Selasa, 06 Oktober 2020

Adagium Hukum III

(Getty Images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Platform Hukumindo.com sebelumnya telah menyajikan Adagium Hukum I dan Adagium Hukum II, dan sebagai penutup, akan disajikan pada kesempatan ini Adagium Hukum III.

Adagium Hukum memang cukup banyak, dan dari beragam ranah hukum seperti Pidana, Perdata, maupun Tata Usaha Negara. Artikel ini hanya memuat adagium-adagium hukum yang sifatnya populer saja. Telah diterangkan di atas perihal Adagium I dan Adagium II, dan pada kesempatan ini akan disajikan sebagai penutup, yaitu adagium bagian ketiga. 
  1. "JUSTITIAE NON EST NEGANDA, NON DIFFERENDA", terjemahan dalam bahasa Inggrisnya adalah sebagai berikut: Justice is not to be denied or delayed, artinya: Keadilan tidak dapat disangkal atau ditunda;[1]
  2. "IGNORANTIA JURIS NON EXCUSAT", terjemahan dalam bahasa Inggrisnya adalah:  "Ignorance of the law does not excuse", artinya ketidaktahuan akan hukum tidak dimaafkan.[2]
  3. "LEX DURA, SED TAMEN SCRIPTA", artinya sekalipun isi undang-undang itu terasa kejam, tetapi memang demikianlah bunyinya, dan harus dilaksanakan.[3]
  4. "NEMO JUDEX IN CAUSA SUA", terjemahannya dalam bahasa Inggris yaitu: No man can be a judge in his own cause, artinya hakim tidak boleh mengatur/mengadili dirinya sendiri.[4]
  5. "POLITIAE LEGIUS NON LEGES POLITII ADOPTANDAE", artinya politik harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya.[5]
  6. "INTERPRETATIO CESSAT IN CLARIS", artinya jika teks atau redaksi Undang-undang telah terang benderang dan jelas, maka tidak diperkenankan lagi menafsirkannya.[6]
  7. "HEARES EST CADEM PERSONA CUM ANTECESSORE", artinya ahli waris sama kedudukannya dengan pendahulunya.[7]
  8. "EI INCUMBIT PROBATIO QUIDICIT, NONQUI NEGAT", terjemahannya dalam bahasa Inggris: "The burden of the proof rest upon the person who affirms, not the one who denies", artinya beban dari bukti disandarkan pada orang yang menugaskan tuduhan bukan yang menyangkal.[8]
  9. "DEBET QUIS JURI SUBJACERE RRBI DELINQUIT", terjemahannya dalam bahasa Inggris: "Any offender should be subject to the law of the place where he offends", artinya seseorang Penggugat harus mengacu pada hukum yang berlaku di tempat dia mengajukan gugatan.[9]
  10. "JUDEX DEBET JUDICARE SECUNDUM ALLEGATA ET PROBATA", terjemahannya dalam Bahasa Inggris: "The judge ought to give judgment according to the allegations and the proofs", artinya seorang hakim harus memberikan penilaian berdasarkan fakta-fakta dan pernyataan.[10]
  11. "QUIQUID EST IN TERRITORIO, ETIAM EST DE TERRITORIO", artinya asas dalam hukum internasional yang menyatakan bahwa apa yang berada dalam batas-batas wilayah negara tunduk kepada hukum negara itu.[11]
___________
Referensi:

1. "Adagium Hukum", pa-bengkulukota.go.id., Diakses pada tanggal 3 Oktober 2020, http://www.pa-bengkulukota.go.id/foto/Adagium%20Hukum.pdf
2. "Adagium Hukum", rendratopan.com, Diakses pada tanggal 3 Oktober 2020, https://rendratopan.com/2019/03/18/adagium-hukum/
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid.
6. "Adagium-adagium Dalam Ilmu Hukum", triwidodowutomo.blogspot.com, Diakses pada tanggal 3 Oktober 2020, http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/10/adagium-adagium-dalam-ilmu-hukum.html
7. Ibid. 
8. Ibid.
9. Ibid.
10. Ibid.
11. Ibid.

Senin, 05 Oktober 2020

Hukumnya Mengolok-olok Donald Trump Kena COVID-19

(liputan6.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya, pada label sudut pandang hukum, platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Waktu Tunggu Bagi Perempuan Muslim Setelah Perceraian", lihat juga artikel "Menakar Pidana yang Mengintai Pengacara Djoko S. Tjandra" dan pada kesempatan ini akan dibahas berita yang tengah aktual, yaitu Hukumnya Mengolok-olok Donald Trump Kena COVID-19.

Baru baru ini jagad berita di dunia maya dihebohkan dengan adanya pemberitaan mengenai Presiden AS yang didiagnosa positif terinfeksi COVID-19. Hal ini tentu membuat reaksi yang beragam dari seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Tidak sedikit yang kemudian memberikan reaksi yang negatif dengan beragam bentuknya di dunia maya, salah satunya adalah dengan cara mengolok-oloknya. Hal ini tentu saja mempunyai konsekwensi hukum. Artikel ini bermaksud melakukan pengkajian atas perbuatan orang-orang yang mempunyai reaksi negatif atas terinfeksinya Donald Trump dari sudut pandang hukum.

