Selasa, 16 April 2019

Golput Sebagai Anomali dalam Logika Aristotelian Undang-undang PEMILU

(idntimes.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Aristoteles

Tokoh dimaksud adalah seorang filsuf Yunani, murid dari Plato dan guru dari Alexander the Great yang hidup antara 384 SM sampai 322 SM. Ia menulis tentang berbagai subyek yang berbeda, termasuk fisika, metafisika, puisi, logika, retorika, politik, pemerintahan, etnis, biologi dan zoologi. Bersama dengan Socrates dan Plato, ia dianggap menjadi seorang di antara tiga orang filsuf yang paling berpengaruh di pemikiran Barat. [1]

Aristoteles lahir tahun 384 SM di Stagira, kota di wilayah Chalcidice, Thracia, Yunani (dahulunya termasuk wilayah Makedonia tengah). Ayahnya adalah tabib pribadi Raja Amyntas dari Makedonia. Pada usia 17 tahun, Aristoteles menjadi murid Plato. Belakangan ia meningkat menjadi guru di Akademi Plato di Athena selama 20 tahun. Aristoteles meninggalkan akademi tersebut setelah Plato meninggal, dan menjadi guru bagi Alexander dari Makedonia. [2]

Aristoteles kembali ke Athena saat Alexander berkuasa pada tahun 336 SM. Dengan dukungan dan bantuan dari Alexander, ia kemudian mendirikan akademinya sendiri yang diberi nama Lyceum, yang dipimpinnya sampai tahun 323 SM. Perubahan politik seiring jatuhnya Alexander menjadikan dirinya harus kembali kabur dari Athena guna menghindari nasib naas sebagaimana dulu dialami Socrates. Aristoteles meninggal tak lama setelah pengungsian tersebut. Aristoteles sangat menekankan empirisme untuk menekankan pengetahuan. [3]

Dikarenakan mayoritas Indonesia adalah muslim, mari kita melihat pandangannya terhadap Aristoteles. Terdapat legenda dalam masyarakat muslim mengenai Aristoteles, diantaranya berikut. Ia diyakini sebagai salah seorang Nabi. Karena sebagaimana maklum nabi dalam Islam sebanyak 124.000. Tetapi nabi sekaligus rasul sebanyak 25 orang. Dan Aristoteles termasuk dalam kategori nabi yang bukan rasul. Keyakinan ini berdasarkan pada riwayat dari Rasulullah S.A.W., yang dikutip dalam banyak kitab sejarah. Adapun riwayatnya; ”Setelah pulang dari kota Alexanderia ‘Amr bin Al-Ash datang menghadap Rasul S.A.W. Beliau bertanya kepada ‘Amr tentang kesan-kesan perjalanannya ke negeri bersejarah itu. ‘Amr kemudian bercerita bahwa ia melihat suatu kaum yang duduk lesehan melingkar. Mereka menyebut-nyebut dan memuji-muji seorang yang bernama Aristoteles semoga Allah mengutuknya. Nabi SAW pun terkejut dan berkata, “Enyah kamu wahai ‘Amr...! ”Tidakkah kamu mengetahui bahwa Aritoteles adalah seorang Nabi. Tapi umatnya tidak pernah mengubrisnya”. [4]

Logika Aristotelian

Kelahiran logika aristotelian dilatarbelakangi oleh keadaan masyarakat Polis Yunani pada waktu itu. Nalar aristotelian ini adalah kritik atas zamannya juga. Menurut hemat penulis, setidaknya ada dua ‘berhala’ yang hendak dikritik waktu itu, pertama adalah mitos, sebagaimana halnya perumpamaan “manusia goa” ajaran dari gurunya Plato, dan kedua adalah aksi-aksi kaum retoris melalui pidatonya, kaum orator ulung yang memikat hati para pendengarnya namun tidak cukup mumpuni dari segi keilmuan. Atas keprihatinannya, Aristoteles kemudian bekerja untuk melahirkan cara berpikir baru.

Logika aristotelian adalah suatu sistem berpikir sistematis dengan cara deduksi, dengan kata lain cara berpikir yang berangkat dari premis-premis umum untuk mengambil kesimpulan (kebenaran) yang sifatnya khusus. Format berpikir aristotelian yang paling sederhana dalam mencapai kebenaran adalah dengan cara silogisme. Sederhananya, silogisme adalah suatu suatu cara pengambilan kesimpulan dari umum ke khusus yang terdiri dari dua premis dan satu kesimpulan. Contoh legendarisnya adalah sebagai berikut:

Premis mayor : Semua manusia akan mati;
Premis minor : Fulan bin Fulan adalah manusia;
Kesimpulan : Fulan bin Fulan akan mati.

Dalam logika aristotelian, jalan menuju kebenaran sifatnya a priori, tidak perlu dialami terlebih dahulu, predictable atau bisa diramalkan, namun demikian, sistem penalaran ini tidak memproduksi pengetahuan baru. Meskipun dikemudian hari terdapat kritik atas sistem penalaran ini, akan tetapi warisannya masih bisa dirasakan sampai sekarang, termasuk dalam nalar undang-undang Pemilihan Umum di Indonesia berikut ini.

Logika Aristotelian dalam Undang-undang PEMILU

Mari kita kaji aturan dalam Undang-undang PEMILU yang relevan dengan hak memilih, diantaranya adalah sebagai berikut. Aturan Pemilihan Umum atau biasa disebut PEMILU, terakhir, diatur dalam Undang-undang Nomor: 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Bab IV diatur mengenai Hak Memilih. Pasal 198 berbunyi sebagai berikut: (1) Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin, mempunyai hak memilih. (2) Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (1) didaftar 1 (satu) kali oleh Penyelenggara Pemilu dalam daftar Pemilih. (3) Warga Negara Indonesia yang telah dicabut hak politiknya oleh pengadilan tidak mempunyai hak memilih.

Setelah kita mengerti mengenai nalar berpikir aristotelian di atas, dan kita juga telah mengutip aturan hukum positif mengenai Hak Memilih sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor: 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, maka saatnya sekarang untuk menguji logika Undang-undang PEMILU dimaksud. Caranya adalah dengan memasukkannya ke dalam format silogisme aristotelian.

• Premis mayor : Semua warga negara Indonesia mempunyai hak memilih. Semua warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin, mempunyai hak memilih (Pasal 198 ayat 1);

• Premis minor : Fulan bin Fulan terdaftar sebagai pemilih dan tidak dicabut hak politiknya oleh Pengadilan; Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (1) didaftar 1 (satu) kali oleh Penyelenggara Pemilu dalam daftar Pemilih. Dan Warga Negara Indonesia yang telah dicabut hak politiknya oleh pengadilan tidak mempunyai hak memilih (Pasal 198 ayat 2 dan 3); 

• Kesimpulan : Fulan bin Fulan akan memilih. Fulan bin Fulan datang ke TPS terkait pada hari yang ditentukan dan ‘nyoblos’.

