Sabtu, 01 Juni 2019

Hak-hak Subjektif

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah kita ikuti kuliah sebelumnya berjudul: “Pembagian Hukum Objektif”, maka dalam kesempatan ini, masih dalam konteks Pengantar Ilmu Hukum, akan dibahas tentang Hak-hak Subjektif.

I.         Subjek-subjek Hukum (Purusa)

Segala sesuatu yang mempunyai kewenangan hukum adalah subjek hukum (purusa) dalam arti yuridis. Sedangkan yang dimaksud dengan kewenangan hukum adalah kecakapan untuk menjadi pendukung subjek hukum. Kewenangan hukum adalah sifat yang diberikan oleh hukum objektif dan hanya dimiliki oleh mereka yang diberikan oleh hukum.[1]

Kini hukum objektif pada umumnya memberikan kewenangan hukum kepada setiap orang. Dahulu para wanita dan budak tidak mempunyai kewenangan hukum. Ajaran hukum kini juga undang-undang mengakui adanya subjek hukum yang lain daripada manusia. Untuk membedakannya, manusia disebut subjek hukum kodrat (natuurlijke personen) dan yang lain disebut subjek hukum.[2]

Yang dimaksud dengan purusa hukum adalah: 1. Tiap-tiap persekutuan manusia, yang bertindak dalam pergaulan hukum seolah-olah ia sebagai subjek hukum tunggal; dan 2. Tiap-tiap harta dengan tujuan tertentu, tetapi dengan tiada yang empunya, dalam pergaulan hukum diperlakukan seolah-olah ia sesuatu subjek hukum.[3]

Persekutuan manusia ialah: 1. Perhimpunan, yakni persekutuan-persekutuan yang hidupnya timbul dari pergabungan diri secara sukarela dari pribadi, didirikan oleh pribadi berdasarkan perjanjian; 2. Persekutuan-persekutuan yang tidak didirikan oleh subjek-subjek hukum khusus, melainkan tumbuh secara historis, seperti negara, propinsi dsb.; 3. Persekutuan-persekutuan yang didirikan oleh kekuasaan umum seperti perusahaan.[4]

II.      Pembagian Hak-hak Subjektif

Hak-hak subjektif dibagi ke dalam: hak-hak mutlak atau hak-hak onpersoonlijk dan hak-hak relatif atau hak-hak persoonlijk. Hak-hak mutlak adalah hak-hak yang memuat kekuasaan untuk bertindak. Hak-hak relatif adalah hak-hak yang memuat kekuasaan untuk menuntut agar orang lain bertindak, artinya berbuat sesuatu.[5]

Hak-hak mutlak ialah: 1. Segala hak publik, segala hak subjektif yang berdasar dalam hukum publik dalam arti objektif, terutama apa yang disebut hak-hak dasar, hak-hak kemerdekaan atau hak-hak manusia, hak-hak manusia yang diuraikan dalam Undang-undang Dasar, yang memberikan kemerdekaan bertindak dalam berbagai hal, dan yang membawa kewajiban bagi setiap orang, juga badan-badan pemerintahan untuk tidak melanggarnya. 2. Sebagian hak-hak perdata (yaitu hak-hak yang bersandar pada hukum perdata dalam arti objektif, yaitu: a). Hak-hak kepribadian (persoonlijkheidsrechten), contoh hak manusia atas jiwanya; b). Hak-hak keluarga (familierechten), seperti kekuasaan orang tua, kekuasaan perwalian dan pengampuan; c). Sebagian dari hak-hak harta (vermogensrechten); d). Hak-hak kebendaan (zakelijke rechten); e). Hak-hak atas barang-barang tak berwujud (rechten op immateriele goederen), contoh hak cipta.[6]

Hak-hak relatif ialah hak-hak harta, terkecuali hak-hak kebendaan dan hak-hak atau benda tak berwujud. Dipandang dari sudut yang berhak (penagih hutang), hak-hak relatif itu dinamai piutang atau hak tagih. Dipandang dari sudut yang lain (orang-orang yang berhutang), disebut utang. Biasanya hukum relatif disebut ikatan (verbintenis). Utang sebenarnya tidak lain dari suatu keadaan yang terdiri atas hal, bahwa menurut hukum seseorang harus melakukan prestasi atau menerima prestasi. Jika hal itu dipenuhi, maka timbul keadaan yang dikehendaki oleh hukum.[7]

III.   Terjadinya Dan Lenyapnya Hak-hak Subjektif

Pada bagian ini, secara umum dibagi ke dalam dua bagian, yaitu: A. Fakta-fakta Hukum; B. Memperoleh hak secara asli dan memperoleh hak secara tidak langsung.

A. Fakta-fakta Hukum

Bagaimana terjadinya hukum hukum subjektif? Hukum subjektif terjadi ketika hukum objektif bertindak. Agar hukum objektif bergerak dan agar terjadi hukum subjektif, diperlukan terjadinya suatu peristiwa hukum (peristiwa hukum kemudian menjadi fakta hukum). Peraturan “pembeli wajib membayar harga pembelian”, baru menimbulkan sesuatu hukum subjektif (suatu kewajiban untuk membayar dan sesuatu hak untuk menuntut pembayaran), jika benar-benar diadakan suatu persetujuan jual-beli.[8]

Apa yang berlaku untuk terjadinya, berlaku juga untuk lenyapnya hak-hak subjektif. Hal itu juga tergantung kepada terjadinya sesuatu fakta yang ditunjuk oleh hukum objektif. Fakta-fakta demikian, agar hukum objektif mengikatkan terjadinya atau sebaliknya, lenyapnya hak-hak subjektif dimaksud, kemudian disebut fakta hukum.[9]

