Rabu, 30 September 2020

Esensi Tindakan Penyitaan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Pengertian dan Tujuan Penyitaan" dan pada kesempatan ini, masih dalam label praktik hukum, akan dibahas mengenai Esensi Tindakan Penyitaan.

Setelah memperhatikan pengertian penyitaan sebagaimana dimaksud dalam artikel sebelumnya, dapat dikemukakan beberapa esensi sebagai landasan penerapan penyitaan yang perlu diperhatikan.[1] Adapun esensi-esensi yang dimaksud akan diterangkan sebagai berikut.
  1. Sita merupakan tindakan eksepsional, dengan kata lain penyitaan termasuk salah satu acara mengadili yang bersifat istimewa, hal ini dikarenakan: a). Penyitaan memaksakan kebenaran Gugatan; b). Penyitaan membenarkan Putusan yang belum dijatuhkan;[2]
  2. Sita merupakan tindakan perampasan, jika ditinjau dari segi HAM, penyitaan tidak berbeda dengan perampasan harta kekayaan Tergugat. Padahal salah satu hak asasi yang paling mendasar adalah mempunyai hak milik, dan pada prinsipnya seseorang tidak boleh dirampas hak miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum. Akan tetapi, meskipun hak itu bersifat universal, tindakan perampasan itu dijustifikasi hukum acara, sehingga tindakan itu sah secara hukum. Perlu pertimbangan yang seksama dan objektif terkait pengabulan permintaan sita;[3]
  3. Penyitaan berdampak psikologis, dikarenakan pelaksanaannya dilakukan di tengah-tengah masyarakat, disaksikan oleh dua saksi dari Kepala Desa namun boleh juga ditonton masyarakat luas, secara administratif penyitaan barang tertentu harus diumumkan dengan cara mendaftarkannya di buku register kantor yang bersangkutan agar terpenuhi asas publisitas. Oleh karena itu penyitaan sangat berdampak psikologis berupa merugikan nama baik seseorang apalagi sebagai pelaku bisnis;[4]
  4. Tujuan penyitaan, adapun tujuan penyitaan adalah: a). Agar gugatan tidak ilusoir, artinya tidak dipindahkan kepada orang lain melalui jual-beli atau penghibahan, dan sebagainya serta tidak dibebani dengan sewa-menyewa atau diagunkan kepada pihak ketiga; b). Objek eksekusi sudah pasti, pada saat permohonan sita diajukan, Penggugat harus menjelaskan dan menunjukan identitas barang yang hendak disita. Menjelaskan letak, jenis, ukuran, dan batas-batasnya. Artinya sejak semula sudah diketahui dan dipastikan objek barang yang disita.[5]
_______________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 282-284.
2. Ibid. Hal.: 284.
3. Ibid. Hal.: 284-285.
4. Ibid. Hal.: 285-287.

Selasa, 29 September 2020

Pengertian dan Tujuan Penyitaan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Platform Hukumindo.com sebelumnya telah membahas mengenai 3 Kekuatan Hukum Penetapan Akta Perdamaian, sampai di situ selesai dibahas mengenai Mediasi dan Perdamaian. Selanjutnya kita akan beranjak ke bab berikutnya terkait dengan Penyitaan. Pada kesempatan ini, terlebih dahulu akan dibahas mengenai Pengertian dan Tujuan Penyitaan.

Penyitaan berasal dari terminologi beslag (Belanda), dan istilah Indonesia beslah, tetapi istilah bakunya ialah sita atau penyitaan. Dapat penulis tambahkan di sini terdapat transliterasi dari istilah beslag menjadi beslah. Pengertian yang terkandung di dalamnya ialah:[1]
  • Tindakan menempatkan harta kekayaan Tergugat secara paksa berada ke dalam keadaan penjagaan (to take into custody the property of a defendant);
  • Tindakan paksa penjagaan (custody) itu dilakukan secara resmi (official) berdasarkan perintah Pengadilan atau Hakim;
  • Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang disengketakan, tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat pembayaran atas pelunasan utang Debitur atau Tergugat, dengan jalan menjual lelang (executorial verkoop) barang yang disita tersebut;
  • Penetapan dan penjagaan barang yang disita, berlangsung selama proses pemeriksaan, sampai ada putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap, yang menyatakan sah atau tidak tindakan Penyitaan itu.
Berdasarkan uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan penyitaan adalah sebuah tindakan dari aparat penegak hukum, dalam hal ini Pengadilan melalui Juru Sita nantinya, guna melakukan penempatan secara paksa atas harta dari Tergugat atas nama hukum yang kemudian dijadikan pembayaran pelunasan hutang dari debitur atau Tergugat secara lelang.
________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Cetakan ke-10 tahun 2010,  Hal.: 282.