Inilah kebenaran yang diproduksi oleh nalar logika aristotelian, yaitu pada tanggal 17 April 2019, Fulan bin Fulan datang ke TPS terkait, nyoblos, menggunakan hak memilihnya. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah terkait ‘Golput’, yaitu tindakan seorang warga negara yang seyogyanya terdaftar sebagai pemilih namun tidak menggunakan haknya. Dimana posisi Golput dalam bingkai ketentuan Pasal 198 Undang-undang Nomor: 7 tahun 2017 konsisten dengan produksi kebenaran nalar aristotelian?


Golput Sebagai Anomali dalam Undang-undang PEMILU

Perlu ditegaskan terlebih dahulu di sini, bahwa penulis bukanlah seorang Golput karena akan datang nyoblos ke TPS dan tidak mengajak para pembaca untuk Golput, serta tidak berkeinginan menanggung nestapa pidana akibat dari salah paham audience dalam membaca artikel ini, penulis hanya berusaha secara keilmuan melihat fenomena ini dengan lebih terbuka. Kembali ke pertanyaan di atas, dimana posisi Golput dalam bingkai ketentuan Pasal 198 Undang-undang Nomor: 7 tahun 2017 konsisten dengan produksi kebenaran nalar aristotelian?

Jawabannya menurut hemat penulis adalah anomali. Tindakan tidak lazim yang di luar nalar DPR dan Pemerintah pembuat Undang-undang Nomor: 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Golput adalah ‘anak haram’ demokrasi perwakilan. Ia ada, akan tetapi setelah PEMILU usai, ia tidak menjadi dasar apapun untuk tujuan perbaikan. Setelah PEMILU usai, yang dihitung adalah berapa nominal yang menang dan berapa nominal yang kalah. Setidaknya sampai saat ini, Goput belum dijadikan sumber untuk memperbaiki demokrasi perwakilan, misalnya memperbaiki partai-partai politik. Malahan masih terasa aura publik agar memusuhi kaum Golput ini.

Dalam khayalan penulis yang paling liar, bisa saja—meskipun menjadikan Proses PEMILU menjadi tidak sederhana lagi—dalam kertas suara tercantum kolom Golput, dan pemilih bisa menuliskan alasan-alasannya, misalnya kader partai politiknya sudah berkali-kali terbukti korup. Bukankah tidak kalah penting untuk mendapat feed back langsung dan berharga dari konstituen berupa review atas perbuatan wakilnya lima tahun yang lalu maupun forecast atas calon wakil-wakilnya di parlemen dan eksekutif serta DPD lima tahun ke depan dalam lebaran demokrasi ini?

________________________________
1.
Biografi Plato - Filsuf dan Matematikawan Yunani", Muhamad Nurdin Fathurrohman, 16 April 16 2014, https://biografi-tokoh-ternama.blogspot.com/2014/04/biografi-plato-filsuf-dan-matematikawan-yunani.html

2.
Ibid.

3.
Ibid.

4.

Minggu, 14 April 2019

Adnan Buyung Nasution dan Implikasi Revolusi Industri 4.0 Terhadap Lembaga Bantuan Hukum (LBH)

(id.Wikipedia.org)

Oleh:
Tim Hukumindo

Adnan Buyung Nasution


Adnan Buyung Nasution adalah pria kelahiran Jakarta, 20 Juli 1934, yang dikenal sebagai seorang advokat, pendiri Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, dan juga pernah menjabat sebagai anggota DPR/MPR. Tidak banyak yang tahu bahwa nama tengah Buyung sebenarnya adalah ‘Bahrum’. Pada akta kelahirannya, namanya tercatat sebagai Adnan Bahrum Nasution. Namun, Buyung menamai dirinya sebagai Adnan B. Nasution. Nama "Buyung" dia dapatkan karena dia sering dipanggil demikian oleh teman-teman dan kerabatnya. [1]

Selepas SMA, Buyung terdaftar sebagai mahasiswa Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun, satu tahun kemudian, Buyung pindah ke Fakultas Gabung Hukum, Ekonomi, dan Sosial Politik di Universitas Gajah Mada. Tidak lama kemudian, Buyung berpindah ke Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan di Universitas Indonesia. Di tiga universitas tersebut, Buyung aktif dalam kegiatan organisasi mahasiswa. [2]

Setelah lulus dari UI, Buyung meneruskan kuliah dan bekerja sebagai Jaksa di Kejaksaan Negeri Istimewa Jakarta. Selain itu, Buyung juga tetap aktif dalam kegiatan politik di Indonesia. Buyung tercatat sebagai pendiri dan Ketua Gerakan Pelaksana Ampera. Ketika terjadi peristiwa Gestapu, Buyung tercatat sebagai anggota Komando Aksi penggayangan Gestapu. Bahkan, Buyung sempat mendapatkan skorsing selama satu setengah tahun akibat ikut berdemonstrasi dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), dan dituduh sebagai anti revolusi. [3]

Setelah itu, Buyung dipindahtugaskan ke Manado. Namun demikian, Buyung ditempatkan di Medan. Hal tersebut membuat Buyung hengkang dan menganggur hingga setahun kemudian. Pada saat yang bersamaan. Buyung mendapatkan panggilan kembali untuk DPR/MPR. Setelah satu tahun menganggur, Buyung kemudian mendirikan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan membuka kantor pengacara (advokat). [4]

Adnan Buyung Nasution meninggal di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan, Rabu, 23 September 2015, pukul 10.15 WIB. Dia meninggal setelah setelah dirawat hampir lima hari. Buyung sebelumnya mengeluh sakit pada giginya. Adnan juga punya masalah di ginjal dan jantungnya. [5] Alm. Adnan Buyung Nasution dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir Jakarta Selatan.

Warisan Lembaga Bantuan Hukum (LBH)

Soal pendirian Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Buyung punya cerita menarik. Ketika ia menjadi jaksa dan bersidang di daerah-daerah terpencil, ia melihat orang-orang yang menjadi terdakwa pasrah menerima dakwaan yang ditimpakan kepadanya. Dari sana ia berpikir, orang-orang kecil yang buta hukum itu perlu dibantu. Menurut Buyung, penegakan hukum dan keadilan tak mungkin terjadi di Indonesia jika rakyat dari kalangan menengah ke bawah dalam posisi yang tidak seimbang. Persoalan ini mendorong Buyung untuk ambil peran sebagai orang yang membela mereka. [6]

Saat kuliah di Universitas Melbourne, Australia, ia melihat ada Lembaga Bantuan Hukum. Ia sadar, bantuan hukum itu ada pola, model, dan bentuknya. Pada 1969, Buyung kembali ke Indonesia. Ia menyampaikan ide pembuatan LBH kepada Kepala Kejaksaan Agung Soeprapto. Soeprapto memang memuji ide itu, tetapi menganggap belum waktunya diwujudkan. Buyung menyadari saat itu memang belum mendukung gagasan tersebut. [7] Hal yang penting di sini adalah bahwa Adnan Buyung Nasution memperoleh inspirasi pola, model dan bentuk bantuan hukum untuk masyarakat yang kurang mampu adalah ketika berkuliah di Australia.

