Latar Belakang Keluarga
Dan Pendidikan
Yap
lahir di Kuta Raja, Aceh, pada 25 Mei 1913. Ia adalah anak tertua dari tiga
bersaudara. Masa kecil Yap dihabiskan di rumah besar milik kakeknya, Joen Khoy,
bersama bibi, paman, dan sepupunya. Ia dekat dengan ibunya, Tjing Nio, dan omah
Jepang-nya (atau nenek), Nakashima. Kedua sosok tersebut dianggap sangat
berpengaruh dalam hidup Yap. Daniel Lev, Indonesianis dari Washington
University, dalam No Concessions: The
Life of Yap Thiam Hien, Indonesian Human Rights Lawyer (2011) mengatakan,
keluarga Yap termasuk golongan elite Tionghoa di Kuta Raja. Status tersebut
dapat dilihat dari fakta bahwa buyutnya, Yap A Sin, merupakan pejabat lokal
dengan pangkat letnan di zaman kolonial. Buyutnya yang lahir di Bangka itu
lantas menikah dengan putri kapitan Cina di Kuta Raja. Tak lama kemudian, buyut
Yap perlahan mulai membangun usahanya di sana.[1]
Masih
menurut catatan Lev, bisnis keluarga Yap ada banyak; dari kolam ikan hingga
perkebunan kelapa. Ditambah lagi, keluarga Yap mendapatkan hak untuk memonopoli
perdagangan opium dari pemerintah Belanda. Kondisi itu mengakibatkan kekayaan
keluarganya makin menumpuk serta Yap bersama adik-adiknya mampu mendapatkan
akses pendidikan secara baik dengan masuk di salah satu sekolah Belanda di Kuta
Raja. Akan tetapi, masa jaya keluarganya tak berlangsung lama. Charles Coppel
dalam “The Making of An Indonesian Human
Rights Lawyer” yang terbit di Inside Indonesia menyebut, pada akhir
1910-an, bisnis keluarga Yap bangkrut tatkala pemerintah Belanda mencabut hak
istimewa pejabat lokal keturunan Tionghoa. Guna menutup utang-utangnya, kakek
Yap menjual rumah besarnya. Yap dan adik-adiknya lalu pindah ke rumah keluarga
ibunya.[2]
Yap
yang masih berusia sembilan tahun jelas terpukul berat. Selama ini, ibunya
adalah sosok yang mengajarkannya arti kedisiplinan serta kasih sayang.
Sepeninggal sang ibu, Yap dan adik-adiknya dirawat Nakashima. Terlebih, ayah
mereka, Sin Eng, kian jarang berkumpul dengan keluarganya karena sering ke luar
kota (hingga Batavia) untuk kembali merintis usaha. Nakashima menjelma sosok
yang dekat dengan Yap dan adik-adiknya. Ia mengasuh mereka dengan ketulusan.
Saban malam, Nakashima rutin membacakan cerita samurai Jepang untuk menanamkan
nilai-nilai tentang keberanian dan pengorbanan. Cerita yang dibacakan Nakashima
begitu membekas di pikiran Yap.[3]
Pada
1926, Yap lulus ELS dan melanjutkan pendidikan MULO-nya di Batavia. Yap memilih
Batavia sebab ingin mengikuti teman-temannya serta menyusul ayahnya yang kerja
sebagai staf penjualan perusahaan. Di MULO, Yap belajar bermacam bahasa
(Perancis, Jerman, Belanda, Inggris, Latin), matematika, dan sains. Yap mampu
menerima pelajaran tersebut secara baik dan lulus dengan nilai maksimal.
Setamat dari MULO, Yap masuk AMS—setingkat SMA—di Yogyakarta. Di sana, ia
tinggal bersama Herman Jopp dan mulai menyambangi gereja hingga akhirnya
memeluk Protestan. Selepas lulus AMS pada 1933, Yap ikut ujian guru di Dutch Chinese Normal School (HCK) di
Batavia. Ia diterima serta menghabiskan waktu empat tahun selanjutnya sebagai
pengajar di Cirebon hingga Rembang.[4]
Menjadi
guru, catat Lev, memberinya minat yang langgeng dalam pendidikan di samping
membuatnya lebih punya keterikatan dengan orang-orang—terutama etnis
Tionghoa—yang hidup dengan nasib kurang beruntung. Namun, nyatanya, mengajar
bukan panggilan hidup Yap. Pada 1938, ia balik ke Batavia untuk bekerja di
perusahaan telepon dan menempuh sekolah hukum. Ketika Jepang masuk ke Indonesia,
sekolah tempat Yap menimba ilmu hukum ditutup. Yap tak patah arang. Setelah
kemerdekaan, pada 1946, ia pergi ke Belanda untuk melanjutkan sekolah. Untuk
bisa mencapai Belanda, Yap harus jadi pekerja kapal yang memulangkan para
tahanan Belanda ke negerinya. Yap, tanpa pikir panjang, langsung mengiyakan.
