Tampilkan postingan dengan label Tokoh Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tokoh Hukum. Tampilkan semua postingan

Jumat, 11 September 2020

Lasdin Wlas, Advokat Veteran Yang Masih Aktif Berpraktik

(Facebook)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada label tokoh, terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas para Imam-imam Mazhab yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dari Imam Syafi'i, Imam Maliki, Imam Hanafi sampai Imam Hambali. Sedangkan artikel ini akan mengembalikan sidang pembaca pada profesi yang ditekuni oleh penulis. Kesempatan ini akan digunakan penulis untuk turut serta mempublikasikan salah satu advokat senior, bahkan veteran yang pernah dikenal secara personal.

Advokat senior atau advokat veteran di sini tidak menunjuk pada seseorang yang baru diangkat menjadi advokat ketika usianya menginjak pensiun atau pada usia sudah berumur. Namun seseorang yang memang secara sadar menggeluti profesi ini untuk jangka waktu yang telah lama. Dikarenakan beliau juga pernah menjadi Dosen bagi penulis ketika menempuh pendidikan Sarjana Hukum, dan juga Guru Praktisi Hukum ketika memulai karir di dunia advokat, terlepas dari segala kontroversi, tulisan ini bermaksud memberikan penghargaan atas karya dan pengabdian beliau selama ini di dunia profesi advokat.  

Biografi Singkat

Advokat senior ini lahir di Sawah Lunto, Sumatera Barat pada tanggal 30 Desember 1930. Pendidikan formal yang pertama dienyamnya adalah Hollandsch-Inlandsche School/HIS (Sekolah Belanda untuk kalangan Bumiputera) pada tahun 1942. Pada masa penjajahan Jepang, beliau termasuk dalam anggota Pemuda Asia Timur Raya bentukan Gunseikanbu (Kantor pusat pemerintahan militer Jepang) pada tahun 1943.[1]

Sekolah Menengah Pertama (SMP) lulus pada tahun 1952 di Sawah Lunto. Pada tahun 1955 lulus Sekolah Menengah Atas di Bukittinggi, Sumatera Barat. Beliau kemudian mengenyam pendidikan militer BI Veteran di Yogyakarta, tahun 1962. Dilanjutkan dengan mendapat gelar Bacalaureat Hukum (Sarjana Muda Hukum) pada Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1963, dan kemudian Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 1968.[2] Pada suatu kesempatan ketika beliau memberikan kuliah kepada Penulis, sepengakuannya pernah lulus seleksi Calon Hakim selepas menggondol gelar Sarjana Hukum pada FH Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, akan tetapi tidak diambil kesempatan itu dikarenakan alasan keluarga atau keengganan beliau untuk berdinas ke luar kota. Setelah melewatkan kesempatan dimaksud, malahan beliau mempunyai karir yang panjang sebagai advokat. 

Adapun pengalaman kerja/Perjuangannya, diantaranya adalah: Tentara TRI/Tentara Cenie Persenjataan Divisi IX Sawahlunto, Tentara TRI/Tentara Cenie Persenjataan Komandemen Divisi IX Sumatera Tengah pada tahun 1946-1948. Menggabungkan diri dengan Tentara Pelajar dan Tentara Gerilya tahun 1949. Demobilisasi Tentara Pelajar Rayon IX Sumatera Tengah tahun 1951. Pengangkatan Keputusan dengan dengan SK Veteran Pejuang Kemerdekaan RI NVP (Nomor Veteran Perang): 21756.[3]

Selain itu beliau pernah mendapat Tanda Jasa/Satya Lencana Republik Indonesia, antara lain: Bintang Gerilya Satya Lencana SL/MDI. PK I, Satya Lencana SI/MDI. PK II, Satya Lencana GOM I, Satya Lencana GOM VI, Satya Lencana Penegak.[4]

Jika penulis amati, advokat senior Indonesia ini mempunyai dua latar belakang pendidikan dan karir, pertama adalah pendidikan dan karir militer, dan kedua adalah pendidikan hukum dan profesi seputar advokat. Hal ini menjadikan beliau mempunyai latar belakang yang relatif komplit, baik dalam bidang militer maupun dalam profesi advokat.

Karya Tulis & Karir Profesi

Karya tulis yang masih relevan sampai dengan saat ini dari beliau adalah sebuah buku bertemakan Profesi Advokat berjudul: "Cakrawala Advokat Indonesia", Lasdin Wlas, S.H., Penerbit: Liberty, Yogyakarta, Tahun: 1989. Lihat lampiran berikut:

(Bukalapak)

Dapat penulis tambahkan, salah satu literatur di atas adalah yang paling baik membahas mengenai Kode Etik Advokat. Ditulis oleh advokat yang telah lama malang melintang dalam profesi ini. Selain itu sumber ini masih relevan untuk dibaca, meski oleh sarjana hukum yang baru terjun dalam profesi dimaksud. 

Selain itu, beberapa karya tulis lainnya yang terekpose penulis adalah: "Peran Hukum Turut Serta Menunjang Pembangunan Nasional", Makalah, Tahun 1981. "Kode Etik Advokat", Makalah dalam Latihan Hukum II LKBH UII, Tahun 1981. "Pendidikan Advokatur", Buku Perkuliahan, Tahun 1987.[5] Pada tahun 2009, beliau masih menulis pada Varia Advokat, Volume 09, Juni 2009 dengan judul tulisan: "Meneropong Organisasi Profesi Advokat Indonesia", Hal.: 23-25. Hal mana tulisan tersebut meneropong perjalanan panjang organisasi advokat di Indonesia.  

Praktik peradilan pemberi bantuan hukum sebagai Procureur/Pokrol sejak tahun 1963. Kemudian sebagai Pengacara Praktik sejak tahun 1970. Advokat sejak 1973 sampai dengan saat ini.[6] Artinya, jika dilakukan sinkroninasi antara karir keadvokatannya dengan pendidikan hukum yang ditempuhnya, Lasdin Wlas menjadi Procureur/Pokrol setelah mendapat gelar Bacalaureat Hukum (Sarjana Muda Hukum) pada Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1963. Kemudian menekuni dunia profesi advokat setelah mendapatkan gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada tahun 1968 dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 

Selain karir di bidang militer dan advokat, Lasdin Wlas juga aktif dalam dunia praktik advokat dan akademik. Diantaranya pernah sebagai Direktur Litigasi LP3H D.I.Y pada tahun 1980. Ketua Tim Pembela Subversi wilayah Surakarta, Sukoharjo dan Klaten tahun 1983. Dekan Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta serta Pengurus dan Penasehat PERADIN DPC Yogyakarta dari tahun 1983-1985.[7] Sepengalaman penulis pada masa menjalani kuliah hukum di FH Universitas Cokroaminoto Yogyakarta dahulu, di antaranya beliau pernah mengampu mata kuliah Hukum Adat. Adapun alamat kantor beliau adalah: Jalan Prof. Herman Yohannes, Sagan Timur, No.: 43, Yogyakarta.