Dalam otobiografinya, Adnan menceritakan tentang awal mula pendirian LBH. Dia bercerita bahwa pada mulanya ide tentang pendirian LBH dia kemukakan dalam kongres Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) III pada 18-20 Agustus 1969. Ternyata, ide ini didukung oleh kongres kemudian ditindaklanjuti oleh Adnan. [8]

Ia baru bisa merealisasikan idenya membentuk LBH setelah keluar dari Kejaksaan. Gagasannya mendapat dukungan dari sejumlah tokoh, antara lain Mochtar Lubis, Ali Sadikin, Ali Moertopo, bahkan Presiden RI ke-2 Soeharto. LBH resmi didirikan tanggal 28 Oktober 1970. Buyung pun tampil sebagai pemimpin LBH pertama kali. [9]

Pada peresmian kantor LBH di Jalan Ketapang, Ali Murtopo memberikan sumbangan lima sepeda motor untuk operasional. Banyak orang-orang yang mengkritik keputusan Buyung menerima bantuan Ali Murtopo. Namun Buyung menjawab bahwa dia percaya pada itikad baik Ali Murtopo. Sayangnya, pemberian motor itu hanya bagian dari politik kosmetik pemerintah Soeharto. Dia ingin membangun citra bahwa pemerintah Orba mendukung demokrasi, hukum, dan HAM. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Hal ini bisa dilihat dari keputusan Orba untuk menahan Buyung selama dua tahun tanpa peradilan dengan tuduhan sebagai dalang Malari. [10]

Pendirian LBH ini menjadi tonggak penting bahwa sebelum ada LBH, bantuan hukum untuk orang miskin adalah amal yang dilakukan pengacara sebagai individu. Namun, Buyung berpendapat bahwa bantuan hukum bisa dilakukan oleh lembaga. Karena itu, bantuan hukum tak lagi sekadar amal atau charity, melainkan tanggung jawab moral orang-orang yang mengerti hukum dan mesti diberikan sebaik-baiknya kepada setiap warga negara, terutama masyarakat miskin dan tak mampu. [11]


Menyambung pendapat di atas, hal penting dari warisan Adnan Buyung Nasution dalam kontribusinya terhadap dunia hukum di Indonesia adalah melembagakan bantuan hukum bagi kalangan yang kurang mampu. Pelayanan bantuan hukum tidak lagi dipandang sebagai kerja-kerja sosial non profit seorang advokat secara acak, namun disusun rapi dan terstruktur dalam sebuah badan hukum resmi yang menangani secara khusus hal dimaksud, hingga di kemudian hari menjadi sebuah gerakan. Sudah selayaknya kemudian Adnan Buyung Nasution disebut sebagai salah satu pelopor gerakan perkembangan bantuan hukum di Indonesia. Penulis berani mengatakan bahwa banyaknya pendirian Lembaga-lembaga bantuan hukum atau lembaga sejenisnya di berbagai bidang yang bersifat non profit, pasca kejatuhan Orde Baru, dan bahkan sampai sekarang adalah terinspirasi dari beliau.

Implikasi Revolusi Industri 4.0 Terhadap Lembaga Bantuan Hukum (LBH)

Masyarakat kita dan dunia hari ini telah memasuki gelombang revolusi industri yang ke empat. Apa yang dimaksud dengan revolusi industri yang populer dengan sebutan industri 4.0 ini? Bagaimana revolusi industri 4.0 ini berimplikasi terhadap Lambaga Bantuan Hukum (LBH)?

Apa yang dimaksud dengan revolusi industri 4.0? Revolusi industri 4.0 adalah tren terbaru teknologi yang sedemikian rupa canggihnya, yang berpengaruh besar terhadap proses produksi pada sektor manufaktur. Teknologi canggih tersebut termasuk artificial intelligence (AI), e-commerce, big data, fintech, shared economies, hingga penggunaan robot. Istilah industri 4.0 pertama kali diperkenalkan pada Hannover Fair 2011, yang ditandai dengan revolusi digital. [12]

Bob Gordon dari Universitas Northwestern, seperti dikutip Paul Krugman (2013), mencatat bahwa sebelumnya telah terjadi tiga revolusi industri. Pertama, ditemukannya mesin uap dan kereta api (1750-1830). Kedua, penemuan listrik, alat komunikasi, kimia dan minyak (1870-1900). Ketiga, penemuan komputer, internet dan telepon genggam (1960 hingga sekarang). Versi lain menyatakan bahwa revolusi industri ke tiga dimulai 1969, melalui munculnya teknologi informasi dan mesin otomasi. [13]


Lalu bagaimana revolusi industri 4.0 ini berimplikasi terhadap Lambaga Bantuan Hukum (LBH)? Menurut penulis, disadari atau tidak namun sangat sulit untuk ditolak, produk-produk revolusi industri 4.0 telah mempengaruhi kehidupan kita semua dalam skala yang massif, termasuk berimplikasi terhadap ranah profesi hukum serta tentunya mempunyai implikasi terhadap Lembaga Bantuan Hukum (LBH).

Contoh sederhana adalah salah satu bentuk pelayanan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) berupa konsultasi hukum. Apa tujuan konsultasi hukum ini? Tujuannya sederhana, yaitu mendapatkan informasi hukum yang akurat dari sumber yang kompeten. Pada zaman sebelum revolusi industri 4.0 kalangan masyarakat kurang mampu harus datang langsung ke kantor-kantor lembaga bantuan hukum untuk mendapatkan informasi hukum. Saat ini, di era revolusi industri 4.0 masyarakat semua kalangan, termasuk yang kurang mampu, dimudahkan untuk mengakses berbagai informasi di internet, termasuk informasi hukum. Dalam masyarakat industri 4.0 kebutuhan akan informasi hukum telah berubah dari harus datang ke kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) menjadi beli kuota internet, akses, tanya ke mesin pencari ‘Google’, klik domain yang relevan, baca, selesai. Dengan kata lain, eksistensi konsultan hukum pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) telah tergantikan sebagian peranannya oleh artificial intelligence (AI) mesin pencari ‘Google’.

Sepengalaman penulis di daerah-daerah, praktik peninggalan era sebelum revolusi industri 4.0 seperti fee lawyer dibarter dengan produk-produk pertanian oleh kalangan masyarakat yang kurang mampu guna mendapatkan bantuan hukum adalah lumrah. Mungkin saat ini dan akan datang, bisa saja praktik barter fee lawyer dangan ‘kuota internet’ atau ‘pulsa handphone’, yang harganya telah terjangkau oleh semua kalangan, menjadi hal yang lumrah untuk masyarakat kurang mampu mendapatkan akses bantuan hukum.