Donald Trump Positif Terinfeksi COVID-19

Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan dia dan ibu negara Melania Trump dinyatakan positif Virus Corona COVID-19. Dalam sebuah unggahan di Twitter, seperti dikutip dari CNBC, Jumat (2/10/2020), ia menyampaikan informasi tersebut. "Kami akan segera memulai proses karantina dan pemulihan. Kita akan melewati ini bersama!"[1]

Mengutip CNN, Donald Trump mengumumkan kondisinya pada Jumat pagi waktu setempat. Malam harinya, ia sempat mengatakan akan melakukan karantina. Sebelumnya, salah satu penasihat Presiden AS Donald Trump, Hope Hicks, dinyatakan positif terpapar Virus Corona COVID-19. Dikutip dari laman BBC, penasihat presiden itu sempat melakukan perjalanan bersama Trump dengan Air Force One ke lokasi debat presiden AS di Ohio pada Selasa kemarin.[2]

Trump kemudian mengalami beberapa gejala medis. Selain CNN, ABC juga melaporkan presiden berusia 74 tahun itu juga mengalami demam, menggigil, mampet, dan batuk karena virus corona. Adapun berdasarkan rilis pemerintah, sang presiden menderita kelelahan, demam ringan, dan gejala seperti kedinginan ketika positif Covid-19.[3]

Setelah terkonfirmasi positif COVID-19, Trump kemudian dilarikan ke rumah sakit. AFP melaporkan bahwa Trump terlihat keluar dari Gedung Putih menggunakan masker pada Jumat (2/10) waktu setempat. Ia langsung masuk ke helikopter Marine One dan menuju rumah sakit di Walter Reed, Bethesda. Ia tiba di rumah sakit tak lama setelah itu. Gedung Putih menyatakan bahwa Trump akan dirawat di rumah sakit itu untuk beberapa hari. "Atas rekomendasi dari ahli medis, presiden akan bekerja dari kantor kepresidenan di Walter Reed untuk beberapa hari," ujar sekretaris pers Gedung Putih, Kayleigh McEnany. Tak lama setelah tiba di Bethesda, Trump mengunggah video di akun Twitter resminya. Ia berterima kasih kepada para pendukungnya dan memastikan bahwa semua akan baik-baik saja.[4] Setelah positif terjangkit COVID-19, Donald Trump dibawa ke rumah sakit, dan sampai dengan artikel ini diposting, beliau masih dalam masa perawatan.

Beragam Bentuk Olok-olok Pasca Donald Trump Terinfeksi COVID-19

Berita Presiden Amerika Serikat Donald Trump terinfeksi virus Corona dimanfaatkan oleh para netizen China untuk mengolok-olok pemimpin AS itu. Media-media pemerintah negara tersebut juga ramai mengangkat berita ini. Para pengamat dan media pemerintah China menyebut diagnosis positif Trump dan Ibu Negara Melania menunjukkan seberapa luas dan parahnya situasi virus Corona di AS. Media China Daily menyebut diagnosis positif Trump ini adalah "pengingat bahwa virus Corona terus menyebar" meskipun dia berusaha untuk meremehkan bahaya yang ditimbulkan oleh pandemi ini.[5]

"Sejak muncul awal tahun ini, Trump, Gedung Putih, dan kampanyenya telah meremehkan ancaman tersebut dan menolak untuk mematuhi pedoman kesehatan masyarakat dasar--termasuk yang dikeluarkan oleh pemerintahannya sendiri--seperti mengenakan masker di depan umum dan mempraktikkan jarak sosial," tulis media China itu. Pada hari Jumat (2/10), Trump memposting di Twitter bahwa dia dan Ibu Negara Melania telah dites positif terinfeksi Corona. Tweet itu dilaporkan secara luas oleh media pemerintah China dan tagar "Pasangan Trump dinyatakan positif COVID-19" menjadi topik trending teratas di situs micro-blogging Weibo, dengan lebih dari 800 juta views hingga Jumat (2/10) pukul 16.00 di Beijing.[6]

Seperti dilansir The Straits Times, Sabtu (3/10/2020, banyak netizen China menggunakan kesempatan itu untuk mengolok-olok pemimpin AS itu. Komentar seperti "Trump mungkin akan mengatakan tidak ada yang memahami COVID-19 lebih dari saya" dan "Lihat apa yang terjadi jika Anda tidak memakai masker" banyak dilontarkan para netizen.[7]

Banyak yang mengomentari secara positif, namun ada juga yang sebaliknya. Salah satu reaksi negatif adalah sebagai berikut. Misalnya ada yang mengunggah potongan adegan dari tayangan kartu satir The Simpson:[8]
(medcom.id)

Dapat penulis tambahkan, bahwa dalam salah satu sequel film kartun The Simpsons tersebut Trump diceritakan meninggal dunia. Atau bisa dilihat dari respons lainnya melalui Instagram di negara India sebagaimana berikut:[9]

(Instagram/koransurya.com)

Pada intinya terdapat respons yang beragam atas didiagnosanya Donal Trump positif Covid-19, dan secara umum dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu respons positif dan negatif. Respons positif sepertinya tidak menimbulkan reaksi hukum, paling tidak ia di-tag balik dengan imoji 'like' jika meminjam aplikasi pada Facebook. Yang akan dibicarakan kemudian di sini adalah terkait respons netizen yang negatif, yang tentunya dapat mempunyai konsekuensi hukum. Dalam artikel ini terutama akan dianalisis dari sisi hukum pidana. 

