(iStock)
Oleh:
Tim Hukumindo
Sebelumnya
platform Hukumindo.com telah membahas mengenai
Tempat dan Biaya Mediasi, dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Syarat Formil Putusan Perdamaian.
Permasalahan syarat formil putusan perdamaian tidak hanya merujuk pada ketentuan Pasal 130 dan 131 HIR, tetapi juga pada ketentuan lain seperti Bab XVIII, Buku Ketiga KUHPerdata (Pasal 1851-1864). Tanpa mengurangi ketentuan PERMA Nomor: 2 Tahun 2003 sebagai modifikasi Pasal 130 HIR, Pasal 154 RBg, mediator maupun hakim perlu mengetahui setidaknya 4 syarat formil putusan perdamaian yang akan dibahas berikut.[1]
Pertama, persetujuan perdamaian harus mengakhiri perkara secara tuntas dan keseluruhan. Tidak boleh ada yang tertinggal. Perdamaian harus membawa para pihak terlepas dari seluruh sengketa. Tidak ada lagi yang disengketakan karena semuanya telah diatur dan dirumuskan penyelesaiannya dalam perjanjian. Selama masih ada yang belum diselesaikan dalam kesepakatan, putusan perdamaian yang dikukuhkan dalam bentuk penetapan akta perdamaian mengandung cacat formil, karena bertentangan dengan persyaratan yang ditentukan Pasal 1851 KUHPerdata. Oleh karena itu, jika syarat ini dihubungkan dengan proses mediasi yang digariskan PERMA Nomor: 2 Tahun 2003, hakim harus benar-benar memperhatikan hal tersebut, pada saat diminta pengukuhan menjadi akta perdamaian. Sekiranya para pihak ternyata tidak mengakhiri sengketa yang diperkarakan secara tuntas, hakim dapat menolak mengukuhkannya menjadi akta perdamaian.[2]
Kedua, syarat kedua sebagaimana digariskan oleh Pasal 1851 KUHPerdata mengenai bentuk persetujuan adalah: a). Berbentuk akta tertulis, boleh di bawah tangan yang ditanda-tangani kedua belah pihak; b). Tidak dibenarkan persetujuan dalam bentuk lisan atau oral; c). Setiap persetujuan perdamaian yang tidak dibuat secara tertulis, dinyatakan tidak sah. Mengenai hal ini, Pasal 11 ayat (1) PERMA sudah sejalan dengan Pasal 130 HIR dan Pasal 1851 KUHPerdata, yang mengharuskan kesepakatan wajib merumuskan secara tertulis.[3]
Ketiga, syarat ini berkaitan dengan ketentuan Perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 ke-2 Jo. Pasal 1330 KUHPerdata. Meskipun Pasal 1320 KUHPerdata mempergunakan istilah tidak cakap dan Pasal 1852 KUHPerdata istilah tidak mempunyai kewenangan, maksudnya adalah sama, yaitu yang bertindak membuatnya tidak mempunyai kekuasaan untuk itu, disebabkan yang bersangkutan tidak mempunyai kedudukan dan kapasitas sebagai persona standi in judicio. Yang tidak cakap ini berdasarkan Pasal 1330 KUHPerdata terdiri atas orang yang belum dewasa dan orang yang dibawah pengampuan. Namun yang dimaksud dengan orang yang tidak mempunyai kekuasaan membuat perdamaian, lebih luas dari itu. Meliputi juga badan hukum yang belum mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM, dianggap tidak memiliki kekuasaan membuat persetujuan perdamaian atas nama Perseroan (PT) yang bersangkutan.[4] Menurut hemat penulis, singkatnya seseorang yang membuat perjanjian di sini adalah harus dalam kedudukan dan kapasitasnya sebagai persona standi in judicio.
Keempat, seluruh pihak yang terlibat dalam perkara ikut dalam persetujuan Perdamaian. Artinya yang terlibat dalam persetujuan perdamaian tidak boleh kurang dari pihak yang terlibat dalam perkara. Semua orang yang bertindak sebagai Penggugat dan orang yang ditarik sebagai Tergugat, mesti seluruhnya ikut ambil bagian sebagai pihak dalam persetujuan perdamian. Membuat kesepakatan yang tidak mengikutsertakan seluruh pihak Penggugat dan Tergugat dianggap mengandung cacat plurium litis consortium, yaitu tidak lengkap pihak yang berdamai.[5]
_______________
Referensi:
1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2020, Hal.: 275.
2. Ibid. Hal.: 275.
3. Ibid. Hal.: 275-276.
4. Ibid. Hal.: 276.
5. Ibid. Hal.: 276-277.