Lalu bagaimana kiranya masa depan Lembaga Bantuan Hukum (LBH)? Jika kita berpikir positif, dari sudut pandang ekonomi tujuan revolusi industri 4.0 ini adalah efisiensi proses produksi, menjadikan produk-produk industri menjadi lebih terjangkau dan kompetitif. Ke depan tidak ada yang tahu, hanya bisa diprediksi saja, namun kaitannya dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH), akan ada segmen-segmen yang peranannya tergantikan oleh produk-produk revolusi industri seperti artificial intelligence (AI) di atas.
________________________________

1. "Adnan Buyung Nasution", www.merdeka.com, https://www.merdeka.com/adnan-buyung-nasution/profil/
2.        Ibid.
3.        Ibid.
4.        Ibid.
5. "Adnan Buyung Nasution", www.medcom.id., https://www.medcom.id/profile/adnan-buyung-nasution
6.        Ibid.
7.        Ibid.
8.        “Jalan Berliku Lembaga Bantuan Hukum: Berdiri atas restu Orde Baru lantas menjadi musuh Orde Baru”, www.historia.id., Nur Janti, 19 September 2017, https://historia.id/politik/articles/jalan-berliku-lembaga-bantuan-hukum-vZ5dB
9.        www.medcom.id., Op. Cit.
10.     www.historia.id., Op. Cit.
11.  "Adnan Buyung Nasution, Advokatnya Kaum Tertindas", www.tirto.id., 23 September 2015, https://tirto.id/adnan-buyung-nasution-advokatnya-kaum-tertindas-cw63
12. "Revolusi Industri 4.0", 10 April 2018, https://psekp.ugm.ac.id/2018/04/10/revolusi-industri-4-0/
13.   Ibid

Jumat, 12 April 2019

Mochtar Kusumaatmadja Turut Menjadikan Pemberantasan Illegal Fishing Menteri Susi Pudjiastuti Terlaksana

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pemberantasan Illegal Fishing Menteri Susi

Sejak awal menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan di era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, Susi Pudjiastuti cukup rajin memberantas illegal fishing. Selain dianggap merugikan negara, pencurian ikan juga membuat nelayan kehilangan banyak hasil tangkapannya. Susi mengungkapkan, sejak Oktober 2014 hingga Agustus 2018, sebanyak 488 kapal pencuri ikan ditenggelamkan. Adapun rinciannya, kapal berbendera Vietnam sebanyak 276 kapal, Filipina 90 kapal, Thailand 50 kapal, Malaysia 41 kapal, Indonesia 26 kapal, Papua Nugini 2 kapal, Tiongkok 1 kapal, Belize 1 kapal, dan tanpa negara 1 kapal. Dia menyebutkan, kapal-kapal tersebut banyak melakukan pelanggaran menangkap ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPPRI) tanpa SIUP, SIKPI, dan SIPI. Mereka juga menangkap ikan dengan menggunakan alat penangkapan ikan yang dilarang dan merusak lingkungan. [1]

Lanjutnya, “Penenggelaman ini dilakukan di 11 lokasi seluruh Indonesia,” ungkap Susi. Adapun 11 wilayah tersebut yakni Pontianak sebanyak 11 kapal, Cirebon 6 kapal, Bitung 15 kapal, Aceh 3 kapal, Tarakan 2 kapal, Belawan 7 kapal, Merauke 1 kapal, Natuna/Ranai 40 kapal, Ambon 1 kapal, Batam 9 kapal, dan Tarempa/Anambas 23 kapal. Susi menambahkan, penenggelaman kapal dilakukan berdasarkan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap untuk 116 kapal dan berdasarkan penetapan pengadilan untuk 9 kapal. “Kapal-kapal yang ditenggelamkan mayoritas merupakan kapal perikanan berbendera asing dengan jumlah 120 kapal. Sementara itu, kapal perikanan berbendera Indonesia berjumlah 5 kapal,” tuturnya. [2]



Menurut hemat penulis, menteri Kelautan dan Perikanan yang satu ini adalah menteri yang paling memberi dampak positif pada jabatan yang diembannya. Atas alasan apa? Karena menteri-menteri sebelumnya tidak terdengar upaya-upaya semacam ini, entah karena tidak kompeten dengan jabatan yang diembannya, atau karena memang tidak cukup berani. Hal ini layak untuk diapresiasi. Meskipun demikian, prestasi atas pemberantasan illegal fishing di era Menteri Susi ini tidak akan terlaksana jika tidak ada Mochtar Kusumaatmadja. Siapa beliau? Apa relevansinya dengan pemberantasan illegal fishing Menteri Susi ini?

Visi Hukum Mochtar Kusumaatmadja

Lahir di Batavia, 17 Februari 1929 adalah seorang akademisi dan diplomat Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Kehakiman dari tahun 1974 sampai 1978 dan Menteri Luar Negeri dari tahun 1978 sampai 1988. Riwayat Pendidikan Tinggi: S1 Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta (1955). S2 Sekolah Tinggi Hukum Yale, Amerika Serikat (1958). S3 Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung (1962). S3 Universitas Chicago, Amerika Serikat (1966). Perjalanan karier: Wakil Indonesia pada Konperensi Hukum Laut, Jenewa, Colombo, Tokyo (1958-1961). Wakil Indonesia pada Sidang PBB mengenai Hukum Laut, Jenewa dan New York. Guru Besar dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad), Bandung. Menteri Kehakiman Kabinet Pembangunan II (1973-1978). Menteri Luar Negeri Kabinet Pembangunan III dan IV (1978-1983 dan 1983-1988). [3]

Mochtar Kusumaatmadja sering dikaitkan sebagai tokoh sentral penyiapan rancangan ‘Deklarasi Djuanda’, tentunya dengan tidak mengecilkan peran Djoeanda Kartawidjaja. Deklarasi Djuanda adalah tonggak sejarah yang penting bagi perjuangan bangsa Indonesia paska kemerdekaan dalam meneguhkan kedaulatan wilayah NKRI.  Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, belum mampu menyatukan wilayah nusantara yang terdiri dari pulau-pulau yang dipisahkan oleh lautan seperti Indonesia saat ini.  Namun pada hari itu, 13 Desember 1957, Perdana Menteri Djuanda menyatakan bahwa pemerintah Indonesia memiliki “kedaulatan mutlak” atas semua perairan yang berada di garis pangkal lurus yang ditarik di antara pulau-pulau terluar Indonesia. Garis-garis pangkal lurus ini, meliputi semua pulau yang membentuk negara, membentuk Indonesia—tanahnya dan lautan yang di atasnya pemerintah Indonesia menegaskan kedaulatan—menjadi satu wilayah tunggal untuk pertama kalinya. [4]

Deklarasi ini membuat kaget dan marah kekuatan maritim Barat terutama Belanda.  Karena acuan mereka adalah Teritoriale Zeen en Maritieme Kringen Ordonantie 1939—Undang Undang Laut buatan Belanda tahun 1939—atau disingkat Ordonantie 1939. Dalam peraturan Belanda tersebut, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut sejauh tiga mil dari garis pantai. Mereka khawatir implikasi Deklarasi Djuanda terhadap pergerakan kapal-kapal bebas melalui kepulauan dan akses ke daerah penangkapan ikan di perairan yang sekarang diklaim oleh Indonesia. Selain akan membatasi mobilitas angkatan laut mereka dan mengganggu pelayaran internasional. [5]

Namun bagi Indonesia, Deklarasi Djuanda tidak hanya menunjukan keinginan untuk menciptakan kedaulatan negara sebagai suatu entitas fisik.  Tapi juga menandai perjuangan diplomasi Indonesia selama 25 tahun hingga diperolehnya pengakuan internasional pada tahun 1982. Ketika United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) ke-III, secara resmi mengakui keberadaan negara-negara yang dikenal sebagai negara kepulauan, dan menyatakan bahwa negara-negara ini memiliki kedaulatan atas perairan kepulauannya. [6]

Arti penting deklarasi Juanda dalam tabel:


Dasar Hukum
Akibat Hukum

1.
Teritoriale Zeen en Maritieme Kringen Ordonantie 1939—Undang Undang Laut buatan Belanda tahun 1939—atau disingkat Ordonantie 1939.
Kapal asing boleh dengan bebas mengarungi laut yang memisahkan pulau-pulau, dihitung sejauh 3 mil dari garis pantai.


