Jumat, 03 Mei 2019

Eksistensi Anarcho-syndicalism dalam Bingkai Hukum Positif Negara Republik Indonesia

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo


Sekilas Anarcho-syndicalism

Dua hari yang lalu, ketika peringatan May Day (Hari Buruh Internasional) di Jakarta, ada fenomena yang menarik perhatian aparat keamanan, yaitu vandalisme mulai dari corat-coret tembok sampai dengan merusak pagar halte Tosari Trans Jakarta. Aparat keamanan memberikan keterangan bahwa para pelakunya adalah kelompok “anarcho-syndicalism”. Terlepas dari adanya dugaan tindak pidana dari kejadian dimaksud, sebagai bagian dari sikap ilmiah, ada baiknya terlebih dahulu memahami apa yang dimaksud dengan “anarcho-syndicalism”.

Sebelum masuk ke anarkisme, perlu ditegaskan di sini terkait makna vandalisme. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, vandalisme adalah (1) Perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya (keindahan alam dan sebagainya); 2 Perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas.[1] Jadi perlu dipahami bahwa vandalisme adalah terkait tindakan seseorang, bukan sebuah aliran pemikiran atau semacam paham. Kembali ke anarkisme, aliran pemikiran ini mempunyai akar panjang di Eropa. Istilah anarkisme berasal dari bahasa Yunani, ‘anarkos’, yang berarti tanpa penguasa. Namun bentuk anarkisme yang berkembang luas saat ini terbentuk saat Revolusi Prancis, di mana industrialisasi meluas. Banyak orang marah terhimpit dan marah di bawah kekuasaan monarki dan kekuatan elit kapitalis.[2]

Di antara tokohnya adalah Pierre-Joseph Proudhon (1809-1865) yang merupakan filsuf Prancis ternama abad ke-19, adalah orang pertama yang mendapuk dirinya sebagai seorang anarkis. Ucapannya pada 1849 sangat terkenal: “Siapapun yang menggunakan kekerasan untuk memerintah saya adalah seorang perebut kekuasaan dan seorang tiran, dan saya menganggapnya sebagai musuh saya.” Berbeda dengan pengertian kontemporer, Proudhon berusaha mengubah konotasi negatif penuh kekerasan yang kerap dilekatkan pada anarkisme. Menurut Proudhon, anarkisme adalah cara paling rasional dan adil untuk menciptakan ketertiban masyarakat. Antara lain dia menganjurkan apa yang dia disebut “mutualisme” dan (melampaui zamannya) menciptakan konsep bebas pinjaman dari bank dan serikat pekerja untuk melindungi kepentingan buruh.[3]

Menurut Brian Crabtree dalam tulisan “The History of Anarchism“, meski Proudhon tak mengakui hak milik, dia juga tidak mendukung komunisme. Dia menggarisbawahi pentingnya hak pekerja untuk mengendalikan alat produksi sebagai bagian penting dari kebebasan. Proudhon adalah orang pertama yang menggagas serikat pekerja. Bersama rekan-rekannya, pada 1864 dia membentuk First International Workingmen’s Association, sebuah serikat buruh berskala internasional pertama di dunia.[4]

Pemikir lainnya adalah Mikhail Bakunin (1814-1876), seorang intelektual Rusia, merupakan nama penting berikutnya dalam perkembangan pemikiran anarkis di Eropa. Dia mengembangkan pemikiran Proudhon menjadi “anarkisme kolektif”, di mana pekerja bergabung secara setara untuk mengendalikan sepenuhnya hasil produksi mereka. Titik berat pemikiran Bakunin ada pada “anarko-sindikalisme”, di mana serikat pekerja, yang dipimpin para anarkis, memperjuangkan kebebasan lebih besar bagi diri mereka sendiri. Bakunin percaya bahwa anarki hanya dimungkinkan melalui sebuah revolusi yang menghancurkan seluruh institusi yang ada. Bakunin tidak menyetujui visi Karl Marx tentang “diktator proletariat”, dan menulis pada 1868 bahwa “sosialisme tanpa kebebasan adalah perbudakan dan sebuah bentuk kebrutalan.”[5]

Beberapa hal penting menjadi catatan. Pertama, anarko-sindikalisme berakar dari revolusi Prancis. Di satu sisi, ketika revolusi industri meluas maka ia melahirkan kelas elit kapitalis, dan elit kapitalis ini membutuhkan kekuasaan kaum monarki (penguasa negara) untuk menjalankan agendanya. Di sisi lain, untuk menjalankan agenda revolusi industri, kaum elit kapitalis juga membutuhkan buruh untuk menjalankan produksi. Di sinilah terjadi pertentangan antara kaum anarko-sindikalisme dengan elit kapitalis dan penguasa negara.