Fakta-fakta hukum (agar hukum objektif mengikatkan terjadinya atau sebaliknya, lenyapnya hak-hak subjektif dimaksud) dapat dibagi ke dalam: Perbuatan-perbuatan manusia dan fakta-fakta hukum lainnya. Diterangkan sebagaimana berikut:[10]

a). Perbuatan hukum manusia terbagi ke dalam dua bagian, yaitu: perbuatan-perbuatan hukum dan perbuatan-perbuatan lainnya. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang oleh hukum objektif diikatkan kepada terjadinya dan lenyapnya sesuatu hak subjektif sebagai akibat perbuatan itu, karena hukum objektif menduga bahwa akibatnya dikehendaki oleh para pihak yang bertindak. Perbuatan-perbuatan hukum dapat dibagi lagi menjadi perbuatan hukum sepihak seperti wasiat, atau perbuatan-perbuatan hukum yang berpihak dua (timbal balik) atau perjanjian. Sedangkan yang termasuk perbuatan-perbuatan lainnya: 1, Perbuatan-perbuatan dalam hal hukum objektif mengikatkan sesuatu akibat, bebas dari kehendak orang-orang yang bertindak, artinya tidak perduli ada yang menghendaki atau tidak, contoh: membuang sebagian muatan kapal untuk kepentingan keselamatan kapal, membuat sesuatu karya sastra, ilmu pengetahuan atau kesenian yang membawa akibat hak cipta. 2, Perbuatan-perbuatan tanpa hak (onrechtmatige handelingen), akibat perbuatan-perbuatan tersebut hukum mengikatkan sesuatu akibat yang tidak diinginkan oleh pihak yang bertindak, yaitu berupa ikatan untuk membayar kerugian yang disebabkan oleh perbuatan itu.

b). Termasuk fakta-fakta hukum lainnya, yang tidak merupakan perbuatan manusia, seperti kelahiran dan kematian, berlangsungnya waktu (dalam hal daluarsa).

B. Memperoleh hak secara asli dan memperoleh hak secara tidak langsung

Mengenai terjadinya hak-hak subjektif, kita harus membedakannya ke dalam dua bagian, yaitu:[11]

Pertama, hal-hal dimana timbul sesuatu hak yang baru seluruhnya, sesuatu hak yang belum ada, juga tidak dalam benih, tidak merupakan kelanjutan, juga bukan merupakan pertumbuhan dari sesuatu hak yang telah ada. Disebut juga perolehan hak secara asli, atau original. Contoh: Waktu memperoleh hak milik dengan cara gadai, hipotek, dll.

Kedua, memperoleh hak yang tidak langsung atau derivatif adalah ketika seseorang memperoleh hak yang telah ada, atau yang setidaknya tumbuh atau terjadi sebagai lanjutan dari hak yang telah ada. Disebut juga sebagai perolehan hak secara peralihan atau lanjutan. Contoh: Penyerahan hak milik (levering) dan warisan.

_________________________________
1.  “Pengantar Ilmu Hukum” atau “Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht”, Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldorn,  PT. Pradnya Paramita, Jakarta, (Cetakan Ke-dua puluh lima), 1993, Hal.: 191.
2.           L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 192.
3.           L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 193.
4.           L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 194.
5.           L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 198-199.
6.           L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 199-208.
7.           L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 209.
8.           L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 213.
9.           L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 213.
10.        L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 213-215.
11.        L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 218-219.

Rabu, 29 Mei 2019

Grotius Dan Implikasi Pemikirannya Terhadap Akses Laut Bagi Perdagangan Bebas

(id.Wikipedia.org)

Oleh:
Tim Hukumindo

Kehidupan Awal

Hugo Grotius (lahir 10 April 1583 – meninggal 28 Agustus 1645 pada umur 62 tahun), juga dikenal sebagai Huug de Groot (Belanda: [ˈɦœyɣɣroːt]) atau Hugo de Groot (Belanda: [ˈɦyɣoːɣroːt]), adalah seorang ahli hukum berkebangsaan Belanda. Grotius meletakkan dasar bagi hukum internasional berdasarkan hukum alam. Sebagai seorang pemuda yang dipandang genius secara intelektual, ia pernah dipenjarakan karena keterlibatannya dalam perselisihan intra-Calvinis di dalam Republik Belanda. Ia menulis sebagian besar karya utamanya dalam pengasingan di Prancis.[1]

Grotius lahir di Delft saat berlangsungnya Pemberontakan Belanda, sebagai anak pertama dari pasangan Jan de Groot dan Alida van Overschie. Ayahnya adalah seorang pria terpelajar, juga seseorang yang menganut pandangan politik berbeda. Sang ayah mempersiapkan putranya sejak usia dini dengan pendidikan Aristotelian dan humanis tradisional. Sebagai seorang pembelajar yang genius, Hugo memasuki Universitas Leiden saat ia baru berusia 11 tahun. Di sana ia menempuh pendidikannya bersama dengan beberapa intelektual yang paling diakui di Eropa utara pada saat itu. Di negeri Holandia (Belanda), Grotius diangkat sebagai advokat untuk Den Haag pada tahun 1599, dan kemudian sebagai historiograf resmi bagi Negara-Negara Holandia pada tahun 1601.[2]

Doktrin Mare Liberum

Salah satu mahakaryanya, Mare Liberum selama berabad-abad telah menjadi dasar paling penting bagi perkembangan hukum laut modern. Grotius, bagi para pengkritiknya sering disebut sebagai orang yang membukakan jalan (dengan ajaran kebebasan berlayarnya) bagi imperialisme Belanda yang akhirnya membuat Indonesia terjajah selama ratusan tahun. Tetapi bagi para pengagumnya, Grotius adalah seorang pemikir hukum, diplomat, teolog ulung.[3]

Selepas lulus dari Universitas Leiden, dia sempat membuka kantor hukum. Salah satu kliennya adalah Dutch East Indie Company atau yang lebih dikenal sebagai Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Ketika menangani VOC inilah dia banyak bersentuhan dengan sengketa dagang antara Belanda dan Spanyol di Selat Malaka. Dari situ, Grotius kemudian mulai menyusun dasar-dasar yang kelak menjelma menjadi doktrin Mare Liberum (Laut Terbuka) yang ia perkenalkan melalui buku dengan judul yang sama pada tahun 1609. Melalui doktrin tersebut, Grotius pada intinya ingin mengatakan bahwa konsep kepemilikan (possession) termasuk kepemilikan laut, hanya dapat terjadi terhadap benda-benda yang dapat dipegang teguh serta jelas batas-batasnya. Sementara laut adalah sesuatu yang tidak terbatas dan bersifat cair.[4]