2.
(a). Deklarasi Djuanda; (b). UU No. 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia; (c). United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) ke-III, tahun 1982; (d). UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982.
Akibatnya yaitu luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² sebelum deklarasi menjadi 5.193.250 km² setelah deklarasi. [7] Sehingga kapal asing yang mengarungi laut-laut antar pulau di nusantara memasuki wilayah NKRI dan bukan kawasan bebas.

Sederhananya, Deklarasi Djuanda merubah secara radikal wilayah negara republik Indonesia menjadi lebih luas, dari negara yang wilayahnya hanya termasuk daratan gugusan pulau-pulau, menjadi negara dengan wilayah berupa daratan atas gugusan pulau-pulau ditambah lautan antar pulau. Catatan penting penulis adalah: Laut, pasca Deklarasi Djuanda, dalam wilayah teritorial indonesia bukanlah sebagai wilayah pemisah antar pulau, sebaliknya justru sebagai pemersatu wilayah antar pulau.



Deklarasi Djuanda Turut Menjadikan Pemberantasan Illegal Fishing Menteri Susi Terlaksana

Apa relevansi Mochtar Kusumaatmadja dengan pemberantasan illegal fishing Menteri Susi? Telah terjawab secara tidak langsung bahwa pemberantasan illegal fishing di era Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti hampir tidak dimungkinkan terlaksana jika tidak ada Deklarasi Djuanda. Salah satu tokoh penting yang menyiapkan Deklarasi Djuanda adalah Mochtar Kusumaatmadja, yang mengenalkan konsep wilayah teritorial negara kepulauan (Archipelagic State) dan memperjuangkannya melalui diplomasi internasional selama puluhan tahun.

Saat ini, sebagaimana telah di bahas di atas, mayoritas kapal-kapal asing pelaku illegal fishing ditangkap kemudian ditenggelamkan di wilayah-wilayah laut Indonesia penghasil ikan seperti Tarakan, Belawan, Merauke, Natuna/Ranai, Ambon, Batam, dan Tarempa/Anambas. Tanpa Deklarasi Djuanda, armada laut Indonesia hanya dapat menindak kapal asing sejauh 3 mil dari batas pantai. Sedangkan dengan adanya Deklarasi Djuanda, hal mana laut antar pulau menjadi wilayah Indonesia, menjadikan penindakan atas illegal fishing yang dilakukan mayoritas kapal asing menjadi terlaksana secara legal. Sehingga sudah sepantasnya atas keberhasilan pemberantasan illegal fishing ini, Menteri Susi Pudjiastuti memberikan penghargaan atau minimal mengucapkan terima kasih kepada Mochtar Kusumaatmadja dan juga alm. Djoeanda Kartawidjaja atas perannya dalam memberikan landasan hukum awal bagi terlaksananya hal dimaksud. Salam.

__________________
Catatan kaki:

1.  "Wow, 488 Kapal Pencuri Ikan Ditenggelamkan Menteri Susi Dalam 4 Tahun", www.jawapos.com, 21 Agustus 2018, https://www.jawapos.com/ekonomi/finance/21/08/2018/wow-488-kapal-pencuri-ikan-ditenggelamkan-menteri-susi-dalam-4-tahun/
2.  Ibid.
3.  "Mochtar Kusumaatmadja", www.wikipedia.org. https://id.wikipedia.org/wiki/Mochtar_Kusumaatmadja
4.  Deklarasi Djuanda dan Visi Mochtar Kusumaatmadja”, www.setkab.go.id., Eko Sulistyo, https://setkab.go.id/deklarasi-djuanda-dan-visi-mochtar-kusumaatmadja/
5.  Ibid.
6.  Ibid.
7.  Deklarasi Djuanda”, www.wikipedia.org. https://id.wikipedia.org/wiki/Deklarasi_Djuanda

Selasa, 09 April 2019

Apa Yang Dimaksud Dengan Hukum?

(iStock)

Oleh: 
Tim Hukumindo

Sebelum kita menjawab pertanyaan: Apa yang dimaksud dengan hukum? Ada baiknya terlebih dahulu melihat keberadaan hukum. Hukum ada di mana-mana, hukum menguasai setiap lini hidup manusia, setiap saat hidup kita dilingkupi oleh hukum. 

Hukum mencampuri urusan manusia sebelum ia lahir dan masih mencampurinya sesudah ia meninggal. Hukum melindungi benih di kandungan ibu dan masih menjaga jenazah orang yang telah mati. Ia memberikan seseorang, langsung setelah ia dilahirkan, hak-hak terhadap ibu bapak dan meletakkan kewajiban atas ibu bapak terhadap anak-anaknya. Sejak lahir, manusia merupakan pendukung hak. Segala benda yang mengelilingi kita merupakan objek hak. Ikatan hukum yang jumlahnya tak terhingga, menghubungkan manusia satu sama lain dan dengan dunia jasmani yang mengelilinginya. Pergaulan hidup manusia terjadi daripada hubungan yang langsung dari asal-usul, pertalian darah, perkawinan, tempat tinggal, kebangsaan, perdagangan, pemberian jasa yang beraneka warna (sewa-menyewa, pengangkutan, penyimpanan (bewaargeving), pinjaman uang, asuransi dsb.) Semua hubungan tersebut diatur oleh hukum, semuanya adalah hubungan hukum (rechtsbetrekkingen). Jika kita pikirkan, maka terasalah bahwa hukum tak terbatas melainkan terdapat di mana-mana (“Pengantar Ilmu Hukum” atau “Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht”, Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldorn,  PT. Pradnya Paramita, Jakarta, (Cetakan Ke-dua puluh lima), 1993, Hal.: 6.). 

Meskipun keberadaan hukum melingkupi setiap sendi-sendi kehidupan manusia, dari sebelum lahir sampai dengan setelah meninggal dunia, akan tetapi segera setelah kita mencoba memberikan definisi atau batasan, menjadikan usaha ini seolah sia-sia belaka, karena sepanjang sejarah usaha ini, belum terjadi konsensus mengenai definisi dimaksud. Akan tetapi, sebagai sebuah pandangan awal, berikut dikutip pendapat ahli yang populer:
  • Hukum itu suatu himpunan petunjuk-petunjuk yang hanya menunjuk secara mana biasanya orang bertindak dalam pergaulannya dengan orang lain di dalam masyarakat. Pendapatnya: hukum itu bukan suatu himpunan kaidah-kaidah, bukan suatu himpunan peraturan-peraturan yang memaksa orang berkelakuan menurut tata tertib masyarakat, tetapi suatu himpunan peraturan-peraturan yang menunjuk kebiasaan orang dalam pergaulannya dengan orang lain di dalam masyarakat (“Pengantar Dalam Hukum Indonesia”, E. Utrecht, S.H., PT. Penerbit Dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta, (Cetakan Ke-enam), 1961, Hal.: 22-23.). 
  • Hukum adalah himpunan petunjuk-hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam sesuatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk-hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah masyarakat itu (E. Utrecht, S.H., Ibid. Hal.: 12.).  
Singkat kata, supaya lebih mudah diartikan, hukum adalah perintah-perintah dan larangan-larangan. Inilah salah satu pendapat ahli mengenai hukum yang sederhana dan populer. Meskipun demikian, terdapat pendapat-pendapat lain yang pada tingkat pembelajaran lanjutan layak untuk diperhatikan. 