Catatan kedua, sebagai sebuah ajaran pemikiran, anarko-sindikalisme berbeda dengan komunisme. Meskipun secara akar masalah terdapat persamaan, atau setidaknya persinggungan. Jika komunisme bermaksud mendirikan diktator proletariat untuk menyelesaikan permasalahan di maksud, artinya eksistensi penguasa negara yang dahulunya diisi oleh kaum monarki (penguasa negara) digantikan oleh kekuatan diktator proletar. Maka pada anarko-sindikalisme berbeda, kaum ini justru berpendapat bahwa negara adalah bagian dari kekuatan yang juga menindas, oleh karenanya harus dilenyapkan, dan tujuannya adalah bukan hanya menciptakan tatanan tanpa kelas, tapi juga melenyapkan institusi kekuasaan seperti negara. Sederhananya, kekuatan penindas buruh bagi kaum anarko-sindikalisme ada dua, yaitu elit pemodal dan juga penguasa negara. Lalu kira-kira masyarakat seperti apa jadinya? Sebagaimana diterangkan di atas, konsepnya adalah menciptakan masyarakat tanpa negara yang ‘mutualisme’, sederajat dan saling menguntungkan.

Eksistensi Anarcho-syndicalism Dalam Bingkai Hukum Positif Negara Republik Indonesia

Dikarenakan pada May Day kemarin fenomena anarko-sindikalisme ini salah satunya terjadi di Indonesia, maka disadari atau tidak oleh kaum ini, terdapat konsekuensi hukum daripadanya. Menurut penulis, hampir bisa dipastikan gerakan yang secara tidak langsung berimplikasi ingin melenyapkan eksistensi elit pemodal dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bisa dipastikan bertentangan dengan Pancasila sebagai ideologi negara dan sebagai turunannya juga bertentangan dengan hukum positif di Indonesia.

Penulis belum memperoleh informasi apakah perkumpulan anarko-sindikalisme di Indonesia telah mempunyai badan hukum resmi. Misalnya didirikan berdasarkan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor: 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan berbunyi sebagai berikut: "Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh". Namun asumsi ini hampir tidak mungkin, karena kaum ini secara pemikiran menolak eksistensi kekuasaan negara. Meskipun demikian, sepengetahuan penulis, aturan hukum maupun produk hukum yang secara langsung menyatakan bahwa anarko-syndikalisme adalah sebuah organisasi atau paham terlarang di Indonesia juga tidak ada, atau setidaknya belum ada.

Sebagai perbandingan, mari kita lihat beberapa permasalahan sejenis. Contoh pertama adalah Komunisme. Di Indonesia, eksistensinya adalah dilarang melalui aturan hukum berupa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor: XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Diseluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia Dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.

Contoh kedua adalah terkait Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Awalnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah terdaftar di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai organisasi kemasyarakatan (ORMAS), kemudian terbit Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 yang mengubah UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Akibat bertentangan dengan aturan dimaksud (dianggap anti-Pancasila), status badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dicabut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 Tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-0028.60.10.2014 Tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Bukan hanya itu, pun setelah diajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara Jakarta dengan Nomor: 211/G/2017/PTUN.JKT. didaftarkan tanggal 13 Oktober 2017, PTUN Jakarta menolak gugatan dimaksud. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara ini juga dikuatkan pada tingkat Banding melalui Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor:196 B/2018/PT.TUN.JKT. Serta pada tingkat Kasasi Mahkamah Agung juga menolak gugatan ini melalui Putusan Nomor: 27 K/TUN/2019, diputus pada hari Kamis, 14 Februari 2019.

Belajar dari dua permasalahan sejenis di atas, yaitu Komunisme dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), maka terkait dengan isu anarko-sindikalisme di Indonesia sampai saat ini hampir bisa dipastikan bukanlah gerakan yang telah mempunyai badan hukum resmi yang selayaknya diakui negara, baik itu sebagai organisasi buruh atau organisasi kemasyarakatan. Karena dari segi pemikiran saja sudah menentang eksistensi negara. Menurut penulis, keberadaannya harus dilihat sebagai perkumpulan di luar framing hukum positif Indonesia terkait.

Konsekuensi Hukum Pidana

Akan tetapi, akibat dari tindakan mengatasnamakan apapun di wilayah Republik Indonesia yang mengakibatkan kerusakan fasilitas publik seperti telah disebutkan di awal, menjadikan perbuatan dimaksud (merusak pagar halte Tosari Trans Jakarta) potensial dapat dipidana sebagaimana diatur dalam Pasal 170 dan/atau Pasal 406 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).  

Pasal 170 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi sebagai berikut: “(1)   Barang siapa yang di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan. (2)   Tersalah dihukum: 1. Dengan penjara  selama-lamanya tujuh tahun, jika ia dengan sengaja merusakkan barang atau kekerasan yang dilakukannya itu menyebabkan sesuatu luka; 2. Dengan penjara selama-lamanya sembilan tahun, jika kekerasan itu menyebabkan luka berat pada tubuh; 3. Dengan penjara selama-lamanya dua belas tahun, jika kekerasan itu menyebabkan matinya orang”.