Yap belajar hukum di Universitas Leiden. Ia menyelesaikan studinya pada 1947.
Selain mendalami hukum, menurut Coppel, Yap juga menyelami teologi serta aktif
dalam kegiatan geraja. Dari sini, Yap lalu berkomitmen penuh pada dua hal:
gereja dan hukum.[5]
Dan
komitmen itu Yap buktikan saat ia balik ke Indonesia setahun kemudian. Yap
telah belajar banyak dari hidupnya. Ia pernah menyaksikan keluarganya jadi
korban kebijakan diskriminasi pemerintah kolonial. Ia juga melihat bagaimana
orang-orang di sekitarnya mendapatkan perlakuan tak adil. Dari situlah Yap
bertekad ingin menegakkan hukum setegak-tegaknya.[6]
Karir Advokat
Pada
1949, Yap memperoleh sertifikat pengacara dari Kementerian Hukum. Ia sempat
bergabung dengan John Karuin, Mochtar Kusumaatmadja, dan Komar, sebelum membuka
kantor sendiri pada 1950. Seperti ditulis Lev, sembari menjalankan
rutinitasnya, Yap tetap menimba ilmu dari para advokat senior macam Lie Kian
Kim, Tan Po Goan, serta Oei Tjoe Tat. Gebrakan pertama Yap terjadi kala sidang
Konstituante pada 12 Mei 1959. Dalam Yap Thiam Hien: Sang Pendekar Keadilan
(2013) yang diterbitkan Tempo disebutkan, di sidang itu, Yap menolak
pemberlakuan UUD 1945. Menurutnya, UUD 1945 terlalu otoriter, menyediakan
kesempatan Sukarno untuk berkuasa lebih lama, hingga dianggap punya potensi
besar membunuh penegakan HAM.[7]
Dalam
pikiran Yap, konstitusi merupakan “manifestasi
dari kemenangan keadilan atas kesewenang-wenangan dan kekuasaan mutlak.”
Yap merasa UUD 1945 tidak mencerminkan fondasi itu. Ia menilai jika
Konstituante memilih kembali ke UUD 1945, maka masyarakat terancam tidak bisa
memperoleh kebebasannya sebagai warga negara. “Apa gunanya pengorbanan-pengorbanan rakyat Indonesia sampai terciptanya
kemerdekaan bilamana di masyarakat dan negara Indonesia terdapat pembagian
warga-warga dalam beberapa kelas dan diskriminasi rasial, seperti di zaman
kolonial,” tegas Yap seperti dicatat Tempo. Sayang, kegigihan Yap tak
berhasil. Sukarno malah membubarkan Konstituante dengan alasan “terlalu lamban bekerja” dan Indonesia
kembali menggunakan UUD 1945 sebagai pijakan negara.[8]
Tekad
yang bulat dalam menjunjung tinggi kebenaran ini diteruskan Yap di tahun-tahun
berikutnya usai sidang Konstituante. Selama jadi advokat, Yap sudah banyak
menangani kasus pidana maupun perdata. Dari semua kasus yang pernah ia tangani,
Yap seringkali berada di posisi yang serba tak nyaman. Tapi, Yap tak ambil
pusing. Ia terus mengambil jalan itu demi marwah keadilan. Prinsip yang selalu
dipakai Yap dalam menangani kasus hukum ialah mencari kebenaran, bukan
kemenangan. Tak jarang, Yap menggratiskan biaya perkara kepada kliennya.[9]
“Jika Saudara hendak menang perkara, jangan
pilih saya sebagai pengacara Anda, karena kita pasti akan kalah. Tapi, jika
Saudara merasa cukup dan puas mengemukakan kebenaran Saudara, saya mau menjadi
pembela Saudara,” kata Yap suatu waktu. Maka, deretan klien Yap sangat
beragam. Dari mereka yang tersingkirkan, bandit, teroris, sampai golongan elite
kekuasaan pernah ia tangani. Pada 1950, ia membela tukang kecap keliling di
Pasar Baru, Jakarta Pusat, yang ditangkap dan dipukuli tanpa alasan yang jelas.