Terkait dengan hal di maksud, agaknya pendapat Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldorn layak dicermati. Hampir semua ahli hukum yang memberikan definisi tentang hukum, memberikannya berlainan. Ini, setidak-tidaknya untuk sebagian, dapat diterangkan oleh banyaknya segi dan bentuk, serta kebesaran hukum. Hukum banyak seginya dan demikian luasnya, sehingga tidak mungkin orang menyatukannya dalam satu rumus secara memuaskan. Lagi pula, pada umumnya definisi ada ruginya, yakni ia tidak dapat mengutarakan keadaan sebenarnya dengan jelas. Keadaan sebenarnya banyak sisinya, berupa-rupa dan ganti berganti, sedangkan definisi, karena ia menyatukan segala-galanya dalam satu rumus, harus mengabaikan hal yang berupa-rupa dan yang banyak bentuknya. Jadi, apa yang ditulis Immanuel Kant ada benarnya: “Noch suchen die Juristen eine Definition zu ihrem Begriffe von Recht” (Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldorn,  Op. Cit., Hal.: 1.), atau dapat diartikan sebagai: “Para juristen (ahli hukum) masih saja mencari suatu definisi untuk pengertian tentang hukum”. 

Pernyataan Immanuel Kant tersebut terkenal sekitar tahun 1800-an Masehi, sekarang adalah tahun 2019 Masehi, jadi credo ini telah berumur ± 219 tahun. Apa yang telah berubah saat ini dibandingkan dengan ketika Immanuel Kant hidup? Masyarakatnya. Kita tidak pernah mengalami sebelumnya peran teknologi, khususnya, teknologi informasi yang begitu massif seperti saat ini. Seyogyanya, hal ini memberi dampak langsung kepada hukum. Jadi, kira-kira menurut pembaca yang budiman, apa yang dimaksud hukum menurut era millenial seperti saat ini? Dan apa definisi hukum kontemporer yang lebih up to date
________________________


Senin, 08 April 2019

Problematika dalam Proses Pengangkatan dan Penyumpahan Advokat di Indonesia

(iStock)

Oleh: 
Tim Hukumindo

Baru-baru ini kembali terjadi polemik dalam dunia advokat, di mana salah satu organisasi profesi ini bermaksud mengkonversi masa bakti pensiunan penegak hukum dan militer menjadi masa magang dalam profesi advokat. 

Dengan kata lain dapat dimaknai bahwa seseorang yang hendak menjadi advokat dengan latar belakang pensiunan penegak hukum dan militer tidak perlu menjalani proses magang profesi advokat. 

Menurut hemat penulis, hal ini tentu menjadi masalah, namun realitanya adalah bukan satu-satunya masalah yang timbul dalam proses pengangkatan dan penyumpahan advokat, bahkan setiap tahapannya tidak luput dari problematika tersendiri.

Dalam dunia hukum, dibandingkan dengan profesi yang lain misalnya Notaris, sepertinya profesi Advokat ini lebih eye catching, setidaknya pada masa kontemporer di mana dengan bantuan media menjadikan citra profesi ini jauh dari kesan sebuah profesi serius dan dingin. 

Mari sejenak kita tinggalkan kesan yang didapat dari jauh dan menyelam bersama seraya melihat-lihat secara lebih dekat tahapan-tahapan yang harus dilalui agar seseorang dapat menyandang profesi yang satu ini.

Sebagai sebuah profesi, tentu mempunyai tangga-tangga yang harus ditapaki hingga akhirnya bisa menjalankan profesi ini seutuhnya. Masalahnya adalah, tidak setiap tangga yang harus ditapaki oleh seorang advokat sudah merupakan tangga steady kokoh yang terbukti dapat melahirkan advokat paripurna. 

Tahapan-tahapan yang harus dilalui ketika seseorang ingin menjadi Advokat tidak lepas dari kondisi-kondisi yang tidak ideal. Setidaknya saat ini, tahapan-tahapan dimaksud adalah penuh bolong disana-sini dan menjadi kewajiban bagi yang peduli untuk menambalnya.

Sejak tahun 2003, profesi Advokat mempunyai landasan hukum melalui Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat (Undang-undang Advokat), di dalamnya mengatur bahwa untuk dapat diangkat menjadi Advokat mensyaratkan agar terlebih dahulu mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA).

Kemudian lulus Ujian Profesi Advokat (UPA) dan magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat "Magang", hingga akhirnya berhak untuk diangkat dan disumpah menjadi Advokat.

Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA)

Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Advokat berbunyi sebagai berikut: "Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat".

Yang kerap menjadi masalah adalah pelaksanaan pendidikan profesi advokat dilaksanakan secara singkat, bahkan kilat. Jangka waktu pelaksanaan yang 'dipadatkan' seringkali ditemui dan dengan metode transfer pengetahuan yang terbilang mandiri, kerap kali pemateri hanya menerangkan orientasi suatu materi pembelajaran saja, selebihnya calon advokat berusaha mendalami secara sendiri dibantu dengan setia oleh lembar-lembar photo copy makalah yang diberikan. 

Bisa ditebak, praktik demikian kadangkala hanya mengedepankan dampak ekonomi dari kejar setoran penyelenggara saja, yang memang biaya pendidikannya tergolong tidak murah, tanpa memikirkan lebih jauh mengenai peningkatan kualitas keilmuan calon advokat.

Hal sebagaimana tersebut di atas tentu bukan satu-satunya masalah terkait pendidikan khusus profesi ini, kurikulum dan ketimpangan pemateri antara daerah satu dengan yang lainnya juga kerap ditemui. 

Bahkan sepengalaman penulis, kerap kali pemateri bukan dari latar belakang advokat, meskipun mungkin maksudnya adalah baik, namun menurut hemat penulis seyogianya pendidikan disampaikan oleh pemateri dengan kompetensi dan kapasitas profesi advokat, bukan yang lain.

Ujian Profesi Advokat (UPA)

Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Advokat mengatur bahwa salah satu syarat untuk diangkat menjadi Advokat adalah lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat. Ujian sedianya adalah tolok ukur dalam menilai kompetensi seorang calon advokat. 

Kompetensi dalam bidang apa? Kompetensi dalam bidang ilmu hukum, khususnya ilmu hukum yang berkaitan langsung dengan profesi advokat. Diantaranya dapat dirujuk secara sederhana pada bidang hukum acara, baik hukum acara perdata, pidana dan lainnya.