Pasal 406 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi sebagai berikut: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

Dalam perspektif hukum, terdapat ancaman pidana sebagaimana diatur dalam pasal-pasal KUHP di atas dalam hal ekspresi pemikiran melanggar koridor hukum. Saran penulis, ekspresi pemikiran bisa melalui cara lain agar tidak melanggar hukum, salah satunya mungkin bisa melalui seni tarik suara seperti John Lenon dalam lagunya berjudul “Imagine” (1971) yang beberapa bait liriknya dikutip sebagai berikut: “...Imagine there's no countries, It isn't hard to do, Nothing to kill or die for, And no religion too, Imagine all the people living life in peace, you... Imagine no possessions, I wonder if you can, No need for greed or hunger, A brotherhood of man, Imagine all the people sharing all the world, you...”.

________________________________
1.  Vandalisme”, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Online), https://kbbi.web.id/vandalisme
2.  "Tiga Abad Anarkisme Eropa”, Devi Fitria, 07 Januari 2011, Historia.id., https://historia.id/politik/articles/tiga-abad-anarkisme-eropa-6lB3v
3.  Ibid.
4.  Ibid.
5.  Ibid.

Selasa, 30 April 2019

Sejarah Perpindahan Ibu Kota Republik Indonesia dan Aspek Hukumnya

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo


Rencana Pemindahan Ibu Kota Negara Ke Luar Pulau Jawa

Presiden Joko Widodo memutuskan untuk memindahkan Ibu Kota ke luar pulau Jawa. Hal itu diputuskan Jokowi dalam rapat terbatas terkait pemindahan Ibu Kota di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (29/4/2019). Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengatakan, Jokowi berencana memindahkan Ibu Kota ke luar Jawa. [1] Hal ini menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat, meskipun demikian rencana ini bukanlah hal baru.

"Dalam rapat tadi diputuskan, Presiden memilih alternatif ketiga, yaitu memindahkan Ibu Kota ke luar Jawa. Ini barangkali salah satu putusan penting yang dilahirkan hari ini," kata Bambang. Menurut Bambang, keputusan Jokowi itu diambil dengan mempertimbangkan agar Indonesia tidak Jawa sentris. Diharapkan nantinya pertumbuhan ekonomi bisa merata di setiap wilayah. [2]

Menurut penulis, setidaknya ada dua hal penting dari berita di atas, pertama adalah ibu kota akan dipindahkan ke luar jawa, dan kedua adalah tujuan dari rencana tersebut agar pertumbuhan ekonomi merata di setiap wilayah, alasannya adalah faktor ekonomi. Sepanjang sejarah Negara Republik Indonesia, perpindahan Ibu Kota Negara bukanlah hal yang baru, setidaknya tercatat telah dua kali mengalami perpindahan, ke daerah mana saja itu? Apa saja alasan utamanya? Serta apa dasar hukumnya?

Sejarah Perpindahan Ibu Kota Republik Indonesia

Sepanjang sejarah perjuangan negara ini, Indonesia setidaknya mengalami dua kali perpindahan Ibu Kota. Pertama adalah perpindahan dari Jakarta ke Yogjakarta ketika terjadi Agresi Militer I Belanda, dan kedua adalah perpindahan dari Yogyakarta ke Bukittinggi untuk mencegah kekosongan kekuasaan setelah Agresi Militer II dari Belanda.

Perpindahan Ibu Kota Negara Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta hanya berselang lima bulan setelah deklarasi kemerdekaan. Pemindahan Ibu Kota dilakukan karena Belanda datang kembali ke Indonesia dengan membonceng Sekutu dan Jakarta berhasil diduduki pada 29 September 1945. [3] Kemudian pada tanggal 2 Januari 1946 Sultan HB IX mengirimkan kurir ke Jakarta dan menyarankan agar ibukota NKRI dipindah ke Yogyakarta. Tawaran Sultan diterima dengan oleh Soekarno, sehingga  tanggal 4 Januari ibukota NKRI resmi pindah ke Yogyakarta. [4] Inilah perpindahan pertama, yaitu pada 4 Januari 1946. Adapun alasannya, setelah jatuhnya Jakarta ke tangan Belanda dan Sekutu, maka Yogyakarta dinilai sebagai wilayah yang paling siap dari sisi ekonomi, politik dan keamanan pada waktu itu.  

Setelah Ibu Kota Negara Indonesia pindah ke Yogyakarta, kerajaan Belanda melancarkan agresi militer II pada 19 Desember 1948. Sederhananya, setelah kembali menginjakan kaki di nusantara, khususnya di Jakarta melalui Agresi Militer I dengan membonceng Sekutu, Kerajaan Belanda ingin kembali berkuasa. Maka dibuatlah Agresi Militer II, hal ini bertujuan untuk menumpas pemerintahan negara Indonesia yang baru saja diproklamasikan. Mengembalikan kendali kekuasaan kolonial Kerajaan Belanda di nusantara. Agresi Militer II ini mengakibatkan jatuhnya Yogyakarta sebagai Ibu Kota Negara Indonesia ke tangan Belanda, dan pemimpin Republik Indonesia tertinggi, yaitu Soekarno-Hatta ditangkap dan kemudian diasingkan ke luar jawa.