Hukumnya Mengolok-olok Donald Trump Kena COVID-19

Guna membicarakan aspek hukum ketika seorang Netizen mengolok-olok Donald Trump yang terkena COVID-19, menurut hemat penulis, terlebih dahulu ada beberapa variabel yang harus dijawab. Pertama adalah locus delicti, dan kedua adalah tempus delicti.

Secara sederhana, yang dimaksud dengan locus delicti adalah suatu lokasi atau tempat terjadinya suatu tindak pidana. Sedangkan yang dimaksud dengan tempus delicti secara sederhana adalah waktu terjadinya tindak pidana adapun tujuan diketahuinya. Pada prinsipnya, locus delicti juga berkaitan dengan hukum positif yang mengaturnya, dikarenakan ditempat terjadinya suatu peristiwa pidana hampir bisa dipastikan terdapat hukum pidana yang mengaturnya. 

Jika kita kembali ke Hukum Acara Pidana di Indonesia, maka ketentuan terkait dengan locus delicti diatur dalam Pasal 84 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya”. Dengan kata lain, jika terjadi di Indonesia, maka yang berlaku adalah hukum Indonesia dan diadili pada Pengadilan Negeri terkait dimana peristiwa tersebut terjadi. Sedangkan Ketentuan hukum acara terkait dengan tempus delicti misalnya adalah terkait daluarsa penuntutan suatu perkara.

Setelah membicarakan beberapa variabel hukum di atas, baru kita dapat beranjak ke pertanyaan intinya, apa hukumnya mengolok-olok Donald Trump Kena COVID-19? Untuk menjawab pertanyaan ini, juga harus mempertimbangkan varibel-variabel hukum di atas. Dapat penulis sampaikan dari riset referensi artikel ini, bahwa Netizen yang berkomentar negatif di antaranya adalah datang dari China dan India. Dan dilakukan melaui aplikasi lintas negara seperti Twitter dan Instagram. Jikapun ingin dilakukan, tentu saja hal ini menyulitkan penindakan hukum. Atau setidaknya hukum positif suatu negara tidak dapat atau setidaknya kesulitan untuk menjangkau para pelaku kejahatan siber yang berdiam di negara lain.

Lain halnya jika kemudian terjadi di satu negara dan dilakukan oleh warga negara yang sama seperti Indonesia. Hal ini relatif lebih mudah untuk dilakukan penindakan. Contoh terakhir adalah kasus pengunggah foto kolase Ma'ruf Amin - 'Kakek Sugiono'.[10] Adapun undang-undang yang potensial menjeratnya adalah Undang-undang Nomor: 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Jo. Undang-undang Nomor: 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor: 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
___________________
Referensi:

1. "Donald Trump Positif COVID-19", liputan6.com, 02 Oktober 2020, https://www.liputan6.com/global/read/4372005/donald-trump-positif-covid-19
2. Ibid.
3. "Positif Virus Corona, Trump Alami Kelelahan Dan Kesulitan Bernafas", kompas.com, 03 Oktober 2020, https://www.kompas.com/global/read/2020/10/03/123114470/positif-virus-corona-trump-alami-kelelahan-dan-kesulitan-bernapas?page=all
4. "COVID-19, Trump Dilarikan ke Rumah Sakit Pakai Helikopter", cnnindonesia.com, 03 Oktober 2020, https://www.cnnindonesia.com/internasional/20201003064535-134-553917/covid-19-trump-dilarikan-ke-rumah-sakit-pakai-helikopter
5. "Netizen China Ramai Mengolok-olok Trump yang Positif Corona", news.detik.com, Sabtu, 03 Oktober 2020, https://news.detik.com/internasional/d-5198331/netizen-china-ramai-mengolok-olok-trump-yang-positif-corona
6. Ibid.
7. Ibid.
8. "Cuitan Presiden AS Positif COVID-19 Ramai Direspons Netizen", medcom.id., 02 Oktober 2020, https://www.medcom.id/teknologi/news-teknologi/5b2elYMN-cuitan-presiden-as-positif-covid-19-ramai-direspons-netizen
9. "Donald Trump Positif Covid-19, Begini Respon Kocak Netizen di Kota Palopo", koranseruya.com, 02 Oktober 2020, https://koranseruya.com/donald-trump-positif-covid-19-begini-respon-kocak-netizen-di-kota-palopo.html
10. "Terjerat Pidana, Ini Pesan Pengunggah Foto Kolase Ma'ruf Amin-'Kakek Sugiono'", news.detik.com, 03 Oktober 2020, https://news.detik.com/berita/d-5198475/terjerat-pidana-ini-pesan-pengunggah-foto-kolase-maruf-amin-kakek-sugiono

Sabtu, 03 Oktober 2020

Adagium Hukum II

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah mengetengahkan kepada sidang pembaca yang budiman perihal Adagium Hukum I, selanjutnya pada kesempatan ini akan dibahas lanjutannya, yaitu Adagium Hukum II.