Grotius mengemukakan 13 dalilnya. Dari ke-13 dalil ini dapatlah digolongkan ke dalam 4 (empat) dalil utama, yaitu: (1) Berdasarkan hukum bangsa-bangsa, navigasi atau pelayaran adalah bebas untuk setiap negara; (2) Bahwa Portugis tidak memiliki hak berdasarkan (atas) hak penemuan (discovery) kedaulatan atas perairan Hindia yang Belanda bermaksud melakukan pelayaran atasnya; (3) Bahwa perairan Hindia atau atau hak berlayar tidak menjadi milik Portugis berdasarkan pendudukan (title of occupation); dan (4) Bahwa berdasarkan hukum bangsabangsa perdagangan adalah kebebasan bagi setiap orang (“By the law of nations trade is free to all persons whatsoever”).[5]

Dengan demikian, menurut Grotius, klaim kepemilikan terhadap laut sebagaimana lazim terjadi saat itu berdasarkan teori penemuan (discovery) atau penguasaan dalam jangka waktu lama (prescription) tidak dapat diterima.  Doktrin Mare Liberum menuai protes keras dan dianggap membahayakan kekuatan status quo saat itu. Raja Inggris, Charles I kemudian meminta kepada para ilmuwan di negaranya untuk membantah doktrin Mare Liberum. John Selden adalah ilmuwan hukum terkemuka asal Inggris yang paling gigih melawan gagasan Mare Liberum. Pada tahun 1635 Selden menerbitkan buku dengan judul yang provokatif, Mare Claussum (Laut Tertutup) untuk memberi justifikasi bahwa laut bisa dimiliki.[6]

Bagi Selden, teori Mare Liberum yang diusung Grotius memang penting, tapi pengalaman sejarah membuktikan bahwa lautan dapat dimiliki oleh negara-negara yang memiliki kekuatan untuk menjaganya. Oleh karena itu, berdasarkan konsep prescription lautan dapat dimiliki. Argumen yang mengatakan bahwa laut tidak dapat dimiliki karena bersifat cair dibantah oleh Selden dengan mengatakan sungai dan perairan pantai yang bersifat cair pun pada kenyataannya dapat dikuasai oleh negara-negara yang memiliki kekuatan untuk menguasai dan menjaganya.[7] Meskipun tidak berkaitan secara langsung, bandingkan dengan pemikiran Mochtar Kusumaatmadja dalam tautan berikut.

Dikemudian hari kita tahu bahwa, baik teori Grotius maupun Selden tidak dapat diterapkan secara kaku. Hukum laut yang kita kenal saat ini, seperti tercermin dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), menerima sebagian doktrin Mare Liberum dan menerima sebagian doktrin Mare Clausum. UNCLOS misalnya mengakui konsep kepemilikian atas laut (seperti laut wilayah atau territorial sea) tetapi pada saat yang sama juga mengakui adanya hak melintas secara damai (innocent passage) yang harus dihormati oleh negara-negara yang memiliki laut.[8]

Implikasi Pemikirannya Terhadap Akses Laut Bagi Perdagangan Bebas

Pemikiran Grotius tetap relevan hingga saat ini, terutama terkait dengan dalilnya yang pertama bahwa: ‘Berdasarkan hukum bangsa-bangsa, navigasi atau pelayaran adalah bebas untuk setiap negara’, dalam konteks kekinian dan relevansinya dengan hukum laut, yang dimaksud Grotius dengan wilayah laut ini adalah dalam kategori ‘laut lepas’. Pasal 86 UNCLOS, terkait laut lepas, mendefinisikannya sebagai berikut: “merupakan semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE), dalam laut teritorial atau dalam perairan pedalaman suatu negara, atau dalam perairan kepulauan suatu negara kepulauan”. Termasuk di dalam wilayah laut lepas ini, salah satunya adalah, kebebasan untuk berlayar.

Meskipun oleh para pengkritiknya disebut sebagai orang yang membukakan jalan bagi imperialisme Belanda ke Nusantara, namun saat ini implikasi pemikiran Grotius adalah sebagai landasan bagi terlaksananya perdagangan bebas di dunia. Lewat laut, khususnya wilayah laut lepas, berbagai komoditas dari seluruh penjuru dunia berupa kargo dikirim dan diperdagangkan.


________________________________
1. "Hugo Grotius", Wikipedia.org., Diakses pada 24 Mei 2019, https://id.wikipedia.org/wiki/Hugo_Grotius
2.     Ibid.
3. "Grotius: Dari Mare Liberum Hingga Teologi yang Membebaskan", Kumparan.com, Ali Murtado, 5 April 2019, https://kumparan.com/ali-murtado1550498424284868859/grotius-dari-mare-liberum-hingga-teologi-yang-membebaskan-1qpA2rc2Y3i
4.     Ali Murtado, Ibid.
5. "Sumbangan Hukum Alam Dan Pemikiran Grotius Terhadap Hukum Internasional", Huala Adolf, Majalah Hukum Nasional Nomor: 2 Tahun 2017, Hal.: 7.
6.     Ali Murtado, Op. Cit.
7.     Ali Murtado, Op. Cit.

Senin, 27 Mei 2019

Pembagian Hukum Objektif

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah kita ikuti kuliah sebelumnya berjudul: “Hukum dan Hak”, maka dalam kesempatan ini, masih dalam konteks Pengantar Ilmu Hukum, akan dibahas tentang Pembagian Hukum Objektif.

Hukum objektif menurut pengertian di sini adalah hukum yang dipahami dari sifat hubungan-hubungan yang diaturnya. Objektif yang dimaksud adalah peraturan-peraturan hukum yang bergantung kepada hakekat kepentingan-kepentingan yang diaturnya.

