(iStock)
Oleh:
Tim Hukumindo
Kondisi Sosiologis & Dasar Hukum Advokat
Di zaman penjajahan Belanda, tanggal 1 Mei 1843 disahkan Inlandsch Reglemen (I.R.) sebagai hukum acara pidana dan hukum acara perdata bagi golongan Bumiputra, sedangkan untuk golongan Eropa berlaku hukum acara pidana Reglement op de Rechtsvordering. Pengadilan sehari-hari untuk orang-orang Bumiputra adalah Landraad dan pengadilan sehari-hari untuk golongan Eropa adalah Raad van Justitie.[1]
Saat itu, kebanyakan hakim dan semua notaris, serta para advokat adalah orang Belanda sampai pertengahan tahun 1920-an. Bagi orang Indonesia, cukup disediakan satu kitab undang-undang baik untuk perkara perdata dan pidana, yang menetapkan acara-acara pengadilan pangreh praja maupun landraad dan pengadilan-pengadilan yang lebih rendah.[2] Para advokat pada waktu itu mayoritas adalah orang-orang Belanda.
Pada tahun 1924 sebuah fakultas hukum didirikan di Batavia, Rechtshogeschool. Dengan tersedianya pendidikan hukum ini, maka kesempatan bagi orang Indonesia untuk menjadi Advokat semakin terbuka. Hingga pada tahun 1940 terdapat hampir tiga ratus orang Indonesia asli menjadi ahli hukum sampai pada pendudukan Jepang. Para Advokat Indonesia angkatan pertama menetap di Belanda sebagai Advokat. Diantara empat puluh orang Indonesia yang meraih gelar sarjana hukum di Leiden, tidak kurang dari enam belas orang menjadi Advokat sepulang ke Indonesia.[3]
Adapun berbagai pengaturan profesi Advokat pada masa penjajahan Belanda adalah sebagaimana berikut:[4]
- Staatblad Tahun 1847 Nomor 23 dan Staatblad Tahun 1848 Nomor 57 tentang Reglement op de rechtelijk organisatie en het beleid de justitie in Indonesie atau dikenal dengan R.O., pada Pasal 185 s/d 192 mengatur tentang “advocatenen procureurs” yaitu penasehat hukum yang bergelar sarjana hukum;
- Staatblad Tahun 1847 Nomor 40 tentang Reglement op de Rechtsvordering (RV), dalam peradilan khusus golongan Eropa (Raad van Justitie) ditentukan bahwa para pihak harus diwakili oleh seorang Advokat atau procureur;
- Staatsblad Tahun 1848 Nomor 8 tentang Bepalingen Bedreffende Het Kostuum Der Regterlijke Ambtenaren En Dat Der Advocaten, Procureur En Deurwaarders, yaitu Peraturan Mengenai Pakaian Pegawai Kehakiman Dan Para Advokat, Jaksa dan Juru Sita;
- Staatsblad Tahun 1922 Nomor 522 tentang Vertegenwoordiging Van Den Lande In Rechten, yaitu tentang mengenai Mewakili Negara Dalam Hukum;
- Penetapan Raja tanggal 4 Mei 1926 Nomor 251 Jo. 486 tentang Peraturan Cara Melakukan Menjalankan Hukuman Bersyarat, pada Bab I Bagian II Pasal 3 ayat 3 ditentukan bahwa orang yang dihukum dan orang yang wajib memberikan bantuan hukum kepadanya sebelum permulaan pemeriksaan;
- Staatblad Tahun 1926 nomor 487 tentang Pengawasan Orang yang Memberikan Bantuan Hukum, ditentukan bahwa pengawasan terhadap orang-orang yang memberikan bantuan hukum atau orang yang dikuasakan untuk menunjuk lembaga dan orang yang boleh diperintah memberi bantuan;
- Staatblad Tahun 1927 Nomor 496 tentang Regeling van de bijstaan en vertegenwoordiging van partijen in burgerlijke zaken voor de landraden, mengatur tentang penasehat hukum yang disebut “zaakwaarnemers’ atau pada masa tersebut dikenal dengan “pokrol”;
- Staatblad Tahun 1941 Nomor 44 tentang Herziene Inlandsch Reglement (HIR), dalam Pasal 83 h ayat 6 ditentukan bahwa jika seseorang dituduh bersalah melakukan sesuatu kejahatan yang dapat dihukum dengan hukuman mati, maka magistraat hendak menanyakan kepadanya, maukah ia dibantu di pengadilanoleh seorang penasehat hukum. Dan Pasal 254 menentukan bahwa dalam persidangan tiap-tiap orang yang dituduh berhak dibantu oleh pembela untuk mempertahankan dirinya;
- Staatblad Tahun 1944 Nomor 44 tentang Het Herziene Inlandsch Reglement atau RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaharui), menurut Pasal 123 dimungkinkan kepada pihak yang berperkara untuk diwakili oleh orang lain.