Penulis memaknai adagium sebagai pepatah yang turun temurun dan telah dianggap benar yang berkaitan dengan hukum. Berikut Adagium Hukum II:
  1. "IN DUBIO PRO REO", artinya dalam keragu-raguan diberlakukan ketentuan yang paling menguntungkan bagi si Terdakwa;
  2. "LEX SPECIALIS DEROGAT LEX GENERALI", artinya undang-undang yang khusus didahulukan berlakunya daripada undang-undang yang umum;
  3. "LEX SUPERIOR DEROGAT LEGI INFERIORI", artinya undang-undang yang lebih tinggi  mengenyampingkan undang-undang yang lebih rendah tingkatannya;
  4. "PACTA SUNT SERVANDA", artinya setiap perjanjian itu mengikat para pihak dan harus ditaati dengan itikad baik;
  5. "PRESUMPTION OF INNOCENCE", dikenal dengan asas praduga tidak bersalah, artinya: seseorang dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan hakim yang menyatakan ia bersalah dan putusan hakim tersebut telah mempunyai kekuatan tetap;
  6. "HET VERMOEDEN VAN RECHMATIGHEID", artinya kebijakan Pemerintah harus dianggap benar dan memiliki kekuatan hukum mengikat sampai dibuktikan sebaliknya;
  7. "KOOP BREEKT GEEN HUUR", artinya jual beli tidak memutuskan sewa-menyewa. Perjanjian sewa-menyewa tidak berubah, walaupun barang yang disewanya beralih beralih tangan – pasal 1576 KUHPerdata;
  8. "IUDEX NON ULTRA PETITA atau ULTRA PETITA NON COGNOSCITUR" artinya hakim hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya;
  9. "IUDEX NE PROCEDAT EX OFFICIO", artinya hakim bersifat pasif menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya.
____________
Referensi:

1. "Adagium Hukum", rendratopan.com, diakses pada 3 Oktober 2020, https://rendratopan.com/2019/03/18/adagium-hukum/
2. "Adagium-adagium Dalam Ilmu Hukum", triwidodowutomo.blogspot.com., diakses pada 3 Oktober 2020, http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/10/adagium-adagium-dalam-ilmu-hukum.html 

Jumat, 02 Oktober 2020

Sita Berdasarkan Permohonan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Esensi Tindakan Penyitaan", dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Sita Berdasarkan Permohonan.

Menurut Pasal 226 dan Pasal 227 HIR atau Pasal 720 Rv maupun berdasarkan SEMA No.: 5 Tahun 1975, pengabulan dan perintah pelaksanaan sita, bertitik tolak dari permintaan atau permohonan Penggugat. Perintah penyitaan tidak dibenarkan berdasarkan ex-officio hakim.[1] Hal ini menerangkan bahwa titik tolak adanya pengabulan dan perintah sita adalah dari adanya niat dari Penggugat yang diwujudkan dengan sebuah permohonan.

Adapun bentuk permohonannya bertitik tolak dari prinsip pemeriksaan persidangan yang dianut dalam HIR-RBg, terutama terkait proses beracara secara lisan, dihubungkan dengan ketentuan Pasal 226 dan Pasal 227 HIR, maka bentuk permohonan sita adalah:[2]
  1. Bentuk lisan (oral), hal ini sesuai dengan prinsip yang dianut dalam HIR-RBg bahwa jalannya proses pemeriksaan di persidangan adalah beracara secara lisan (mondelinge procedure). Apabila permohonan sita diajukan dengan lisan, permintaan itu dicatat dalam berita acara sidang, dan berdasarkan itulah hakim mengeluarkan perintah sita apabila permohonan dianggap mempunyai dasar alasan yang cukup;
  2. Bentuk tertulis, bentuk ini dianggap paling tepat karena memenuhi administrasi yustisial yang lebih baik. Itu sebabnya Pasal 227 ayat (1) HIR menghendaki agar sita diajukan dalam bentuk tertulis berupa surat permintaan: a). Permintaan disatukan dengan surat gugatan, artinya diajukan bersama-sama dengan surat gugatan; dan b). Diajukan dalam surat tersendiri, artinya pengajuan sita dilakukan secara terpisah dari pokok perkara. Berarti permohonan sita diajukan tersendiri di samping gugatan pokok perkara. Menurut ahli M. Yahya Harahap, sikap ini dianggap berlebihan, karena dengan cara ini terdapat permohonan sita secara ganda.
Sangat lumrah jika sita diajukan dengan dua cara di atas, akan tetapi terkait dengan permohonan secara lisan, saat ini sudah sangat jarang. Sepengalaman penulis berpraktik sebagai advokat, lazimnya permohonan sita diajukan secara tertulis. Adapun hal yang menarik adalah, terkadang ada juga kuasa hukum yang mengajukan sita secara ganda, yaitu tidak hanya diajukan dalam surat gugatan, namun diajukan juga terpisah dalam persidangan. Salah satu alasannya adalah supaya ada penegasan, hal ini tidak dilarang, akan tetapi di lain sisi memang hal demikian menjadi overlapping
____________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 287.
2. Ibid., Hal.: 288-289.

