Jumat, 24 April 2020

Pemberian Tanggal Gugatan

(getty images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada artikel sebelumnya yang berjudul "Kemana Gugatan Ditujukan?" telah dibahas mengenai aspek formulasi gugatan berupa kompetensi relatif pengadilan yang akan mengadili. Sebagai salah satu bagian dari pembahasan "formulasi gugatan", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai pemberian tanggal gugatan.

Ketentuan undang-undang tidak menyebut surat gugatan harus mencantumkan tanggal. Oleh karena itu, ditinjau dari segi hukum:[1]
  • Pencantuman tanggal, tidak imperatif dan bahkan tidak merupakan syarat formil surat gugatan.
  • Dengan demikian, kelalaian atas pencantuman tanggal, tidak mengakibatkan surat gugatan mengandung cacat formil.
  • Surat Gugatan yang tidak mencantumkan tanggal, sah menurut hukum, sehingga tidak dapat dijadikan dasar untuk menyatakan gugatan tidak dapat diterima.
Namun demikian, sebaiknya dicantumkan guna menjamin kepastian hukum atas pembuatan dan penandatanganan surat gugatan, sehingga apabila timbul masalah penandatanganan surat gugatan berhadapan dengan tanggal pembuatan dan penandatanganan surat kuasa, segera dapat diselesaikan. Menghadapi surat gugatan yang tidak mencantumkan tanggal, dapat diselesaikan berdasarkan tanggal registrasi perkara di kepaniteraan. Masalah ini perlu dipahami oleh semua pihak, baik penggugat, tergugat, maupun pengadilan, agar dapat ditegakkan kepastian hukum, apabila timbul masalah yang berkaitan langsung dengan surat gugatan.[2]

Jalan keluar yang paling tepat, pengadilan memerintahkan perbaikan gugatan dengan cara mencantumkan tanggal. Hal ini dapat dilakukan panitera pada saat surat gugatan diajukan atau oleh hakim dalam persidangan, terutama pada sidang pertama[3]

Dapat ditambahkan di sini, sepengalaman penulis berpraktik, maka dapat dicontohkan sebagai berikut:


Ket: Lihat gambar bagian kanan atas: Yogyakarta, 11 Januari 2007.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 52.
2. Ibid. Hal.: 52;
3. Ibid. Hal.: 52. 

Kamis, 23 April 2020

Kemana Gugatan Ditujukan?

(Getty images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Melanjutkan artikel kita sebelumnya mengenai topik praktik hukum yang berjudul "Formulasi Surat Gugatan", maka pada kesempatan ini akan dibahas mengenai item pertama dari sebuah formulasi gugatan, yaitu Ditujukan (Dialamatkan) Kepada PN Sesuai dengan Kompetensi Relatif

Surat gugatan, secara formil harus ditujukan dan dialamatkan kepada Pengadilan Negeri sesuai dengan kompetensi relatifnya. Harus tegas dan jelas tertulis Pengadilan Negeri yang dituju, sesuai dengan patokan kompetensi relatif yang diatur dalam Pasal 118 HIR. Apabila gugatan salah alamat atau tidak sesuai dengan kompetensi relatif, berakibat:[1]

  1. Gugatan mengandung cacat formil, karena gugatan disampaikan dan dialamatkan kepada Pengadilan Negeri yang berada di luar wilayah hukum yang berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya;
  2. Dengan demikian, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard) atas alasan hakim tidak berwenang mengadili.

Dapat ditambahkan di sini, sepengalaman penulis berpraktik, maka yang dimaksud dengan judul artikel "Kemana Gugatan Ditujukan?" ini, dapat dicontohkan sebagai berikut:

"Kepada Yth.:
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
D/a: 
Jl. Ampera Raya No.: 133, RT/RW: 5/10, Kel.: Ragunan, 
Kec.: Pasar Minggu, Kota: Jakarta Selatan, 
Provinsi: D.K.I. Jakarta, KP: 12940.
Telepon: (021) 7805909."
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 51-52.

Rabu, 22 April 2020

Formulasi Surat Gugatan

(naples daily news)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada artikel yang lalu mengenai praktik hukum, telah dibahas mengenai “3 Bentuk Gugatan Error In Persona”, kemudian telah dibahas juga tentang “2 Akibat Hukum Gugatan Error In Persona” dan juga artikel tentang “Memperbaiki Gugatan Error In Persona”. Pada kesempatan ini dan selanjutnya, akan dibahas mengenai formulasi surat gugatan.