Namun sebelum diasingkan Presiden Sokarno memberikan surat kuasa kepada Safrudin Prawiranegara yang berada di Bukittinggi untuk mendirikan pemerintahan darurat. [5] Tanggal 22 Desember 1948, Syafruddin mengumumkan berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatera Barat. PDRI dibentuk karena Belanda menduduki Ibu Kota RI saat itu, Yogyakarta. Para pemimpin Republik pun ditangkap, termasuk Sukarno, Mohammad Hatta, Soetan Sjahrir, dan lainnya, lalu diasingkan ke luar Jawa. [6] Dengan demikian, hanya berselang dua hari setelah kejatuhan Yogyakarta, dibentuklah pemerintahan darurat Republik Indonesia di Bukittinggi, Sumatera Barat. Inilah perpindahan kedua, adapun alasan perpindahan Ibu Kota dari Yogyakarta ke Bukittinggi ini adalah dikarenakan pemerintahan berada pada kondisi darurat.

Dasar Hukum Perpindahan Ibu Kota Republik Indonesia

Dari latar sejarah dapat kita pahami bahwa perpindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Yogyakarta, dan dari Yogyakarta ke Bukittinggi, kedua-duanya disebabkan oleh faktor utama yaitu keadaan darurat. Jatuhnya wilayah Jakarta dan Yogyakarta ke tangan Sekutu dan Belanda pada waktu itu menjadi alasan utama dipindahkannya Ibu Kota Negara.

Dalam keadaan darurat seperti telah dijelaskan di atas, aspek hukum terkait perpindahan Ibu Kota Negara, terutama berdasarkan hukum positif pada waktu itu tidaklah mengemuka. Meskipun demikian, adalah tidak tepat pula jika mengatakan pada waktu itu tidak ada dasar hukumnya. Menurut hemat penulis, hal ini bisa dikembalikan dasar hukumnya kepada Undang-undang Dasar 1945 yang disahkan dan dinyatakan berlaku pada 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Setidaknya terdapat satu pasal di dalam Undang-undang Dasar 1945 sebelum amandemen yang relevan pada waktu itu, pertama adalah Pasal 4 ayat (1). Adapun bunyinya adalah sebagai berikut:

Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945: “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.

Juga relevan adalah Pasal 12 Undang-undang Dasar 1945, perihal Presiden menyatakan keadaan bahaya. Akan tetapi, dalam kondisi darurat seperti itu, Presiden berperan dominan sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan. Maka secara hukum Presiden menjadi berwenang untuk memindahkan Ibu Kota Negara dari satu daerah Indonesia ke daerah lainnya. Mungkin harus dikaji kembali sumber-sumber sejarah terkait sisi hukum administrasi pemerintahannya sebagai instrumen hukum turunan dari Undang-undang Dasar. Sehingga belum telihat ketika Presiden Soekarno memindahkan Ibu Kota Negara Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta pada waktu itu dengan menerbitkan instrumen hukum apa? Dan alih tangan kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno ke Syafruddin Prawiranegara yang mengumumkan berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi memakai instrumen hukum apa? Namun demikian, kita tentunya tidak dapat selalu berpikir positivistik an sich, karena pemerintahan negara pada waktu itu sangatlah tidak ideal.

Beda dulu dengan sekarang. Sebagaimana diterangkan di awal, alasan pemindahan Ibu Kota Negara saat ini adalah terutama dikarenakan faktor ekonomi, yaitu melakukan pemerataan pertumbuhan. Saat ini tidak ada alasan negara dalam keadaan darurat sebagaimana alasan pemindahan Ibu Kota sebelumnya pada awal perjuangan kemerdekaan. Lalu bagaimana dengan instrumen hukumnya?

Sebagaimana diatur dalam Undang-undang Dasar 1945, sampai dengan amandemen ke-4, tidak diatur mengenai ketentuan Ibu Kota Negara Indonesia harus di wilayah tertentu, namun yang pasti masih di dalam wilayah Republik Indonesia (vide Pasal25 A Undang-undang Dasar 1945). Siapa yang dapat mengambil kebijakan atas pemindahan Ibu Kota Negara Indonesia? Jawabannya adalah Presiden, dasar hukumnya adalah Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana dikutip di atas. Apa bentuk instrumen hukum turunan dari Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 untuk melandasi kebijakan pemindahan Ibu Kota Negara Indonesia? Jawabannya menurut hemat penulis adalah cukup dengan diterbitkan Keputusan Presiden (Keppres). Entah jika kemudian Presiden mempunyai pertimbangan lain, misalnya dengan mengusulkan Undang-undang ke DPR. Mari kita cermati bersama perkembangannya.