Kamis, 01 Oktober 2020

Adagium Hukum I

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas "Kata Mutiara Hukum Terpilih III (Selected Law Quotes III)" dan pada kesempatan ini akan dibahas perihal Adagium Hukum I.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, adagium adalah 'pepatah; peribahasa'.[1]  Sedangkan yang dimaksud dengan adagium menurut wikipedia.org yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah "Pepatah singkat, mudah diingat, dan biasanya filosofis yang mengkomunikasikan kebenaran penting yang berasal dari pengalaman, adat istiadat, atau keduanya, dan yang banyak orang anggap benar dan kredibel karena tradisi panjangnya, yaitu diturunkan dari generasi ke generasi, atau memetika replikasi."[2] Dapat dimaknai bahwa yang dimaksud dengan adagium adalah pepatah yang turun temurun dan telah dianggap benar. Perlu diperhatikan juga bahwa adagium ini berbeda dengan kata mutiara, sidang pembaca dapat menelitinya kemudian terkait perbedaan dimaksud.

Adagium hukum yang ada di jagad maya cukup banyak jumlahnya, akan tetapi penulis hanya akan menyajikannya pada konteks yang populer saja, check it out:
  1. "AUDI ET ALTERAM PARTEMATAU AUDIATUR ET ALTERA PARS", artinya para pihak harus didengar. Apabila persidangan dimulai, hakim harus mendengar dari kedua belah pihak yang bersengketa, bukan hanya dari satu pihak saja;[3]
  2. "EQUALITY BEFORE THE LAW", artinya setiap orang bersamaan kedudukannya dalam hukum.[4]
  3. "FIAT JUSTITIA RUAT COELUM ATAU FIAT JUSTITIA PEREAT MUNDUS", terjemahannya dalam bahasa Inggris: Let justice be done though the heaven should fall, artinya sekalipun esok langit akan runtuh, meski dunia akan musnah, atau walaupun harus mengorbankan kebaikan,keadilan harustetap ditegakkan;[5]
  4. "GEEN STRAF ZONDER SCHULD", artinya tiada hukum tanpa kesalahan.[6]
  5. "JUDEX SET LEX LAGUENS" terjemahannya dalam bahasa Inggris: The judge is the sepaking law, artinya Sang hakim ialah hukum yang berbicara;[7]
  6. "LEX POSTERIOR DEROGAT PRIORI", terjemahannya dalam bahasa Inggris: "A later statute repeals an earlier one", artinya Undang-undang yang baru menghapus Undang-undang yang lama;[8]
  7. "UBI SOCIETAS, IBI JUS", artinya di mana ada masyarakat, di situ ada hukumnya;[9]
  8. "IUS CURIA NOVIT", artinya seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya;[10]
  9. "UNUS TESTIS NULLUS TESTIS", artinya satu orang saksi bukanlah saksi;[11] 
  10. "TESTIMONIUM DE AUDITU", artinya kesaksian yang didengar dari orang lain;[12]
  11. "NULLUM DELICTUM NOELA POENA SINE PRAEVIA LEGE POENALI", artinya suatu aturan hukum tidak bisa diterapkan terhadap suatu peristiwa yang timbul sebelum aturan hukum yang mengatur tentang peristiwa itu dibuat dan diberlakukan. Dapat juga diartikan sebagai tiada suatu perbuatan dapat dihukum, kecuali atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang telah ada lebih dahulu daripada perbuatan itu.[13]
_______________
Referensi:

1. "Adagium", Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, Diakses pada tanggal 1 Oktober 2020, https://kbbi.web.id/adagium
2. "Adage", en.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 1 Oktober 2020, https://en.wikipedia.org/wiki/Adage 
3. "Adagium Hukum", rendratopan.com, diakses pada tanggal 1 Oktober 2020, https://rendratopan.com/2019/03/18/adagium-hukum/
4. Ibid.
5. Ibid.
6. Ibid.
7. "Adagium Hukum", pa-bengkulukota.go.id, Diakses pada tanggal 1 Oktober 2020, http://www.pa-bengkulukota.go.id/foto/Adagium%20Hukum.pdf
8. Ibid.
9. "Adagium-adagium Dalam Ilmu Hukum", triwidodowutomo.blogspot.com, Diakses pada tanggal 1 Oktober 2020, http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/10/adagium-adagium-dalam-ilmu-hukum.html
10. Ibid.
11. Ibid.
12. Ibid.
13. Ibid.