Peran Serta dalam Kancah Profesi Advokat

Pada bulan Februari 2020, beliau masih tercatat sebagai salah satu Dewan Penasehat Pengurus Pusat Kongres Advokat Indonesia (KAI).[8] Pada Judicial Review Nomor: 79/PUU-VIII/2010 di Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor: 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, sepanjang mengenai frasa ”satu-satunya”, beliau menjadi salah satu saksi, hal mana kesaksian beliau adalah seputar pengalamannya dalam mengikuti perkembangan organisasi advokat dan pembentukan wadah tunggal organisasi advokat. Dari pengalamannya mengikuti perkembangan pembentukan wadah tunggal organisasi advokat memang banyak kendala di lapangan. Kemudian mengenai kode etik advokat sendiri sudah dibentuk sejak tahun 2003 semenjak UU Advokat ada.[9] 

Di tengah usianya yang tidak lagi muda, semangat beliau untuk turut serta berkarya dan mengabdi dalam dunia advokat  tidaklah surut. Pada tahun 2016, beliau masih tercatat sebagai salah satu Anggota Dewan Penasehat, Pengurus Pusat IKADIN. Sepengetahuan penulis, saat ini beliau adalah salah satu advokat senior yang masih berpraktik, bahkan mungkin untuk ukuran seluruh wilayah Indonesia. 

Adapun jejak penanganan perkara yang pernah ditangani beliau adalah: a). Kuasa Hukum Aiptu Edy Wuryanto, terdakwa penggelapan barang bukti blocknote milik wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafrudin atau Udin melawan Oditur Militer D.I.Y.[10] b). Gugatan Pra Peradilan Nomor: 05/Akta.Pid.Pra/2013/PN.Slmn. pada Pengadilan Negeri Sleman sebagai salah satu kuasa hukum Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin melawan POLDA D.I.Y.[11] 
_______________
Referensi:

1. "Cakrawala Advokat Indonesia", Lasdin Wlas, S.H., Penerbit: Liberty, Yogyakarta, 1989.
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid.
6. Ibid.
7. Ibid.
8. "Ujian Kompetensi Dasar Profesi Advokat Akan Dilakukan KAI DPD Jateng 22 Februari 2020", wartaindo.news, 20 Februari 2020, Diakses pada tanggal 11 September 2020, https://wartaindo.news/ujian-kompetensi-dasar-profesi-advokat-akan-dilakukan-kai-dpd-jateng-22-februari-2020/
9. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 79/PUU-VIII/2010.
10. "Kasus Udin, Edy Wuryanto Tolak Surat Dakwaan Oditur Militer", DetikNews, Kamis 24 Februari 2005, Diakses pada tanggal 11 September 2020, https://news.detik.com/berita/d-298884/kasus-udin-edy-wuryanto-tolak-surat-dakwaan-oditur-militer 
11.  "17 Tahun Kasus Udin Tak Tuntas, Wartawan Praperadilankan Polisi", DetikNews, Senin, 11 November 2013, Diakses pada tanggal 11 September 2020, https://news.detik.com/berita/d-2409654/17-tahun-kasus-udin-tak-tuntas-wartawan-praperadilankan-polisilisi", detikNews, Senin, 11 November 2013, Diaksesn pada tanggal 11 September 2020,  


Jumat, 04 September 2020

Tetralogi Mazhab KHI, Imam Hambali

 
(maktabahmahasiswa.bloger.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan terdahulu dalam tetralogi mazhab KHI, platform Hukumindo.com telah membahas tokoh Imam Hanafi, dan sebagai artikel penutup dalam tetralogi ini, akan dibahas Imam Hambali.

Lahir & Tumbuh Kembang

Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad bin Hambal. Ia merupakan seorang ulama besar di bidang hadis dan fikih yang pernah dimiliki dunia Islam. Dilahirkan di Salam, Baghdad (sekarang Irak), pada 164 H, Imam Hambali sudah menunjukkan kecerdasannya sejak usia dini. Bahkan, ketika usianya relatif muda, ia sudah hafal Alquran.[1]

Imam Hambali mendapatkan pendidikannya yang pertama di Kota Baghdad. Saat itu, Kota Baghdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam yang penuh dengan beragam kebudayaan serta penuh dengan berbagai jenis ilmu pengetahuan. Di sana, tinggal para qari, ahli hadis, para sufi, ahli bahasa, filsuf, dan sebagainya. Ia menaruh perhatian yang sangat besar pada ilmu pengetahuan. Dengan tekun, ia belajar hadis, bahasa, dan administrasi. Imam Hambali juga banyak menimba ilmu dari sejumlah ulama dan para fukaha besar. Di antaranya adalah Abu Yusuf (seorang hakim dan murid Abu Hanifah) dan Hisyam bin Basyir bin Abi Kasim (ulama hadis di Baghdad).[2]

Ia juga berguru kepada Imam Syafi'i dan mengikutinya sampai ke Baghdad. Suatu ketika, seseorang menegurnya, ''Anda telah sampai ke tingkat mujtahid dan pantas menjadi imam. Mengapa masih menuntut ilmu? Apakah Anda akan membawa tinta ke kuburan?'' Imam Hambali menjawab, ''Saya akan menuntut ilmu sampai saya masuk ke liang kubur.''[3]

Karya-karya

Imam Hambali menaruh perhatian besar kepada hadis Nabi SAW. Karena perhatiannya yang besar, banyak ulama--seperti Ibnu Nadim, Ibnu Abd al-Bar, at-Tabari, dan Ibnu Qutaibah--yang menggolongkan Imam Hambali dalam golongan ahli hadis dan bukan golongan mujtahid.[4]

Begitu besar perhatiannya kepada hadis, ia pun pergi melawat ke berbagai kota untuk mendapatkan hadis, antara lain ia pernah ke Hijaz, Kufah, dan Basrah. Atas usahanya itu, akhirnya ia dapat menghimpun ribuan hadis yang dimuat dalam karyanya Musnad Ahmad ibn Hambal. Karya monumentalnya ini disusun dalam jangka waktu sekitar 60 tahun. Di dalamnya, terhimpun 40 ribu hadis yang diseleksi dari sekitar 700 ribu hadis yang dihafalnya.[5]

Sebagian besar ulama menganggap hadis yang terdapat dalam kitab ini termasuk kategori sahih. Namun, ada juga ulama yang menyatakan beberapa hadis dalam kitab itu lemah. Selain Al-Musnad, Imam Hambali juga menyusun kitab Tafsir Alquran dan kitab an-Nasikh wa al-Mansukh (kitab mengenai ayat-ayat yang menghapuskan dan dihapuskannya sebuah hukum). Ia juga menyusun kitab al-Manasik ash-Shagir dan al-Kabir, kitab az-Zuhud, kitab ar-Radd ‘ala al-Jahmiyah wa az-Zindiqah (bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah), kitab as-Shalah, kitab as-Sunnah, kitab al-Wara wa al-Iman, kitab al-I'lal wa ar-Rijal, kitab al-Asyribah, satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha'il ash-Shahabah.[6]

Karakteristik Mazhab Hambali & Sebaran Pengikutnya

Karakteristik Mazhab Hambali senantiasa berpedoman pada teks-teks hadis dan mempersempit ruang penggunaan kiyas dan akal.[7] Corak pemikiran Mazhab Hambali adalah tradisionalis, selain berdasarkan pada Al Quran, sunnah, dan ijtihad, Beliau juga menggunakan hadits Mursal dan Qiyas jika terpaksa.[8]