_______________________________
1.  Kompas.com, "Rencana Pemindahan Ibu Kota, Bagaimana Nasib Jakarta?", 30 April 2019,  https://megapolitan.kompas.com/read/2019/04/30/08063981/rencana-pemindahan-ibu-kota-bagaimana-nasib-jakarta.
2.  Ibid.
3.  Liputan6.com, “Cerita di Balik Aksi Pindah Ibu Kota ke Jogja”, 15 Agustus 2016, https://www.liputan6.com/regional/read/2577674/cerita-di-balik-aksi-pindah-ibu-kota-ke-jogja
4.  Republika.Co.id, "Tanggal 4 Januari 1946 Ibukota NKRI Pindah ke Yogyakarta", 04 Jan 2011, https://nasional.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/11/01/04/156100-tanggal-4-januari-1946-ibukota-nkri-pindah-ke-yogyakarta
5.  Jagosejarah.blogspot.com, 22 September 2016, http://jagosejarah.blogspot.com/2014/09/agresi-militer-belanda-2.html
6.  Tirto.id., “Syafruddin Prawiranegara: Menyelamatkan Republik, Lalu Membelot", 15 Februari 2018, https://tirto.id/syafruddin-prawiranegara-menyelamatkan-republik-lalu-membelot-cEwq.

Sabtu, 27 April 2019

Indonesia Constitution of 1945, Bilingual

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Undang-undang Dasar 1945 disahkan pertama kali pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Dalam perjalanan kenegaraan, sempat berlaku Konstitusi RIS, dan UUDS 1950, namun kembali ke Undang-undang Dasar 1945.

Semenjak era Reformasi, telah dilakukan empat (4) kali amandemen Undang-undang Dasar 1945. Pertama, adalah pada Sidang Umum MPR tahun 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999. Amandemen kedua adalah pada Sidang Umum MPR tahun 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000. Ketiga adalah pada Sidang Umum MPR tahun 2001, tanggal 1-9 November 2001. Serta, amandemen keempat adalah pada Sidang Umum MPR tahun 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002.  

Berikut adalah Undang-undang Dasar 1945 dimaksud dalam dua bahasa, yaitu Indonesia dan Inggris, tautan di sini.


Kamis, 25 April 2019

Warisan Satjipto Rahardjo Untuk Hukum Indonesia

(id.Wikipedia.org)

Oleh:
Tim Hukumindo

Satjipto Rahardjo

Tokoh berikut ini dikenal sebagai seorang akademisi ulung. Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., dilahirkan di Banyumas, tanggal 15 Desember 1930, adalah Guru Besar Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum-Universitas Diponegoro Semarang. Masyarakat mengenalnya sebagai seorang penulis yang produktif dan sebagian mengenalnya sebagai seorang yang memiliki pena emas yang tajam, sebagian lagi mengenalnya sebagai seorang analis masyarakat dan hukum yang kritis.[1]

Satjipto Rahardjo adalah putra tunggal dari Saleh Kartohoesodo, seorang Mantri Kesehatan di Semarang. Sejak membangun rumah tangga dengan Roesmala Dewi, putri dari dokter Gusti Hasan-Tanggerang, telah dikaruniai empat orang putra-putri ialah Paramita, Harimulyadi, Diah Utami Sandyarini dan Dian Riski Dinihari.[2] Lihat artikel lain dari penulis terkait hukum progresif di laman berikut.

Satjipto Rahardjo meninggal pada hari Jumat, tanggal 8 Januari 2010, di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta akibat penyakit Jantung, dalam usia 79 tahun. Jenazah guru besar emeritus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ini dimakamkan di Pemakaman Keluarga Besar Univesitas Diponegoro di kawasan Tembalang, Kota Semarang.[3] Selamat jalan Prof. Tjip.