Senin, 28 September 2020

Maria Ulfah, Sarjana Hukum Perempuan Pertama Indonesia

(id.Wikipedia.org)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya pada label tokoh hukum, platform Hukumindo.com telah membahas Baharuddin Lopa, Jaksa Agung Jujur dan Sederhana. Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai upaya memperkenalkan salah satu tokoh hukum perempuan, yaitu Maria Ulfah.

Orang Tua & Masa Kecil

Mr. Hajjah Raden Ayu Maria Ulfah atau Maria Ulfah Santoso atau Maria Ulfah Soebadio Sastrosatomo lahir di Serang, Banten, 18 Agustus 1911 dan meninggal di Jakarta, 15 April 1988 pada umur 76 tahun. Dikenal sebagai Maria Ulfah Santoso adalah salah satu mantan Menteri Sosial pada Kabinet Sjahrir II. Nama Santoso diambil dari nama suami pertama dan nama Soebadio Sastrosatomo diambil dari nama suami kedua setelah suami pertama meninggal dunia.[1]

Maria Ulfah lahir dari pasangan Raden Mochammad Achmad dan Raden Ayu Chadidjah Djajadiningrat yakni saudara dari Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat dan Achmad Djajadiningrat. Mochammad Achmad adalah seorang dari beberapa saja orang Indonesia yang pada awal abad ke 20 selesai menempuh pendidikan di HBS (setingkat SMA). Mochammad Achmad kemudian menjabat sebagai Bupati Kuningan.[2]

Ia lahir di Serang, Banten pada 18 Agustus 1911. Ayahnya merupakan seorang Bupati Kuningan, yang sebelumnya sempat bertugas sebagai amtenar di beberapa wilayah. Ibu kandungnya merupakan anak kelima dari Raden Bagoes Djajawinata, Wedana Karamatwatu dan Bupati Serang. Masa kecilnya lebih sering dihabiskan di kota kelahirannya, Serang. Maria memasuki sekolah dasar di Rangkasbitung. Tak lama tinggal di sana, ayahnya dipindah ke Batavia, Maria pun ikut pindah ke Batavia.[3]

Pendidikan Tinggi & Dunia Pergerakan

Pada 1929 Ayah Maria, Mohammad Achmad, memperoleh kesempatan untuk belajar perkoperasian di Denhaag Belanda. Ia pun turut serta membawa ketiga anaknya. Kebetulan saat itu tiba waktunya bagi Maria untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Berbekal izin ayah, Maria pun memilih untuk mendaftar di Fakultas Hukum Universiteit Leiden. Ia pun dapat disebut menjadi sarjana hukum perempuan pertama dari Indonesia.[4]

Aktivitasnya dalam dunia politik dimulai tatkala ia bertemu Sjahrir, seorang tokoh sosialis terkemuka yang kelak menjadi perdana menteri. Melalui pertemuannya dengan Sjahrir, Maria mulai mengenal kalangan sosialis Belanda dan diajak ke pertemuan-pertemuan kaum sosialis di sana. Saat kembali ke Indonesia, seperti yang tertulis dalam Historia, Maria mengajar di Perguruan Rakyat dan Perguruan Muhammadiyah. Bahkan ia mampu mengampiu tiga mata pelajaran sekaligus yakni sejarah, tatanegara, dan bahasa Jerman. Sembari mengajar, Maria pun turut menceburkan dirinya ke dalam aktivitas gerakan perempuan.[5]