Selain sebagai seorang ahli hukum, beliau juga seorang ahli hadist. Karyanya yang terkenal adalah Musnad Ahmad, kumpulan hadis-hadis Nabi SAW. Mazhab Hambali merupakan mazhab fiqih dengan pengikut terkonsentrasi di wilayah Teluk Persia dengan jumlah pengikut sebanyak 41 juta jiwa. Negara-negara dengan pengikut terbanyak mazhab ini adalah Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar.[9]

Pada masa mudanya beliau berguru kepada Abu Yusuf dan Imam Syafi'i. Sedangkan murid atau pengikutnya yang terkenal adalah Imam Bukhori, Abdul Qodir Al Jailani, lbnu Qudammah, lbnu Taimiyah, Ibnu Qaiyyim Al jauziyyah, Adz-Dzahabi, dan Muhammad bin Abdul Wahab.[10] Di akhir hayatnya Imam Hambal menderita sakit. Sepuluh hari kemudian wafat pada tanggal 22 Rabiul Awal tahun 241 H/855 M dalam usia 75 tahun.[11]

Jejak Mazhab Hambali dalam KHI

Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah diatur bahwa hukum menikahi seorang wanita yang dalam keadaan hamil (kawin hamil) adalah dipebolehkan, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 53. Dan pendapat soal dimaksud menurut Mazhab Hambali adalah Jika seorang perempuan melakukan perbuatan zina, maka bagi orang yang mengetahui hal itu tidak boleh menikahinya, kecuali dengan dua syarat: a). masa idah-nya telah selesai. b). Dia bertobat dari perbuatan zina. Dengan kata lain, menurut Mazhab Hambali, dalam hal menikahi seorang wanita yang dalam keadaan hamil (kawin hamil) adalah boleh, akan tetapi dengan syarat.
_________________________

Referensi:
1. "Imam Hambali, Sang Pemegang Teguh Hadits Nabi", republika.co.id., Jumat 20 Mar 2020, Diakses pada 4 September 2020, https://republika.co.id/berita/q7hpda430/imam-hambali-sang-pemegang-teguh-hadits-nabi;
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid.
6. Ibid.
7. Ibid.
8. "Sejarah dan Karakteristik 4 Mazhab Fiqih", malangtimes.com., 11 Januari 2019, Diakses pada 04 September 2020, https://www.malangtimes.com/baca/34943/20190111/110500/sejarah-dan-karakteristik-4-mazhab-fiqih
9. Ibid.
10. Ibid.
11. "Kisah Ulama Besar: Imam Hambali, Dipenjara dan Disiksa Karena Teguh Pendiriannya", kalam.sindonews.com., Miftah H. Yusufpati, Kamis, 28 Mei 2020, Diakses pada tanggal 4 September 2020, https://kalam.sindonews.com/read/49333/70/imam-hambali-dipenjara-dan-disiksa-karena-teguh-pendiriannya-1590638703/30

Kamis, 03 September 2020

Tetralogi Mazhab KHI, Imam Hanafi

(kajikisah.blogspot.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com dalam edisi tokoh mazhab Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah membahas tokoh Imam Maliki, dan untuk kesempatan ini akan dibahas tokoh selanjutnya, yaitu Imam Hanafi.

Kelahiran & Pertumbuhan

Imam Hanafi lahir pada tahun 80 Hijriyah (H) bertepatan dengan 699 Masehi (M) di sebuah kota bernama Kufah. Sejatinya, nama Imam Hanafi adalah Nu'man bin Tsabit bin Marzaban Al-Farisi yang bergelar Al-Imam Al-A'zham.[1] Kufah adalah sebuah daerah yang saat ini berada di negara Irak.

Ketika lahir, pemerintah kekhalifahan Islam dipimpin oleh Abdul Malik bin Marwan, keturunan kelima Bani Umayyah. Ia hidup dalam keluarga yang saleh. Ia juga sudah hafal Alquran sejak masih usia anak-anak dan merupakan orang pertama yang menghafal hukum Islam dengan cara berguru. Saat masih kecil, Imam Hanafi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutra. Bahkan, dia memiliki toko untuk berdagang kain.[2]

Dalam perjalanan waktu, Imam Hanafi yang dikenal sebagai orang yang haus akan ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu agama, menjadi seorang ahli dalam bidang ilmu fikih dan menguasai bebagai bidang ilmu agama lain, seperti ilmu tauhid, ilmu kalam, ilmu hadis, serta ilmu kesusasteraan dan hikmah. Tak sebatas menguasai banyak ilmu, ia juga dikenal dapat menyelesaikan masalah-masalah sosial keagamaan yang rumit.[3]

Imam Syafi’i pernah melempar pujian terhadap Imam Hanafi sebagai berikut: “Tidak seorang pun yang mencari ilmu fikih, kecuali dari Abu Hanifah. Ucapannya itu sesuai dengan apa yang datang dari Rasulullah SAW dan apa yang datang dari para sahabat.”[4]

Guru dan Karya

Kemahirannya dalam berbagai disiplin ilmu agama itu ia pelajari dari sejumlah ulama besar masa itu. Di antaranya adalah Atho' bin Abi Rabbah, Asy-Sya'bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj al-A'raj, Amru bin Dinar, dan Thalhah bin Nafi'. Ia juga belajar kepada ulama lainnya, seperti Nafi' Maula Ibnu Umar, Qotadah bin Di'amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman (guru fikihnya), Abu Ja'far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, dan Muhammad bin Munkandar.[5]

Sepanjang 70 tahun masa hidupnya, Imam Hanafi tidak melahirkan secara langsung karya dalam bentuk kitab. Ide, pandangan, dan fatwa-fatwanya seputar kehidupan keagamaan ditulis dan disebarluaskan oleh murid-muridnya. Karya-karya fikih yang dinisbatkan kepadanya adalah Al-Musnad dan Al-Kharaj.[6] Inilah uniknya Imam Hanafi, ajaran-ajarannya justru disebarluaskan oleh murid-muridnya.

Karakter Pemikiran Imam Hanafi

Beberapa nasehat Imam Hanafi adalah sebagai berikut:[7]
  • Apabila telah shahih sebuah hadits maka hadits tersebut menjadi madzhabku;
  • Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil atau memakai pendapat kami selama dia tidak mengetahui dari dalil mana kami mengambil pendapat tersebut;
  • Apabila saya mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi kitab Allah dan hadits Rasulullah yang shahih, maka tinggalkan perkataanku.
Dasar-dasar Imam Hanafi dalam Menetapkan suatu hukum fiqh bisa dilihat dari urutan berikut:[8]
  1. Al-Qur'an;
  2. Sunnah, di mana dia selalu mengambil sunnah yang mutawatir/masyhur. Dia mengambil sunnah yang diriwayatkan secara ahad hanya bila rawi darinya tsiqah;
  3. Pendapat para Sahabat Nabi (Atsar);
  4. Qiyas;
  5. Istihsan;
  6. Ijma' para ulama;
  7. Urf masyarakat muslim
Mazhab Hanafi terkenal sebagai mazhab yang paling terbuka kepada ide modern. Mazhab ini diamalkan terutama sekali di kalangan orang Islam Sunni Mesir, Turki, anak-benua India, Tiongkok dan sebagian Afrika Barat. Mazhab Hanafi merupakan mazhab terbesar dengan 30% pengikut.[9] Mazhab ini mempunyai corak pemikiran hukum yang rasional.[10]

