Jumat, 24 Mei 2019

Cicero, Pengacara Zaman Romawi & Warisan Hukum Alam

(fee.org)

Oleh:
Tim Hukumindo


Membuat artikel tentang Cicero dan pemikiran hukumnya bukan pekerjaan mudah. Dikenang karena kemasyhurannya sebagai pengacara pada zaman Romawi, pengaruh Cicero terkait hukum masih dirasakan hingga saat ini. Khususnya sebagai salah satu pemikir aliran hukum alam. Dengan keterbatasan sumber langsung, maupun kendala bahasa dan mileu hukum dan masyarakat yang berbeda jauh dengan saat ini, menjadikan tugas ini makin berat. Akan tetapi, penulis mempunyai niat baik untuk mengisi kekosongan artikel hukum tentang Cicero, khususnya yang berbahasa Indonesia. Atau setidaknya usaha penulis menterjemahkan sumber-sumber hukum terkait tentang Cicero dan pemikiran hukumnya kemudian merangkumnya ke dalam suatu tulisan ringan di sini dapat menjadi semacam penawar dahaga intelektual tersebut.  

Sejarah Singkat Cicero

Marcus Tullius Cicero, nama panggilan bahasa Inggris Tully, (lahir 106 SM, Arpinum, Latium [sekarang Arpino, Italia] — meninggal 7 Desember, 43 SM, Formiae, Latium [sekarang Formia]), negarawan Romawi, pengacara, sarjana, dan penulis yang mencoba menegakkan prinsip-prinsip republik dalam perang saudara terakhir yang menghancurkan Republik Romawi. Tulisannya termasuk buku-buku retorika, orasi, risalah filosofis dan politik, dan surat-surat. Dia dikenang di zaman modern sebagai orator Romawi terbesar dan inovator dari apa yang kemudian dikenal sebagai retorika Ciceronian.[1]

Cicero adalah putra dari keluarga kaya Arpinium. Mengenyam pendidikan di Roma dan Yunani, ia melakukan dinas militer di bawah pimpinan Pompeius Strabo (bapak negarawan dan jenderal Pompey) dan tampil pertama kali di pengadilan membela Publius Quinctius pada tahun 81. Sebagai Praetor (seorang pejabat kehakiman yang sangat berkuasa saat itu), pada usia 66 tahun ia membuat pidato politik penting pertamanya, melawan Quintus Lutatius Catulus dan memimpin Optimates (elemen konservatif di Senat Romawi). Ia berbicara untuk berunding di Pompey melawan Mithradates VI, raja Pontus (di Anatolia timur laut). Hubungannya dengan Pompey, menjadi titik fokus karirnya di dunia politik. Pemilihannya sebagai Konsul dicapai melalui Optimates yang takut dengan ide-ide revolusioner dari saingannya, Catiline.[2]


Dalam pidato konsulernya yang pertama, ia menentang undang-undang agraria Servilius Rullus, demi kepentingan Pompey yang absen, tetapi perhatian utamanya adalah untuk menemukan dan mengumumkan niat hasrat Catiline, yang dikalahkan sebelumnya muncul lagi pada pemilihan wilayah konsuler di 63 di mana Cicero memimpin. Catiline kalah dan berencana untuk melakukan pemberontakan bersenjata di Italia dan pembakaran di Roma. Cicero mengalami kesulitan dalam membujuk Senat akan bahaya, tetapi "keputusan terakhir" (Senatus Consultum ultimum), sesuatu seperti proklamasi darurat militer, disahkan pada 22 Oktober. Pada 8 November, setelah lolos dari upaya hidupnya, Cicero menyampaikan pidato pertama melawan Catiline di Senat, dan Catiline meninggalkan Roma malam itu. Ini adalah puncak dari karir politiknya.[3]

Karir Sebagai Pengacara

Cicero ingin mengejar karir publik di bidang politik di sepanjang tangga kehormatan Cursus. Pada 90-88 SM, ia melayani Pompeius Strabo dan Lucius Cornelius Sulla ketika mereka berkampanye dalam Perang Sosial. Cicero tidak memiliki selera untuk kehidupan militer, minatnya ada pada bidang intelektual.[4]

Cicero memulai karirnya sebagai pengacara sekitar 83-81 SM. Pidato pertama yang masih ada adalah kasus pribadi dari 81 SM (pro Quinctio), disampaikan ketika Cicero berusia 26. Kasus publik besar pertamanya, di mana catatan tertulis masih ada, adalah pembelaannya pada 80 SM atas nama Sextus Roscius. Mengambil kasus ini adalah langkah berani bagi Cicero. Orang-orang yang dituduh Cicero atas pembunuhan itu, yang paling terkenal adalah Chrysogonus, mempunyai kedekatan dengan diktator Sulla. Pada saat itu akan mudah bagi Sulla untuk membunuh Cicero yang tidak dikenal. Pembelaan Cicero atas kasus tersebut adalah tantangan tidak langsung bagi diktator Sulla, dan atas pembelaan dalam kasus tersebut, Roscius dibebaskan. [5]

Kasus Cicero dalam Pro Roscio Amerino dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama merinci dengan tepat muatan yang dibawa oleh Ericius. Cicero menjelaskan bagaimana seorang anak lelaki pedesaan dari seorang petani, yang hidup dari kesenangan tanahnya sendiri, tidak akan memperoleh apa pun dari melakukan pembunuhan karena ia pada akhirnya akan mewarisi tanah ayahnya. Bagian kedua menyangkut keberanian dan keserakahan dua penuduh, Magnus dan Capito. Cicero mengatakan kepada juri bahwa mereka lebih mungkin menjadi pelaku pembunuhan karena keduanya serakah, baik karena bersekongkol melawan sesama kerabat dan, khususnya, Magnus, karena keberaniannya dan karena tidak malu-malu muncul di pengadilan untuk mendukung tuduhan palsu. Bagian ketiga menjelaskan bahwa Chrysogonus memiliki kekuatan politik yang sangat besar, dan tuduhan itu berhasil dibuat karena kekuatan itu. Meskipun Chrysogonus mungkin tidak seperti yang dikatakan Cicero tentang dirinya, melalui retorika Cicero berhasil membuatnya tampak seperti orang asing yang dibebaskan yang makmur dengan cara licik setelah perang saudara. Cicero menduga bahwa itu menunjukkan orang seperti apa dia dan bahwa sesuatu seperti pembunuhan tidak ada di bawahnya.[6]