Jabatan dan Sumbangsih Perjuangan

Disebut pula bahwa Maria merupakan salah satu pendiri organisiasi Isteri Indonesia. Organisasi ini menerbitkan majalah bulanannya sendiri. Ia pun menjadi salah satu kolumnis tetap di majalah tersebut dan sering mencurahkan pikiran juga ide-idenya tentang gerakan perempuan di Indonesia. Maria merupakan satu dari segelintir tokoh perempuan yang memperjuangkan adanya Undang-Undang Pernikahan. Perdebatan tersebut dimulai sejak Kongres Perempuan Indonesia kedua di Batavia pada 20-24 Juli 1935. Dia mengajak gerakan perempuan memikirkan formulasi peraturan untuk melindungi perempuan dari penyalahgunaan hukum agama demi kepentingan sepihak kaum lelaki.[6]

Lebih lagi Maria turut ikut mengusulkan pencantuman pasal kesetaraan warga negara di hadapan hukum, sebagaimana tercantum dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945. Usulan tersebut ia sampaikan kepada Moh. Hatta dalam kapasitasnya sebagai seorang anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Di masa kemerdekaan, Sjahrir memintanya untuk menjadi menteri sosial. Kiprah Maria sebagai seorang menteri pun tak perlu diragukan. Ia mampu menunjukkan pada dunia bahwa bangsa ini punya seorang menteri perempuan yang bahkan di Eropa pun belum lazim saat itu.[7]

Tak hanya urusan politik saja. Pada 1950-1961 Maria pernah menjadi Ketua Panitia Sensor Film Indonesia. Bahkan di masa senjanya ia masih aktif menjadi Ketua Yayasan Rukun Istri yang kegiatan tetapnya mengelola panti asuhan Putra Setia di Kramat Sentiong, Jakarta Pusat. Maria juga pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung periode 1968-1973.[8]

Tidak banyak catatan dari penulis, jujur saja penulis juga baru mengetahui salah satu tokoh perempuan ini sebagai orang pribumi yang meraih gelar sarjana hukum pertama. Setelah penulis baca, ternyata beliau bisa dikatakan lebih dekat sebagai seorang politisi daripada orang yang berkarir di bidang hukum secara profesional ataupun aparat negara. Namun demikian, sumbangan perjuangannya yang patut dicatat adalah memperjuangkan adanya Undang-Undang Pernikahan yang isinya adalah menentang poligami. Ia juga turut mengusulkan pencantuman pasal kesetaraan warga negara di hadapan hukum, sebagaimana tercantum dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945. Pada umumnya perjuangan beliau adalah memperjuangkan hak-hak perempuan pada ranah hukum.

Referensi:
________

1. "Maria Ulfah Santoso", id.Wikipedia.org., diakses pada 26 September 2020, https://id.wikipedia.org/wiki/Maria_Ulfah_Santoso

2. "Mengenal Maria Ulfah, Advokat Bagi Kaum Perempuan yang Juga Menteri Sosial Pertama RI", goodnewsfromindonesia.id., Aninditya Ardhana Riswari, 24 Agustus 2018, diakses pada 26 September 2020, https://www.goodnewsfromindonesia.id/2018/08/24/mengenal-maria-ulfah-advokat-bagi-kaum-perempuan-yang-juga-menteri-sosial-pertama-ri

3. Ibid.

4. Ibid.

5. Ibid.

6. Ibid.

7. Ibid.

8. Ibid.

Sabtu, 26 September 2020

3 Kekuatan Hukum Penetapan Akta Perdamaian

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada label praktik hukum, sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai Putusan Perdamaian Yang Bertentangan dengan Undang-undang dapat Dibatalkan. Selanjutnya, yaitu pada kesempatan ini akan membahas mengenai 3 Kekuatan Hukum Penetapan Akta Perdamaian.

