Adnan
Buyung Nasution adalah pria kelahiran Jakarta, 20 Juli 1934, yang dikenal
sebagai seorang advokat, pendiri Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, dan juga pernah
menjabat sebagai anggota DPR/MPR. Tidak banyak yang tahu bahwa nama tengah
Buyung sebenarnya adalah ‘Bahrum’. Pada akta kelahirannya, namanya tercatat
sebagai Adnan Bahrum Nasution. Namun, Buyung menamai dirinya sebagai Adnan B.
Nasution. Nama "Buyung" dia
dapatkan karena dia sering dipanggil demikian oleh teman-teman dan kerabatnya.
[1]
Selepas
SMA, Buyung terdaftar sebagai mahasiswa Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung
(ITB). Namun, satu tahun kemudian, Buyung pindah ke Fakultas Gabung Hukum,
Ekonomi, dan Sosial Politik di Universitas Gajah Mada. Tidak lama kemudian,
Buyung berpindah ke Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan di
Universitas Indonesia. Di tiga universitas tersebut, Buyung aktif dalam
kegiatan organisasi mahasiswa. [2]
Setelah
lulus dari UI, Buyung meneruskan kuliah dan bekerja sebagai Jaksa di Kejaksaan
Negeri Istimewa Jakarta. Selain itu, Buyung juga tetap aktif dalam kegiatan
politik di Indonesia. Buyung tercatat sebagai pendiri dan Ketua Gerakan
Pelaksana Ampera. Ketika terjadi peristiwa Gestapu, Buyung tercatat sebagai
anggota Komando Aksi penggayangan Gestapu. Bahkan, Buyung sempat mendapatkan
skorsing selama satu setengah tahun akibat ikut berdemonstrasi dengan Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), dan dituduh sebagai anti revolusi. [3]
Setelah
itu, Buyung dipindahtugaskan ke Manado. Namun demikian, Buyung ditempatkan di
Medan. Hal tersebut membuat Buyung hengkang dan menganggur hingga setahun
kemudian. Pada saat yang bersamaan. Buyung mendapatkan panggilan kembali untuk
DPR/MPR. Setelah satu tahun menganggur, Buyung kemudian mendirikan Lembaga
Bantuan Hukum Jakarta dan membuka kantor pengacara (advokat). [4]
Adnan
Buyung Nasution meninggal di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan, Rabu,
23 September 2015, pukul 10.15 WIB. Dia meninggal setelah setelah dirawat
hampir lima hari. Buyung sebelumnya mengeluh sakit pada giginya. Adnan juga
punya masalah di ginjal dan jantungnya. [5] Alm. Adnan Buyung Nasution
dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir Jakarta Selatan.
Warisan Lembaga
Bantuan Hukum (LBH)
Soal
pendirian Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Buyung punya cerita menarik. Ketika ia
menjadi jaksa dan bersidang di daerah-daerah terpencil, ia melihat orang-orang
yang menjadi terdakwa pasrah menerima dakwaan yang ditimpakan kepadanya. Dari
sana ia berpikir, orang-orang kecil yang buta hukum itu perlu dibantu. Menurut
Buyung, penegakan hukum dan keadilan tak mungkin terjadi di Indonesia jika
rakyat dari kalangan menengah ke bawah dalam posisi yang tidak seimbang.
Persoalan ini mendorong Buyung untuk ambil peran sebagai orang yang membela
mereka. [6]
Saat
kuliah di Universitas Melbourne, Australia, ia melihat ada Lembaga Bantuan
Hukum. Ia sadar, bantuan hukum itu ada pola, model, dan bentuknya. Pada 1969,
Buyung kembali ke Indonesia. Ia menyampaikan ide pembuatan LBH kepada Kepala
Kejaksaan Agung Soeprapto. Soeprapto memang memuji ide itu, tetapi menganggap
belum waktunya diwujudkan. Buyung menyadari saat itu memang belum mendukung
gagasan tersebut. [7] Hal yang penting di sini adalah bahwa Adnan Buyung Nasution
memperoleh inspirasi pola, model dan bentuk bantuan hukum untuk masyarakat yang
kurang mampu adalah ketika berkuliah di Australia.