Penderitaan Kuli Perkebunan Zaman Penjajahan Belanda
Istilah ”kuli” identik dengan pekerja kasar zaman kolonial. Panggilan ”kuli” juga merendahkan derajat bagi mereka yang menyandangnya. Kenyataannya kehidupan para kuli memang kerap ditindas oleh tuan kebun yang mengontrak mereka. Penggunaan istilah tersebut berkembang seiring besarnya kebutuhan perkebunan besar atas tenaga kerja pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.[5]
Hampir tiga dasawarsa silam, Profesor emeritus Jan Breman, seorang ahli sosiologi dari University of Amsterdam, mengungkap kembali penderitaan para kuli Sumatra Timur. Dia mengungkap penderitaan kuli sejak penandatanganan kontrak sampai kehidupannya di perkebunan. Breeman berkisah, selama berlayar, kuli tidak dianggap sebagai penumpang kapal, melainkan sebagai barang atau ternak. Para kuli itu diangkut dalam gerbong tertutup, bahkan ruangan mereka dipenuhi sampah dan kotoran kulit buah-buahan, ludah sirih, dan muntahan mabuk laut.[6]
Kuli perkebunan kerap kena tipu tuan kebunnya soal upah. Breman mengungkap bahwa upah yang dijanjikan dalam kontrak tidak sesuai dengan daya beli di Sumatra Timur. Kuli tidak diberi kebebasan membelanjakan upahnya yang sudah rendah itu. Banyak tuan kebun menggaji kulinya sebagian dengan uang buatan sendiri berupa kertas bon. Lebih lagi, pernah terjadi seorang majikan menggunting kaleng biskuit menjadi keping-keping bulat pipih, menuliskan angka-angka di atasnya, dan membayarkannya kepada para kuli Cina. Tentu saja, mata uang kertas bon dan kepingan kaleng biskuit tadi hanya dapat dibelanjakan di kedai perkebunan.[7]
Kuli menjadi sebuah ironi di negerinya sendiri. Breeman berkesimpulan bahwa tindak penyiksaan terhadap para kuli tadi bukanlah suatu kasus yang kebetulan terjadi, melainkan bersifat mengakar lantaran didukung antara tuan kebun dan pemerintah kolonial.[8]
Mr. J. van Den Brand Advokat Pembela Kuli
Pada zaman penjajahan Belanda, ada advokat Belanda yang justru membela rakyat jelata pribumi yang notabene terjajah, namanya M. Johannes van Den Brand. Ia lulusan Universitas Amsterdam. Setelah menyandang gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum), dia menyeberang lautan. Meninggalkan Geervliet, kampung halamannya di Belanda. Den Brand memilih mengabdi di Hindia-Belanda (sekarang Indonesia). Tahun 1885, dia sampai di Semarang. Dia bekerja di kantor advokat disana. Sempat pula menetap beberapa saat di Batavia (Jakarta). Juga sebagai advokat.[9]
Akhir Oktober 1897, di suatu petang yang panas, Den Brand menuju Medan, Sumatera Utara. Menyahuti ajakan J. Hallerman. Pria Jerman yang mengajaknya menerbitkan koran Sumatera Post. Ini surat kabar ketiga di kota itu setelah Deli Courant dan De Ooskust (Emil Aulia, Berjuta-juta dari Deli, 2007). Dua tahun jadi wartawan, Den Brand berubah haluan. Dia kembali jadi advokat. Dia menyewa sebuah ruangan kecil di Hautenbaghtwet, membuka firma hukum. Nalurinya yang membawanya kesana. Karena di tanah Deli, kala itu, banyak dijumpainya pelanggaran dan kejahatan tanpa pembelaan.[10]