Kekuatan hukum apa saja yang melekat pada Putusan atau Penetapan Akta Perdamaian? Hal ini diatur dalam Pasal 1858 KUHPerdata dan Pasal 130 ayat (2) dan (3) HIR.[1]

Pada dasarnya ada tiga kekuatan hukum dalam suatu penetapan akta perdamaian, diuraikan sebagaimana berikut:
  1. Disamakan Kekuatannya dengan Putusan yang Berkekuatan Hukum Tetap, menurut Pasal 1858 ayat (1) KUHPerdata, perdamaian di antara pihak, sama kekuatannya seperti putusan hakim yang penghabisan. Hal inipun ditegaskan pada kalimat terakhir Pasal 130 ayat (2) HIR, bahwa putusan akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sifat kekuatan yang demikian merupakan penyimpangan dari ketentuan konvensional. Secara umum suatu putusan baru memiliki kekuatan hukum tetap, apabila terhadapnya sudah tertutup upaya hukum.[2]
  2. Mempunyai Kekuatan Eksekutorial, penegasan ini disebut dalam Pasal 130 ayat (2) HIR. Kalimat terakhir Pasal tersebut menegaskan, bahwa putusan akta perdamaian: a). Berkekuatan sebagai putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan b). Juga berkekuatan eksekutorial (executorial kracht) sebagaimana halnya putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Hal ini berarti apabila salah satu pihak tidak menaati atau melaksanakan pemenuhan yang ditentukan dalam perjanjian secara sukarela, maka ia dapat dimintakan eksekusi kepada Pengadilan Negeri, dan atas permintaan itu, Ketua Pengadilan Negeri menjalankan eksekusi sesuai dengan ketentuan Pasal 195 HIR.[3]
  3. Putusan Akta Perdamaian Tidak Dapat Dibanding, hal ini ditegaskan dalam Pasal 130 ayat (3) HIR. Putusan akta perdamaian, tidak dapat dibanding. Dengan kata lain, terhadap putusan tersebut tertutup upaya hukum banding dan kasasi. Larangan itu sejalan dengan ketentuan yang mempersamakan kekuatannya sebagai putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Hal itupun ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1038 K/Sip/1973, bahwa terhadap Putusan Perdamaian tidak mungkin diajukan permohonan Banding. Dijelaskan kenapa tidak dapat dibanding, karena sesuai ketentuan Pasal 154 RBg/ 130 HIR, putusan Perdamaian atau acte van vergelijk, merupakan suatu Putusan yang tertinggi, tidak ada upaya banding dan kasasi terhadapnya.[4]
Dengan kata lain, 3 kekuatan hukum Penetapan Akta Perdamaian adalah inkraht, executable, dan tidak dapat dilakukan upaya hukum. Case closed.
____________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Ke-10 Tahun 2010, Hal.: 279.
2. Ibid. Hal.: 279.
3. Ibid. Hal.: 280.
4. Ibid. Hal.: 280-281.

Jumat, 25 September 2020

Putusan Perdamaian Yang Bertentangan Dengan Undang-Undang Dapat Dibatalkan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai 4 Syarat Formil Putusan Perdamaian, dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Putusan Perdamaian yang Bertentangan dengan Undang-undang dapat Dibatalkan.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, penetapan akta perdamaian dibuat oleh Hakim bertitik tolak dari hasil kesepakatan para pihak yang berperkara. Oleh karena kesepakatan itu merupakan produk persetujuan para pihak yang digariskan Pasal 1320 KUHPerdata, maka terhadapnya berlaku ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata yang melarang persetujuan mengandung kuasa yang haram, yaitu persetujuan tidak boleh melanggar atau bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan yang baik dan ketertiban umum. Akibat lebih lanjut larangan ini dikaitkan dengan akta perdamaian, hakim tidak dibenarkan mengukuhkan kesepakatan dalam bentuk penetapan akta perdamaian yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.[1]