Tak lama setelahnya, Yap lagi-lagi membela beberapa pedagang Pasar Senen yang
digusur pemilik gedung. Dalam persidangan, ia bersuara lantang menyerang pengacara
pemilik gedung, “Bagaimana bisa Anda
membantu orang kaya menentang orang miskin?”[10]
Yap
juga turut ambil bagian dalam pusaran peristiwa G30S dengan membela mantan
Wakil Perdana Menteri, Soebandrio, yang dituduh terlibat penculikan
jenderal-jenderal Angkatan Darat. Walaupun dikenal anti-komunis, Yap tak ragu
menjatuhkan pilihannya sebab ia percaya Soebandrio tak bersalah. Namun, upaya
Yap gagal. Soebandrio tetap dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Militer Luar
Biasa pada 1966—yang kemudian diubah jadi vonis seumur hidup.[11]
Tapi,
Yap tak kapok membela orang-orang kiri. Tercatat, setelah kasus Soebandrio, Yap
menangani perkara yang melibatkan Abdul Latief, Asep Suryawan, serta Oei Tjoe
Tat. Yap juga menuntut pemerintah Orde Baru membebaskan semua tahanan politik
Pulau Buru.[12]
Kiprah
Yap dalam “membela demi kebenaran” terus berlanjut pada 1968 ketika ia
menangani kasus pengusaha bengkel yang mengaku diperas Kepala Kejaksaan Tinggi
Jakarta dan Kepolisian Daerah Jakarta. Dalam agenda sidang, seperti dituturkan
Tempo, Yap meminta pengadilan untuk menahan mereka tanpa tedeng
aling-aling.[13]
- Kasus Tersangka Pengeboman Kantor Cabang BCA
Kemudian,
memasuki 1980-an, Yap bikin geger karena membela Rachmat Basoeki, yang didakwa
jadi tersangka pengeboman kantor cabang BCA di Jalan Gajah Mada, Jakarta, serta
beberapa pertokoan di kawasan Glodok. Yap merasa perlu membela Basoeki sebab ia
yakin ada motif kepentingan yang lebih luas di balik pengeboman itu. Yap tak
risau dengan sikap Basoeki yang dikenal anti-Cina. Pengadilan akhirnya
meringankan hukuman Basoeki jadi 17 tahun penjara dari semula hukuman mati.[14]
Tentu
saja, sepak terjang Yap dalam menangani kasus hukum sering terbentur perlawanan
dari pihak-pihak yang merasa terganggu. Berkali-kali Yap mesti keluar masuk
penjara karena advokasi yang ditempuhnya itu. Saat menangani kasus pemerasan
yang dilakukan aparat kejaksaan dan kepolisian, Yap justru ditahan karena
dianggap mencemarkan nama baik kedua institusi. Yap ditahan selama beberapa
hari di Kepolisian Grogol.[15]
Tak
berhenti sampai situ, Yap juga divonis kurungan selama satu tahun sebelum
akhirnya bandingnya dikabulkan. Yap pun bebas. Jauh sebelum kasus itu, pada
1966, Yap ditangkap “pasukan berseragam
hitam” serta ditahan selama lima hari di penjara atas tuduhan terlibat
peristiwa 30 September. Alasannya: Yap pernah jadi anggota Baperki (Badan
Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) yang dianggap organisasi kiri.
Tatkala insiden Malari meletus pada 1974, Yap tak luput pula dari sasaran
penangkapan. Ia mendekam di penjara selama hampir satu tahun (11 bulan).
Pemerintah meringkusnya dengan alasan Yap menjadi salah satu provokator.
Tuduhan tersebut tak terbukti dan Yap dapat dibebaskan.[16]
Pada
peristiwa Malari tahun 1974, atau lebih dikenal dengan “Malapetaka 15 Januari”,
Yap Thiam Hien teguh dalam memposisikan dirinya sebagai pembela para aktivis.
Kala itu, Yap Thiam Hien pun pernah ditahan tanpa proses peradilan yang layak.