Pada rentang waktu yang penulis lalui, dari sisi materi pengujian sudah cukup baik dan relevan dengan konteks pekerjaan yang nantinya akan dilakukan, meskipun hal ini tentu saja terbatas pada bekal secara teori. 

Dan kadang kala hal ini saja tidak cukup. Hanya saja, yang menjadi perhatian penulis saat ini adalah menurunnya passing grade untuk kelulusan calon advokat. Bahkan waktu sebelum penulis mengikuti ujian ini, lulus UPA adalah perihal yang tergolong sulit, bahkan beberapa kolega sampai dua atau tiga kali mengikuti UPA baru kemudian lulus. Dibutuhkan keseriusan proses belajar untuk melaluinya. 

Beda dengan kondisi saat ini, konon dalam hal ujian tertulis, tidak lagi terlalu dipermasalahkan kesalahan antara membuat gugatan wanprestasi dengan gugatan perbuatan melawan hukum, padahal dalam dunia praktik hal ini tentu saja sangat penting menyangkut analisa masalah hukum yang akan ditangani.

Lebih mudahnya perihal ujian profesi advokat ini ditengarai terjadi sebagai akibat dari perebutan massa calon advokat setelah terjadinya perpecahan organisasi advokat yang realitanya kembali menjadi 'multi bar'. 

Kondisi ini menjadikan lulus ujian advokat menjadi lebih mudah, namun kualitas lulusan juga menjadi menurun kompetensi keilmuannya. 

Akumulasi kerugian yang harus ditanggung di hilir adalah rendahnya kompetensi keilmuan seorang advokat yang harus ditanggung klien. Belum lagi permasalahan bahwa di luar organisasi yang penulis ikuti, sebut saja organisasi advokat 'X', justru menerapkan kebijakan 'ujian' yang sangat jauh berbeda.

Magang

Salah satu ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Advokat juga mensyaratkan magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat. 

Idealnya magang dimaksud adalah sebagai 'pra kondisi' melihat dan mengalami secara langsung tugas-tugas dari seorang advokat dalam menjalankan profesinya. Menurut hemat penulis magang ini sederhana sana, yaitu upaya mereplikasi dalam konteks yang baik dan benar dari perspektif hukum atas sebuah profesi yang kelak dijalankannya.

Adapun permasalahan yang kemudian timbul saat ini, seperti diskresi atas penafsiran magang oleh sebuah organisasi tertentu, tentu di luar kewajaran. Mari kita umpamakan, seorang yang belajar tekun selama dua tahun berturut-turut untuk membuat mie ayam, setidaknya setelah dua tahun mendekati dan tahu betul akan tata cara membuat mie ayam. 

Meskipun tetangganya setiap hari selama sepuluh tahun sudah ahli membuat bakso, tentu saja bekal ilmu membuat bakso tidak dapat dijadikan alasan untuk kemudian seseorang telah kompeten membuat mie ayam. Keduanya adalah menghasilkan hal yang berbeda, meskipun jika ditarik-tarik dan dipaksakan ada saja yang mengklaim persamaannya.

Permasalahan yang sudah lama dan menjadi 'gunung es' dalam konteks magang ini adalah 'magang KTP', magang yang hanya sekedar memenuhi salah satu syarat administrasi pelantikan advokat. 

Bisa ditanyakan kepada ketua-ketua organisasi Advokat versi manapun, tentu kalau jujur, ia tidak akan bisa menampik. Bisa dibayangkan, seseorang yang didatangi calon klien dan setuju untuk membuatkannya semangkuk mie ayam akan tetapi tidak pernah mempunyai pengalaman empiris dalam membuat semangkuk mie ayam, atau pernah mempunyai pengalaman empiris membuat bakso, namun tentu saja yang dituntut dalam hal ini adalah pengalaman empirisnya dalam membuat semangkuk mie ayam. 

Magang adalah proses yang penting. Proses yang secara empiris bermaksud meningkatkan kapasitas dan kompetensi calon advokat dalam menjalankan profesinya kelak.

Pengangkatan & Pengambilan Sumpah

Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Advokat mengatur mengenai pengangkatan Advokat

"Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: warga negara Republik Indonesia, bertempat tinggal di Indonesia, tidak berstatus sebagai Pegawai Negeri atau Pejabat Negara; Berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun, berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat, magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat, tidak pernah dipindana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, dan berperilaku baik, jujur, bertanggungjawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi."

Syarat dimaksud tentu sedianya adalah hasil dari proses legislasi di DPR ketika mensyahkan Undang-undang Advokat, meskipun penulis tidak setuju seluruhnya atas syarat-syarat dimaksud, misalkan terkait diaturnya mengenai syarat umur minimal untuk diangkat menjadi advokat, bukan syarat maksimal umur yang dapat diangkat menjadi advokat. Namun hal ini selayaknya menjadi soal tersendiri.

Persoalan pengangkatan dan pengambilan sumpah advokat adalah titik krusial, karena banyak pihak yang memiliki minat dan kepentingan namun seringkali enggan mengumpulkan syarat-syaratnya dan kalah oleh rasa malas dalam menempuh proses-prosesnya. 

Ada korelasi yang kuat antara realitas 'multi bar' organisasi advokat saat ini dengan permasalahan pengangkatan dan pengambilan sumpah advokat. Laksana penjual kecap, semua organisasi advokat menyatakan dirinya nomor satu dan berhak menyelengarakan pengangkatan dan pengambilan sumpah advokat.

Penulis mempunyai pengalaman pahit terkait proses pengangkatan dan pengambilan sumpah advokat, dikarenakan setelah menapaki proses magang dua tahun berturut-turut tidak juga diangkat dan disumpah dikarenakan pada waktu itu selalu saja digagalkan oleh organisasi advokat lainnya, dan hal ini berlangsung dua tahun setelah waktu yang disyaratkan, sehingga kumulatif menjadi empat tahun menunggu pengangkatan dan pengambilan sumpah advokat.

Sebaliknya saat ini, proses pengangkatan dan penyumpahan advokat seolah memasuki musim semi, laksana bunga yang bermekaran, berbagai organisasi advokat berlomba-lomba menyelenggarakan pengangkatan dan pengambilan sumpah advokat. 

Tentunya dengan syarat dan ketentuan yang ditafsirkan pada masing-masing organisasi advokat. Berita baiknya adalah meningkatnya secara kuantitas jumlah calon advokat yang diangkat dan disumpah. 

Berita kurang baiknya adalah calon advokat yang diangkat dan disumpah secara kualitatif bisa dikatakan cenderung menurun. Tidak mengherankan jika kemudian hari dalam berpraktik ditemukan advokat-advokat yang kurang cakap dalam menjalankan profesinya, bahkan kerapkali hanya mengandalkan argumentasi pasal 'pokoknya' dan kedekatan personal dengan cara 'minta tolong'.

Bahkan membela klien dengan cara-cara melawan hukum, yang jauh sekali korelasinya dengan kompetensi yang seharusnya dibangun oleh seorang advokat.

Atas realita serta permasalahan-permasalahan yang ada dalam setiap tahapan pengangkatan dan penyumpahan advokat di atas, sepantasnya para advokat sendiri agar semakin mawas diri menyikapi cobaan yang timbul. 

