Tim Hukumindo
Beberapa
penulis Belanda sering menyebutkan bidang kesalahan sebagai elemen subjektif
dari strafbaar feit. Disitu harus
diartikan strafbaar feit menurut
pengertian luas sebagai elemen subjektif dari strafbaar feit, karena yang paling utama menunjuk kepada pertanggungan
jawab dari si pembuat atas perbuatan pidana yang telah dilakukan. Orang
dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan pidana yang dilakukan, apabila
perbuatannya itu dapat dicela. Sifat celaan terhadap si pembuat sudah cukup
apabila dicela menurut hukum.[1]
Berikutnya
dikatakan pula bidang kesalahan sebagai elemen subjektif dari strafbaar feit oleh karena menunjuk pada
keadaan
si pembuat sebagai subjek dari perbuatan yang dilakukan menurut rumusan
delik, dan disebut dalam kalimat dengan kata netral “barang siapa”. Selanjutnya di dalam hal Kejahatan Buku II KUHP
biasanya kesalahan itu menunjuk tentang keadaan sikap batin si pembuat
sebagai kejiwaan yang terdapat di dalam rumusan delik, antara lain oleh pembentuk
undang-undang disebutkan mengenai kejahatan dengan sengaja atau dengan alpa.[2]
Konsekwensi
daripada pandangan bahwa kesalahan merupakan elemen subjektif dari strafbaar
feit, maka kesalahan itu mengandung segi psikologis dan segi
yuridis. Segi psikologis
merupakan dasar bagi segi yuridis, dimana segi yang pertama merupakan dasar
untuk mengadakan pencelaan yang harus ada terlebih dahulu, baru kemudian segi
yang kedua untuk dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.[3]
Tidak
mengherankan apabila ada ahli hukum pidana yang mengatakan bahwa titik berat “kesalahan”
merupakan suatu pengertian psikologis, akan tetapi konsepsi tentang kesalahan
dengan pengertian psikologis itu lambat laun dipikirkan kembali, karena sangat
sukar untuk menentukannya. Bagaimana manusia dapat mengetahui alam batin orang
yang melakukan perbuatan yang bersifat kriminil itu? Hanya Tuhanlah yang tahu.[4]
Titik
berat pengertian kesalahan itu tidak lagi terletak pada psyche orang yang berbuat itu sendiri, melainkan bagaimana keadaan psyche-nya orang itu ketika diberi nilai
orang lain.[5]
Segi
yuridis daripada kesalahan dapat dikatakan jika seseorang mempunyai kesalahan
karena sesuatu perbuatan yang dinyatakan sebagai perbuatan yang keliru dan
kepada si pembuat dapat diberikan celaan terhadap dirinya secara pribadi.
Ajaran tentang kesalahan yang demikian itu memberikan kesempatan untuk secara
subjektif mencela dan jika perlu menjatuhkan pidana terhadap suatu perbuatan
yang objektif sebagai perbuatan yang keliru karena melawan hukum. Jadi dari
segi yuridis tentang kesalahan menjadi jembatan bagi kita untuk memberikan
celaan yang dapat berupa pidana tertentu kepada orang yang melakukan perbuatan
sebagai pembuat dan terhadap suatu perbuatan yang keliru karena melawan hukum.[6]
Isi
kesalahan itu sendiri berupa celaan terhadap
si pembuat karena ia dapat menginsyafi
atas kekeliruannya, dan ia seharusnya memang dapat menghindarinya, terhadap perbuatan yang keliru karena melawan hukum sebagai dasarnya celaan
itu.[7]
Adakalanya
isi kesalahan tersebut di atas dapat disimpulkan mempunyai tiga bagian, yaitu: a).