Buku De Legibus

De Legibus (‘On the Laws’) adalah dialog yang ditulis oleh Marcus Tullius Cicero selama tahun-tahun terakhir Republik Romawi. Itu memiliki nama yang sama dengan dialog terkenal Plato, The Laws. Tidak seperti karyanya sebelumnya de de publica, di mana Cicero merasa terdorong untuk mengatur aksi di zaman Scipio Africanus Minor, Cicero menulis karya ini sebagai dialog fiksi antara dirinya, saudaranya Quintus dan teman bersama mereka Titus Pomponius Atticus. Dialog dimulai dengan ketiganya berjalan santai melalui tanah keluarga Cicero di Arpinum dan mereka mulai membahas bagaimana hukum seharusnya. Cicero menggunakan ini sebagai platform untuk menguraikan teori-teorinya tentang hukum alam tentang harmoni di antara kelas-kelas.[7]

Tiga buku yang tersisa (dari enam yang diperkirakan), secara berurutan, menguraikan tentang kepercayaan Cicero dalam Hukum Alam, menyusun kembali hukum-hukum agama Roma (pada kenyataannya merupakan kemunduran terhadap hukum-hukum agama di bawah raja Numa Pompilius) dan akhirnya berbicara tentang usulan reformasinya terhadap Konstitusi Romawi.[8]

Buku Kesatu

Buku itu dibuka dengan Cicero, Quintus, dan Atticus berjalan melalui rimbun yang teduh di perkebunan Arpinum di Cicero, ketika itu terjadi di sebuah pohon oak tua yang dihubungkan oleh legenda dengan jenderal dan konsul Gaius Marius, yang juga merupakan penduduk asli Arpinum. Atticus mempertanyakan apakah itu masih ada atau tidak, yang dijawab Quintus bahwa selama orang mengingat tempat dan hubungan yang terkait dengannya, pohon itu akan tetap ada terlepas dari keberadaan fisiknya. Ini membawa ketiganya ke dalam diskusi tentang batas keropos antara fakta dan dongeng dalam tulisan sejarawan hari itu. Cicero membiarkan itu bahkan di zaman mereka, banyak kisah raja-raja Romawi, seperti Numa Pompilius bercakap-cakap dengan kepala terpenggal istrinya Egeria, dianggap sebagai dongeng atau perumpamaan daripada sebagai insiden aktual yang terjadi.[9]

Atticus mengambil kesempatan untuk mendorong Cicero untuk memulai karya yang dijanjikan tentang sejarah Romawi dan menyanjungnya dengan menunjukkan bahwa bagaimanapun juga, Cicero mungkin menjadi salah satu lebih banyak pria berkualifikasi di Roma untuk melakukannya, mengingat banyak kekurangan para sejarawan Romawi pada zaman itu. Cicero memohon, menyebutkan bahwa ia memiliki tangannya yang penuh dengan mempelajari hukum sebagai persiapan untuk kasus-kasus. Ini membawa kita pada isi buku ini, sebuah eksposisi mata air hukum. Atticus, sebagai pengalih perhatian, meminta Cicero untuk menggunakan sebagian dari pengetahuannya untuk digunakan saat itu juga dan memberi mereka diskusi tentang hukum saat mereka berjalan melintasi tanah miliknya.[10]

Bagi Cicero, hukum bukanlah masalah ketetapan tertulis, dan daftar peraturan, tetapi masalah yang sudah tertanam dalam jiwa manusia, sesuatu yang merupakan bagian integral dari pengalaman manusia. Adapun alasan berlakunya hukum adalah sebagai berikut:[11]

  • Manusia diciptakan oleh kekuatan atau kekuatan yang lebih tinggi (dan demi argumen, Cicero memiliki Epicurean Atticus mengakui titik bahwa kekuatan yang lebih tinggi ini terlibat dengan urusan kemanusiaan).
  • Kekuatan yang lebih tinggi yang menciptakan alam semesta ini, karena alasan-alasan yang diketahui oleh dirinya sendiri, memberikan manusia dengan sedikit keilahiannya sendiri, memberi umat manusia kekuatan bicara, nalar, dan pikiran.
  • Karena percikan ketuhanan di dalam manusia, mereka pasti berhubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi dalam beberapa cara.
  • Karena manusia berbagi nalar dengan kekuatan yang lebih tinggi, dan karena daya yang lebih tinggi ini dianggap baik, maka manusia, ketika menggunakan akal dengan benar, juga akan baik hati.


Alasan inilah yang dianggap Cicero sebagai hukum. Baginya, hukum adalah apa pun yang mempromosikan kebaikan dan melarang kejahatan. Yang menghalangi kita untuk menegakkan ini sepenuhnya adalah kegagalan manusiawi kita, hasrat kita untuk kesenangan, kekayaan, status, hal-hal sepele lainnya di luar kebajikan dan kehormatan.[12] Pandangan-pandangan Cicero tentang hukum ini adalah mencerminkan dirinya sebagai salah satu tokoh hukum alam.

Buku Kedua

Buku kedua dimulai dengan Cicero menganut keyakinannya pada Hukum Alam. Pesta itu telah sampai di sebuah pulau di sungai Fibrenius di mana mereka duduk dan bersantai dan melanjutkan diskusi mereka. Ketika buku ini dimulai, Cicero dan Atticus berdebat tentang apakah seseorang dapat memegang patriotisme untuk negara yang lebih besar dan wilayah di mana seseorang berasal dari: yaitu, dapatkah seseorang mencintai Roma dan Arpinum pada saat yang sama? Cicero berpendapat bahwa tidak hanya bisa satu, tetapi itu alami. Cicero menggunakan contoh Cato the Elder, yang pada saat kelahirannya di Tusculum adalah warga negara Romawi, tetapi bisa, tanpa kemunafikan, juga menyebut dirinya seorang Tuscan. Namun, Cicero juga membuat perbedaan penting bahwa tempat kelahiran seseorang harus mengambil subordinasi ke tanah kewarganegaraan seseorang — bahwa ada kewajiban di mana seseorang berutang dan yang harus, jika perlu, memberikan nyawanya.[13]

