(shutterstock)
Oleh:
Tim Hukumindo
Kuliah
sebelumnya yang berjudul: ‘Tentang Daya Paksa (Overmacht)’, telah kita bahas, dan pada kesempatan ini akan dikaji tentang
Pembelaan Terpaksa (Noodweer).
Pasal
49 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi sebagaimana
berikut: “Tidak dipidana, barang siapa
melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang
lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena
ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan
hukum”.
Pasal
49 KUHP mengatur tentang pembelaan terpaksa dengan harus dipenuhi syarat-syarat
tertentu untuk perbuatan itu tidak dapat dipidana. Pada hakikatnya pembelaan
terpaksa adalah orang yang melakukan perbuatan dengan menghakimi sendiri (eigen-richting), akan tetapi dalam batas
tertentu diperkenankan karena semata-mata untuk membela diri terhadap serangan
yang dilakukan oleh orang lain, yang dengan keadaan demikian itu tidak dapat
diharapkan ada alat negara yang sempat memberikan pertolongan guna mencegah
kejahatan dan oleh sebab itu diperkenankan berbuat membela diri.[1]
Syarat
untuk terjadinya pembelaan terpaksa harus dipenuhi sifat-sifat berupa: (1). Harus
ada serangan, yaitu: a). Yang timbul secara mendadak; b). Yang
mengancam secara langsung; c). Yang bersifat melawan hukum. (2). Adanya
pembelaan, yaitu: a). Sifatnya harus terpaksa; b). Dorongan yang
dilakukan harus seimbang; c). Kepentingan yang dibela hanya tubuh manusia,
kesusilaan dan benda.[2]
Suatu
sifat khusus di Indonesia dengan pertimbangan wilayahnya yang luas dan
petugasnya tidak mencukupi, maka dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP ditentukan, bahwa
serangan harus timbul mendadak atau ancaman seranganan secara langsung berarti
bahwa tidak perlu serangan sudah dimulai.[3]
Ditentukan
pula untuk pembelaan terpaksa harus berhadapan dengan serangan yang melawan
hukum, dengan sendirinya serangan itu harus dilakukan oleh orang. Serangan yang
datangnya dari binatang buas menjadi tidak termasuk, sedangkan serangan dari
orang gila dapat dipandang sebagai noodweer.[4]
_________________________________
|
1.“Asas-asas
Hukum Pidana”, Prof.
DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia
Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 197.
2. Ibid.
Hal.: 198.
3. Ibid.
Hal.: 198.
4. Ibid.
Hal.: 198.