Tim Hukumindo
Pada
Kuliah Pengantar Ilmu Hukum sebelumnya yang berjudul: “Faktor-faktor Yang Membantu Pembentukan Hukum” telah kita pelajari elemen pendukung pembentuk hukum, pada kesempatan berikut ini dibahas
mengenai Hukum dan Hak. Adapun referensi yang dipakai dalam kuliah ini adalah
buku berjudul: “Pengantar Dalam Hukum
Indonesia”, karangan: E. Utrecht, S.H., Penerbit: PT. Penerbit Dan Balai
Buku Ichtiar, Jakarta, (Cetakan Keenam),
tahun 1961.
A. Hubungan Hukum Dan
Hak
Pada
kuliah sebelumnya telah diketahui bahwa hukum itu mengatur hubungan antara
orang yang satu dengan orang yang lain di dalam masyarakat. Jadi terapat
hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain yang diatur oleh hukum. Siapa
saja yang berani untuk tidak mematuhi hubungan itu, maka ia akan dikenakan
sanksi oleh hukum. Tiap-tiap hubungan hukum mempunyai dua segi, yaitu
wewenang/kekuasaan dan kewajiban. Kekuasaan ini oleh hukum diberi kepada
seseorang atau badan hukum karena hubungan hukumnya dengan seorang lain
biasanya diberi nama sebagai hak. Contoh: A berhak menuntut pembayaran dari B
sedangkan B wajib membayar sepatu sebanyak yang dijanjikan. Sebaliknya, B
berhak meminta sepatu sebanyak yang dijanjikan dari A sedangkan A wajib
menyerahkan sepatu sebanyak yang dijanjikan kepada B.[1]
Dalam
hukum Eropa-Kontinental dibuat perbedaan antara apa yang disebut hukum objektif
dengan hukum subjektif. Yang dimaksud dengan hukum objektif adalah peraturan,
kaidah, norma yang mengatur suatu hubungan sosial, misalnya K.U.H. Perdata. Sedangkan
yang dimaksud dengan hukum subjektif adalah peraturan hukum yang dihubungkan
dengan seseorang dan oleh karenanya telah menjadi kekuasaan-kewajiban.[2]
Hubungan
hukum ada dua macam, pertama hubungan hukum yang bersegi satu dan hubungan
hukum yang bersegi dua. Dalam hubungan hukum yang bersegi satu hanya satu pihak
yang berkuasa. Pihak lain hanya berkewajiban (Pasal 1234 K.U.H. Perdata, tentang Prestasi). Dalam
hubungan hukum yang bersegi dua, kedua belah pihak masing-masing berkuasa
meminta sesuatu dari pihak lain. Tetapi kedua belah pihak masing-masing
berkewajiban memberi sesuatu kepada pihak lain.[3]
B. Sifat Dari Hak
Tentang
sifat dari hak telah menimbulkan banyak polemik. Di Jerman pada abad ke-19
dikemukakan dua teori tentang hak. Pertama adalah teori yang menganggap hak
sebagai kehendak yang dilengkapi dengan kekuatan (wilsmachtstheorie). Menurut pendapat ini, hak itu sesuatu yang
penting bagi yang bersangkutan, yang dilindungi oleh hukum, yakni suatu
kepentingan yang terlindungi.[4]
Van
Apeldoorn menganggap bahwa hak adalah suatu kekuatan yang teratur oleh hukum.
Kekuatan itu berdasarkan pada kesusilaan, bukan hanya kekuatan yang bersifat
fisik. Pendapat lain dari Lemaire menganggap hak itu adalah ijin. Hak adalah
ijin bagi yang bersangkutan untuk berbuat sesuatu. Menurut Leon Duguit, tidak
ada seorangpun manusia yang mempunyai hak. Sebaliknya di dalam masyarakat bagi
manusia hanya ada suatu tugas sosial. Tata tertib hukum tidaklah didasarkan
atas hak dan kebebasan manusia, melainkan tugas-tugas sosial yang harus
dijalankan oleh anggota masyarakat. Teori ini disebut teori fungsi sosial, maka
pengertian hak itu diganti dengan fungsi sosial. Manusia hanya merupakan sebuah
roda kecil dari mesin kemasyarakatan, yang dijalankan manusia hanyalah suatu
tugas sosial.[5]
Anggapan
yang mengemukakan hak sebagai suatu kekuasaan lengkap yang oleh hukum diberi
kepada yang bersangkutan sebagai suatu kekuasaan individual sepenuhnya yang
oleh hukum dilindungi berasal dari aliran individualisme pada saat lahirnya
revolusi Prancis. Konsepsi hak seperti ini sudah banyak berkurang, dan telah
terjadi semacam pensosialan, hak tidak lagi absolut, namun juga dibatasi oleh
kepentingan sosial. Namun tidak berarti hak ini lambat laun dihapuskan sama
sekali.[6]
C. Menjalankan Hak
Yang Tidak Sesuai Dengan Tujuannya
Tiap
peraturan hukum oleh pembuatnya diberi suatu tujuan tertentu. Demikian juga
tiap hak yang diberikan oleh hukum kepada seseorang, ia mempunyai tujuan
tertentu. Bisa dikatakan bahwa tiap hak diberi suatu tujuan sosial. Ini berarti
hak itu tidak dapat melindungi suatu kepentingan yang bertentangan dengan
kepentingan umum. Hak tidak dapat melindungi kepentingan yang bersifat a-sosial. Dengan kata lain, tidak ada
kekuasaan yang oleh hukum diberikan kepada seseorang untuk dipakai dengan
sengaja merugikan orang lain atau yang mungkin dengan sengaja merugikan
masyarakatnya. Menjalankan hak tidak sesuai dengan tujuannya adalah menyimpang
dari tujuan hukum, yaitu menyimpang dari jaminan kepastian hukum. Sebaliknya,
seseorang harus menjalankan haknya yang sesuai dengan tujuan dari hak itu.[7]
Contohnya
adalah keputusan Pengadilan Tinggi di Colmar (Prancis) tanggal 2 Mei 1855
sebagai berikut. A menjadi tetangga B. Rumah A lebih tinggi dari rumah B. Di
rumah A ada jendela yang memberi pemandangan dengan melintasi atap rumah B.
Pada suatu waktu, maka B mendirikan sebuah pipa asap di atas atap rumahnya di
muka jendela rumah A dengan maksud merusak pemandangan A. Pipa asap itu tidak
mempunyai hubungan sama sekali dengan tempat api. Pengadilan Tinggi dalam
keputusannya memerintahkan B untuk membongkar pipa asap itu. Hak B untuk
memetik kenikmatan kepunyaan rumahnya tidak dapat dijalankannya secara mengganggu
orang lain dengan tidak berdasarkan niat baik.[8]
_________________________________
|
1. “Pengantar
Dalam Hukum Indonesia”, E. Utrecht, S.H., PT. Penerbit Dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta, (Cetakan Keenam), 1961,
Hal.: 267-268.
2. E. Utrecht, Ibid., Hal.: 268.
3. E. Utrecht, Ibid., Hal.: 269.
4. E. Utrecht, Ibid., Hal.: 270.
5. E. Utrecht, Ibid., Hal.: 273.
6. E. Utrecht, Ibid., Hal.: 273-276.
7. E. Utrecht, Ibid., Hal.: 277.
8. E. Utrecht, Ibid., Hal.: 278.