Jejak Mazhab Hanafi dalam KHI

Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI), Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor: 1 Tahun 1991, mengatur mengenai salah satu rukun dalam pernikahan, yaitu terkait dua orang saksi. Saksi merupakan syarat sahnya pernikahan. Menurut golongan Hanafiah, pada dasarnya setiap orang yang dapat melaksanakan akad, pernikahan pun sah dengan kesaksiannya (wali dan kedua mempelai). Setiap orang yang dapat menjadi wali dalam pernikahan, maka dapat pula menjadi saksi dalam pernikahan itu.
_______________
1. "Mengenal Sosok Imam Hanafi", Republika.co.id., Sabtu 17 Agustus 2019, Diakses pada 3 September 2020, https://republika.co.id/berita/pwcx0a313/mengenal-sosok-imam-hanafi
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid.
6. Ibid.
7. "Imam yang Memiliki Madzhab: Imam Hanafi", Islampos.com., Diakses pada tanggal 3 September 2020, https://www.islampos.com/imam-yang-memiliki-madzhab-imam-hanafi-136411/
8. "Mazhab Hanafi", id.wikipedia.org., Diakses pada 3 September 2020, https://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_Hanafi
9. Ibid.
10. "Sejarah dan Karakteristik 4 Mazhab Fiqih", malangtimes.com., 11 Januari 2019, Diakses pada tanggal 3 September 2020, https://www.malangtimes.com/baca/34943/20190111/110500/sejarah-dan-karakteristik-4-mazhab-fiqih

Rabu, 02 September 2020

Tetralogi Mazhab KHI, Imam Maliki

(minanews.net)

Oleh: 
Tim Hukumindo

Dalam edisi tetralogi Mazhab KHI terdahulu, platform Hukumindo.com telah membahas tokoh "Tetralogi Mazhab KHI, Imam Syafi'i", dan pada kesempatan ini akan dilanjutkan ke tokoh selanjutnya, yaitu Imam Maliki.

Kelahiran & Riwayat Pendidikan

Nama lengkap Imam Malik adalah Abdillah bin Anas al-Ashbahani. Beliau adalah Imam dan ulama terkemuka. Beliau dilahirkan pada tahun 93 H dan wafat pada tahun 179 H.[1]

Kakek dan ayahnya termasuk kelompok ulama hadits terpandang di Madinah. Karenanya, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa Madinah adalah kota dengan sumber ilmu yang berlimpah lewat kehadiran ulama-ulama besarnya.[2]

Kendati demikian, dalam mencari ilmu Imam Malik rela mengorbankan apa saja. Menurut satu riwayat, sang imam sampai harus menjual tiang rumahnya hanya untuk membayar biaya pendidikannya. Menurutnya, tak layak seorang yang mencapai derajat intelektual tertinggi sebelum berhasil mengatasi kemiskinan. Kemiskinan, katanya, adalah ujian hakiki seorang manusia.[3]

Karena keluarganya ulama ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabi’in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Jafar Shadiq dan Rabi Rayi.[4]

Di usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al Ma’mun, pernah jadi murid Imam Malik. Ulama besar, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pun pernah menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang.[5]

Imam Malik mempunyai ciri pengajaran setiap menyampaikan ilmu, yakni disiplin, ketentraman, dan rasa hormat murid kepada gurunya. Prinsip ini dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan ia menegur keras murid-muridnya yang melanggar prinsip tersebut. Pernah suatu kali Khalifah Mansur membahas sebuah hadits dengan nada agak keras. Sang imam marah dan berkata, ”Jangan melengking bila sedang membahas hadits Nabi.”[6]

Ketegasan sikap Imam Malik bukan sekali saja. Berulangkali, manakala dihadapkan pada keinginan penguasa yang tak sejalan dengan aqidah Islamiyah, Imam Malik menentang tanpa takut resiko yang dihadapinya. Salah satunya dengan Ja’far, gubernur Madinah. Suatu ketika, gubernur yang masih keponakan Khalifah Abbasiyah, Al Mansur, meminta seluruh penduduk Madinah melakukan bai’at (janji setia) kepada khalifah. Namun, Imam Malik yang saat itu baru berusia 25 tahun merasa tak mungkin penduduk Madinah melakukan bai’at kepada khalifah yang mereka tak sukai.[7]

Al Muwatta’ dan Karya Lainnya

Al Muwatta’ adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Santri mana yang tak kenal kitab yang satu ini. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan pesantren dan ulama kontemporer. Karya terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki banyak keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat.[8]

Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya Al Muwatta’ tak akan lahir bila Imam Malik tidak ‘dipaksa’ Khalifah Mansur. Setelah penolakan untuk ke Baghdad, Khalifah Al Mansur meminta Imam Malik mengumpulkan hadits dan membukukannya. Awalnya, Imam Malik enggan melakukan itu. Namun, karena dipandang tak ada salahnya melakukan hal tersebut, akhirnya lahirlah Al Muwatta’. Ditulis di masa Al Mansur (754-775 M) dan baru selesai di masa Al Mahdi (775-785 M).[8]

Dunia Islam mengakui Al Muwatta’ sebagai karya pilihan yang tak ada duanya. Menurut Syah Walilullah, kitab ini merupakan himpunan hadits paling shahih dan terpilih. Imam Malik memang menekankan betul terujinya para perawi. Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadits. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadits. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan. Selain Al Muwatta’, Imam Malik juga menyusun kitab Al Mudawwanah al Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan.[9]

Imam Malik tak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab fikih di kalangan Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam Malik dan Al Muwatta’, kitab-kitab seperti Al Mudawwanah al Kubra, Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah fi al Fiqh al Maliki (karya Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik Syarh Irsyad al Masalik fi Fiqh al Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi), dan Bulgah as Salik li Aqrab al Masalik (karya Syeikh Ahmad as Sawi), menjadi rujukan utama mazhab Maliki.[10]

Karakteristik Mazhab Maliki

Di samping sangat konsisten memegang teguh hadits, mazhab ia juga dikenal amat mengedepankan aspek kemaslahatan dalam menetapkan hukum. Secara berurutan, sumber hukum yang dikembangkan dalam Mazhab Maliki adalah Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah SAW, amalan sahabat, tradisi masyarakat Madinah (amal ahli al Madinah), qiyas (analogi), dan al maslahah al mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu).[11] Tidak jarang kemudian karakteristik mazhab ini dikatakan sangat dipengaruhi sunnah yang cenderung tekstual.