Yang dimaksud dengan formulasi surat gugatan adalah perumusan (formulation) surat gugatan yang dianggap memenuhi syarat formil menurut ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehubungan dengan itu, dalam uraian ini akan dikemukakan berbagai ketentuan formil yang wajib terdapat dan tercantum dalam surat gugatan.[1]

Syarat-syarat tersebut, akan ditampilkan secara berurutan sesuai dengan sistematika yang lazim dan standar dalam sebuah praktik peradilan. Memang benar, apa yang dikemukakan Prof. Soepomo, bahwa pada dasarnya Pasal 118 dan Pasal 120 HIR tidak menetapkan syarat formulasi atau isi gugatan. Akan tetapi, sesuai dengan perkembangan praktik, ada kecenderungan yang menuntut formulasi gugatan yang jelas fundamentum petendi (posita) dan petitum sesuai dengan sistem dagvaarding. Oleh karena itu, tanpa mengurangi penjelasan Prof. Soepomo di atas, pada kesempatan ini akan diuraikan secara rinci hal-hal yang harus dirumuskan dalam surat gugatan.[2]

Berikut formulasi gugatan dimaksud:[3]
  1. Ditujukan (Dialamatkan) Kepada PN Sesuai dengan Kompetensi Relatif;
  2. Diberi Tanggal;
  3. Ditandatangani Penggugat atau Kuasa;
  4. Identitas Para Pihak;
  5. Fundamentum Petendi;
  6. Petitum Gugatan; dan
  7. Perumusan Gugatan Asessor (Accesoir);

Penjelasan mengenai unsur-unsur formulasi gugatan sebagaimana telah disebutkan di atas, akan dilakukan satu per satu pada artikel berikutnya.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 51.
2.  Ibid. Hal.: 51.
3.  Ibid. Hal.: 51-68.


Selasa, 21 April 2020

Lahirnya Perjanjian

(getty images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan kuliah terdahulu telah dibahas mengenai perihal mendasar dari Hukum Perikatan (Verbintenissenrecht), dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai lahirnya perjanjian.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata (BW), perjanjian timbul karena:[1]
  1. Persetujuan (Overeenkomst); dan
  2. Dari Undang-undang.
Lahirnya Perjanjian Yang Disebabkan Oleh Persetujuan (Overeenkomst)

Persetujuan atau Overeenkomst dapat juga disebut sebagai "Contract". Yang berarti suatu tindakan yang seseorang atau lebih yang mengikatkan diri kepada seseorang lain atau lebih (Pasal 1313 KUHPerdata (BW)). Tindakan yang menciptakan persetujuan, berisi pernyataan kehendak antara para pihak. Dengan demikian persetujuan tiada lain daripada "persetujuan kehendak" antara para pihak. Perlu diingatkan, yang dimaksud persetujuan adalah tindakan atau perbuatan hukum (rechtshandeling).[2]

Lahirnya Perjanjian Yang Disebabkan Dari Undang-undang

Mengenai perjanjian yang lahir dari undang-undang diatur dalam Pasal 1352 KUHPerdata (BW):[3]
  1. Semata-mata dari undang-undang;
  2. Dari undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia.
Sepanjang mengenai persetujuan yang menimbulkan perikatan semata-mata karena undang-undang, tidak akan dibicarakan lebih lanjut, dikarenakan persetujuan yang demikian telah diatur tersendiri dalam ketentuan-ketentuan yang jelas. Sebagai contoh adalah kewajiban alimentasi, sudah diatur dalam hukum kekeluargaan. Kewajiban alimentasi timbul akibat persetujuan yang telah ditetapkan oleh undang-undang sendiri.[4]

Yang menjadi persoalan adalah perjanjian yang lahir dari undang-undang sebagai akibat dari "perbuatan manusia". Sesuai dengan Pasal 1353 KUHPerdata, yang dapat dibedakan dari persetujuan yang timbul sebagai akibat dari perbuatan manusia adalah: 1). Yang sesuai dengan hukum atau perbuatan yang rechtmatig; dan 2). Karena perbuatan dursila atau perbuatan yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatig daad).[5]

Perbuatan yang sesuai dengan hukum yang mengakibatkan timbulnya perikatan, nampaknya merupakan semacam "quasi-contract". Mirip dengan perjanjian semu. Contoh, mengenai "zaakwaarneming", seperti yang diatur dalam Pasal 1354 KUHPerdata, berarti seorang yang sukarela mengurus kepentingan orang lain atau melakukan perwakilan sukarela tanpa suatu kewajiban hukum yang dibebankan kepadanya, serta perbuatan yang dilakukannya dengan tidak setahu/persetujuan pihak yang diurusnya, maka secara diam-diam telah mengikatkan diri untuk melanjutkan penyempurnaan penyelesaian perbuatan itu.[6]

Mengenai perbuatan yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatig daad) ini diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata (BW), yang menyatakan setiap perbuatan melanggar hukum/perbuatan dursila yang menyebabkan timbulnya kerugian terhadap orang lain, mewajibkan si pelaku untuk membayar ganti kerugian. Antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian yang dialami orang lain, harus merupakan akibat langsung dari perbuatan melanggar hukum. Terhadap kerugian yang langsung inilah yang dapat dituntut "ganti kerugian". Penggantian ganti rugi ini wajib dibayar oleh si Pelaku.[7]
_______________
1. "Segi-segi Hukum Perjanjian", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Alumni, Bandung, 1986, Hal.: 23.
2. Ibid., Hal.: 23.
3. Ibid., Hal.: 27.
4. Ibid., Hal.: 28.
5. Ibid., Hal.: 28.
6. Ibid., Hal.: 28.
7. Ibid., Hal.: 30-31.