I. Pembagian Menurut Isi Hukum

Pembagian menurut isi hukum dibagi menjadi dua bagian, pertama adalah hukum publik, dan kedua adalah hukum perdata.

Kepentingan-kepentingan yang diatur oleh hukum dapat berupa dua kepentingan. Pertama, kepentingan-kepentingan umum atau kepentingan-kepentingan publik. Kedua, kepentingan-kepentingan khusus atau kepentingan-kepentingan perdata.[1]

Terdapat keberatan mengenai kriteria ini, memang ini ada benarnya. Pada tiap-tiap peraturan hukum memang tersangkut kepentingan umum. Sebaliknya tiap-tiap peraturan hukum juga menyinggung kepentingan-kepentingan perseorangan. Akan tetapi hal itu tidaklah melemahkan kriteria yang kita terima di atas tadi. Sebab kriteria itu tidak terletak pada hal bahwa pada peraturan hukum yang satu tersangkut kepentingan pribadi; melainkan bahwa hukum publik mengatur kepentingan umum dan hukum perdata mengatur kepentingan pribadi.[2]

Jadi hukum perdata adalah peraturan-peraturan hukum yang objeknya ialah kepentingan-kepentingan khusus dan yang soal akan dipertahankannya atau tidak diserahkan kepada yang berkepentingan. Hukum publik adalah peraturan-peraturan hukum yang objeknya ialah kepentingan-kepentingan umum dan yang karena itu, soal mempertahankannya dilakukan pemerintah.[3]

II. Pembagian Hukum Menurut Daya Kerjanya

Pembagian hukum menurut daya kerjanya dibagi ke dalam dua bagian, yaitu hukum yang memaksa dan hukum yang mengatur.

Nama hukum yang memaksa tidaklah tepat. Segala hukum sifatnya memaksa. Tetapi dengan hukum yang memaksa (juga disebut hukum yang memerintah atau hukum yang mutlak) dimaksud peraturan-peraturan, untuk orang-orang yang berkepentingan tidak boleh menyimpang dari perjanjian. Hukum yang memaksa mengikat dengan tiada bersyarat, artinya tidak perduli para pihak menghendakinya atau tidak.[4]

Juga nama hukum yang mengatur, sebenarnya kurang tepat. Dikarenakan segala hukum sifatnya mengatur. Tetapi dengan hukum yang mengatur (disebut juga hukum tambahan, hukum relatif atau hukum dispositif) dimaksud adalah peraturan-peraturan yang tunduk kepada peraturan yang dibuat dengan perjanjian oleh yang berkepentingan. Hukum yang mengatur hanya mengatur dan tidak mengikat tanpa syarat. Ia hanya mengikat jika dan sepanjang para pihak yang berkepentingan tidak menentukan peraturan lain dengan perjanjian.[5]

Di antara perbedaan hukum yang memaksa dan hukum yang mengatur pada satu pihak dan hukum publik dan hukum perdata pada pihak lain terdapat persamaan. Hukum publik biasanya hukum yang memaksa, karena ia mengatur kepentingan-kepentingan umum. Karena itu biasanya tidak diperbolehkan menyimpang daripadanya untuk kepentingan-kepentingan subjek hukum (purusa) khusus, meskipun terdapat pengecualian, akan tetapi jarang.[6]

Sebaliknya, hukum perdata biasanya adalah hukum yang mengatur, karena ia mengatur kepentingan perdata. Dan pembentuk undang-undang pada umumnya memberi kebebasan pada subjek hukum (purusa) khusus untuk mengatur kepentingan-kepentingan sebagaimana yang dikehendaki. Dengan kata lain, pada umumnya hukum perdata adalah wilayah otonomi daripada purusa-purusa/subjek hukum-subjek hukum khusus.[7]
_________________________________
1.  “Pengantar Ilmu Hukum” atau “Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht”, Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldorn,  PT. Pradnya Paramita, Jakarta, (Cetakan Ke-dua puluh lima), 1993, Hal.: 171.
2.  L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 172.
3.  L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 174.
4.  L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 182-183.
5.  L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 183.
6.  L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 184.
7.  L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 184.

Jumat, 24 Mei 2019

Cicero, Pengacara Zaman Romawi & Warisan Hukum Alam

(fee.org)

Oleh:
Tim Hukumindo


Membuat artikel tentang Cicero dan pemikiran hukumnya bukan pekerjaan mudah. Dikenang karena kemasyhurannya sebagai pengacara pada zaman Romawi, pengaruh Cicero terkait hukum masih dirasakan hingga saat ini. Khususnya sebagai salah satu pemikir aliran hukum alam. Dengan keterbatasan sumber langsung, maupun kendala bahasa dan mileu hukum dan masyarakat yang berbeda jauh dengan saat ini, menjadikan tugas ini makin berat. Akan tetapi, penulis mempunyai niat baik untuk mengisi kekosongan artikel hukum tentang Cicero, khususnya yang berbahasa Indonesia. Atau setidaknya usaha penulis menterjemahkan sumber-sumber hukum terkait tentang Cicero dan pemikiran hukumnya kemudian merangkumnya ke dalam suatu tulisan ringan di sini dapat menjadi semacam penawar dahaga intelektual tersebut.  

Sejarah Singkat Cicero

Marcus Tullius Cicero, nama panggilan bahasa Inggris Tully, (lahir 106 SM, Arpinum, Latium [sekarang Arpino, Italia] — meninggal 7 Desember, 43 SM, Formiae, Latium [sekarang Formia]), negarawan Romawi, pengacara, sarjana, dan penulis yang mencoba menegakkan prinsip-prinsip republik dalam perang saudara terakhir yang menghancurkan Republik Romawi. Tulisannya termasuk buku-buku retorika, orasi, risalah filosofis dan politik, dan surat-surat. Dia dikenang di zaman modern sebagai orator Romawi terbesar dan inovator dari apa yang kemudian dikenal sebagai retorika Ciceronian.[1]