Mazhab Maliki pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan. Kecuali di tiga negara yang disebut terakhir, jumlah pengikut mazhab Maliki kini menyusut. Mayoritas penduduk Mekah dan Madinah saat ini mengikuti Mazhab Hanbali. Di Iran dan Mesir, jumlah pengikut Mazhab Maliki juga tidak banyak. Hanya Marokko saat ini satu-satunya negara yang secara resmi menganut Mazhab Maliki.[12] Imam Maliki wafat pada pagi hari 14 Rabi'ul Awwal tahun 179 H di Maddinah dalam usia 89 tahun.[13]

Jejak Mazhab Maliki dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Ketentuan Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam tentang kebolehan melangsungkan perkawinan bagi wanita hamil akibat zina, menyebabkan perdebatan dan silang pendapat dari berbagai kalangan, dan mazhab Maliki adalah termasuk yang melarangnya. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga sperma suami dan memelihara dari percampuran nasab yang baik dengan anak zina.
__________
Referensi:

1. "Biografi Singkat Imam Malik; Pendiri Mazhab Maliki", Umma.id., diakses pada 2 September 2020, https://umma.id/article/share/id/1002/259420
2. "Imam Malik, Penyusun Al Muwatta’ yang Terkenal", Minanews.net. 29 Agustus 2019, Diakses pada 2 September 2020, https://minanews.net/imam-malik-penyusun-al-muwatta-yang-terkenal/
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid.
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Ibid.
9. Ibid.
10. Ibid.
11. Ibid.
12. Ibid.
13. "Biografi Lengkap Imam Maliki Bin Anas, Imam Haramain dan Penulis Kitab Muwatha'", asianmuslim.com, 24 Februari 2020, Diakses pada 2 September 2020, https://www.asianmuslim.com/2020/02/biografi-lengkap-imam-malik-bin-anas.html

Selasa, 01 September 2020

Tetralogi Mazhab KHI, Imam Syafi'i

(nusadaily.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com pada label tokoh telah membahas "Mr. Iskak Tjokroadisurjo, Membuka Kantor Hukum Pertama di Batavia", serta Pada kesempatan selanjutnya akan menyinggung tokoh-tokoh fiqh Islam yang terkandung dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Sejarah Singkat

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dibentuk berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor: 1 Tahun 1991 bisa dikatakan sebagai hukum materiil Peradilan Agama di Indonesia, hal ini meliputi: 
  • Buku I Tentang Hukum Perkawinan;
  • Buku II Tentang Hukum Kewarisan;
  • Buku III Tentang Hukum Perwakafan.
Di balik diterbitkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor: 1 Tahun 1991 ini tentu mempunyai sejarah tersendiri, dan inilah yang akan diterangkan kemudian. 

Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah suatu istilah untuk menunjukkan himpunan kaidah-kaidah hukum Islam yang bersumber dari kitab-kitab fikih empat mazhab. Seluruh pandangan ulama terkait fikih itu disatukan dalam bentuk buku yang disusun dengan memakai bahasa perundang-undangan.[1] Adapun fikih empat mazhab dimaksud meliputi mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali.

KHI menjadi pegangan hakim di pengadilan agama dalam memutus sengketa perkawinan, waris, wasiat, hibah dan lain-lain yang para pihaknya adalah Muslim. Ahmad Zarkasih Lc dalam bukunya "Ahli Waris Pengganti Pasal Waris Bermasalah Dalam KHI" menyampaikan, ide pembetukan KHI bermula pada 21 Maret tahun 1985. Ketika itu, muncul Surat Keputusan Bersama (SKB) Mahkamah Agung dan Menteri Agama Nomor 07/KMA/1985 tentang Penunjukan Pelaksana Proyek Pembangunan Hukum Islam Melaiui Yurisprudensi. "Dalam SKB tersebut terdapat instruksi kepada kementrain agama untuk membentuk sebuah tim yang berisi ulama dan sarjana serta cendikiawan Islam yang ditugasi untuk membentuk pembangun hukum Islam melalui jalur yurisprudensi dengan jalan kompilasi hukum," katanya.[2]

Pekerjaan tim tersebut, lanjut Zarkasih, ialah mengkaji kitab-kitab fikih Islam yang selama ini dipakai para hakim di pengadilan agama. Tujuannya agar kajian yang ada sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia serta menuju tata hukum nasional. Menurut para peneliti dan sejarawan, munculnya SKB tersebut dilatarbelakangi kekhawatiran, yakni tidak adanya satu kitab hukum resmi sebagai rujukan standar dalam memberi putusan pada perkara-perkara di pengadilan agama. Keadaan yang berbeda dengan lingkungan peradiian umum (KUHPerdata).[3]

Zarkasih mengatakan, sebelum adanya KHI, hakim dalam mengambil keputusan di pengadilan agama biasanya menggunakan kitab fikih yang sudah berumur. Dalam arti, kitab-kitab itu ditulis ulama dari abad lampau. Akibatnya, sering muncul putusan yang tidak seragam. Sebab, rujukan dan pedoman kitab-kitab yang dipakai memang tidak seragam. Misal, perkara yang sama boleh jadi mendapatkan putusan yang berbeda karena ditangani hakim yang berbeda dan berbeda pula rujukan kitabnya. Para hakim pun punya kecenderungan yang berbeda dalam memilih kitab rujukan. "Apabila kebetulan hakim yang memberi putusan pada tingkat pertama berbeda kitab rujukannya dengan hakim yang lain pada tingkat banding, maka tidak dapat dihindarkan lagi, terjadi putusan yang berbeda," kata dia. Hal itu tidak sejalan dengan prinsip kepastian hukum. Melihat masalah itu, Kementerian Agama merasa sangat perlu untuk mengadakan satu kitab rujukan standar bagi para hakim agama dalam menentukan putusan masalah mereka di pengadilan. Akhirnya, Kemenag menggandeng MA sebagai induk pengadilan untuk membuat SKB yang ditandatangani pada 1985 itu.[4] Setelah penulis melakukan riset di dunia maya, sampai dengan terbitnya Instruksi Presiden RI Nomor: 1 Tahun 1991, tentu melalui jalan yang cukup panjang, namun demikian tidak akan dibahas lebih lanjut di sini. Artikel ini hanya bermaksud membahas keempat tokoh mazhab fikih Islam yang ajarannya berada dalam KHI.

Imam Syafi'i

Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i al-Muththalibi al-Qurasyi menjadi salah satu ulama besar dalam sejarah umat Islam. Beliau lebih dikenal dengan nama Imam Syafi’i dan merupakan pendiri mazhab Syafi’i yang menjadi mazhab dominan di Indonesia. Pengetahuan keilmuan seorang Imam Syafi’i pun tidak perlu diragukan. Beliau lahir dari pasangan Idris bin Abbas dan Fatimah al-Azdiyyah di Kota Gaza, Palestina pada tahun 767 Masehi atau 150 Hijriah. Namun, sebagian kecil ahli sejarah mengungkapkan kalau Imam Syafi’i lahir di Asqalan, kota yang berjarak sekitar 18 km dari Kota Gaza. Nama Imam Syafi’i merupakan nama pemberian dari orang tuanya. Nama itu adalah kombinasi antara nama dua orang, yakni Nabi Muhammad SAW dan kakeknya, yakni Syafi’i bin asy-Syaib. Dalam kesehariannya, beliau pun memperoleh panggilan asy-Syafi’i.[5]