Paradigma Hukum Progresif

Sudah banyak murid dan para pengulas hukum progresif di Indonesia. Beragam literatur bisa disebutkan di sini terkait dengan paradigma hukum progresif Satjipto Rahardjo, diantaranya adalah berjudul:
  1. Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia;
  2. Penegakkan Hukum Progresif;
  3. Membedah Hukum Progresif;
  4. Menggagas Hukum Progresif Indonesia;
  5. Metodologi Penelitian Hukum Progresif;
  6. Masa Depan Hukum Progresif;
  7. Memahami Hukum Progresif;
  8. Dialektika Hukum Progresif;
  9. Satjipto Rahardjo: Sebuah Biografi Intelektual & Pertaruangan Tafsir Terhadap Hukum Progresif;
  10. Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif;
  11. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Perspektif Hukum Progresif;
  12. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif;
  13. Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Perspektif Hukum Progresif;
  14. Satjipto Rahardjo Dan Hukum Progresif, Urgensi Dan Kritik;
  15. Membumikan Hukum Progresif;
  16. Penyidikan Dan Penegakan Hukum Pidana, Melalui Pendekatan Hukum Progresif;
  17. Pilar-pilar Hukum Progresif;
  18. Pemaknaan Hukum Progresif;
  19. Mafia Hukum: Mengungkap Praktik Tersembunyi Jual Beli Hukum dan Alternatif Pemberantasannya dalam Perspektif Hukum Progresif;
  20. Teori Hukum Integratif;
  21. Biarkan Hukum Mengalir;
  22. Hukum Kata Kerja: Diskursus Filsafat Tentang Hukum Progresif;
  23. Kebijakan Hukum Pertanahan: Sebuah Refleksi Keadilan Hukum Progresif.
Penulis juga salah satu pengulas hukum progresif Satjipto Rahardjo, bahkan salah satu yang paling awal. Penulis adalah salah satu orang yang sangat beruntung dapat mewawancarai langsung almarhum pada kediamannya di Kota Semarang. Sebenarnya buku yang kemudian terbit berjudul: “Menyelami Semangat Hukum Progresif: Terapi Paradigmatik Bagi Lemahnya Hukum Indonesia”, AntonyLib, Yogyakarta, 2009, yang merupakan karangan Penulis adalah skripsi sebagai syarat meraih gelar Sarjana Filsafat di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Intinya adalah untuk menegakkan hukum di Indonesia yang lemah pasca Reformasi, ditawarkan paradigma berpikir alternatif oleh Satjipto Rahardjo berupa hukum progresif. Sebagai tawaran penyelesaian, hendaknya agar tegaknya hukum tidak terpaku pada pendekatan teks semata, namun melalui pendekatan sistemik yang lebih menyeluruh.

Warisan Satjipto Rahardjo Untuk Hukum Indonesia

Menurut hemat penulis, sebagai seorang akademisi, warisan terbesar Satjipto Rahardjo kepada dunia hukum Indonesia adalah berupa pemikiran. Pemikiran yang dimaksud adalah paradigma hukum progresif. Paradigma hukum progresif adalah seperangkat cara pandang/analisa/optik khas Satjipto Rahardjo terhadap objek hukum. Diantara ciri-ciri dominan paradigma hukum ini menurut hemat penulis adalah: sosiologis, kritis dan sistemik.

Memang salah satu khas pemikiran Satjipto Rahardjo adalah memandang hukum sebagai ilmu sosial, permasalahan hukum adalah sebagian dari permasalahan sosial-masyarakat. Dari kalangan yang bersebrangan (kalangan Positivistik-Legalistik), seringkali disindir bahwa Satjipto Rahardjo membicarakan hukum tanpa sedikitpun menyinggung Undang-undang. Kritis dalam artian menjadi penolak kondisi status quo yang dalam kondisi tidak ideal. Serta sistemik dalam artian menawarkan solusi atas permasalahan hukum dengan melibatkan aspek atau disiplin ilmu lain di luar hukum.

Dikarenakan warisan ini adalah berupa paradigma, lalu timbul pertanyaan apa paradigma hukum progresif ini telah menunjukan sumbangsihnya dalam praktik hukum? Jawabannya iya. Salah satu contoh sederhana adalah terkait terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP. Dengan aturan ini, kasus-kasus pencurian dengan nilai kerugian sangat minim seperti pencurian buah kakao oleh Mbok Minah dan pencurian 6 piring oleh Rasminah, dilarang ditahan di penjara. Hal ini adalah sebuah kemajuan. Paradigma hukum progresif kembali mengingatkan kita bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya manusia untuk hukum. 
________________________________
1.     "Biografi Nasional Di Daerah Jawa Tengah”, A.T. Soegito, Slamet Ds., Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983/1984, Hal.: 23. Lihat di laman: https://books.google.co.id/books?id=e23RCgAAQBAJ&pg=PA23&lpg=PA23&dq=satjipto+rahardjo%2Bbiografi&source=bl&ots=D4XDQtjtLt&sig=ACfU3U3egr4WTwOllf_B9BHk2u5eMG6xvw&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwjZ8_i7-d3hAhUUg-YKHR0NCtI4FBDoATAAegQIChAB#v=onepage&q=satjipto%20rahardjo%2Bbiografi&f=false
2.     A.T. Soegito, Slamet Ds., Ibid., Hal.: 24.
3.     "Satjipto Rahardjo Dimakamkan di Pemakaman Undip", www.kompas.com, https://nasional.kompas.com/read/2010/01/08/2056096/satjipto.rahardjo.dimakamkan.di.pemakaman.undip.

Senin, 22 April 2019

Cara Membuat Surat Gugatan Perceraian (Jakarta)

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Mengapa anda perlu Membaca artikel ini?

1.
Anda akan membuat Surat Gugatan Perceraian Sederhana.

2.
Tidak perlu datang ke LBH (Lembaga Bantuan Hukum) atau POSBAKUM (Pos Bantuan Hukum) atau Kantor Advokat, anda akan membuatnya sendiri!