Rabu, 30 September 2020

Esensi Tindakan Penyitaan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Pengertian dan Tujuan Penyitaan" dan pada kesempatan ini, masih dalam label praktik hukum, akan dibahas mengenai Esensi Tindakan Penyitaan.

Setelah memperhatikan pengertian penyitaan sebagaimana dimaksud dalam artikel sebelumnya, dapat dikemukakan beberapa esensi sebagai landasan penerapan penyitaan yang perlu diperhatikan.[1] Adapun esensi-esensi yang dimaksud akan diterangkan sebagai berikut.
  1. Sita merupakan tindakan eksepsional, dengan kata lain penyitaan termasuk salah satu acara mengadili yang bersifat istimewa, hal ini dikarenakan: a). Penyitaan memaksakan kebenaran Gugatan; b). Penyitaan membenarkan Putusan yang belum dijatuhkan;[2]
  2. Sita merupakan tindakan perampasan, jika ditinjau dari segi HAM, penyitaan tidak berbeda dengan perampasan harta kekayaan Tergugat. Padahal salah satu hak asasi yang paling mendasar adalah mempunyai hak milik, dan pada prinsipnya seseorang tidak boleh dirampas hak miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum. Akan tetapi, meskipun hak itu bersifat universal, tindakan perampasan itu dijustifikasi hukum acara, sehingga tindakan itu sah secara hukum. Perlu pertimbangan yang seksama dan objektif terkait pengabulan permintaan sita;[3]
  3. Penyitaan berdampak psikologis, dikarenakan pelaksanaannya dilakukan di tengah-tengah masyarakat, disaksikan oleh dua saksi dari Kepala Desa namun boleh juga ditonton masyarakat luas, secara administratif penyitaan barang tertentu harus diumumkan dengan cara mendaftarkannya di buku register kantor yang bersangkutan agar terpenuhi asas publisitas. Oleh karena itu penyitaan sangat berdampak psikologis berupa merugikan nama baik seseorang apalagi sebagai pelaku bisnis;[4]
  4. Tujuan penyitaan, adapun tujuan penyitaan adalah: a). Agar gugatan tidak ilusoir, artinya tidak dipindahkan kepada orang lain melalui jual-beli atau penghibahan, dan sebagainya serta tidak dibebani dengan sewa-menyewa atau diagunkan kepada pihak ketiga; b). Objek eksekusi sudah pasti, pada saat permohonan sita diajukan, Penggugat harus menjelaskan dan menunjukan identitas barang yang hendak disita. Menjelaskan letak, jenis, ukuran, dan batas-batasnya. Artinya sejak semula sudah diketahui dan dipastikan objek barang yang disita.[5]
_______________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 282-284.
2. Ibid. Hal.: 284.
3. Ibid. Hal.: 284-285.
4. Ibid. Hal.: 285-287.

Selasa, 29 September 2020

Pengertian dan Tujuan Penyitaan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Platform Hukumindo.com sebelumnya telah membahas mengenai 3 Kekuatan Hukum Penetapan Akta Perdamaian, sampai di situ selesai dibahas mengenai Mediasi dan Perdamaian. Selanjutnya kita akan beranjak ke bab berikutnya terkait dengan Penyitaan. Pada kesempatan ini, terlebih dahulu akan dibahas mengenai Pengertian dan Tujuan Penyitaan.

Penyitaan berasal dari terminologi beslag (Belanda), dan istilah Indonesia beslah, tetapi istilah bakunya ialah sita atau penyitaan. Dapat penulis tambahkan di sini terdapat transliterasi dari istilah beslag menjadi beslah. Pengertian yang terkandung di dalamnya ialah:[1]
  • Tindakan menempatkan harta kekayaan Tergugat secara paksa berada ke dalam keadaan penjagaan (to take into custody the property of a defendant);
  • Tindakan paksa penjagaan (custody) itu dilakukan secara resmi (official) berdasarkan perintah Pengadilan atau Hakim;
  • Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang disengketakan, tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat pembayaran atas pelunasan utang Debitur atau Tergugat, dengan jalan menjual lelang (executorial verkoop) barang yang disita tersebut;
  • Penetapan dan penjagaan barang yang disita, berlangsung selama proses pemeriksaan, sampai ada putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap, yang menyatakan sah atau tidak tindakan Penyitaan itu.
Berdasarkan uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan penyitaan adalah sebuah tindakan dari aparat penegak hukum, dalam hal ini Pengadilan melalui Juru Sita nantinya, guna melakukan penempatan secara paksa atas harta dari Tergugat atas nama hukum yang kemudian dijadikan pembayaran pelunasan hutang dari debitur atau Tergugat secara lelang.
________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Cetakan ke-10 tahun 2010,  Hal.: 282.

Senin, 28 September 2020

Maria Ulfah, Sarjana Hukum Perempuan Pertama Indonesia

(id.Wikipedia.org)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya pada label tokoh hukum, platform Hukumindo.com telah membahas Baharuddin Lopa, Jaksa Agung Jujur dan Sederhana. Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai upaya memperkenalkan salah satu tokoh hukum perempuan, yaitu Maria Ulfah.