Senin, 20 April 2020

Hukum Perikatan (Verbintenissenrecht)

(getty images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya yang membahas mengenai Hukum Harta Kekayaan telah dibahas mengenai Hukum Benda, dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Hukum Perikatan (Verbintenissenrecht).

Dalam mencapai kebutuhan hidupnya, manusia memerlukan kerja sama. Manusia saling mengikatkan diri untuk memenuhi sesuatu prestasi, sehingga timbullah hukum perikatan, yaitu suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang menyebabkan pihak yang satu berhak atas sesuatu, dan pihak yang lain mempunyai kewajiban untuk melakukan atau memberikan sesuatu. Pihak yang berkewajiban memenuhi perikatan disebut debitur, dan pihak yang berhak atas pemenuhan sesuatu perikatan disebut kreditur.[1]

Di dalam sebuah perikatan, yang menjadi objek perikatan adalah prestasi, yaitu hal pemenuhan perikatan. Adapun macam-macam perikatan adalah sebagai berikut:[2]
  1. Memberikan sesuatu, seperti membayar harga, menyerahkan barang dan sebagainya;
  2. Berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak, membongkar bangunan, kesemuanya karena Putusan Pengadilan dan sebagainya;
  3. Tidak berbuat sesuatu, misalnya untuk tidak mendirikan sesuatu bangunan, untuk tidak menggunakan merk dagang tertentu, kesemuanya karena ditetapkan oleh Putusan Pengadilan.
Dalam hal debitur tidak memenuhi atau tidak menepati perikatan di sebut cidera janji (wanprestasi). Sebelum dinyatakan cidera janji, terlebih dahulu harus dilakukan somasi (ingebrekestelling), yaitu suatu peringatan kepada debitur agar memenuhi kewajibannya. Dan dalam hal seseorang terdapat keadaan-keadaan tertentu beranggapan bahwa perbuatan debiturnya akan merugikan, maka ia dapat meminta pembatalan perikatan.[3]
____________________
1.“Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka, Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 246.
2.  Ibid. Hal.: 247.
3.  Ibid. Hal.: 247.

Minggu, 19 April 2020

Memperbaiki Gugatan Error In Persona

(gettyimages)

Oleh:
Tim Hukumindo

Artikel sebelumnya yang berjudul: "2 Akibat Hukum Gugatan Error In Persona" telah redaksi Hukumindo posting, dan masih terkait dengan topik yang sama, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai cara memperbaiki gugatan error in persona.


Sebagaimana telah diketahui, konsekuensi putusan gugatan perdata yang dikualifikasi sebagai error in persona adalah nietontvankelijke verklaard/N.O. atau putusan tidak dapat diterima. Mengutip Yahya Harahap, S.H., tindakan yang dianggap tepat dilakukan penggugat menghadapi putusan yang menyatakan mengandung cacat error in persona adalah:[1]
  • Memperbaiki atau menyempurnakan pihak yang dinyatakan cacat oleh Pengadilan;
  • Jika cacat yang terkandung dalam gugatan itu diskualifikasi, perbaikan dilakukan dengan menempatkan orang yang tepat. Begitu juga apabila pihak yang ditarik sebagai tergugat keliru orangnya diperbaiki dengan menarik orang yang tepat sebagai tergugat. Jika putusan menyatakan gugatan kurang pihak, gugatan harus diperbaiki dan disempurnakan dengan memasukkan orang bersangkutan sebagai pihak penggugat atau tergugat.
Dengan perbaikan atau penyempurnaan itu, penggugat dapat mengajukan kembali gugatan sebagai perkara baru. Cara ini yang dianggap paling efektif dan efisien. Oleh karena itu, seandainya Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan menyatakan gugatan mengandung error in persona:[2]
  • Kurang efektif dan efisien mengajukan upaya hukum banding atau Kasasi;
  • Lebih tepat langsung melakukan perbaikan yang dilanjutkan dengan pengajuan kembali sebagai perkara baru.
Sebab kalau diajukan banding maupun kasasi, dan ternyata putusan itu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi pada tingkat Banding dan MA pada tingkat Kasasi, dengan sendirinya hal itu memperpanjang proses penyelesaian perkara.
_________________
1. M. Yahya Harahap, "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan kesembilan, 2009, Hal.: 113-114.

2. Ibid. Hal.: 114.

Indonesia Immigration Implements Bridging Visa

  ( gettyimages ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Amount of Authorized Capital of For...