Cicero adalah putra dari keluarga kaya Arpinium. Mengenyam pendidikan di Roma dan Yunani, ia melakukan dinas militer di bawah pimpinan Pompeius Strabo (bapak negarawan dan jenderal Pompey) dan tampil pertama kali di pengadilan membela Publius Quinctius pada tahun 81. Sebagai Praetor (seorang pejabat kehakiman yang sangat berkuasa saat itu), pada usia 66 tahun ia membuat pidato politik penting pertamanya, melawan Quintus Lutatius Catulus dan memimpin Optimates (elemen konservatif di Senat Romawi). Ia berbicara untuk berunding di Pompey melawan Mithradates VI, raja Pontus (di Anatolia timur laut). Hubungannya dengan Pompey, menjadi titik fokus karirnya di dunia politik. Pemilihannya sebagai Konsul dicapai melalui Optimates yang takut dengan ide-ide revolusioner dari saingannya, Catiline.[2]


Dalam pidato konsulernya yang pertama, ia menentang undang-undang agraria Servilius Rullus, demi kepentingan Pompey yang absen, tetapi perhatian utamanya adalah untuk menemukan dan mengumumkan niat hasrat Catiline, yang dikalahkan sebelumnya muncul lagi pada pemilihan wilayah konsuler di 63 di mana Cicero memimpin. Catiline kalah dan berencana untuk melakukan pemberontakan bersenjata di Italia dan pembakaran di Roma. Cicero mengalami kesulitan dalam membujuk Senat akan bahaya, tetapi "keputusan terakhir" (Senatus Consultum ultimum), sesuatu seperti proklamasi darurat militer, disahkan pada 22 Oktober. Pada 8 November, setelah lolos dari upaya hidupnya, Cicero menyampaikan pidato pertama melawan Catiline di Senat, dan Catiline meninggalkan Roma malam itu. Ini adalah puncak dari karir politiknya.[3]

Karir Sebagai Pengacara

Cicero ingin mengejar karir publik di bidang politik di sepanjang tangga kehormatan Cursus. Pada 90-88 SM, ia melayani Pompeius Strabo dan Lucius Cornelius Sulla ketika mereka berkampanye dalam Perang Sosial. Cicero tidak memiliki selera untuk kehidupan militer, minatnya ada pada bidang intelektual.[4]

Cicero memulai karirnya sebagai pengacara sekitar 83-81 SM. Pidato pertama yang masih ada adalah kasus pribadi dari 81 SM (pro Quinctio), disampaikan ketika Cicero berusia 26. Kasus publik besar pertamanya, di mana catatan tertulis masih ada, adalah pembelaannya pada 80 SM atas nama Sextus Roscius. Mengambil kasus ini adalah langkah berani bagi Cicero. Orang-orang yang dituduh Cicero atas pembunuhan itu, yang paling terkenal adalah Chrysogonus, mempunyai kedekatan dengan diktator Sulla. Pada saat itu akan mudah bagi Sulla untuk membunuh Cicero yang tidak dikenal. Pembelaan Cicero atas kasus tersebut adalah tantangan tidak langsung bagi diktator Sulla, dan atas pembelaan dalam kasus tersebut, Roscius dibebaskan. [5]

Kasus Cicero dalam Pro Roscio Amerino dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama merinci dengan tepat muatan yang dibawa oleh Ericius. Cicero menjelaskan bagaimana seorang anak lelaki pedesaan dari seorang petani, yang hidup dari kesenangan tanahnya sendiri, tidak akan memperoleh apa pun dari melakukan pembunuhan karena ia pada akhirnya akan mewarisi tanah ayahnya. Bagian kedua menyangkut keberanian dan keserakahan dua penuduh, Magnus dan Capito. Cicero mengatakan kepada juri bahwa mereka lebih mungkin menjadi pelaku pembunuhan karena keduanya serakah, baik karena bersekongkol melawan sesama kerabat dan, khususnya, Magnus, karena keberaniannya dan karena tidak malu-malu muncul di pengadilan untuk mendukung tuduhan palsu. Bagian ketiga menjelaskan bahwa Chrysogonus memiliki kekuatan politik yang sangat besar, dan tuduhan itu berhasil dibuat karena kekuatan itu. Meskipun Chrysogonus mungkin tidak seperti yang dikatakan Cicero tentang dirinya, melalui retorika Cicero berhasil membuatnya tampak seperti orang asing yang dibebaskan yang makmur dengan cara licik setelah perang saudara. Cicero menduga bahwa itu menunjukkan orang seperti apa dia dan bahwa sesuatu seperti pembunuhan tidak ada di bawahnya.[6]

Buku De Legibus

De Legibus (‘On the Laws’) adalah dialog yang ditulis oleh Marcus Tullius Cicero selama tahun-tahun terakhir Republik Romawi. Itu memiliki nama yang sama dengan dialog terkenal Plato, The Laws. Tidak seperti karyanya sebelumnya de de publica, di mana Cicero merasa terdorong untuk mengatur aksi di zaman Scipio Africanus Minor, Cicero menulis karya ini sebagai dialog fiksi antara dirinya, saudaranya Quintus dan teman bersama mereka Titus Pomponius Atticus. Dialog dimulai dengan ketiganya berjalan santai melalui tanah keluarga Cicero di Arpinum dan mereka mulai membahas bagaimana hukum seharusnya. Cicero menggunakan ini sebagai platform untuk menguraikan teori-teorinya tentang hukum alam tentang harmoni di antara kelas-kelas.[7]

Tiga buku yang tersisa (dari enam yang diperkirakan), secara berurutan, menguraikan tentang kepercayaan Cicero dalam Hukum Alam, menyusun kembali hukum-hukum agama Roma (pada kenyataannya merupakan kemunduran terhadap hukum-hukum agama di bawah raja Numa Pompilius) dan akhirnya berbicara tentang usulan reformasinya terhadap Konstitusi Romawi.[8]

