Jumat, 04 November 2022

Syafruddin Prawiranegara, Presiden Kedua R.I. Bergelar Sarjana Hukum

 
(wikipedia)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Indonesia Launches Second Home Visa", "Mr. Assaat, Presiden R.I. Dari Kalangan Advokat", "M. Assegaf: Membela Klien Tidak Pandang Bulu" dan "Barack Obama Dan Sekilas Karirnya Sebagai Pengacara", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Syafruddin Prawiranegara, Presiden Kedua R.I. Bergelar Sarjana Hukum'. Boleh dikatakan ada dua presiden Republik Indonesia yang bisa dikategorikan seringkali 'dilupakan' oleh sejarah, yaitu Mr. Assat dan Syafruddin Prawiranegara. Uniknya, keduanya adalah seorang yang berlatarbelakang sarjana hukum. Pada kesempatan terdahulu platform ini telah membahas Mr. Assat, dan pada kesempatan ini akan dibahas Syafruddin Prawiranegara.

Biografi Singkat

Syafruddin lahir di Anyer Kidul, Kabupaten Serang, Keresidenan Banten pada 28 Februari 1911. Ia memiliki darah keturunan Suku Banten dari pihak ayah dan Minangkabau dari pihak ibu. Ayahnya, Raden Arsyad Prawiraatmadja, awalnya bekerja sebagai jaksa di Serang, sebelum menjadi camat di Jawa Timur. Buyutnya dari pihak ibu, Sutan Alam Intan, masih keturunan Raja Pagaruyung di Sumatra Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat Perang Padri. Pada saat Syafruddin masih berusia satu tahun, ayah dan ibu kandungnya bercerai dan Syafruddin dibesarkan oleh ibu tiri. Syafruddin baru dikenalkan ke ibu kandungnya pada usia tujuh tahun.[1]

Syafruddin menempuh pendidikan Europeesche Lagere School (setara SD) di Serang pada 1925, dilanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (setara SMP) di Madiun pada 1928, dan Algemeene Middelbare School (setara SMA) di Bandung pada 1931. Setelah itu, ia masuk ke Rechtshoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta (sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia) dan meraih gelar Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Sarjana Hukum) pada 1939. Selama studinya, Syafruddin turut mendirikan perkumpulan mahasiswa Unitas Studiorum Indonesiensis yang apolitis dan didukung pemerintah Hindia Belanda sebagai alternatif dari Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia yang notabene bersifat radikal dan pro-kemerdekaan.[2]

Setelah lulus dari Rechtshoogeschool, Syafruddin bekerja menjadi redaktur di surat kabar Soeara Timur dan mengetuai Perserikatan Perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK) antara 1940 dan 1941. Selama masa awal kariernya, Syafruddin mulai menunjukkan sikap-sikap nasionalis, dan ia tidak setuju dengan tuntutan-tuntutan yang "moderat" (menuntut otonomi yang lebih di Indonesia) dalam Petisi Soetardjo tahun 1936. Belakangan, Syafruddin diterima kerja di kantor pajak di Kediri, sebagai ajudan inspektur pajak. Sebelum pendudukan Jepang, ia juga sempat mendirikan organisasi untuk menolong korban perang.[3] Dapat kita baca di sini bahwa meskipun beliau mempunyai gelar sarjana hukum, akan tetapi dikemudian hari karir politiknya lebih banyak berkutat di bidang keuangan.

Pemerintahan Darurat R.I.

Syafruddin Prawiranegara adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) ketika pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda saat Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948.[4]

Soekarno-Hatta  menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra. Ketika Belanda melakukan agresi militernya yang kedua di Indonesia pada tanggal 19 Desember 1949, Soekarno-Hatta sempat mengirimkan telegram yang berbunyi, "Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 6 pagi Belanda telah mulai serangannya atas Ibu-Kota Jogyakarta. Jika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan kewadjibannya lagi, kami menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra". Telegram tersebut tidak sampai ke Bukittinggi di karenakan sulitnya sistem komunikasi pada saat itu, namun ternyata pada saat bersamaan ketika mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki Ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari, Sjafruddin Prawiranegara segera mengambil inisiatif yang senada.[5]

Dalam rapat di sebuah rumah dekat Ngarai Sianok, Bukittinggi, 19 Desember 1948, ia mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat (emergency government). Gubernur Sumatra Mr. T.M. Hasan menyetujui usul itu "demi menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang berada dalam bahaya, artinya kekosongan kepala pemerintahan, yang menjadi syarat internasional untuk diakui sebagai negara". Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dijuluki "Penyelamat Republik". Dengan mengambil lokasi di suatu tempat di daerah Sumatera Barat, pemerintahan Republik Indonesia masih tetap eksis meskipun para pemimpin Indonesia seperti Soekarno-Hatta telah ditangkap Belanda di Yogyakarta.[6]

Sjafruddin Prawiranegara menjadi Ketua PDRI dan kabinetnya yang terdiri dari beberapa orang menteri. Meskipun istilah yang digunakan waktu itu "ketua", namun kedudukannya sama dengan presiden. Sjafruddin menyerahkan mandatnya kemudian kepada Presiden Soekarno pada tanggal 13 Juli 1949 di Yogyakarta. Dengan demikian, berakhirlah riwayat PDRI yang selama kurang lebih delapan bulan melanjutkan eksistensi Republik Indonesia sebagai negara bangsa yang sedang mempertaankan kemerdekaan dari agresor Belanda yang ingin kembali berkuasa.[7]

Setelah menyerahkan mandatnya kembali kepada presiden Soekarno, Sjafruddin Prawiranegara tetap terlibat dalam pemerintahan dengan menjadi menteri keuangan. Pada Maret 1950, selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, ia melaksanakan pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan Gunting Syafruddin.[8] 
____________________
References:

1. "Syafruddin Prawiranegara", id.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 4 November 2022, https://id.wikipedia.org/wiki/Syafruddin_Prawiranegara
2. Ibid.
3. Ibid.
4. "Syafrudin Prawiranegara, Presiden yang Terlupakan", bakesbangpoldagri.lomboktimurkab.go.id, Diakses pada tanggal 4 November 2022, https://bakesbangpoldagri.lomboktimurkab.go.id/baca-berita-201-syafrudin-prawiranegara-presiden-yang-terlupakan.html
5. Ibid.
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TEOFL Requirements for Civil Servant Candidate Tests Challenged to the Indonesia Constitutional Court

( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Massachusetts Court Jurisprudence: Wedding...