Kemudian kita akan menyinggung masa belajar dan Guru-guru Imam Syafi’i. Pada usia 7 tahun, beliau pun sudah berhasil menghafal Al-Quran. Selanjutnya, di umur 12 tahun, Imam Syafi’i telah mengingat seluruh isi kitab Al-Muwaththa’ yang merupakan hasil karya Imam Malik. Pada usia 10 tahun, ibu asy-Syafi’i membawanya ke Mekkah. Hal ini dilakukan agar Imam Syafi’i kecil bisa belajar dengan lebih baik. Terutama, karena bisa memperoleh akses yang cepat ke berbagai ulama besar yang ada di Tanah Suci. Di sini, Imam Syafi’i pun berkesempatan untuk berguru kepada beberapa ulama fikih ternama. Guru-guru beliau ketika berada di Kota Mekkah antara lain adalah: Muslim bin az-Zanji yang merupakan mufti Kota Mekkah pada masa tersebut. Dawud bin Abdurrahman al-Atthar. Muhammad bin Ali bin Syafi’i yang merupakan paman beliau. Sufyan bin Uyainah. Abdurrahman bin Abi Bark al-Mulaiki. Sa’id bin Salim. Fudhail bin al-Ayyadltu, beliau juga dikenal memiliki ketertarikan dalam mempelajari bahasa dan sastra Arab.[6]

Setelah menempuh pendidikan di Kota Mekkah, beliau melanjutkan perburuan ilmunya ke Madinah. Di sinilah terjadi pertemuan antara Imam Syafi’i dengan Imam Malik. Beliau pun secara khusus merupakan pengagum dari Imam Malik, apalagi setelah menghafal buku karangannya. Asy-Syafi’i pun menetap di Madinah hingga Imam Malik wafat pada tahun 179 Hijriah. Kemudian beliau melanjutkan pembelajarannya ke Yaman. Imam Syafi’i menjejakkan kakinya ke Yaman pada usia 21 tahun. Saat itu, beliau pun memperoleh kedudukan tinggi di kalangan ulama. Namun, hal itu tidak membuat sosok asy-Syafi’i puas. Selama di Yaman, ulama-ulama yang menjadi guru beliau antara lain: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, Umar bin Abi Salamah, Yahya bin Hasan.[7]

Semasa hidupnya, Imam Syafi’i pun telah menelurkan beberapa karya, yaitu:[8]
  • al-Umm;
  • ar-Risalah;
  • al-Mabsuth;
  • al-Hujjah;
  • Bayadh al-Fardh, dan lain-lain.
Selain itu, beberapa ulama terkenal juga pernah menjadi murid dari Imam Syafi’i. Termasuk di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal yang dikelan sebagai pendiri mazhab Hambali. Selain itu, beberapa murid lainnya dari Imam Syafi’i adalah: Al-Hasan bin Muhammad az-Za’farani, Ishaq bin Rahawaih, Harmalah bin Yahya, Sulaiman bin Dawud al-Hasyimi, Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid al-Kalbi, dan lain-lain.[9]

Meski dikenal sebagai salah satu ulama terbesar, Imam Syafi’i merupakan seorang yang rendah hati. Bahkan, dalam kesehariannya, beliau adalah sosok zuhud yang memilih hidup sederhana dan jauh dari kemewahan.[10] Arti penting mazhab syafi'i di Indonesia adalah bahwa mazhab fikih ini dianut oleh sebagian besar masyarakat muslim di Indonesia.

Karakteristik Mazhab Syafi'i

Corak pemikirannya adalah konvergensi atau pertemuan antara rasionalis dan tradisionalis. Selain berdasarkan pada Al Quran, sunnah, dan ijma, Imam Syafl'i juga berpegang pada qiyas. Beliau disebut juga sebagai orang pertama yang membukukan ilmu usul Fiqih. Karyanya yang terkenal adalah AI-Umm dan Ar-Risalah. Pemikirannya yang cenderung moderat diperlihatkan dalam Qaul Qadim (pendapat yang baru) dan Qaul Jadid (pendapat yang lama).[11] Penulis kira kata kuncinya sudah cukup jelas, bahwa karakter menonjol pemikiran hukum mazhab Syafi'i ini adalah rasional-tradisional. 

Penulis tambahkan, salah satu contoh konkrit pemikiran mazhab Syafi'i dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah perihal masa iddah dan talak khuluk (talak dengan tebusan). Contoh dimaksud terdapat dalam Pasal 153, Pasal 154 dan Pasal 155 Perihal Waktu Tunggu (masa Iddah), Buku I Kompilasi Hukum Islam (KHI) Tentang Perkawinan.

Untuk penyebarannya mazhab Syafl'i diikuti oleh 495 juta jiwa. Negara-negara dengan mayoritas pengikut mazhab ini adalah Indonesia, Ethiopia, Malaysia, Yaman, Mesir, dan Somalia. Murid atau pengikutnya yang terkenal adalah Imam Ahmad AI Ghazali, lbnu Katsir, lbnu Majah, An Nawawi, Ibnu Hajar al-'Asqalani, Abu Hasan Al Asy'ari, dan Said Nursi.[12]
_________________
Referensi:

1. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor: 1 Tahun 1991;
2. "Sejarah Kompilasi Hukum Islam di Indonesia", Republika.co.id., Selasa 24 Mar 2020, Diakses pada 1 September 2020, https://republika.co.id/berita/q7olv0458/sejarah-kompilasi-hukum-islam-di-indonesia
3. Ibid.
4. Ibid. 
5. "Biografi Imam Syafi’i – Masa Kecil, Masa Belajar, dan Karya Imam Syafi’i", inspiraloka.com., March 24, 2017, Diakses pada 1 September 2020, https://www.inspiraloka.com/biografi-imam-syafii/
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Ibid.
9. Ibid.
10. Ibid.
11. "Sejarah dan Karakteristik 4 Mazhab Fiqih", malangtimes.com., 11 Januari 2019, diakses pada 1 September 2020, https://www.malangtimes.com/baca/34943/20190111/110500/sejarah-dan-karakteristik-4-mazhab-fiqih
12. Ibid.

Sabtu, 15 Agustus 2020

Mr. Iskak Tjokroadisurjo, Membuka Kantor Hukum Pertama di Batavia

(id.Wikipedia.org)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas profile "Kisah Ketua MA Pertama, Mr. Koesoemah Atmadja" dalam label tokoh, dan Pada kesempatan ini akan membahas Iskak Tjokroadisurjo.