Buku Kesatu

Buku itu dibuka dengan Cicero, Quintus, dan Atticus berjalan melalui rimbun yang teduh di perkebunan Arpinum di Cicero, ketika itu terjadi di sebuah pohon oak tua yang dihubungkan oleh legenda dengan jenderal dan konsul Gaius Marius, yang juga merupakan penduduk asli Arpinum. Atticus mempertanyakan apakah itu masih ada atau tidak, yang dijawab Quintus bahwa selama orang mengingat tempat dan hubungan yang terkait dengannya, pohon itu akan tetap ada terlepas dari keberadaan fisiknya. Ini membawa ketiganya ke dalam diskusi tentang batas keropos antara fakta dan dongeng dalam tulisan sejarawan hari itu. Cicero membiarkan itu bahkan di zaman mereka, banyak kisah raja-raja Romawi, seperti Numa Pompilius bercakap-cakap dengan kepala terpenggal istrinya Egeria, dianggap sebagai dongeng atau perumpamaan daripada sebagai insiden aktual yang terjadi.[9]

Atticus mengambil kesempatan untuk mendorong Cicero untuk memulai karya yang dijanjikan tentang sejarah Romawi dan menyanjungnya dengan menunjukkan bahwa bagaimanapun juga, Cicero mungkin menjadi salah satu lebih banyak pria berkualifikasi di Roma untuk melakukannya, mengingat banyak kekurangan para sejarawan Romawi pada zaman itu. Cicero memohon, menyebutkan bahwa ia memiliki tangannya yang penuh dengan mempelajari hukum sebagai persiapan untuk kasus-kasus. Ini membawa kita pada isi buku ini, sebuah eksposisi mata air hukum. Atticus, sebagai pengalih perhatian, meminta Cicero untuk menggunakan sebagian dari pengetahuannya untuk digunakan saat itu juga dan memberi mereka diskusi tentang hukum saat mereka berjalan melintasi tanah miliknya.[10]

Bagi Cicero, hukum bukanlah masalah ketetapan tertulis, dan daftar peraturan, tetapi masalah yang sudah tertanam dalam jiwa manusia, sesuatu yang merupakan bagian integral dari pengalaman manusia. Adapun alasan berlakunya hukum adalah sebagai berikut:[11]

  • Manusia diciptakan oleh kekuatan atau kekuatan yang lebih tinggi (dan demi argumen, Cicero memiliki Epicurean Atticus mengakui titik bahwa kekuatan yang lebih tinggi ini terlibat dengan urusan kemanusiaan).
  • Kekuatan yang lebih tinggi yang menciptakan alam semesta ini, karena alasan-alasan yang diketahui oleh dirinya sendiri, memberikan manusia dengan sedikit keilahiannya sendiri, memberi umat manusia kekuatan bicara, nalar, dan pikiran.
  • Karena percikan ketuhanan di dalam manusia, mereka pasti berhubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi dalam beberapa cara.
  • Karena manusia berbagi nalar dengan kekuatan yang lebih tinggi, dan karena daya yang lebih tinggi ini dianggap baik, maka manusia, ketika menggunakan akal dengan benar, juga akan baik hati.


Alasan inilah yang dianggap Cicero sebagai hukum. Baginya, hukum adalah apa pun yang mempromosikan kebaikan dan melarang kejahatan. Yang menghalangi kita untuk menegakkan ini sepenuhnya adalah kegagalan manusiawi kita, hasrat kita untuk kesenangan, kekayaan, status, hal-hal sepele lainnya di luar kebajikan dan kehormatan.[12] Pandangan-pandangan Cicero tentang hukum ini adalah mencerminkan dirinya sebagai salah satu tokoh hukum alam.

Buku Kedua

Buku kedua dimulai dengan Cicero menganut keyakinannya pada Hukum Alam. Pesta itu telah sampai di sebuah pulau di sungai Fibrenius di mana mereka duduk dan bersantai dan melanjutkan diskusi mereka. Ketika buku ini dimulai, Cicero dan Atticus berdebat tentang apakah seseorang dapat memegang patriotisme untuk negara yang lebih besar dan wilayah di mana seseorang berasal dari: yaitu, dapatkah seseorang mencintai Roma dan Arpinum pada saat yang sama? Cicero berpendapat bahwa tidak hanya bisa satu, tetapi itu alami. Cicero menggunakan contoh Cato the Elder, yang pada saat kelahirannya di Tusculum adalah warga negara Romawi, tetapi bisa, tanpa kemunafikan, juga menyebut dirinya seorang Tuscan. Namun, Cicero juga membuat perbedaan penting bahwa tempat kelahiran seseorang harus mengambil subordinasi ke tanah kewarganegaraan seseorang — bahwa ada kewajiban di mana seseorang berutang dan yang harus, jika perlu, memberikan nyawanya.[13]

Setelah ketiganya mencapai pulau itu, Cicero meluncurkan pemeriksaan hukum. Dia mulai dengan mengatakan bahwa hukum tidak, dan tidak bisa, dimulai dengan manusia. Manusia, baginya, adalah instrumen kebijaksanaan yang lebih tinggi yang mengatur seluruh bumi dan memiliki kekuatan, melalui moralitas bersama, untuk memerintahkan yang baik atau yang melarang kejahatan. Cicero juga membuat perbedaan dalam bagian ini antara legalisme (hukum tertulis aktual) dan hukum (benar dan salah sebagaimana didiktekan oleh kebijaksanaan abadi). Bagi Cicero, hukum manusia bisa baik atau buruk tergantung pada apakah hukum itu selaras dengan hukum alam yang kekal. Hukum yang diberlakukan untuk tujuan sementara atau lokal adalah hukum, menurutnya, berdasarkan persetujuan publik. Ia memiliki kekuatan hukum hanya selama orang mengamatinya dan negara menegakkannya. Hukum kodrat, bagaimanapun, tidak memerlukan pengkodean, tidak ada penegakan. Sebagai contoh, Cicero menyebutkan bahwa ketika Sextus Tarquinius, putra Raja Lucius Tarquinius Superbus, memperkosa Lucretia, tidak ada hukum di Roma yang mengatur pemerkosaan. Namun, bahkan pada saat itu, rakyat tahu secara mendalam bahwa apa yang telah terjadi bertentangan dengan moralitas bersama, dan mengikuti Lucius Junius Brutus untuk memperbaiki masalah. Hukum-hukum jahat, atau hukum-hukum yang bertentangan dengan hukum abadi, lebih lanjut, tidak pantas mendapatkan gelar, dan menyatakan bahwa memberlakukannya dengan mengesampingkan hukum kekal tidak layak menyatakan status-status hukum. Untuk menunjukkan, Cicero menggunakan analogi orang-orang yang tidak sekolah atau dukun yang mengaku sebagai dokter dan meresepkan perawatan yang mematikan. Cicero berpendapat, tidak ada orang yang waras, akan berani menyebut perawatan seperti itu sebagai "obat" atau praktik mereka sebagai "dokter".[14]