Bahkan larangan itu secara khusus diatur secara rinci dalam pasal-pasal berikut:[2]
  1. Pasal 1859 ayat (1) KUHPerdata, pasal ini melarang persetujuan perdamaian yang mengandung kekhilafan, mengenai orangnya, atau mengenai pokok perselisihan;
  2. Pasal 1859 ayat (2) KUHPerdata, persetujuan perdamaian tidak boleh dilakukan dengan cara penipuan dan pemaksaan;
  3. Pasal 1860 KUHPerdata, penetapan akta perdamaian yang bersumber dari persetujuan yang mengandung kesalahpahaman tentang duduk perkara, mengenai alas hak yang batal, bertentangan dengan Pasal 1860 KUHPerdata, terhadap hal dimaksud dapat dibatalkan;
  4. Pasal 1861 KUHPerdata, persetujuan perdamaian yang diadakan berdasarkan surat-surat yang kemudian dinyatakan palsu dianggap mengandung cacat materiil, oleh karena itu dianggap tidak sah dan batal demi hukum;
  5. Pasal 1862 KUHPerdata, suatu persetujuan mengenai sengketa yang sudah berakhir berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap (res judicata), namun hal itu tidak disadari para pihak atau salah satu pihak mengakibatkan persetujuan itu batal. Oleh karena itu, penetapan akta perdamaian yang bersumber dari persetujuan yang demikian dapat diajukan pembatalan.
Dari penjelasan di atas, putusan akta perdamaian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum yang digariskan Pasal 1337 KUHPerdata. Begitu pula halnya, putusan itu tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Pasal 1859, 1860, 1861 dan 1862 KUHPerdata. Apabila putusan tersebut mengandung salah satu cacat yang disebut dalam pasal-pasal dimaksud, dapat dijadikan alasan untuk menuntut pembatalan terhadapnya.[3]   
____________
Referensi:
1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Ke-10 Tahun 2010, Hal.: 277.
2. Ibid. Hal.: 277-279.
3. Ibid. Hal.: 279.

Kamis, 24 September 2020

Waktu Tunggu Bagi Perempuan Muslim Setelah Perceraian

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya dalam label sudut pandang hukum, platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Aspek Pidana Tidak Melaksanakan Putusan PHI", dan pada kesempatan ini akan dibahas Mengenal 4 Ketentuan Waktu Tunggu (iddah) Dalam KHI.

Baru-baru ini, Penulis yang berprofesi sebagai advokat praktik, ditanya oleh salah satu klien perempuan yang perkara perceraiannya telah selesai, mengenai berapa lama masa tunggu baginya untuk dapat menikah kembali, dan dihitung sejak kapan? Berkaitan dengan hal itu, artikel ini bertujuan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan dimaksud.

Hukum Islam sebagaimana Peraturan Pemerintah R.I. Nomor: 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mengatur mengenai waktu tunggu atau iddah. Tepatnya, diatur dalam Bab VII mengenai Waktu Tunggu, yaitu Pasal 39  yang bunyinya sebagai berikut:
"(1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-undang ditentukan sebagai berikut: a). Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari; b). Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;  c). Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan;

(2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin;

(3) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami."

Jika memperhatikan ketentuan di atas, serta dikaitkan dengan pertanyaan yaitu berapa lama masa tunggu bagi seorang perempuan muslim untuk dapat menikah kembali, dan dihitung sejak kapan? Perlu ditambahkan di sini, perempuan muslim dimaksud adalah telah selesai mengajukan gugatan cerai di salah satu Pengadilan dan putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan demikian, jika dikaitkan dengan ketentuan di atas, baginya berlaku ketentuan bahwa dalam hal perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) har, selain itu perhitungan mengenai kapan dimulainya waktu tunggu dimaksud adalah bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. 

Perlu diperhatikan bahwa dalam hal putusanya perkawinan akibat perceraian, masa tunggu dihitung sejak putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (in kraht van gewijsde), bukan dihitung sejak putusnya perkara pada Pengadilan tingkat pertama. Hal ini berarti, bisa saja salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak puas dengan putusan Pengadilan tingkat pertama dan mengajukan upaya hukum lanjutan seperti Banding atau Kasasi.

________________
Referensi:

1. Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
2. Peraturan Pemerintah R.I. Nomor: 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.


Amount of Authorized Capital of Foreign Investment Companies in Indonesia

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Three Ways to Conduct FDI in Indonesia ...