Setelah ketiganya mencapai pulau itu, Cicero meluncurkan pemeriksaan hukum. Dia mulai dengan mengatakan bahwa hukum tidak, dan tidak bisa, dimulai dengan manusia. Manusia, baginya, adalah instrumen kebijaksanaan yang lebih tinggi yang mengatur seluruh bumi dan memiliki kekuatan, melalui moralitas bersama, untuk memerintahkan yang baik atau yang melarang kejahatan. Cicero juga membuat perbedaan dalam bagian ini antara legalisme (hukum tertulis aktual) dan hukum (benar dan salah sebagaimana didiktekan oleh kebijaksanaan abadi). Bagi Cicero, hukum manusia bisa baik atau buruk tergantung pada apakah hukum itu selaras dengan hukum alam yang kekal. Hukum yang diberlakukan untuk tujuan sementara atau lokal adalah hukum, menurutnya, berdasarkan persetujuan publik. Ia memiliki kekuatan hukum hanya selama orang mengamatinya dan negara menegakkannya. Hukum kodrat, bagaimanapun, tidak memerlukan pengkodean, tidak ada penegakan. Sebagai contoh, Cicero menyebutkan bahwa ketika Sextus Tarquinius, putra Raja Lucius Tarquinius Superbus, memperkosa Lucretia, tidak ada hukum di Roma yang mengatur pemerkosaan. Namun, bahkan pada saat itu, rakyat tahu secara mendalam bahwa apa yang telah terjadi bertentangan dengan moralitas bersama, dan mengikuti Lucius Junius Brutus untuk memperbaiki masalah. Hukum-hukum jahat, atau hukum-hukum yang bertentangan dengan hukum abadi, lebih lanjut, tidak pantas mendapatkan gelar, dan menyatakan bahwa memberlakukannya dengan mengesampingkan hukum kekal tidak layak menyatakan status-status hukum. Untuk menunjukkan, Cicero menggunakan analogi orang-orang yang tidak sekolah atau dukun yang mengaku sebagai dokter dan meresepkan perawatan yang mematikan. Cicero berpendapat, tidak ada orang yang waras, akan berani menyebut perawatan seperti itu sebagai "obat" atau praktik mereka sebagai "dokter".[14]

Cicero berpendapat bahwa kepercayaan agama (kepercayaan pada para dewa, atau Tuhan, atau kebijaksanaan Abadi) harus menjadi landasan hukum menuntun ketiganya, secara alami, ke dalam kerangka hukum agama. Di antara hal-hal yang diakui dalam bagian ini adalah fakta bahwa kadang-kadang hukum agama memiliki tujuan spiritual dan pragmatis, seperti Cicero, ketika mengutip Hukum Dua Belas Tabel dan perintah mereka terhadap penguburan atau kremasi dalam pomerium, mengakui bahwa perintah tersebut adalah untuk menenangkan nasib untuk menghindari bencana. Setelah diskusi tentang hukum agama, dan dengan tujuan Cicero untuk mereplikasi prestasi Plato dengan melakukan diskusi menyeluruh tentang hukum dalam satu hari, mereka pindah ke hukum sipil dan susunan pemerintahan.[15]

Buku Ketiga

Buku ketiga, di mana manuskrip itu terputus, adalah pencacahan Cicero tentang pendirian pemerintah, yang bertentangan dengan hukum agama dari buku sebelumnya, bahwa ia akan mengadvokasi sebagai dasar bagi negara Romawi yang direformasi.[16]

Adapun garis besar Konstitusi yang diusulkan Cicero adalah sebagai berikut. Sistem Yudisial Cicero, yang percaya bahwa pengadilan seperti yang dia lihat terlalu terbuka untuk dirusak melalui penyuapan atau melalui praktik yang tajam (seperti yang dia alami sendiri dan gagal dalam kasus Gayus Verres), akan menempatkan persidangan kembali ke tangan rakyat pada umumnya, dengan Comitia Centuriata mengadili kasus-kasus di mana hukumannya adalah kematian atau pengasingan, dan Concilium Plebis mengadili semua kasus lainnya. Seorang hakim (Praetor atau bahkan Konsul) masih akan memimpin persidangan. Hakim yang sama kemudian, atas putusan bersalah, menjatuhkan hukuman kecuali mayoritas majelis yang relevan tidak setuju. Terkait hukum militer, Cicero berpendapat berbeda. Selama tugas militer, tidak seperti dalam pengadilan sipil, Cicero akan menghapus hak banding dari mereka yang dihukum karena melakukan kesalahan.[17]

Senat, dalam hukum Cicero, tidak lagi ada hanya sebagai badan penasihat, tetapi sekarang akan memegang otoritas legislatif yang sebenarnya, dan keputusan mereka akan mengikat. Setiap mantan hakim memiliki hak untuk masuk ke Senat. Dalam bagian selanjutnya dari dialog, Cicero membela demokrasi yang nyata dari perubahan dengan menyatakan bahwa Senat akan berfungsi sebagai penyeimbang bagi majelis rakyat yang populis dan demokratis. Lebih lanjut, Cicero akan memberlakukan ketentuan bahwa hanya orang-orang dengan perilaku dan reputasi yang benar-benar tidak bercela yang dapat tetap berada dalam senat. Cicero menyatakan harapan bahwa Senat yang direformasi dapat berfungsi sebagai contoh bagi negara Romawi lainnya dalam hal kejujuran, harmoni, kepentingan bersama, dan permainan yang adil. Keserakahan di Senat harus dihukum berat, oleh pandangan hukum Cicero. Ini bukan untuk menghukum keserakahan itu sendiri, tetapi karena keserakahan di Senat menghasilkan ketamakan dan perbedaan pendapat di antara orang-orang Romawi.[18]

________________________________

1.     "Marcus Tullius Cicero: Roman Statesman, Scholar, And Writer", John P.V. Dacre Balsdon, John Ferguson, Diakses pada 19 Mei 2019, https://www.britannica.com/biography/Cicero
2.     Ibid.
3.     Ibid.
4.     "Cicero", Diakses pada 19 Mei 2019, https://en.wikipedia.org/wiki/Cicero
5.     Ibid.
6.     Ibid.
7. "De Legibus", Diakses Pada 19 Mei 2019, https://en.wikipedia.org/wiki/De_Legibus
8.     Ibid.
9.     Ibid.
10. Ibid.
11. Ibid.
12. Ibid.
13. Ibid.
14. Ibid.
15. Ibid.
16. Ibid.
17. Ibid.
18. Ibid.