Dalam
otobiografinya, Adnan menceritakan tentang awal mula pendirian LBH. Dia
bercerita bahwa pada mulanya ide tentang pendirian LBH dia kemukakan dalam
kongres Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) III pada 18-20 Agustus 1969.
Ternyata, ide ini didukung oleh kongres kemudian ditindaklanjuti oleh Adnan. [8]
Ia
baru bisa merealisasikan idenya membentuk LBH setelah keluar dari Kejaksaan.
Gagasannya mendapat dukungan dari sejumlah tokoh, antara lain Mochtar Lubis,
Ali Sadikin, Ali Moertopo, bahkan Presiden RI ke-2 Soeharto. LBH resmi
didirikan tanggal 28 Oktober 1970. Buyung pun tampil sebagai pemimpin LBH
pertama kali. [9]
Pada
peresmian kantor LBH di Jalan Ketapang, Ali Murtopo memberikan sumbangan lima
sepeda motor untuk operasional. Banyak orang-orang yang mengkritik keputusan
Buyung menerima bantuan Ali Murtopo. Namun Buyung menjawab bahwa dia percaya
pada itikad baik Ali Murtopo. Sayangnya, pemberian motor itu hanya bagian dari
politik kosmetik pemerintah Soeharto. Dia ingin membangun citra bahwa
pemerintah Orba mendukung demokrasi, hukum, dan HAM. Padahal, kenyataannya
tidak demikian. Hal ini bisa dilihat dari keputusan Orba untuk menahan Buyung
selama dua tahun tanpa peradilan dengan tuduhan sebagai dalang Malari. [10]
Pendirian
LBH ini menjadi tonggak penting bahwa sebelum ada LBH, bantuan hukum untuk
orang miskin adalah amal yang dilakukan pengacara sebagai individu. Namun,
Buyung berpendapat bahwa bantuan hukum bisa dilakukan oleh lembaga. Karena itu,
bantuan hukum tak lagi sekadar amal atau charity,
melainkan tanggung jawab moral orang-orang yang mengerti hukum dan mesti
diberikan sebaik-baiknya kepada setiap warga negara, terutama masyarakat miskin
dan tak mampu. [11]
Menyambung
pendapat di atas, hal penting dari warisan Adnan Buyung Nasution dalam
kontribusinya terhadap dunia hukum di Indonesia adalah melembagakan bantuan hukum
bagi kalangan yang kurang mampu. Pelayanan bantuan hukum tidak lagi dipandang
sebagai kerja-kerja sosial non profit
seorang advokat secara acak, namun disusun rapi dan terstruktur dalam sebuah
badan hukum resmi yang menangani secara khusus hal dimaksud, hingga di kemudian
hari menjadi sebuah gerakan. Sudah selayaknya kemudian Adnan Buyung Nasution
disebut sebagai salah satu pelopor gerakan perkembangan bantuan hukum di
Indonesia. Penulis berani mengatakan bahwa banyaknya pendirian Lembaga-lembaga
bantuan hukum atau lembaga sejenisnya di berbagai bidang yang bersifat non profit, pasca kejatuhan Orde Baru, dan
bahkan sampai sekarang adalah terinspirasi dari beliau.
Implikasi Revolusi
Industri 4.0 Terhadap Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Masyarakat
kita dan dunia hari ini telah memasuki gelombang revolusi industri yang ke
empat. Apa yang dimaksud dengan revolusi industri yang populer dengan sebutan
industri 4.0 ini? Bagaimana revolusi industri 4.0 ini berimplikasi terhadap
Lambaga Bantuan Hukum (LBH)?
