” pelaksanaan Pilkada juga tidak boleh ada tekanan atau intimidasi dari pihak manapun yang dapat mencederai demokrasi. Masyarakat sebagai warga negara mempunyai hak pilih yang merupakan hak asasi harus terhindar dari rasa takut, tertekan dan terancam dalam mengikuti proses demokratisasi, karena hal tersebut sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 45 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”, dan bersesuaian dengan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu”.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, Tindakan Termohon Tidak Melakukan Pleno DPT, Tidak Memberikan Undangan Pada Banyak Pemilih, Tidak Menginstruksikan Secara Benar Pemilih Dapat Menggunakan KTP, Tidak Memasang DPT di TPS  adalah merupakan Tindakan Termohon melanggar azas Pemilu yang LUBER JURDIL terjadi Secara Sistematis, Terstruktur dan Masif  dengan Tujuan Memenangkan Pasangan Calon Nomor Urut ……………………

7. Bahwa pelanggaran-pelanggaran tersebut di atas yang dilakukan oleh Termohon sangat serius dan signifikan yang mempengaruhi perolehan suara dan bahkan telah mengingkari prinsip penting dari konstitusi, demokrasi dan hak-hak warga negara (Vide Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 serta peraturan perundang-undangan lainnya, yang tidak dibenarkan terjadi di Negara Hukum Republik Indonesia;

8. Bahwa pelanggaran-pelanggaran yang sangat serius dan signifikan tersebut mempunyai dampak dan pengaruh terhadap perolehan suara, menggelembungkan suara Pasangan Calon Nomor Urut ………… dan mengurangi Pasangan Calon Nomor Urut  …….. dan …………. sehingga adalah patut dan wajar untuk dilakukan pemungutan suara ulang dan/atau  menetapkan perolehan suara Pasangan calon setidaknya sebagai berikut:

Peringkat Nama dan Nomor Urut Pasangan Calon Perolehan Suara
1 (Nomor Urut 3)
2 (Nomor Urut 1)
3 (Nomor Urut 2)

TOTAL :

9. Bahwa dengan adanya pelanggaran-pelanggaran yang serius dan signifikan sehingga dapat dikualifikasi sebagai massif, sistematis dan terstruktur yang dilakukan oleh Termohon, Mahkamah berwenang membatalkan Penetapan Hasil Perolehan Suara yang Diperoleh Setiap Pasangan Calon Atas Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten ………………….., Sesuai Surat Keputusan Nomor …………………………………..

Berkenaan dengan seluruh uraian di atas maka sudilah kiranya Mahkamah Konstitusi menyatakan dan menetapkan:

Kesatu, untuk dilakukan pemungutan suara ulang di seluruh …………………….; atau

Kedua, pemungutan suara ulang, khususnya di kecamatan dimana terdapat para pemilih yang tidak mendapat surat undangan,tidak bisa menggunakan hak pilihnya walaupun sudah menunjukkan KTP dan DPT tidak dipasang di TPS –TPS sehingga surat suara leluasa digunakan oleh orang yang namanya tidak tercantum dalam DPT yaitu  khususnya di Kecamatan………………………………………………..

Berdasarkan perhitungan tersebut di atas maka PEMOHON seharusnya yang ditetapkan sebagai Pasangan Calon Terpilih dalam Pilkada Kabupaten ………………. Tahun 2015.

PETITUM :

  1. Menerima dan mengabulkan permohonan keberatan yang diajukan oleh Pemohon untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan tidak sah dan tidak mengikat Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ………… oleh Komisi Pemilihan Umum …………. tanggal ……………..
  3. Membatalkan  Keputusan Komisi Pemilihan Umum …………… tanggal ………….. Nomor ………………. dan Berita Acara tanggal ……………. tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemlihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah …………… Tahun 2015.
  4. Menyatakan tidak sah dan batal penetapan  ……………….. dan …………….. sebagai Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ……………. Tahun ………….. Nomor Urut …………. berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Kabupaten …………. Nomor : …………………………. tanggal ………………. dan Berita Acara   tanggal ……………. tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemlihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten …………. Tahun …………… .
  5. Menyatakan agar Komisi Pemilihan Umum Kabupaten ………………. melakukan Pemungutan Suara Ulang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten ………………….. Tahun 2015 di seluruh  Kabupaten ……………..dalam waktu selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sejak putusan Mahkamah ditetapkan;
  6. Memerintahkan Termohon untuk memperbaiki Daftar Pemilih Tetap yang bermasalah atau tidak akurat untuk dimutakhirkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
  7. Memerintahkan Termohon mendiskualifikasi dan mencabut hak Pasangan Calon Nomor Urut …………….. yaitu ……………. dan …………….. sebagai Calon Peserta Pasangan Calon Pilkada dalam pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang Pilkada Kabupaten ……….. karena terbukti telah melakukan pelanggaran ketentuan Pilkada.

ATAU,

  1. Menyatakan agar Komisi Pemilihan Umum Kabupaten ………………melakukan: Pemungutan Suara Ulang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah …………………….Tahun 2015, khususnya di …………. Distrik  di  Kabupaten ………….. yaitu Distrik, …………………………; dalam waktu selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sejak Putusan Mahkamah ditetapkan;
  2. Memerintahkan Termohon untuk memperbaiki Daftar Pemilih Tetap yang bermasalah atau tidak akurat untuk dimutakhirkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
  3. Memerintahkan Termohon mendiskualifikasi dan mencabut hak Pasangan Calon Nomor Urut ………….. sebagai Calon Peserta Pasangan Calon Pilkada dalam pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang Pilkada Kabupaten ………. karena terbukti telah melakukan pelanggaran ketentuan Pilkada;

ATAU,

1. Menetapkan Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten ……………. Tahun 2015 bahwa Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati ………………………….. dengan Nomor Urut 3 atas nama ……………….. dan ………………………., sebagai pasangan yang memperoleh suara terbanyak dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten ………….. Tahun 2015 yang rincian hasil penghitungan perolehan suara yang benar adalah sebagai berikut:
Peringkat Nama dan Nomor Urut Pasangan Calon Perolehan Suara
1 (Nomor Urut 3)
2 (Nomor Urut 1)
3 (Nomor Urut 2)
TOTAL :
2. Menyatakan dan menetapkan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Pemilihan Kabupaten ………………….. dengan Nomor Urut …………….. atas nama ……………………. dan …………………………… sebagai Pasangan Calon Terpilih dalam Pemilihan Kepala Daerah ……………. Tahun ………………….;
3. Memerintahkan Termohon menerbitkan Surat Keputusan Hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ………………. Tahun 2015 berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi ini;

Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya berdasarkan prinsip ex aequo et bono.

Demikian permohonan ini  atas segenap perhatian Bapak Majelis Hakim dihaturkan terima kasih.


Hormat kami,


Ttd.

Kuasa Hukum Para Pemohon


Catatan: Posita dan petitum sebaiknya menyesuaikan dengan case yang ada. Contoh ini tidak semuanya bisa diterjemahkan sepenuhnya oleh penulis ke dalam platform blogger, terutama berkaitan dengan kerapihan sistematika penulisan dengan alasan teknis terkait platform ini. 

____________________
References:

1. "CONTOH PERMOHONAN PERSELISIHAN HASIL PILKADA KABUPATEN / KOTA / PROVINSI", www.saplaw.top., Diakses pada tanggal 26 November 2022, Link: https://www.saplaw.top/contoh-permohonan-perselisihan-hasil-pilkada-kabupaten-kota-provinsi/

Knowing Joint Venture Companies in FDI Indonesia

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Basic Requirements for Foreign Direct I...