Senin, 20 Mei 2019

Hukum Dan Hak

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada Kuliah Pengantar Ilmu Hukum sebelumnya yang berjudul: “Faktor-faktor Yang Membantu Pembentukan Hukum” telah kita pelajari elemen pendukung pembentuk hukum, pada kesempatan berikut ini dibahas mengenai Hukum dan Hak. Adapun referensi yang dipakai dalam kuliah ini adalah buku berjudul: “Pengantar Dalam Hukum Indonesia”, karangan: E. Utrecht, S.H., Penerbit: PT. Penerbit Dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta, (Cetakan Keenam), tahun 1961.

A. Hubungan Hukum Dan Hak

Pada kuliah sebelumnya telah diketahui bahwa hukum itu mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain di dalam masyarakat. Jadi terapat hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain yang diatur oleh hukum. Siapa saja yang berani untuk tidak mematuhi hubungan itu, maka ia akan dikenakan sanksi oleh hukum. Tiap-tiap hubungan hukum mempunyai dua segi, yaitu wewenang/kekuasaan dan kewajiban. Kekuasaan ini oleh hukum diberi kepada seseorang atau badan hukum karena hubungan hukumnya dengan seorang lain biasanya diberi nama sebagai hak. Contoh: A berhak menuntut pembayaran dari B sedangkan B wajib membayar sepatu sebanyak yang dijanjikan. Sebaliknya, B berhak meminta sepatu sebanyak yang dijanjikan dari A sedangkan A wajib menyerahkan sepatu sebanyak yang dijanjikan kepada B.[1]

Dalam hukum Eropa-Kontinental dibuat perbedaan antara apa yang disebut hukum objektif dengan hukum subjektif. Yang dimaksud dengan hukum objektif adalah peraturan, kaidah, norma yang mengatur suatu hubungan sosial, misalnya K.U.H. Perdata. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum subjektif adalah peraturan hukum yang dihubungkan dengan seseorang dan oleh karenanya telah menjadi kekuasaan-kewajiban.[2]

Hubungan hukum ada dua macam, pertama hubungan hukum yang bersegi satu dan hubungan hukum yang bersegi dua. Dalam hubungan hukum yang bersegi satu hanya satu pihak yang berkuasa. Pihak lain hanya berkewajiban (Pasal 1234 K.U.H. Perdata, tentang Prestasi). Dalam hubungan hukum yang bersegi dua, kedua belah pihak masing-masing berkuasa meminta sesuatu dari pihak lain. Tetapi kedua belah pihak masing-masing berkewajiban memberi sesuatu kepada pihak lain.[3]  

B. Sifat Dari Hak

Tentang sifat dari hak telah menimbulkan banyak polemik. Di Jerman pada abad ke-19 dikemukakan dua teori tentang hak. Pertama adalah teori yang menganggap hak sebagai kehendak yang dilengkapi dengan kekuatan (wilsmachtstheorie). Menurut pendapat ini, hak itu sesuatu yang penting bagi yang bersangkutan, yang dilindungi oleh hukum, yakni suatu kepentingan yang terlindungi.[4]

Van Apeldoorn menganggap bahwa hak adalah suatu kekuatan yang teratur oleh hukum. Kekuatan itu berdasarkan pada kesusilaan, bukan hanya kekuatan yang bersifat fisik. Pendapat lain dari Lemaire menganggap hak itu adalah ijin. Hak adalah ijin bagi yang bersangkutan untuk berbuat sesuatu. Menurut Leon Duguit, tidak ada seorangpun manusia yang mempunyai hak. Sebaliknya di dalam masyarakat bagi manusia hanya ada suatu tugas sosial. Tata tertib hukum tidaklah didasarkan atas hak dan kebebasan manusia, melainkan tugas-tugas sosial yang harus dijalankan oleh anggota masyarakat. Teori ini disebut teori fungsi sosial, maka pengertian hak itu diganti dengan fungsi sosial. Manusia hanya merupakan sebuah roda kecil dari mesin kemasyarakatan, yang dijalankan manusia hanyalah suatu tugas sosial.[5]

Anggapan yang mengemukakan hak sebagai suatu kekuasaan lengkap yang oleh hukum diberi kepada yang bersangkutan sebagai suatu kekuasaan individual sepenuhnya yang oleh hukum dilindungi berasal dari aliran individualisme pada saat lahirnya revolusi Prancis. Konsepsi hak seperti ini sudah banyak berkurang, dan telah terjadi semacam pensosialan, hak tidak lagi absolut, namun juga dibatasi oleh kepentingan sosial. Namun tidak berarti hak ini lambat laun dihapuskan sama sekali.[6]  

C. Menjalankan Hak Yang Tidak Sesuai Dengan Tujuannya

Tiap peraturan hukum oleh pembuatnya diberi suatu tujuan tertentu. Demikian juga tiap hak yang diberikan oleh hukum kepada seseorang, ia mempunyai tujuan tertentu. Bisa dikatakan bahwa tiap hak diberi suatu tujuan sosial. Ini berarti hak itu tidak dapat melindungi suatu kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan umum. Hak tidak dapat melindungi kepentingan yang bersifat a-sosial. Dengan kata lain, tidak ada kekuasaan yang oleh hukum diberikan kepada seseorang untuk dipakai dengan sengaja merugikan orang lain atau yang mungkin dengan sengaja merugikan masyarakatnya. Menjalankan hak tidak sesuai dengan tujuannya adalah menyimpang dari tujuan hukum, yaitu menyimpang dari jaminan kepastian hukum. Sebaliknya, seseorang harus menjalankan haknya yang sesuai dengan tujuan dari hak itu.[7]