3.
Tutorial yang disajikan mudah dimengerti oleh orang yang awam hukum dan Gratis.

4.
Contoh tersedia, sehingga mudah dilakukan. Hanya 4 (empat) halaman saja!

Setelah anda membaca artikel dalam website ini dengan judul: Gugatan Cerai di Jakarta dan masih merasa kesulitan karena juga tidak mau keluar biaya untuk membayar Advokat guna membuat surat gugatan, atau anda juga merasa tidak mempunyai waktu yang cukup untuk mendatangi Pengadilan Agama/Negeri terkait guna mendapatkan informasi, atau mungkin masih merasa malu menampakan diri di Pengadilan karena sedang bermasalah secara hukum. Maka disinilah tempatnya, anda akan dibimbing membuat Surat Gugatan Perceraian Sederhana.

Ingat, tutorial ini adalah langsung berupa membuat gugatan cerai sederhana, dengan Posisi Penggugat adalah Wanita dan alasan gugatan berupa Perselisihan secara terus menerus. Agar memperlancar, anda harus membaca artikel terkait sebelumnya dalam website ini sebagai persiapan terlebih dahulu.

A. Bagian-bagian dalam Surat Gugatan Yang Harus Ada

1. Pastikan Surat Gugatan anda mencantumkan Lokasi anda berada, Tanggal Gugatan didaftarkan, dan Perihal. Contoh sebagaimana berikut:
(istimewa, Penulis)

2. Pastikan Surat Gugatan anda mencantumkan Institusi yang berwenang mengadili gugatan anda. Contoh sebagai berikut:
(istimewa, Penulis)

3. Sebagai sebuah cerminan surat resmi dan perilaku sopan-santun, Surat Gugatan anda hendaknya mencantumkan ucapan salam dan ucapan hormat. Contohnya sebagaimana berikut ini:
(istimewa, Penulis)

4. Pastikan Surat Gugatan anda mencantumkan data diri lengkap Penggugat. Contoh sebagai berikut:
(istimewa, Penulis)

Perhatikan di sini, nama anda harus mencantumkan juga "Binti" (untuk wanita) dan "Bin" (untuk pria) atau 'anak dari' menyebut orang tua kandung lelaki Penggugat. Cantumkan juga jenis kelamin. Cantumkan tempat dan tanggal lahir anda. Wajib mencantumkan agama anda, hal ini penting, jika muslim maka daftar gugatan di Pengadilan Agama, dan jika non muslim daftar gugatan di Pengadilan Negeri. Cantumkan Pekerjaan anda. Cantumkan alamat lengkap anda, hal ini penting karena Pemanggilan Sidang adalah melalui surat resmi, oleh karena itu alamat HARUS LENGKAP dari Jalan, Nomor Rumah, RT/RW, Desa/Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten/Kota dan Provinsi, alamat juga menunjuk Pengadilan mana yang berhak mengadili gugatan anda. Lengkapi alamat anda! Akhiri dengan menyebutkan Posisi anda dalam Gugatan, cantumkan kata bahwa anda dalam perkara ini adalah seorang "Penggugat".

5. Pastikan Surat Gugatan anda mencantumkan data diri lengkap Tergugat. Contoh sebagai berikut:
(istimewa, Penulis)

Perhatikan instruksi pada angka 4 (empat) di atas. 
Akhiri dengan menyebutkan Posisi lawan anda dalam Gugatan, cantumkan kata bahwa lawan dalam perkara ini adalah seorang "Tergugat".

6. Pastikan Surat Gugatan anda mencantumkan uraian mengenai alasan-alasan gugatan secara runtut dan sistematis. Contoh di bawah ini:
(istimewa, Penulis)

Pada bagian pertama dalil/alasan gugatan anda adalah berisi mengenai ikatan hukum antara Suami-isteri. Cantumkan tanggal pernikahan anda. Cantumkan juga Kantor Urusan Agama (KUA) yang mencatatkan pernikahan anda. Cantumkan nomor kutipan/buku nikah anda serta tanggal penerbitannya.


7. Pastikan Surat Gugatan anda mencantumkan uraian selanjutnya, yaitu tujuan perkawinan anda dahulu serta alamat ketika anda dan isteri/suami masih hidup rukun bersama. Perhatikan contoh berikut:
(istimewa, Penulis)

8. 
Pastikan Surat Gugatan anda mencantumkan uraian selanjutnya, yaitu akibat pernikahan dengan lahirnya anak kandung. Contoh adalah sebagai berikut:
(istimewa, Penulis)

Cantumkan nama serta "Bin/Binti"-nya, Jenis Kelamin, Tanggal Lahir, serta Kutipan Akta Kelahirannya. Bagi yang belum mempunyai anak, maka dicantumkan belum dikaruniai keturunan.


9. Pastikan Surat Gugatan anda mencantumkan uraian berikutnya, yaitu kronologi awal mula terjadi perselisihan dalam perkawinan. Perhatikan contoh berikut ini:
(istimewa, Penulis)

Cantumkan waktu mulainya terjadi perselisihan. Jangan lupa untuk mencantumkan sebab-sebab terjadinya perselisihan. Sebagaimana contoh di atas misalnya, adalah disebabkan Tergugat main perempuan, serta suka main judi online atau game online secara berlebihan sampai lupa waktu.