Cicero berpendapat bahwa kepercayaan agama (kepercayaan pada para dewa, atau Tuhan, atau kebijaksanaan Abadi) harus menjadi landasan hukum menuntun ketiganya, secara alami, ke dalam kerangka hukum agama. Di antara hal-hal yang diakui dalam bagian ini adalah fakta bahwa kadang-kadang hukum agama memiliki tujuan spiritual dan pragmatis, seperti Cicero, ketika mengutip Hukum Dua Belas Tabel dan perintah mereka terhadap penguburan atau kremasi dalam pomerium, mengakui bahwa perintah tersebut adalah untuk menenangkan nasib untuk menghindari bencana. Setelah diskusi tentang hukum agama, dan dengan tujuan Cicero untuk mereplikasi prestasi Plato dengan melakukan diskusi menyeluruh tentang hukum dalam satu hari, mereka pindah ke hukum sipil dan susunan pemerintahan.[15]

Buku Ketiga

Buku ketiga, di mana manuskrip itu terputus, adalah pencacahan Cicero tentang pendirian pemerintah, yang bertentangan dengan hukum agama dari buku sebelumnya, bahwa ia akan mengadvokasi sebagai dasar bagi negara Romawi yang direformasi.[16]

Adapun garis besar Konstitusi yang diusulkan Cicero adalah sebagai berikut. Sistem Yudisial Cicero, yang percaya bahwa pengadilan seperti yang dia lihat terlalu terbuka untuk dirusak melalui penyuapan atau melalui praktik yang tajam (seperti yang dia alami sendiri dan gagal dalam kasus Gayus Verres), akan menempatkan persidangan kembali ke tangan rakyat pada umumnya, dengan Comitia Centuriata mengadili kasus-kasus di mana hukumannya adalah kematian atau pengasingan, dan Concilium Plebis mengadili semua kasus lainnya. Seorang hakim (Praetor atau bahkan Konsul) masih akan memimpin persidangan. Hakim yang sama kemudian, atas putusan bersalah, menjatuhkan hukuman kecuali mayoritas majelis yang relevan tidak setuju. Terkait hukum militer, Cicero berpendapat berbeda. Selama tugas militer, tidak seperti dalam pengadilan sipil, Cicero akan menghapus hak banding dari mereka yang dihukum karena melakukan kesalahan.[17]

Senat, dalam hukum Cicero, tidak lagi ada hanya sebagai badan penasihat, tetapi sekarang akan memegang otoritas legislatif yang sebenarnya, dan keputusan mereka akan mengikat. Setiap mantan hakim memiliki hak untuk masuk ke Senat. Dalam bagian selanjutnya dari dialog, Cicero membela demokrasi yang nyata dari perubahan dengan menyatakan bahwa Senat akan berfungsi sebagai penyeimbang bagi majelis rakyat yang populis dan demokratis. Lebih lanjut, Cicero akan memberlakukan ketentuan bahwa hanya orang-orang dengan perilaku dan reputasi yang benar-benar tidak bercela yang dapat tetap berada dalam senat. Cicero menyatakan harapan bahwa Senat yang direformasi dapat berfungsi sebagai contoh bagi negara Romawi lainnya dalam hal kejujuran, harmoni, kepentingan bersama, dan permainan yang adil. Keserakahan di Senat harus dihukum berat, oleh pandangan hukum Cicero. Ini bukan untuk menghukum keserakahan itu sendiri, tetapi karena keserakahan di Senat menghasilkan ketamakan dan perbedaan pendapat di antara orang-orang Romawi.[18]

________________________________

1.     "Marcus Tullius Cicero: Roman Statesman, Scholar, And Writer", John P.V. Dacre Balsdon, John Ferguson, Diakses pada 19 Mei 2019, https://www.britannica.com/biography/Cicero
2.     Ibid.
3.     Ibid.
4.     "Cicero", Diakses pada 19 Mei 2019, https://en.wikipedia.org/wiki/Cicero
5.     Ibid.
6.     Ibid.
7. "De Legibus", Diakses Pada 19 Mei 2019, https://en.wikipedia.org/wiki/De_Legibus
8.     Ibid.
9.     Ibid.
10. Ibid.
11. Ibid.
12. Ibid.
13. Ibid.
14. Ibid.
15. Ibid.
16. Ibid.
17. Ibid.
18. Ibid.

Senin, 20 Mei 2019

Hukum Dan Hak

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada Kuliah Pengantar Ilmu Hukum sebelumnya yang berjudul: “Faktor-faktor Yang Membantu Pembentukan Hukum” telah kita pelajari elemen pendukung pembentuk hukum, pada kesempatan berikut ini dibahas mengenai Hukum dan Hak. Adapun referensi yang dipakai dalam kuliah ini adalah buku berjudul: “Pengantar Dalam Hukum Indonesia”, karangan: E. Utrecht, S.H., Penerbit: PT. Penerbit Dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta, (Cetakan Keenam), tahun 1961.