Contohnya adalah keputusan Pengadilan Tinggi di Colmar (Prancis) tanggal 2 Mei 1855 sebagai berikut. A menjadi tetangga B. Rumah A lebih tinggi dari rumah B. Di rumah A ada jendela yang memberi pemandangan dengan melintasi atap rumah B. Pada suatu waktu, maka B mendirikan sebuah pipa asap di atas atap rumahnya di muka jendela rumah A dengan maksud merusak pemandangan A. Pipa asap itu tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan tempat api. Pengadilan Tinggi dalam keputusannya memerintahkan B untuk membongkar pipa asap itu. Hak B untuk memetik kenikmatan kepunyaan rumahnya tidak dapat dijalankannya secara mengganggu orang lain dengan tidak berdasarkan niat baik.[8]
_________________________________
1.  “Pengantar Dalam Hukum Indonesia”, E. Utrecht, S.H., PT. Penerbit Dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta, (Cetakan Keenam), 1961, Hal.: 267-268.
2.  E. Utrecht, Ibid., Hal.: 268.
3.  E. Utrecht, Ibid., Hal.: 269.
4.  E. Utrecht, Ibid., Hal.: 270.
5.  E. Utrecht, Ibid., Hal.: 273.
6.  E. Utrecht, Ibid., Hal.: 273-276.
7.  E. Utrecht, Ibid., Hal.: 277.
8.  E. Utrecht, Ibid., Hal.: 278.

Sabtu, 18 Mei 2019

Menjawab Perseteruan Wiranto Vs. Amien Rais Terkait Jurisdiksi ICC

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo


Buntut Perseteruan Pilpres 2019

Setelah hasil quick count dirilis oleh beberapa lembaga survey independen, dan telah diketahui hasilnya, ternyata buntut perseteruan Pilpres tahun 2019 ini antara team Paslon 01 dengan 02 belum juga mereda. Terakhir adalah seruan people power oleh tokoh-tokoh Paslon 02 disikapi dengan pembentukan Tim Asistensi Hukum Kemenko Polhukam yang tugas utamanya adalah mengkaji manuver politik dimaksud dari sisi hukum, hal ini mengerucut pada perseteruan dua elit politik negeri ini yaitu Amien Rais dan Wiranto.

Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais mengatakan bakal melaporkan Menko Polhukam Wiranto ke Mahkamah Internasional karena dianggap menyalahgunakan kekuasaan. Amien sebelumnya menyindir Tim Asistensi Hukum bentukan Wiranto yang mulai mengkaji aktivitas sejumlah tokoh, termasuk dirinya. Dia pun mengingatkan Wiranto atas hal itu. "Di muka bumi ini, orang ngomong ditangkap itu nggak ada. Wiranto, hati-hati, Anda," kata Amien setelah menghadiri simposium terkait kecurangan Pemilu 2019 di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Selasa (14/5/2019). Dia menyatakan bisa membawa Wiranto ke Mahkamah Internasional. Menurut Amien, Wiranto telah melakukan kesewenang-wenangan kekuasaan. "Pak Wiranto perlu dibawa ke Mahkamah Internasional karena dia melakukan abuse of power. Dengan kuasanya, dia akan membidik lawan-lawan politiknya," ujarnya. [1]

Lalu apa kata Wiranto? Menko Polhukam Wiranto mengaku bingung dirinya akan dilaporkan ke Mahkamah Internasional. Dia mempertanyakan alasan dirinya akan dilaporkan ke Mahkamah Internasional itu. "Pak Wiranto lebih berat dari kolonial, mau dimasukin ke Mahkamah Internasional. Kok saya kok bingung," kata Wiranto dalam sambutannya saat acara buka bersama sejumlah pimpinan media di Hotel JS Luwansa, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (17/5/2019).[2] Dari dua statement antara Amien Rais melawan Wiranto di atas, jernih sekali dapat disimpulkan bahwa Amien Rais akan membawa Wiranto ke Mahkamah Internasional karena melakukan ‘abuse of power’, dan atas statement Amien Rais tersebut Wiranto bingung menyikapinya. Dikarenakan Menko Polhukam kita sedang kebingungan, maka menjadi tugas para sarjana hukum yang perduli untuk membantu menjelaskannya dari sudut pandang hukum.

Sekilas Sejarah The International Criminal Court (ICC)

Meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan Mahkamah Internasional yang mana, namun penulis yakin bahwa yang dimaksud dengan Mahkamah Internasional oleh Amien Rais adalah The International Criminal Court (ICC) yang berkedudukan di Den Haag negeri Belanda. Pada awalnya, Mahkamah Internasional dibentuk untuk mengadili para pemimpin politik yang dituduh melakukan kejahatan internasional. Pertama kali diusulkan selama Konferensi Perdamaian Paris pada tahun 1919 setelah Perang Dunia Pertama. Masalah ini dibahas lagi pada konferensi yang diadakan di Jenewa di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1937, yang menghasilkan kesimpulan dari konvensi pertama yang menetapkan pembentukan pengadilan internasional permanen untuk mengadili aksi terorisme internasional. Konvensi tersebut ditandatangani oleh 13 negara, tetapi tidak ada yang meratifikasinya dan konvensi tersebut tidak pernah berlaku.[3]

Setelah perang dunia kedua dan perang dingin usai, kemudian diadakan konferensi di Roma pada Juni 1998, dengan tujuan menyelesaikan perjanjian untuk berfungsi sebagai undang-undang Pengadilan. Pada 17 Juli 1998, Statuta Roma dari Pengadilan Kriminal Internasional diadopsi dengan suara 120 banding tujuh, dengan 21 negara abstain. Tujuh negara yang menentang perjanjian itu adalah Cina, Irak, Israel, Libya, Qatar, Amerika Serikat, dan Yaman. Setelah 60 ratifikasi, Statuta Roma mulai berlaku pada 1 Juli 2002 dan Mahkamah Pidana Internasional secara resmi didirikan. Pengadilan mengeluarkan surat perintah penangkapan pertamanya pada tanggal 8 Juli 2005, dan sidang pra-sidang pertama diadakan pada tahun 2006. Pengadilan mengeluarkan putusan pertamanya pada 2012 ketika mendapati pemimpin pemberontak Kongo Thomas Lubanga Dyilo bersalah atas kejahatan perang terkait penggunaan tentara anak-anak.[4]

Kompetensi Mengadili/Jurisdiksi The International Criminal Court (ICC)