Orang Tua & Masa Kecil

Mr. Hajjah Raden Ayu Maria Ulfah atau Maria Ulfah Santoso atau Maria Ulfah Soebadio Sastrosatomo lahir di Serang, Banten, 18 Agustus 1911 dan meninggal di Jakarta, 15 April 1988 pada umur 76 tahun. Dikenal sebagai Maria Ulfah Santoso adalah salah satu mantan Menteri Sosial pada Kabinet Sjahrir II. Nama Santoso diambil dari nama suami pertama dan nama Soebadio Sastrosatomo diambil dari nama suami kedua setelah suami pertama meninggal dunia.[1]

Maria Ulfah lahir dari pasangan Raden Mochammad Achmad dan Raden Ayu Chadidjah Djajadiningrat yakni saudara dari Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat dan Achmad Djajadiningrat. Mochammad Achmad adalah seorang dari beberapa saja orang Indonesia yang pada awal abad ke 20 selesai menempuh pendidikan di HBS (setingkat SMA). Mochammad Achmad kemudian menjabat sebagai Bupati Kuningan.[2]

Ia lahir di Serang, Banten pada 18 Agustus 1911. Ayahnya merupakan seorang Bupati Kuningan, yang sebelumnya sempat bertugas sebagai amtenar di beberapa wilayah. Ibu kandungnya merupakan anak kelima dari Raden Bagoes Djajawinata, Wedana Karamatwatu dan Bupati Serang. Masa kecilnya lebih sering dihabiskan di kota kelahirannya, Serang. Maria memasuki sekolah dasar di Rangkasbitung. Tak lama tinggal di sana, ayahnya dipindah ke Batavia, Maria pun ikut pindah ke Batavia.[3]

Pendidikan Tinggi & Dunia Pergerakan

Pada 1929 Ayah Maria, Mohammad Achmad, memperoleh kesempatan untuk belajar perkoperasian di Denhaag Belanda. Ia pun turut serta membawa ketiga anaknya. Kebetulan saat itu tiba waktunya bagi Maria untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Berbekal izin ayah, Maria pun memilih untuk mendaftar di Fakultas Hukum Universiteit Leiden. Ia pun dapat disebut menjadi sarjana hukum perempuan pertama dari Indonesia.[4]

Aktivitasnya dalam dunia politik dimulai tatkala ia bertemu Sjahrir, seorang tokoh sosialis terkemuka yang kelak menjadi perdana menteri. Melalui pertemuannya dengan Sjahrir, Maria mulai mengenal kalangan sosialis Belanda dan diajak ke pertemuan-pertemuan kaum sosialis di sana. Saat kembali ke Indonesia, seperti yang tertulis dalam Historia, Maria mengajar di Perguruan Rakyat dan Perguruan Muhammadiyah. Bahkan ia mampu mengampiu tiga mata pelajaran sekaligus yakni sejarah, tatanegara, dan bahasa Jerman. Sembari mengajar, Maria pun turut menceburkan dirinya ke dalam aktivitas gerakan perempuan.[5]

Jabatan dan Sumbangsih Perjuangan

Disebut pula bahwa Maria merupakan salah satu pendiri organisiasi Isteri Indonesia. Organisasi ini menerbitkan majalah bulanannya sendiri. Ia pun menjadi salah satu kolumnis tetap di majalah tersebut dan sering mencurahkan pikiran juga ide-idenya tentang gerakan perempuan di Indonesia. Maria merupakan satu dari segelintir tokoh perempuan yang memperjuangkan adanya Undang-Undang Pernikahan. Perdebatan tersebut dimulai sejak Kongres Perempuan Indonesia kedua di Batavia pada 20-24 Juli 1935. Dia mengajak gerakan perempuan memikirkan formulasi peraturan untuk melindungi perempuan dari penyalahgunaan hukum agama demi kepentingan sepihak kaum lelaki.[6]

Lebih lagi Maria turut ikut mengusulkan pencantuman pasal kesetaraan warga negara di hadapan hukum, sebagaimana tercantum dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945. Usulan tersebut ia sampaikan kepada Moh. Hatta dalam kapasitasnya sebagai seorang anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Di masa kemerdekaan, Sjahrir memintanya untuk menjadi menteri sosial. Kiprah Maria sebagai seorang menteri pun tak perlu diragukan. Ia mampu menunjukkan pada dunia bahwa bangsa ini punya seorang menteri perempuan yang bahkan di Eropa pun belum lazim saat itu.[7]

Tak hanya urusan politik saja. Pada 1950-1961 Maria pernah menjadi Ketua Panitia Sensor Film Indonesia. Bahkan di masa senjanya ia masih aktif menjadi Ketua Yayasan Rukun Istri yang kegiatan tetapnya mengelola panti asuhan Putra Setia di Kramat Sentiong, Jakarta Pusat. Maria juga pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung periode 1968-1973.[8]