Dia melihat orang pribumi dikasari kala bekerja di perkebunan Deli Maastchappij. Dia menyaksikan orang Belanda menyiksa orang pribumi tanpa belas kasih. Dia tahu orang Belanda melanggar hukum kala memperbudak pribumi. Dia mengerti kesalahan Hindia ketika memperkerjakan penduduk jelata tanpa digaji. Den Brand tahu rezim Hindia-Belanda menerapkan sistem perbudakan di tanah Deli lewat poenale sanctie.[11]
Sebagai advokat, darahnya mendidih. Dia membongkar kekejian yang dibuat bangsanya sendiri. Den Brand menyusun brosur. Isinya menceritakan seluruh kekejian dan pelanggaran yang dibuat kaumnya. Brosur dan berita itu dilemparkannya ke Belanda. Karyanya itu dikenal dengan Millioenen uit Deli (Berjuta-juta dari Deli). Begitu beredar, karya Den Brand menyulut pembicaraan politik berkepanjangan di negerinya. Di gedung Tweede Kamer (Majelis Rendah) yang megah, karya Den Brand dibincangkan. Skandal kekerasan tuan kebun yang diungkap Den Brand, membuat pemerintah Belanda beraksi. Mereka sadar pemerintahan kolonial melakukan banyak pelanggaran tehadap koeli contract. Pejabat kolonial pun dijatuhi sanksi. Seluruh pejabatnya diganti.[12]
Gara-gara Den Brand lagi, Opsir Justitie (hakim yang menegakkan keadilan di Keresidenan Sumatera Timur), jadi kerepotan. Karena banyak buruh yang minta perlindungan. Di Batavia juga sama. Raad van Justitie (pengadilan) jadi ramai. Pribumi jadi berani menuntut ganti rugi. Den Brand juga yang membelanya.[13]
Den Brand beraksi bak advokat sejati. Padahal saat itu tak banyak advokat yang mendukungnya. Karena buah karyanya, Den Brand banyak diserang dengan tuduhan pencemaran nama. Tapi Den Brand tak gentar. Kebenaran tetap diungkapnya walau belum ada organisasi advokat yang melindunginya. Den Brand telah memberi warisan buat kalangan advokat untuk bertindak semestinya. Dia telah menunjukkan officium nobile di tanah air sejak kita belum merdeka.[14]
__________________
Referensi:
1. "Sejarah Bantuan Hukum di Indonesia", lbhsembilandelapan.wordpress.com, Diakses tanggal 20 Oktober 2020, https://lbhsembilandelapan.wordpress.com/2015/08/12/sejarah-bantuan-hukum-di-indonesia/
2. Ibid.
3. "SEJARAH ADVOKAT INDONESIA", abpnnews.id., 11/08/2019 Diakses pada tanggal 20 Oktober 2020, https://abpnews.id/2019/08/11/sejarah-advokat-indonesia/
4. Ibid.
5. "Kisah Tak Terperi Para Kuli Hindia Belanda", nationalgeographic.grid.id., Mahandis Yoanata Thamrin, Selasa, 12 Maret 2019, Diakses pada tanggal 20 Oktober 2020, https://nationalgeographic.grid.id/read/131662370/kisah-tak-terperi-para-kuli-hindia-belanda?page=all
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Ibid.
9. "Advokat Van Den Brand", irawan-santoso.blogspot.com., Diakses pada tanggal 20 Oktober 2020, http://irawan-santoso.blogspot.com/2008/05/van-den-brand.html
10. Ibid.
11. Ibid.
12. Ibid.
13. Ibid.
14. Ibid.