Menurut situs resminya, ICC (www.icc-cpi.int) berkompeten mengadili berdasarkan Statuta Roma, kompetensi mengadili/jurisdiksi hukumnya terbatas pada setidaknya cakupan empat kejahatan utama. Pertama, kejahatan genosida dicirikan oleh niat khusus untuk menghancurkan seluruh atau sebagian kelompok nasional, etnis, ras atau agama dengan membunuh anggotanya atau dengan cara lain: menyebabkan kerusakan tubuh atau mental yang serius pada anggota kelompok; sengaja menimbulkan kondisi kehidupan kelompok yang diperhitungkan untuk menyebabkan kehancuran fisiknya secara keseluruhan atau sebagian; menerapkan tindakan yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau secara paksa memindahkan anak-anak dari kelompok ke kelompok lain.[5]

Kedua, kejahatan terhadap kemanusiaan, yang merupakan pelanggaran serius yang dilakukan sebagai bagian dari serangan skala besar terhadap penduduk sipil. Ke 15 bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang tercantum dalam Statuta Roma termasuk pelanggaran seperti pembunuhan, pemerkosaan, pemenjaraan, penghilangan paksa, perbudakan—khususnya perempuan dan anak-anak, perbudakan seksual, penyiksaan, apartheid dan deportasi.[6]

Ketiga, kejahatan perang yang merupakan pelanggaran berat konvensi Jenewa dalam konteks konflik bersenjata dan termasuk, misalnya, penggunaan tentara anak-anak; pembunuhan atau penyiksaan orang seperti warga sipil atau tahanan perang; sengaja mengarahkan serangan terhadap rumah sakit, monumen bersejarah, atau bangunan yang didedikasikan untuk agama, pendidikan, seni, ilmu pengetahuan, atau tujuan amal.[7]

Keempat, adalah kejahatan agresi. Ini adalah penggunaan angkatan bersenjata oleh suatu Negara melawan kedaulatan, integritas atau kemerdekaan Negara lain. Definisi kejahatan ini diadopsi melalui amandemen Statuta Roma pada Konferensi Tinjauan Statuta pertama di Kampala, Uganda, pada tahun 2010.[8]

Anggota The International Criminal Court (ICC)

Sampai dengan tanggal 16 Mei 2019, terdapat 122 negara yang telah meratifikasi Statuta Roma. Diantaranya adalah: Afganistan, Albania, Andorra, Argentina, Australia, Austria, Bangladesh, Belgia, Benin, Bolivia, Bostwana, Brazil, Bulgaria, Burkina Faso, Cambodia, Canada, Chad, Cile, Colombia, Democratic Republic of Congo, Croatia, Siprus, Estonia, Fiji, Finlandia, Jerman, Ghana, Yunani, Guatemala, Honduras, Irlandia, Italia, Jepang, Yordania, Korea Selatan, Maldives, Mali, Malta, Mauritius, Mexico, Moldova, Mongolia, Montenegro, Namibia, Belanda, Niger, Nigeria, Norwegia, Palestina, Panama, Paraguay, Peru, Polandia, Portugal, Rumania, Samoa, San Marino, Senegal, Serbia, Sierra Leone, Slovakia, Slovenia, Afrika Selatan, Spanyol, Suriname, Swedia, Swiss, Tanzania, Tajikistan, Trinidad dan Tobago, Tunisia, Uganda, Inggris, Uruguay, Vanuatu, Venezuela, Zambia.[9]

Hal yang menarik adalah terdapat beberapa negara yang telah menandatangani Statuta Roma namun tidak melakukan ratifikasi, atau setidaknya belum melakukan ratifikasi, yaitu: Bahrain, Israel, Kuwait, Russia, Sudan, Thailand, Ukraina, Amerika Serikat dan Yaman.[10] Tentunya, beberapa negara yang cukup menarik perhatian di sini adalah Israel, Russia dan Amerika Serikat.

Lalu dimana posisi Indonesia? Indonesia tidak termasuk negara yang menandatangani Statuta Roma, dan tidak termasuk negara yang meratifikasi Statuta Roma. Negara-negara lain dalam kategori ini diantaranya adalah: Brunei Darussalam, China, Cuba, India, Irak, Malaysia, Myanmar, Nepal, Pakistan, Rwanda, Papua Nugini, Somalia, Sri Lanka, Togo, Turki, Vietnam.[11] Hal ini berarti secara hukum negara Indonesia tidak tunduk pada jurisdiksi ICC.

Menjawab Perseteruan Menko Polhukam Wiranto Vs. Amien Rais

Menyambung perihal di atas, maka pertanyaan yang timbul atas perseteruan Menko Polhukam Wiranto melawan Amien Rais adalah: Pertama, apakah Menko Polhukam Wiranto dapat diajukan dan diadili di The International Criminal Court (ICC)? Kedua, apakah The International Criminal Court (ICC) berwenang mengadili perihal 'abuse of power'?

Jawaban atas pertanyaan pertama, Menko Polhukam Wiranto tidak dapat diajukan dan diadili oleh The International Criminal Court (ICC), dengan alasan sebagaimana telah diterangkan di atas yaitu Indonesia tidak termasuk negara yang menandatangani Statuta Roma, dan tidak termasuk negara yang meratifikasi Statuta Roma, oleh karena itu secara hukum, negara Indonesia tidak tunduk pada ICC. Jawaban atas pertanyaan kedua, ‘abuse of power’ tidak termasuk kompetensi mengadili dari The International Criminal Court (ICC), sebagaimana telah dibahas di atas, ICC hanya berkompeten mengadili setidaknya 4 (empat) kejahatan, yaitu: Pertama, kejahatan genosida. Kedua, kejahatan terhadap kemanusiaan. Ketiga, kejahatan perang. Serta terakhir, yang keempat, kejahatan agresi. Semoga dengan adanya artikel ini, secara tidak langsung membantu menjawab ‘kebingungan’ Menko Polhukam Wiranto.