Riwayat Hidup

lahir di Ngepeh, Ngoro, Jombang pada 11 Juli 1896. Setelah menyelesaikan Sekolah Kehakiman (1917), ia melanjutkan ke bagian hukum Universitas Leiden, Belanda dan lulus pada tahun 1925 dan kemudian ia menjadi pegawai kehakiman (1917-1922) dan sebagai pengacara di Surabaya (1925). Anggota Perhimpunan Indonesia di Belanda, saat kuliah hukum di Belanda, Iskak Tjokrohadisurjo sama sekali tidak terlibat dalam pergerakan nasionalis ini sewaktu masih menuntut ilmu di Universitas Leiden, Belanda, Iskaq Tjokrohadisoerjo tidak pernah terlihat ikut kegiatan Perhimpunan Indonesia, organisasi mahasiswa Hindia Belanda di negeri penjajah itu. Ia lulus kuliah tepat waktu (3 tahun). Akan tetapi, setelah mendapatkan gelar "Master in de Rechten" (setara dengan Sarjana Hukum) dan pulang ke tanah air, jiwa nasionalisme Iskaq seolah meledak. “Tanaman yang merambat di bagian muka rumah dipotong karena bunganya berwarna oranye bukan merah putih. Cangkir-cangkir di rumah harus berwarna merah putih,” tulis Mr Sunario Sastrowardoyo, teman sejawat Iskaq dalam pengantar buku "Iskaq Tjokrohadisurjo, Alumi Desa Bersemangat Banteng" (Nalenan, Ruben, 1982).[1]

Setelah lulus sekolah Hukum ia pulang ke Indonesia. Sejak pulang kampung pada 1926, karena sejak awal ingin menjadi orang bebas, Iskaq membuka kantor advokat di Bandung padahal pemerintah kolonial ingin menempatkannya di Batavia. Tiga orang temannya sejak di negeri Belanda bergabung dalam firma hukum Iskak itu yaitu Sartono, Wiryono Kusumo, dan Ali Sastroamidjojo (Perdana Menteri dan Ketua PNI pada dekade 1960-an). Setahun kemudian, Iskaq menjadi satu dari tujuh orang yang pertama berkumpul di Regentsweg (kini Jalan Dewi Sartika) Bandung untuk mendirikan Partai Nasional Indonesia. Saat itu, Ia diputuskan menjabat sekertaris merangkap bendahara. Nama Iskaq sejak saat itu tidak dapat dipisahkan dari PNI dan pergerakan nasional yang mulai bangkit dan berhimpun pada masa-masa itu.[2]

Mr. Iskak kemudian turut mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) Sebagai tokoh muda pergerakan, ia turut mempersiapkan pendirian Partai Nasional Indonesia oleh kalangan Perhimpunan Pelajar di Bandung dalam Komite Persediaan (April 1927). Komite ini terdiri atas Ir. Soekarno, Mr. Iskaq Tjokrohadisoerjo, Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, S. Budhyarto Martoatmojo, S.H., Mr. Soenario, Ir. Anwari, Mr. Sartono dan Dr. Samsi Sastrawidagda. Dalam perkembangannya, ia juga menjadi pengurus Partai Indonesia dan Partai Indonesia Raya (Parindra). Pada zaman pendudukan Jepang, beliau menjadi anggota Chuo Sangi In di Jakarta dan kemudian anggota Surabaya-Syu Sangi Kai. Ia pernah berkunjung ke Jepang bersama 25 utusan dari Jawa lainnya.[3]

Karir Advokat

Sebagaimana dikutip dari artikel: "Sejarah PERADIN", pada masa sebelum dan awal kemerdekaan jumlah advokat Indonesia masih sangat sedikit. Beberapa nama yang dikenal waktu itu antara lain: Mr. Besar Martokusumo (Advokat Pertama Indonesia), Mr. Suyudi, Mr. Sastromolyono, Mr. Ali Sastroamidjojo, Mr. Singgih, Mr. Mohammad Roem yang merupakan advokat pelopor di Pulau Jawa. Karena jumlahnya sangat sedikit mereka tidak membentuk atau tergabung dalam satu organisasi persatuan advokat, tetapi di kota-kota besar ada suatu perkumpulan yang dikenal dengan Balie Van Advocaten.[4]

Sekitar tahun 1959-1960 para advokat di Semarang mendirikan perkumpulan BALIE Jawa Tengah dengan Ketua-nya Mr. Suyudi dan anggota-anggota nya antara lain: Mr. Kwo Swan Sik, Mr. Ko Tjay Sing, Mr. Abdul Majid, Mr. Tan Siang Hien, Mr. Tan Siang Sui dan Mr. Tan Nie Tjong. Kemudian berdiri balai-balai advokat di Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan.[5] Dengan demikian, wadah awal profesi advokat pada waktu itu adalah berupa balai-balai (Balie) atau perkumpulan profesi sejenis, yaitu profesi advokat.

Pertanyaannya kemudian, dimana arti penting Mr. Iskak Tjokroadisurjo dalam rentang sejarah awal advokat pribumi generasi pertama? Jawabannya adalah Mr. Iskak Tjokroadisurjo merupakan advokat Indonesia pertama yang membuka kantor hukum di Batavia alias Jakarta pada era Belanda. Kini, namanya diabadikan menjadi nama perpustakaan hukum di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Dalam bukunya ‘Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan’ (1990), Lev menceritakan pilihan sejumlah tokoh Indonesia bergelar Meester in de Rechten (Mr) dari Leiden setelah mereka kembali ke Tanah Air yang saat itu masih dijajah Belanda. Sebagian besar bekerja di pemerintahan, terutama di pengadilan. Tetapi ada beberapa nama yang akhirnya memilih bekerja swasta sebagai advokat. Sastromulyono, Suyudi, dan Sunardi bergabung dengan kantor hukum yang dibangun Mr. Besar Mertokusumo di Tegal dan Semarang.[6]

Lalu, Mr. Sartono –yang kelak menjadi Ketua DPR Indonesia pertama—bergabung dengan kantor hukum Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo di Batavia. Lev menulis begini: “Sartono bergabung ke kantor advokat yang didirikan oleh Iskaq Tjokrohadisurjo –ditulis juga dengan Iskaq Cokrohadisuryo—di Batavia, kantor advokat Indonesia yang pertama di ibukota tanah jajahan itu”. Dengan kata lain, Lev mencatat kantor yang dididirikan Mr. Iskaq adalah firma hukum yang pertama berdiri di Batavia (kini Jakarta). Lev pernah mewawancarai Mr. Iskaq pada 13 November 1964.[7]

Nama lain yang berjasa mengabadikan nama Mr. Iskaq dalam dunia kepengacaraan adalah Adnan Buyung Nasution (almarhum). Dalam ceramah lisan dan beberapa tulisan, Buyung sering menyebut nama tokoh advokat yang ikut berjuang dalam pergerakan nasional. Bahkan berpraktik menjadi pengacara tokoh nasional yang diadili di Landraad. Sebagai contoh adalah ceramah Bang Buyung di Jakarta pada 19 Maret 2003, acara yang digelar dalam rangka syukuran atas lahirnya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Bang Buyung menyebut nama Mr. Iskaq, Mr. Ali Sastroamidjojo, Mohammad Yamin, Mr. Amir Syarifuddin, Mr. Mohammad Roem, dan Mr. AA Maramis. “Semuanya ikut dalam pergerakan memperjuangkan kemerdekaan bangsa di samping menjalankan profesinya sebagai advokat,” papar Bang Buyung. Contoh konkrit yang disebut Buyung adalah ketika Mr Iskaq tampil bersama Mr. Suyudi dan Mr. Sastromoeljono sebagai pembela Bung Karno di hadapan Landraad Bandung (1930). Mr. Iskaq juga ikut membidani lahirnya organisasi advokat bernama Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) di Surakarta pada 1964.[8]

Kesimpulan

Bisa disimpulkan di sini, bahwa Mr. Iskak Tjokroadisurjo adalah salah satu advokat pribumi generasi pertama yang mempunyai peran penting, yang membuka kantor hukum dan berpraktik sebagai advokat di Batavia/Jakarta di masa penjajahan Belanda. Meskipun demikian, terdapat peran sejarah lain dari beliau, terutama di kancah politik bersama PNI, akan tetapi tidak akan dibahas dalam artikel ini.
____________________
1.“Iskak Tjokroadisurjo”, Wikipedia.org., diakses pada 14 Agustus 2020, https://id.wikipedia.org/wiki/Iskak_Tjokroadisurjo
2. Ibid.
3. Ibid.
4. "Sejarah PERADIN", Peradin.or.id., Diakses pada 14 Agustus 2020, http://www.peradin.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=48%3Asejarahperadin&catid=36%3Atentang-peradin&lang=in
5. Ibid.
6. "Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo dan Sejarah Firma Hukum di Indonesia", Hukumonline.com, Diakses pada 14 Agustus 2020, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e1ebc1fd0882/mr-iskaq-tjokrohadisurjo-dan-sejarah-firma-hukum-di-indonesia/
7. Ibid.
8. Ibid.