10. Pastikan Surat Gugatan anda mencantumkan uraian berikutnya, yaitu puncak dari perselisihan pernikahan anda. Perhatikan contoh berikut ini:
(istimewa, Penulis)

Puncak perselisihan adalah saat dimana anda merasa tidak dapat lagi melanjutkan hubungan pernikahan anda dengan pasangan. Biasanya ditandai dengan kejadian pisah rumah.


11. Pastikan Surat Gugatan anda mencantumkan uraian selanjutnya, yaitu usaha musyawarah untuk menyelesaikan perselisihan yang telah pernah dilakukan. Perhatikan contoh di bawah ini:


(istimewa, Penulis)

12. Pastikan Surat Gugatan anda mencantumkan uraian berikut, yaitu pernyataan bahwa pernikahan yang tengah anda jalani telah berada di tubir perpisahan dan tidak dapat di bina kembali. Maka lebih baik diputus dengan cerai. Lihat contoh di bawah ini:
(istimewa, Penulis)

13. Pastikan Surat Gugatan anda mencantumkan uraian berikutnya, yaitu dasar hukum suatu perceraian yang disebabkan oleh Pertengkaran yang terus menerus terjadi. Perhatikan contoh berikut:
(istimewa, Penulis)

14. Pastikan Surat Gugatan anda mencantumkan uraian berikutnya, yaitu dasar hukum mengenai perintah bagi Pengadilan Agama dimana anda mengajukan gugatan untuk mengirimkan salinan putusan dan mencatatkan perceraian anda di Kantor Urusan Agama (KUA) terkait. Lihat contoh berikut ini:
(istimewa, Penulis)

Perhatikan bahwa pencatatan perceraian bagi seorang muslim adalah di Kantor Urusan Agama (KUA), dan bagi non muslim adalah di Kantor Catatan Sipil (Casip) terkait. Untuk non muslim, anda harus mengurus sebagai tahapan tersendiri di Kantor Catatan Sipil, selepas anda telah menerima Salinan Putusan pada Pengadilan Negeri tempat diajukannya gugatan.

15. Pastikan Surat Gugatan anda mencantumkan uraian berikutnya, yaitu pernyataan mengenai permohonan yang anda inginkan. Lihat contoh di bawah ini:
(istimewa, Penulis)

Hal ini dalam bahasa hukum dinamakan sebagai pernyataan mengenai permohonan petitum yang diinginkan.


16. Pastikan Surat Gugatan anda mencantumkan uraian selanjutnya, yaitu permohonan yang sifatnya pokok (primair), pertama yaitu adanya permohonan agar hakim mengabulkan seluruh gugatan Penggugat. Contoh sebagai berikut:
(istimewa, Penulis)

17. Pastikan Surat Gugatan anda mencantumkan uraian petitum/isi permohonan berikutnya, yaitu penjatuhan talak suami kepada isteri (Penggugat) dan pencatatan perceraian anda. Lihat contoh di bawah ini:
(istimewa, Penulis)

Perhatikan bahwa pada contoh di atas, yang dijatuhkan adalah talak satu, sederhananya perceraian pertama. Juga permohonan agar dicatatkan perceraiannya pada Kantor Urusan Agama (KUA) terkait.


18. Pastikan Surat Gugatan anda mencantumkan uraian petitum/isi permohonan berikutnya, yaitu menetapkan biaya-biaya yang telah ditetapkan oleh Pengadilan. Serta mencantumkan pula uraian petitum/isi permohonan yang sifatnya "subsidair" agar diputus dengan putusan yang adil. Perhatikan contoh berikut ini:
(istimewa, Penulis)

Catatan: Petitum/isi permohonan yang sifatnya "subsidair" adalah keharusan untuk dicantumkan, karena sebagai pencari keadilan Penggugat tidak dalam posisi memutus, oleh karenanya memohon agar perkaranya diputus secara adil seadil-adilnya.


19. Pastikan Surat Gugatan anda mencantumkan ucapan salam sebagai penutup. Serta mengucapkan salam hormat sebagai penutup. Lihat contoh sebagaimana berikut:
(istimewa, Penulis)

Jangan lupa juga untuk mencantumkan kolom tanda tangan bagi anda selaku Penggugat.


B. Tanda Tangani Surat Gugatan Anda!


Setelah anda menyelesaikan tahap demi tahap tutorial Pembuatan Surat Gugatan Sederhana sebagaimana di atas, kemudian cetak/print lah Surat Gugatan anda. Setelah itu, bubuhi meterai tempel Rp. 10.000,- dan PASTIKAN anda MENANDATANGANI Surat Gugatan dimaksud sebelum dilakukan photo copy dan didaftarkan.

Sampai saat ini, anda telah menyelesaikan tahapan Pembuatan Surat Gugatan. Selamat! Selanjutnya anda dapat mendaftarkan Gugatan anda pada Pengadilan Terkait. 


What is a Bridging Visa?

( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Indonesia Immigration Implements Bridging ...