________________________________
1.     "Amien Ingin Bawa ke Mahkamah Internasional, Wiranto Tanggapi Santai", www.detik.com, Lisye Sri Rahayu, 16 Mei 2019, https://news.detik.com/berita/d-4551510/amien-ingin-bawa-ke-mahkamah-internasional-wiranto-tanggapi-santai
2.     "Wiranto Bingung Dirinya Mau Dilaporkan ke Mahkamah Internasional", www.detik.com, Zakia Liland, 17 Mei 2019, https://news.detik.com/berita/d-4554158/wiranto-bingung-dirinya-mau-dilaporkan-ke-mahkamah-internasional
3.     "International Criminal Court", www.wikipedia.org. Diakses pada 18 Mei 2019, https://en.wikipedia.org/wiki/International_Criminal_Court
4.     www.wikipedia.org., Ibid.
5.     "How The Court Works", Diakses pada 18 Mei 2019, https://www.icc-cpi.int/about/how-the-court-works
6.     Ibid.
7.     Ibid.
8.     Ibid.
9.     "States parties to the Rome Statute of the International Criminal Court", Diakses pada 18 Mei 2019, https://en.wikipedia.org/wiki/States_parties_to_the_Rome_Statute_of_the_International_Criminal_Court
10. Ibid.
11. Ibid.

Rabu, 15 Mei 2019

Hukum Dan Kaidah-kaidah Etika Lainnya

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: “Hukum Sebagai Kaidah dan Kebiasaan” telah kita selesaikan, kemudian kita akan beranjak untuk memahami kaidah hukum dalam posisinya sebagai salah satu kaidah dalam etika dan hubungannya dengan kaidah-kaidah lain. Adapun buku yang dijadikan acuan dalam kuliah ini adalah “Pengantar Ilmu Hukum” atau “Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht”, karya Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldorn, penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, (Cetakan Ke-dua puluh lima), tahun 1993.

A. Pendahuluan

Hukum terdiri dari peraturan-peraturan/kaidah-kaidah tingkah laku. Tetapi selain daripada hukum, masih ada peraturan/kaidah lain. Kumpulan dari segala peraturan-peraturan dimaksud bernama etika. Etika meliputi kaidah-kaidah tentang agama, kesusilaan, hukum dan adat. Pada zaman dahulu, manusia tidak membedakan perbedaan-perbedaan itu. Misalnya dalam “The Ten Commandments”, dalam kitab Zabur atau Al-Qur’an terdapat bermacam-macam kaidah agama, kesusilaan, dan hukum yang dicampuradukan, pada waktu itu alasannya adalah dikarenakan seluruhnya berasal dari Tuhan. Meskipun hubungan antar kaidah dimaksud adalah erat, akan tetapi kesadaran untuk membedakannya datang di kemudian hari.[1]

B. Hukum Dan Adat Berbeda Dari Kesusilaan Dan Agama

1. Hukum dan Kesusilaan

Hidup manusia mempunyai dua segi: manusia sekaligus adalah makhluk perseorangan dan juga makhluk sosial. Kesusilaan menyangkut manusia sebagai perseorangan, hukum dan adat menyangkut kemasyarakatan. Kesusilaan memberi peraturan untuk seseorang. Sebaliknya hukum dan adat ditujukan pada manusia sebagai makhluk masyarakat. Orientasinya, ia menghendaki kesempurnaan masyarakat.[2]

Antara hukum dan adat pada satu pihak dan kesusilaan pada pihak lain, terutama terdapat perbedaan tujuan. Tujuan hukum ialah tata tertib masyarakat yang baik; tujuan kesusilaan ialah penyempurnaan seseorang. Dengan perbedaan tersebut, terdapat hubungan erat dengan perbedaan yang lain, yang lebih mengenai isinya, Hukum dan adat yang menghendaki peraturan masyarakat yang baik, memberikan peraturan-peraturan untuk perbuatan-perbuatan lahir manusia. Kesusilaan yang ditujukan pada kesempurnaan seseorang, pertama-tama tidak mengindahkan perbuatan-perbuatan manusia, melainkan lebih mengindahkan sikap batin. Akan tetapi perbedaan-perbedaan itu jangan terlalu dibayangkan terlalu tajam.[3]

Akan tetapi, perbedaan antara hukum dan kesusilaan ialah: bila tingkah laku lahir seseorang sesuai dengan peraturan hukum, maka hukum tidak menanyakan kehendak baiknya. Hukum merasa cukup dengan tingkah laku lahir yang sesuai dengan peraturannya. Meskipun ketika seseorang melanggar hukum, diperhatikan juga kehendak baiknya. Hal ini menjelaskan bahwa ketika seseorang melanggar hukum, ternyata menjadikan kedua kaidah ini saling mendekati, bahkan saling tumpang tindih. Hukum tidak jarang terpaksa menjatuhkan vonis hukuman atas perbuatan-perbuatan yang ditimbulkan oleh alasan-alasan yang dibenarkan oleh kesusilaan.[4]

Perbedaan antara hukum dan adat pada satu pihak dan kesusilaan pada pihak lain, adalah terkait asal-usul kaidahnya. Rumusannya adalah sebagai berikut: Kesusilaan adalah otonom, hukum (demikian juga adat) adalah heteronom. Dalam hukum, kekuasaan dari luarlah yang meletakkan kemauannya kepada kita, yakni masyarakat. Kita takluk pada hukum di luar kehendak kita, hukum mengikat kita tanpa syarat. Sebaliknya seluruh susila adalah suatu tuntutan yang dilakukan orang terhadap dirinya sendiri. Kesusilaan mengikat kita karena kehendak kita sendiri. Perbedaan lain juga erat kaitannya dengan titik pangkal pikiran kita. Hukum menghendaki peraturan pergaulan hidup yang baik. Tujuan ini hanya tercapai jika di luar dan di atas perseorangan terdapat kekuasaan yang tidak berpihak yang membuat perintah bagaimana mereka harus bertindak satu sama lain. Sedangkan kesusilaan menghendaki kesempurnaan diri seseorang. Apa yang dapat dipandang mencukupi tujuan itu hanya dapat ditentukan oleh tiap-tiap orang untuk dirinya sendiri.[5]

Hukum dan adat, sebagai peraturan tingkah laku, dapat dibedakan dari kesusilaan dari segi bagaimana orang patuh terhadapnya. Kesusilaan berakar dari suara hati manusia. Sifat perintah susila ialah bahwa ia harus dipenuhi dengan sukarela. Satu-satunya kekuasaan yang berdiri di belakang kesusilaan adalah kekuasaan suara hati manusia sendiri. Sedangkan dalam hukum, kekuatan kekuasaan hati nurani manusia tidaklah asing, ia juga menjadi dasar seseorang patuh terhadap hukum, hukum dipatuhi salah satunya atas sebab hati nurani seseorang merasa sejalan dengan keyakinan kesusilaannya. Akan tetapi, dalam hukum, dapat juga seseorang patuh terhadap hukum secara lahiriah tanpa memperhatikan sikap batinnya. Di belakang hukum terdapat juga kekuasaan yang lain daripada hati nurani, yaitu masyarakat meletakkan peraturan-peraturan pada kita dan juga mempunyai alat kekuasaan untuk memaksakannya.[6]