Apa
yang dimaksud dengan revolusi industri 4.0? Revolusi industri 4.0 adalah tren
terbaru teknologi yang sedemikian rupa canggihnya, yang berpengaruh besar
terhadap proses produksi pada sektor manufaktur. Teknologi canggih tersebut
termasuk artificial intelligence
(AI), e-commerce, big data, fintech,
shared economies, hingga penggunaan robot. Istilah industri 4.0 pertama
kali diperkenalkan pada Hannover Fair 2011, yang ditandai dengan revolusi
digital. [12]
Bob
Gordon dari Universitas Northwestern, seperti dikutip Paul Krugman (2013),
mencatat bahwa sebelumnya telah terjadi tiga revolusi industri. Pertama,
ditemukannya mesin uap dan kereta api (1750-1830). Kedua, penemuan listrik,
alat komunikasi, kimia dan minyak (1870-1900). Ketiga, penemuan komputer,
internet dan telepon genggam (1960 hingga sekarang). Versi lain menyatakan
bahwa revolusi industri ke tiga dimulai 1969, melalui munculnya teknologi
informasi dan mesin otomasi. [13]
Lalu
bagaimana revolusi industri 4.0 ini berimplikasi terhadap Lambaga Bantuan Hukum
(LBH)? Menurut penulis, disadari atau tidak namun sangat sulit untuk ditolak, produk-produk
revolusi industri 4.0 telah mempengaruhi kehidupan kita semua dalam skala yang massif, termasuk berimplikasi terhadap ranah
profesi hukum serta tentunya mempunyai implikasi terhadap Lembaga Bantuan Hukum
(LBH).
Contoh
sederhana adalah salah satu bentuk pelayanan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) berupa
konsultasi hukum. Apa tujuan konsultasi hukum ini? Tujuannya sederhana, yaitu
mendapatkan informasi hukum yang akurat dari sumber yang kompeten. Pada zaman
sebelum revolusi industri 4.0 kalangan masyarakat kurang mampu harus datang
langsung ke kantor-kantor lembaga bantuan hukum untuk mendapatkan informasi
hukum. Saat ini, di era revolusi industri 4.0 masyarakat semua kalangan,
termasuk yang kurang mampu, dimudahkan untuk mengakses berbagai informasi di
internet, termasuk informasi hukum. Dalam masyarakat industri 4.0 kebutuhan
akan informasi hukum telah berubah dari harus datang ke kantor Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) menjadi beli kuota internet, akses, tanya ke mesin pencari ‘Google’,
klik domain yang relevan, baca, selesai. Dengan kata lain, eksistensi konsultan
hukum pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) telah tergantikan sebagian peranannya
oleh artificial intelligence (AI)
mesin pencari ‘Google’.
Sepengalaman
penulis di daerah-daerah, praktik peninggalan era sebelum revolusi industri 4.0
seperti fee lawyer dibarter dengan
produk-produk pertanian oleh kalangan masyarakat yang kurang mampu guna
mendapatkan bantuan hukum adalah lumrah. Mungkin saat ini dan akan datang, bisa
saja praktik barter fee lawyer dangan
‘kuota internet’ atau ‘pulsa handphone’, yang harganya telah terjangkau oleh
semua kalangan, menjadi hal yang lumrah untuk masyarakat kurang mampu mendapatkan
akses bantuan hukum.
Lalu
bagaimana kiranya masa depan Lembaga Bantuan Hukum (LBH)? Jika kita
berpikir positif, dari sudut pandang ekonomi tujuan revolusi industri 4.0 ini adalah
efisiensi proses produksi, menjadikan produk-produk industri menjadi lebih
terjangkau dan kompetitif. Ke depan tidak ada yang tahu, hanya bisa diprediksi
saja, namun kaitannya dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH), akan ada
segmen-segmen yang peranannya tergantikan oleh produk-produk revolusi industri
seperti artificial intelligence (AI)
di atas.
________________________________
|
2.
Ibid.
3.
Ibid.
4.
Ibid.
6.
Ibid.
7.
Ibid.
13. Ibid