Meskipun profesi yang satu ini telah dapat dilacak asal-usulnya pada zaman Romawi kuno, agaknya untuk konteks Indonesia ke depannya masih akan terus diuji oleh zaman guna membentuk jati diri profesinya.

________________

*Untuk mendukung platform Hukumindo, anda dapat melakukan donasi sebagaimana deskripsi pada link berikut ini.

Pilihan Upaya Hukum atas Polemik Pengangkatan Pjs Gubernur Jawa Barat

(iStock)

Oleh: 
Tim Hukumindo

Pengangkatan Mochamad Iriawan (Pangkat terakhir Komisaris Jenderal Polisi, dan Jabatan terakhir sejak 8 Maret 2018 sebagai Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional) sebagai Pjs. Gubernur Jawa Barat pada Senin Tanggal 18 Juni 2018 oleh Menteri Dalam Negeri Cahyo Kumolo dengan dasar hukum Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 106/P tahun 2018 Tanggal 8 Juni 2018, menuai pro dan kontra, terutama dalam bidang hukum.

Pemerintah berpendapat, pengangkatan dimaksud telah mengacu pada Pasal 201 ayat (10) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-undang, yang berbunyi: "Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat Penjabat Gubernur yang berasal dari Jabatan Pimpinan Tinggi Madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan", sehingga telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pihak-pihak yang kontra atas pengangkatan dimaksud, berpendapat bahwa, setidaknya ada tiga Undang-undang yang dilanggar, terutama adalah bahwa Pemerintah melakukan pelanggaran dengan menunjuk Perwira aktif Polri tanpa yang bersangkutan mengundurkan diri terlebih dahulu. 

Pelanggaran pertama, Pasal 28 ayat 3 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian mengatur bahwa anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar Kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas Kepolisian. 

Kedua, adalah Undang-undang Nomor 16 Tahun 2016 Tentang Pilkada, untuk mengisi kekosongan Jabatan Gubernur, maka diangkat pejabat Gubernur yang berasal dari jabatan pemimpin tinggi madya, namun berasal dari sipil. 

Terakhir adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), Pasal 20 ayat (3) diatur bahwa pengisian jabatan Aparatur Sipil Negara tertentu bisa berasal dari prajurit TNI atau Polri, namun hal ini hanya berlaku pada instansi Pusat, bukan Daerah, sedangkan Gubernur adalah pejabat Pemerintah Daerah. Beberapa suara lain yang kontra justru menariknya ke ranah yang spekulatif dengan mengaitkannya pada agenda Pilkada 2018 dan Pilpres 2019.  

Atas pro dan kontra sebagaimana dimaksud, tercatat setidaknya tiga upaya hukum yang dapat ditempuh dengan cara 'menguji', meskipun menurut hemat penulis, tidak semuanya adalah murni prosedur hukum. Pertama adalah hak angket di DPR. Kedua adalah Judicial Review ke Mahkamah Agung. Ketiga adalah Gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara.  

Hak Agket 

Hak Angket diantaranya diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945. Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat secara sederhana adalah kewenangan yang dimiliki institusi DPR untuk melakukan penyelidikan. Apa objek penyelidikan yang dimaksud di sini? Yaitu pelaksanaan suatu undang-undang yang dilakukan oleh Pemerintah (eksekutif) terkaih hal penting, strategis, serta berdampak luar bagi kehidupan rakyat.

Apa konsekwensi hukum dari Hak Angket? Dalam hal kemudian diputuskan dalam suatu sidang paripurna DPR bahwa Pemerintah (eksekutif) telah bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka DPR dapat menggunakan Hak Menyatakan Pendapat. Hak Menyatakan Pendapat DPR dapat diartikan secara sederhana sebagai hak dari para wakil rakyat untuk membeberkan fakta-fakta atas suatu penyelidikan yang telah dilakukannya.

Menurut hemat penulis, hal ini tidak menyentuh dan tentu saja tidak dapat menguji secara langsung Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 106/P tahun 2018 Tanggal 8 Juni 2018 sebagai dasar hukum pengangkatan Mochamad Iriawan sebagai Pjs. Gubernur Jawa Barat. Hak Angket lebih cenderung sebagai upaya politis namun tidak mempunyai kekuatan eksekutorial untuk mencabut produk hukum Keppres dimaksud.

Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi

Secara sederhana, judicial review berarti permohonan yang diajukan oleh warga negara atas materi suatu undang-undang terhadap Undang-undang Dasar (Konstitusi). Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi diantaranya diatur dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Sesuai dengan dalil dari Pemerintah terkait dengan Pengangkatan M. Iriawan di atas, maka dapat dilakukan judicial review atas Pasal 201 ayat (10) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar 1945. Terutama terkait frase "Jabatan Pimpinan Tinggi Madya".

Apa konsekwensi hukumnya? Tergantung dari isi putusan atas permohonan uji materiil yang diajukan. Namun, yang paling relevan adalah berharap Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir limitatif atas frase "Jabatan Pimpinan Tinggi Madya" pada Pasal 201 ayat (10) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-undang.

Jikalau memang ada yang mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas hal ini, maka dalam hal dikabulkan, terkait frase "Jabatan Pimpinan Tinggi Madya" dalam Pasal 201 ayat (10) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-undang, bisa saja Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir limitatif atas frase tersebut. Jika dikabulkan, maka secara surut, atas objek permohonan uji materiil ini tidak dapat lagi dijadikan dasar untuk mengangkat Perwira Tinggi Polri atau TNI sebagai Pjs. Gubernur.

Gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara

Gugatan dapat diartikan secara sederhana sebagai perselisihan. Perselisihan yang dimaksud di sini adalah perselisihan antara rakyat, termasuk badan hukum, melawan badan atau pejabat tata usaha negara (eksekutif), baik di daerah maupun di Pusat. Adapun yang menjadi objek perselisihan adalah keputusan tata usaha negara (KTUN).

Gugatan Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dengan Perubahan Pertama oleh Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, dan Perubahan Kedua oleh Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009.

Dalam hal pilihan upaya hukum yang diambil adalah gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara, maka yang menjadi objek gugatan adalah keputusan tata usaha negara yang diterbitkan oleh lembaga Presiden, yaitu Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 106/P tahun 2018 Tanggal 8 Juni 2018. 

Adapun batu ujian dari Keppres dimaksud adalah azas-azas umum pemerintahan yang baik (AAUPB), seperti azas kecermatan, azas pemberian alasan, azas kepastian hukum, larangan penyalahgunaan wewenang dan larangan bertindak sewenang-wenang. 

Perbedaan sederhana antara upaya hukum judicial review ke Mahkamah Konstitusi dengan gugatan ke peradilan tata usaha negara dalam perkara ini adalah gugatan ke peradilan tata usaha negara bersifat individual, yaitu hanya menguji terbatas pada pengangkatan M. Iriawan sebagai Pjs. Gubernur Jawa Barat berdasarkan pada Keppres Nomor 106/P tahun 2018.

Knowing Joint Venture Companies in FDI Indonesia

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Basic Requirements for Foreign Direct I...