Antara hukum dan adat pada satu pihak, dengan kesusilaan di pihak lain masih terdapat perbedaan dalam daya kerjanya. Hukum dan adat mempunyai dua daya kerja. Ia memberikan kekuasaan dan meletakkan kewajiban. Ia serentak normatif dan atributif. Sedangkan kesusilaan hanya meletakkan kewajiban semata. Ia semata-mata bersifat normatif. Perbedaan ini merupakan lanjutan perbedaan tujuan antara berbagai golongan kaidah dalam etika. Hukum dan adat menghendaki peraturan pergaulan hidup yang baik dan meletakkan atas diri manusia kewajiban-kewajiban untuk kepentingan sesama manusia. Kesusilaan menghendaki kesempurnaan individu, menunjukan peraturan-peraturannya kepada manusia sebagai individu, untuk kepentingan manusia itu sendiri.[7]

2. Agama

Agama dalam arti sempit adalah hubungan antara Tuhan dan manusia. Hubungan itu mengandung kewajiban-kewajiban terhadap Tuhan, sebagai cinta terhadap Tuhan dan percaya kepada Tuhan. Kewajiban-kewajiban dimaksud benar-benar bersifat keagamaan sejati, yang isinya berbeda dari kewajiban yang sifatnya moral maupun yang sifatnya kewajiban hukum.  Hubungan antara Tuhan dengan manusia membawa juga kewajiban untuk menuruti kehendak Tuhan. Maka, agama meliputi lapangan yang lebih luas dari semata-mata hubungan antara Tuhan dan manusia. Berdasarkan kewajiban mengikuti kehendak Tuhan lah kemudian manusia juga terikat untuk melakukan perintah pada sesama manusia. Dari hal ini manusia memperoleh sifat kesusilaan keagamaanya, yaitu ketika terikat secara batin atas dasar hubungannya dengan Tuhan.[8]

C. Hukum Dan Adat

Adat adalah segala peraturan tingkah laku yang tidak termasuk dalam lapangan hukum, kesusilaan dan agama. Tetapi adat juga diartikan sebagai tingkah laku yang berlaku untuk anggota lingkungan tertentu. Selanjutnya adat dimaknai dalam arti peraturan-peraturan tingkah laku. Terdapat hubungan yang rapat sekali antara adat dan kebiasaan. Adat timbul dikarenakan adanya kebiasaan.[9]

Untuk menarik batas yang tegas antara hukum dan adat adalah hal yang sukar. Hukum sebagai kebiasaan misalnya, ia timbul dan tumbuh dari kebiasaan. Sebagaimana telah disinggung tadi, bahwa adat juga timbul dikarenakan kebiasaan. Beberapa persamaan antara hukum dan adat: 1). Bahwa ia ditujukan pada manusia sebagai makhluk sosial. 2). Bahwa ia puas dengan tingkah laku lahir, tidak menanyakan kehendak baik yang mendukung tingkah laku itu. 3). Sifatnya heteronom, diletakkan pada diri kita oleh masyarakat dimana kita hidup. 4). Bahwa ia memberi hak-hak menuntut sesuatu tingkah laku sesuai peraturan-peraturannya.[10]

Perbedaan antara hukum dan adat seringkali dilihat dari sanksinya. Meskipun demikian hal ini tidaklah sesederhana yang dikatakan. Perbedaan antara hukum dan adat tidak begitu saja terletak pada paksaan. Pada peraturan-peratuan adat, paksaan datanya dari tiap-tiap orang yang tidak teratur, seringkali melampaui batas. Sebaliknya pada hukum, paksaan dilakukan oleh masyarakat melalui institusi/organ. Perbedaan lain yang pokok antara adat dan hukum adalah bersifat formil, bukan materiil. Artinya hanya dari sudut pandang pengertian hukum saja, bukan dari isinya.[11]

D. Hubungan Antara Berbagai Golongan Kaidah-kaidah Etika

Hukum pada satu pihak, kesusilaan, agama dan adat pada pihak lain dapat dibedakan, akan tetapi pemisahan tersebut sesungguhnya tidak ada. Dikarenakan semua memberikan fungsinya berupa peraturan-peraturan hubungan antar manusia. Terdapat hubungan yang rapat antara berbagai kaidah etika, tiap-tiap kaidah sebagaimana dimaksud memberikan pengaruh yang kuat terhadap isi kaidah-kaidah lain. Antara lain, kaidah agama dan kaidah kesusilaan terus menerus mempengaruhi kaidah hukum. Hukum untuk sebagian besar adalah kesusilaan positif yang diperlukan oleh Pemerintah, dan kesusilaan didasarkan pada agama. Kejahatan-kejahatan yang diuraikan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, hampir semuanya perbuatan-perbuatan yang dicela juga oleh kesusilaan dan agama. Selain itu, bukan hanya pembuat undang-undang saja yang harus mengikuti kesusilaan, hakim juga selalu berbuat demikian.[12]

Selain itu, hubungan lainnya adalah kaidah-kaidah etika yang beragam itu saling memperkuat daya masing-masing. Peraturan hukum diikuti tidak semata-mata karena sifat memaksa dari Pemerintah melalui institusi/organ pelaksananya, melainkan juga bersandar pada bahwa orang merasa terdorong mengikutinya berdasarkan agama dan kesusilaan.[13]  
_________________________________
1.  “Pengantar Ilmu Hukum” atau “Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht”, Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldorn,  PT. Pradnya Paramita, Jakarta, (Cetakan Ke-dua puluh lima), 1993, Hal.: 22.
2.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 22-23.
3.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 23.
4.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 25.
5.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 25-26.
6.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 27.
7.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 28.
8.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 29.
9.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 29-30.
10.        L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 31.
11.        L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 32.
12.        L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 35-36.
13.        L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 37-38.

Three Ways to Conduct FDI in Indonesia

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Knowing Joint Venture Companies in FDI ...