Tidak banyak catatan dari penulis, jujur saja penulis juga baru mengetahui salah satu tokoh perempuan ini sebagai orang pribumi yang meraih gelar sarjana hukum pertama. Setelah penulis baca, ternyata beliau bisa dikatakan lebih dekat sebagai seorang politisi daripada orang yang berkarir di bidang hukum secara profesional ataupun aparat negara. Namun demikian, sumbangan perjuangannya yang patut dicatat adalah memperjuangkan adanya Undang-Undang Pernikahan yang isinya adalah menentang poligami. Ia juga turut mengusulkan pencantuman pasal kesetaraan warga negara di hadapan hukum, sebagaimana tercantum dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945. Pada umumnya perjuangan beliau adalah memperjuangkan hak-hak perempuan pada ranah hukum.

Referensi:
________

1. "Maria Ulfah Santoso", id.Wikipedia.org., diakses pada 26 September 2020, https://id.wikipedia.org/wiki/Maria_Ulfah_Santoso

2. "Mengenal Maria Ulfah, Advokat Bagi Kaum Perempuan yang Juga Menteri Sosial Pertama RI", goodnewsfromindonesia.id., Aninditya Ardhana Riswari, 24 Agustus 2018, diakses pada 26 September 2020, https://www.goodnewsfromindonesia.id/2018/08/24/mengenal-maria-ulfah-advokat-bagi-kaum-perempuan-yang-juga-menteri-sosial-pertama-ri

3. Ibid.

4. Ibid.

5. Ibid.

6. Ibid.

7. Ibid.

8. Ibid.

Sabtu, 26 September 2020

3 Kekuatan Hukum Penetapan Akta Perdamaian

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada label praktik hukum, sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai Putusan Perdamaian Yang Bertentangan dengan Undang-undang dapat Dibatalkan. Selanjutnya, yaitu pada kesempatan ini akan membahas mengenai 3 Kekuatan Hukum Penetapan Akta Perdamaian.

Kekuatan hukum apa saja yang melekat pada Putusan atau Penetapan Akta Perdamaian? Hal ini diatur dalam Pasal 1858 KUHPerdata dan Pasal 130 ayat (2) dan (3) HIR.[1]

Pada dasarnya ada tiga kekuatan hukum dalam suatu penetapan akta perdamaian, diuraikan sebagaimana berikut:
  1. Disamakan Kekuatannya dengan Putusan yang Berkekuatan Hukum Tetap, menurut Pasal 1858 ayat (1) KUHPerdata, perdamaian di antara pihak, sama kekuatannya seperti putusan hakim yang penghabisan. Hal inipun ditegaskan pada kalimat terakhir Pasal 130 ayat (2) HIR, bahwa putusan akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sifat kekuatan yang demikian merupakan penyimpangan dari ketentuan konvensional. Secara umum suatu putusan baru memiliki kekuatan hukum tetap, apabila terhadapnya sudah tertutup upaya hukum.[2]
  2. Mempunyai Kekuatan Eksekutorial, penegasan ini disebut dalam Pasal 130 ayat (2) HIR. Kalimat terakhir Pasal tersebut menegaskan, bahwa putusan akta perdamaian: a). Berkekuatan sebagai putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan b). Juga berkekuatan eksekutorial (executorial kracht) sebagaimana halnya putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Hal ini berarti apabila salah satu pihak tidak menaati atau melaksanakan pemenuhan yang ditentukan dalam perjanjian secara sukarela, maka ia dapat dimintakan eksekusi kepada Pengadilan Negeri, dan atas permintaan itu, Ketua Pengadilan Negeri menjalankan eksekusi sesuai dengan ketentuan Pasal 195 HIR.[3]
  3. Putusan Akta Perdamaian Tidak Dapat Dibanding, hal ini ditegaskan dalam Pasal 130 ayat (3) HIR. Putusan akta perdamaian, tidak dapat dibanding. Dengan kata lain, terhadap putusan tersebut tertutup upaya hukum banding dan kasasi. Larangan itu sejalan dengan ketentuan yang mempersamakan kekuatannya sebagai putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Hal itupun ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1038 K/Sip/1973, bahwa terhadap Putusan Perdamaian tidak mungkin diajukan permohonan Banding. Dijelaskan kenapa tidak dapat dibanding, karena sesuai ketentuan Pasal 154 RBg/ 130 HIR, putusan Perdamaian atau acte van vergelijk, merupakan suatu Putusan yang tertinggi, tidak ada upaya banding dan kasasi terhadapnya.[4]
Dengan kata lain, 3 kekuatan hukum Penetapan Akta Perdamaian adalah inkraht, executable, dan tidak dapat dilakukan upaya hukum. Case closed.
____________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Ke-10 Tahun 2010, Hal.: 279.
2. Ibid. Hal.: 279.
3. Ibid. Hal.: 280.
4. Ibid. Hal.: 280-281.

Three Ways to Conduct FDI in Indonesia

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Knowing Joint Venture Companies in FDI ...