Tim Hukumindo
Telah
kita lewati kuliah sebelumnya berjudul: ‘Istilah dan Pengertian Delik’, selanjutnya dalam kesempatan ini akan dibahas
mengenai Subjek delik dan Rumusan delik.
Subjek Delik
Delik
mempunyai sifat melarang atau mengharuskan suatu perbuatan tertentu dengan
ancaman pidana kepada barangsiapa yang melakukannya. Delik ditujukan kepada
yang memperkosa kepentingan hukum, membahayakan kepentingan hukum, dengan
tujuan untuk menjaga kepentingan hukum. Kepentingan hukum yang dimaksudkan
meliputi kepentingan negara, kepentingan masyarakat, dan kepentingan individu.[1]
Hubungan
antara sifat delik yang demikian itu dan kepentingan hukum yang harus
dilindungi, maka yang menjadi subjek delik pada umumnya adalah manusia (een natuurlijk persoon). Vos dalam
Bambang Poernomo memberikan penjelasan mengapa hanya manusia yang dapat menjadi
subjek delik:[2]
- Terdapat rumusan yang dimulai dengan “hij die...” di dalam peraturan undang-undang pada umumnya, yang berarti tidak lain adalah manusia;
- Jenis-jenis pidana pokok hanya dapat dijalankan tidak lain daripada oleh manusia;
- Di dalam hukum pidana berlaku azas kesalahan bagi seorang manusia pribadi.
Bambang
Poernomo menambahkan, perkembangan di dalam perundang-undangan hukum pidana
baru ternyata bagi badan hukum (rechtspersoon)
dapat juga dipidana dengan penetapan sebagai tindakan, dan di dalam undang-undang fiscal dapat dipidana badan hukum dengan reele executie atas harta kekayaannya.[3]
Rumusan Delik
Di
dalam bahasannya, Bambang Poernomo membandingkan rumusan delik dari para ahli
hukum pidana seperti Jonkers dan Vos. Dengan asumsi berbagai bentuk
perumusan delik disebabkan oleh faktor-faktor seperti teknis-yuridis,
yuridis-sosiologis dan politis.[4]
Jonkers
mengenal empat jenis metode rumusan delik di dalam undang-undang, terdiri atas:[5]
- Yang lazim menyebutkan rumusan dengan cara menerangkan isi delik dan keterangan itu dapat dijabarkan menjadi unsur-unsur perbuatan yang dapat dipidana, seperti misalnya Pasal 279, 281, 286, 242 dan sebagainya dalam KUHP;
- Dengan cara menerangkan unsur-unsur dan memberikan pensifatan (kualifikasi), seperti misalnya pemalsuan Pasal 263, pencurian Pasal 362, Penggelapan Pasal 372, penipuan Pasal 378 dalam KUHP;
- Cara yang jarang dipakai adalah hanya memberikan pensifatan kualifikasi saja seperti misalnya Penganiayaan Pasal 351, pembunuhan Pasal 338 dalam KUHP;
- Kadang kala undang-undang merumuskan ancaman pidananya saja untuk peraturan-peraturan yang masih akan dibuat kemudian seperti misalnya Pasal 521 dan Pasal 122 ayat (1) KUHP;
Vos
berpendapat hanya mengenal tiga macam rumusan delik, yaitu:[6]
- Rumusan yang merupakan bagian-bagian delik (de kenmerken of feitelijke bestanddelen), misalnya Pasal 362, 372, 378 KUHP, dan Pasal 167 dan sebagainya dalam KUHP, akan tetapi tentang pencurian, penggelapan dan sebagainya itu mengandung pula rumusan kualifikasi;
- Rumusan yang menyebutkan kualifikasi delik (de juridische benaming of qualificatie), seperti misalnya Pasal 351 tentang Penganiayaan, Pasal 297 tentang Perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum cukup umur dan sebagainya dalam KUHP;
- Rumusan yang hanya memuat ancaman pidana (de strafbedreiging) seperti misalnya Pasal 122, 564, 566 KUHP.
Metode
perumusan delik dari Vos maupun Jonkers tidak ada perbedaannya dan pendapat
inilah yang sekiranya dapat diikuti untuk mengenal metode, perumusan delik atas
dasar teknik penyusunan. Ada pendapat lain yang mengatakan rumusan delik dapat
dibagi atas dasar tingkah lakunya (gedraging)
yang dapat menjadi perumusan kelakuan positif/handelen sebagai “commissiedelict”,
atau sebaliknya dengan kelakuan negatif/nalaten
sebagai “ommissiedelict”,
sehingga kedua rumusan dengan bentuk nyata-nyata dari kelakuan itu dinamakan “formeeldelict”, sedangkan rumusan akibat
dari kelakuan dinamakan “materieldelict”.[7]
_________________________________
|
1. “Asas-asas
Hukum Pidana”, Prof.
DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia
Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 92-93.
2. Ibid.
Hal.: 93.
3. Ibid.
Hal.: 93.
4. Ibid.
Hal.: 94-95.
5. Ibid.
Hal.: 94.
6. Ibid.
Hal.: 94-95.
7. Ibid.
Hal.: 95.