Tentang kemampuan bertanggungjawab orang yang melakukan perbuatan. b). Tentang hubungan
batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatan yang berbentuk kesengajaan
atau kealpaan (dolus atau culpa). c). Tentang tidak adanya alasan
penghapus kesalahan/pemaaf (schuld ontbreekt).[8]
Hal
ini berarti pada tataran empiris, seorang terdakwa di dalam pemeriksaan sidang
Pengadilan akan dapat dinyatakan mempunyai kesalahan apabila menurut konstruksi
yuridis telah ternyata lebih dahulu melakukan perbuatan pidana dengan elemen
pokoknya bersifat melawan hukum, dan mempunyai kemampuan bertanggung jawab,
atau mempunyai bentuk kesengajaan/kealpaan, dan tidak adanya alasan pemaaf.[9]
Mengenai
kehendak manusia dalam melakukan perbuatan pidana dengan kesalahan, dipandang
dari sudut filosofis terdapat perbedaan paham. Persoalannya terletak pada
pertanyaan: apakah dari seorang manusia itu dapat mempunyai kehendak yang bebas
terhadap perbuatannya? Ajaran klasik mengutamakan kebebasan
individu, yang berarti menerima kebebasan kehendak dan oleh sebab itu segala
perbuatan manusia selalu ditentukan oleh kehendak yang bebas, dengan akibat
tiada suatu perbuatan pun yang dilakukan oleh manusia itu tidak
dipertanggungjawabkan/dipersalahkan kepadanya. Jawaban atas pertanyaan dimaksud
menurut paham Determinisme adalah bahwa dari seorang manusia tak dapat
diharapkan mempunyai kehendak yang bebas. Menurut cara berpikir dalam
determinisme akan sukar menemukan adanya pertanggungjawaban dalam hukum pidana.
Sebaliknya, indeterminisme berpendapat bahwa dari seorang manusia itu dapat
dikatakan mempunyai kehendak yang bebas, sekalipun sedikit atau banyak
dipengaruhi faktor-faktor dari dalam atau luar dirinya karena diharapkan dapat
menentukan kehendaknya.[10]
Ajaran
determinisme dan indeterminisme telah mencapai suatu kompromi menjadi teori
modern dan teori neodeterminisme. Teori modern mengikuti jalan tengah
yang pada dasarnya berpegang pada determinisme dan dalam beberapa hal kehendak
manusia itu ditentukan oleh beberapa faktor dari luar dan dalam dirinya, akan
tetapi tetap menerima kesalahan sebagai dasar untuk menjatuhkan celaan dalam
hukum pidana. Teori neodeterminisme mempunyai dasar alam pikiran dari determinisme
akan tetapi bukan berpegang pada faham bahwa “orang tidak bebas kehendaknya”, melainkan bahwa manusia itu adalah
anggota masyarakat yang harus menginsyafi perbuatannya dapat menimbulkan bahaya
bagi orang lain dan dasar inilah orang tersebut dapat dipertanggungjawabkan
dalam hukum pidana.[11]
Inti
mengenai kemampuan bertanggungjawab itu berupa keadaan jiwa/batin seseorang
yang sehat pada waktu melakukan perbuatan pidana. Di samping itu kemampuan
bertanggung jawab meliputi tiga hal, yaitu:[12]
- Tentang
keadaan jiwa/batin yang sakit;
- Tentang
keadaan jiwa/batin seseorang yang terlampau muda sehingga konstitusi psyche-nya
belum matang;
- Tentang
keadaan jiwa/batin yang organ batinya baik akan tetapi fungsinya mendapat
gangguan sehingga tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya.
_________________________________
|
1. “Asas-asas
Hukum Pidana”, Prof.
DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia,
Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 137.
2. Ibid.
Hal.: 137.
3. Ibid.
Hal.: 138.
4. Ibid.
Hal.: 138.
5. Ibid.
Hal.: 138.
6. Ibid.
Hal.: 139.
7. Ibid.
Hal.: 139.
8. Ibid.
Hal.: 141.
9. Ibid.
Hal.: 141.
10.
Ibid. Hal.: 142-143.
11.
Ibid. Hal.: 143.
12.
Ibid. Hal.: 143-144.