Ia justru dianggap telah menghasut para mahasiswa untuk melakukan demonstrasi
secara besar-besaran.[17]
- Kasus Kerusuhan Tanjung Priok
Sama
pun halnya ketika terjadi peristiwa kerusuhan di Tanjung Priok pada Semtember
1984, Yap Thiam Hien maju ke depan demi membela para tersangka.[18]
Pengalaman
berada di penjara mendorong Yap membikin Prison Fellowship, organisasi yang
bertujuan untuk mendampingi para narapidana agar mendapatkan perlakuan yang
lebih layak. Prison Fellowship hanya satu dari sekian organisasi pembela hukum
dan HAM yang pernah ia dirikan. Pada 28 Oktober 1969, misalnya, Yap bersama
P.K. Ojong, Loekman Wiriadinata, Hasjim Mahdan, Ali Moertopo, serta Dharsono,
membentuk LBH (Lembaga Bantuan Hukum) yang berfungsi untuk memberi pelayanan
hukum kepada mereka yang tak mampu. Organisasi ini masih eksis sampai
sekarang.[19]
Api
perjuangan Yap terus menyala sampai ia meninggal pada 25 April 1989, tepat hari
ini 29 tahun silam. Yap berpulang ketika sedang menghadiri pertemuan InterNGO Conference on Indonesia (INGI),
organisasi yang bertujuan mengembangkan partisipasi rakyat dan LSM dalam
pembangunan masyarakat dan negara, di Brussels, Belgia. Dari Yap kita banyak
belajar bahwa hukum, apabila ditegakkan dengan sebaik-baiknya dan
sehormat-hormatnya, dapat membawa kehidupan yang lebih baik. “Jujur berarti menyatakan yang putih sebagai
putih, yang hitam sebagai hitam, yang benar sebagai benar, yang salah sebagai
salah.”[20]
Komentar Tentang Yap
Thiam Hien
Salah
satu komentar adalah dari Adnan Buyung Nasution. “Yap memang sering kalah di pengadilan,” kata Adnan Buyung Nasution,
kolega dekat Yap. “Sebab, dia membela
bukan untuk menang, melainkan membela untuk kemanusiaan. Orang-orang PKI itu
dibela semua oleh Yap.”[21]
Komentar
lain adalah dari Todung Mulya Lubis. Sisi lain yang menarik dari Yap adalah
soal kesederhanannya. Menurut Todung, Yap selalu melihat segala sesuatunya dari
aspek fungsional. Saat ini, kata Todung, sulit sekali untuk menemukan sosok
advokat seperti Yap Thiam Hien. Yap tidak pernah melihat siapa klien yang
dibelanya, tapi apa kasus yang akan dikerjakannya. Hampir semua perkara yang
ditanganinya sarat dengan isu hak asasi manusia. Dia tidak pernah takut
berhadapan dengan kekuasaan walaupun risikonya ditahan dan dipenjara.
Seringkali dia membela klien yang sebelumnya ditolak advokat lain karena miskin
atau memiliki pandangan ideologi yang berbeda. "Pak Yap mencerminkan advokat berintegritas yang tidak gila uang, 100
persen advokat. Beliau bukan tipe advokat yang gemar naik Ferrari atau
Lamborghini. Dia juga tidak naik Mercedez," ucapnya. Semasa hidupnya,
Yap termasuk orang yang gigih menentang segala bentuk praktik diskriminasi dan
ketidakadilan.[22]
________________________________
|
2.
Tirto.id,
M. Faisal, Ibid.
3.
Tirto.id,
M. Faisal, Ibid.
4.
Tirto.id,
M. Faisal, Ibid.
5.
Tirto.id,
M. Faisal, Ibid.
6.
Tirto.id,
M. Faisal, Ibid.
7.
Tirto.id,
M. Faisal, Ibid.
8.
Tirto.id,
M. Faisal, Ibid.
9.
Tirto.id,
M. Faisal, Ibid.
10. Tirto.id, M. Faisal, Ibid.
11. Tirto.id, M. Faisal, Ibid.
12. Tirto.id, M. Faisal, Ibid.
13. Tirto.id, M. Faisal, Ibid.
14. Tirto.id, M. Faisal, Ibid.
15. Tirto.id, M. Faisal, Ibid.
16. Tirto.id, M. Faisal, Ibid.
18. Tionghoa.info, Ibid.
19. Tirto.id, M. Faisal, Op.Cit.
20. Tirto.id, M. Faisal, Op.Cit.
21. Tirto.id, M. Faisal, Op.Cit.