A. Hubungan Hukum Dan Hak

Pada kuliah sebelumnya telah diketahui bahwa hukum itu mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain di dalam masyarakat. Jadi terapat hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain yang diatur oleh hukum. Siapa saja yang berani untuk tidak mematuhi hubungan itu, maka ia akan dikenakan sanksi oleh hukum. Tiap-tiap hubungan hukum mempunyai dua segi, yaitu wewenang/kekuasaan dan kewajiban. Kekuasaan ini oleh hukum diberi kepada seseorang atau badan hukum karena hubungan hukumnya dengan seorang lain biasanya diberi nama sebagai hak. Contoh: A berhak menuntut pembayaran dari B sedangkan B wajib membayar sepatu sebanyak yang dijanjikan. Sebaliknya, B berhak meminta sepatu sebanyak yang dijanjikan dari A sedangkan A wajib menyerahkan sepatu sebanyak yang dijanjikan kepada B.[1]

Dalam hukum Eropa-Kontinental dibuat perbedaan antara apa yang disebut hukum objektif dengan hukum subjektif. Yang dimaksud dengan hukum objektif adalah peraturan, kaidah, norma yang mengatur suatu hubungan sosial, misalnya K.U.H. Perdata. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum subjektif adalah peraturan hukum yang dihubungkan dengan seseorang dan oleh karenanya telah menjadi kekuasaan-kewajiban.[2]

Hubungan hukum ada dua macam, pertama hubungan hukum yang bersegi satu dan hubungan hukum yang bersegi dua. Dalam hubungan hukum yang bersegi satu hanya satu pihak yang berkuasa. Pihak lain hanya berkewajiban (Pasal 1234 K.U.H. Perdata, tentang Prestasi). Dalam hubungan hukum yang bersegi dua, kedua belah pihak masing-masing berkuasa meminta sesuatu dari pihak lain. Tetapi kedua belah pihak masing-masing berkewajiban memberi sesuatu kepada pihak lain.[3]  

B. Sifat Dari Hak

Tentang sifat dari hak telah menimbulkan banyak polemik. Di Jerman pada abad ke-19 dikemukakan dua teori tentang hak. Pertama adalah teori yang menganggap hak sebagai kehendak yang dilengkapi dengan kekuatan (wilsmachtstheorie). Menurut pendapat ini, hak itu sesuatu yang penting bagi yang bersangkutan, yang dilindungi oleh hukum, yakni suatu kepentingan yang terlindungi.[4]

Van Apeldoorn menganggap bahwa hak adalah suatu kekuatan yang teratur oleh hukum. Kekuatan itu berdasarkan pada kesusilaan, bukan hanya kekuatan yang bersifat fisik. Pendapat lain dari Lemaire menganggap hak itu adalah ijin. Hak adalah ijin bagi yang bersangkutan untuk berbuat sesuatu. Menurut Leon Duguit, tidak ada seorangpun manusia yang mempunyai hak. Sebaliknya di dalam masyarakat bagi manusia hanya ada suatu tugas sosial. Tata tertib hukum tidaklah didasarkan atas hak dan kebebasan manusia, melainkan tugas-tugas sosial yang harus dijalankan oleh anggota masyarakat. Teori ini disebut teori fungsi sosial, maka pengertian hak itu diganti dengan fungsi sosial. Manusia hanya merupakan sebuah roda kecil dari mesin kemasyarakatan, yang dijalankan manusia hanyalah suatu tugas sosial.[5]

Anggapan yang mengemukakan hak sebagai suatu kekuasaan lengkap yang oleh hukum diberi kepada yang bersangkutan sebagai suatu kekuasaan individual sepenuhnya yang oleh hukum dilindungi berasal dari aliran individualisme pada saat lahirnya revolusi Prancis. Konsepsi hak seperti ini sudah banyak berkurang, dan telah terjadi semacam pensosialan, hak tidak lagi absolut, namun juga dibatasi oleh kepentingan sosial. Namun tidak berarti hak ini lambat laun dihapuskan sama sekali.[6]  

C. Menjalankan Hak Yang Tidak Sesuai Dengan Tujuannya

Tiap peraturan hukum oleh pembuatnya diberi suatu tujuan tertentu. Demikian juga tiap hak yang diberikan oleh hukum kepada seseorang, ia mempunyai tujuan tertentu. Bisa dikatakan bahwa tiap hak diberi suatu tujuan sosial. Ini berarti hak itu tidak dapat melindungi suatu kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan umum. Hak tidak dapat melindungi kepentingan yang bersifat a-sosial. Dengan kata lain, tidak ada kekuasaan yang oleh hukum diberikan kepada seseorang untuk dipakai dengan sengaja merugikan orang lain atau yang mungkin dengan sengaja merugikan masyarakatnya. Menjalankan hak tidak sesuai dengan tujuannya adalah menyimpang dari tujuan hukum, yaitu menyimpang dari jaminan kepastian hukum. Sebaliknya, seseorang harus menjalankan haknya yang sesuai dengan tujuan dari hak itu.[7]

Contohnya adalah keputusan Pengadilan Tinggi di Colmar (Prancis) tanggal 2 Mei 1855 sebagai berikut. A menjadi tetangga B. Rumah A lebih tinggi dari rumah B. Di rumah A ada jendela yang memberi pemandangan dengan melintasi atap rumah B. Pada suatu waktu, maka B mendirikan sebuah pipa asap di atas atap rumahnya di muka jendela rumah A dengan maksud merusak pemandangan A. Pipa asap itu tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan tempat api. Pengadilan Tinggi dalam keputusannya memerintahkan B untuk membongkar pipa asap itu. Hak B untuk memetik kenikmatan kepunyaan rumahnya tidak dapat dijalankannya secara mengganggu orang lain dengan tidak berdasarkan niat baik.[8]
_________________________________
1.  “Pengantar Dalam Hukum Indonesia”, E. Utrecht, S.H., PT. Penerbit Dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta, (Cetakan Keenam), 1961, Hal.: 267-268.
2.  E. Utrecht, Ibid., Hal.: 268.
3.  E. Utrecht, Ibid., Hal.: 269.
4.  E. Utrecht, Ibid., Hal.: 270.
5.  E. Utrecht, Ibid., Hal.: 273.
6.  E. Utrecht, Ibid., Hal.: 273-276.
7.  E. Utrecht, Ibid., Hal.: 277.
8.  E. Utrecht, Ibid., Hal.: 278.

Three Ways to Conduct FDI in Indonesia

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Knowing Joint Venture Companies in FDI ...