Jumat, 07 Agustus 2020

Kisah Ketua MA Pertama, Mr. Koesoemah Atmadja


(en.Wikipedia.org)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai tokoh "Mr. Kasman Singodimejo, Jaksa Agung Kedua R.I.", dan Pada kesempatan ini akan membahas Ketua Mahkamah Agung Pertama, yaitu Mr. Koesoemah Atmadja.

Nama lengkapnya adalah Prof. Dr. Mr. Raden Soelaiman Effendi Koesoemah Atmadja merupakan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia pertama. Anggota BPUPKI dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada. Lahir di Purwakarta, Jawa Barat, 8 September 1898 dan meninggal di Jakarta, 11 Agustus 1952. Mr. Koesoemah Atmaja ditugaskan untuk membentuk Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 1950. Kemudian, dia diangkat menjadi ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia pertama pada  tahun 1950 hingga beliau meninggal tahun 1952.[1]

Pendidikan & Awal Karir

Mr. Koesoemah Atmadja berasal dari keluarga terpandang sehingga digelari Raden Soelaiman Effendi Koesoemah Atmadja. Sebagai keturunan bangsawan, dia berkesempatan mendapat pendidikan dalam pemerintahan Hindia Belanda. Pada tahun 1913, dia telah memperoleh gelar diploma dari Rechtshcool atau Sekolah Kehakiman (sekarang FH UI).[2]

Dia pun mengawali kariernya sebagai pegawai yang diperbantukan pada Pengadilan di Bogor (1919). Pada tahun itu juga, ia mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan hukumnya di Universitas Leiden, Belanda. Dia pun mendapat gelar Doctor in de recht geleerheid dari Universitas Leiden pada tahun 1922. Disertasi berjudul De Mohamedaansche Vrome Stichtingen in Indie (Lembaga Ulama Islam di Hindia Belanda), yang menguraikan Hukum Wakaf di Hindia Belanda.[3]

Setelah menyelesaikan pendidikan di Universitas Leiden, Belanda, dia pun dipercayakan menjadi hakim di Raad Van Justitie (setingkat Pengadilan Tinggi) Batavia era Pemerintahan Hindia Belanda. Setahun berikutnya, diangkat menjadi Voor Zitter Landraad (Ketua Pengadilan Negeri) di Indramayu.[4]

Masa Penjajahan Jepang & Awal Kemerdekaan R.I.

Kemudian, setelah Indonesia merdeka, sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 24 dimana Mahkamah Agung diberi kepercayaan sebagai pemegang kekuasaan Kehakiman tertinggi. Koesoemah Atmaja ditugaskan untuk membentuk lembaga peradilan Indonesia tertinggi tersebut. Dia pun diangkat menjadi ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia pertama pada tahun 1950.[5]

Setelah pemerintahan (penjajahan) Hindia Belanda berakhir dan berganti ke pemerintahan (penjajahan) Jepang, dia tetap berkarir di pengadilan. Pada 1942, dia menjabat sebagai Ketua Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri) di Semarang. Pernah juga menjabat Hakim Pengadilan Tinggi Padang dan Hakim PT Semarang. Dia juga juga diangkat sebagai Pemimpin Kehakiman Jawa Tengah, 1944.[6]

Menjelang  Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Koesoemah Atmaja pun menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang terbentuk pada tanggal 29 April 1945. Dan, setelah Indonesia merdeka, sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 pasal 24 dimana Mahkamah Agung diberi kepercayaan sebagai pemegang kekuasaan Kehakiman tertinggi. Koesoemah Atmaja ditugaskan untuk ikut membentuk lembaga peradilan Indonesia tertinggi tersebut. Dia pun diangkat menjadi ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia pertama pada tahun 1950.[7]

Mahkamah Agung pernah berkedudukan dalam pengungsian selama 3 1/2 (tiga setengah) tahun yakni di Jogyakarta sejak bulan Juli 1946. Kemudian, dalam kepemimpinan Koesoemah Atmadja dikembalikan lagi ke Jakarta pada tanggal 1 Januari 1950, setelah selesainya KMB dan pemulihan Kedaulatan. Ada pun Susunan Mahkamah Agung sewaktu di Jogyakarta adalah: Ketua Mr. Dr. Koesoemah Atmadja; WakilKetua Mr. R. Satochid Kartanegara; Anggota-anggota: 1. Mr. Husen Tirtasmidjaja, 2. Mr. Wono Prodjodikoro, 3. Sutan Kali Malikul Add; Panitera: Mr. Soebekti; dan Kepala Tara Usaha: Ranuatmadja. Setelah kembali berkedudukan di Jakarta, Susunan Mahkamah Agung (1950-1952) adalah sebagai berikut: Ketua: Mr. Dr. Koesoemah Atmadja; Wakil Ketua: Mr. Satochid Kartanegara; Hakim Agung: Mr. Wirjono Prodjodikoro, Mr. Husen Tirtamidjaja; Panitera: Mr. Soebekti; dan Wakil Panitera Ranoeatmadja. Namun, masa tugas Koesoemah Atmadja sebagai Ketua MA hanya sekitar dua tahun, sebab ajal memanggilnya, dia meninggal saat masih menjabat Ketua MA pada tanggal 11 Agustus 1952 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Dia pun digantikan Mr. Wirjono Prodjodikoro menjabat Ketua MA (1952-1966).[8]

Meletakkan Pondasi Supremasi Hukum Dimasa Sulit

Perkara Soedarsono, yang terjadi pada 1946 itu cukup rumit lagi serius. Presiden Sukarno sampai merasa harus turut-campur dengan mencoba melakukan intervensi kepada hakim yang paling berwenang menanganinya, yakni Koesoemah Atmadja. Orang ini adalah Ketua Mahkamah Agung (MA) pertama dalam sejarah berdirinya Republik Indonesia yang belum genap setahun merdeka. Kasus yang ditangani Koesoemah Atmadja dan membuat Sukarno agak kelabakan. Yakni upaya menggulingkan pemerintahan yang dimotori oleh seorang petinggi militer bernama Mayor Jenderal Soedarsono (A. Massier, The Voice of the Law in Transition: Indonesian Jurists and Their Languages 1915-2000, 2008:188). Mayjen Soedarsono saat itu menjabat sebagai Panglima Divisi III di Yogyakarta.[9]

Perkara Soedarsono ini bisa dikatakan merupakan kudeta pertama di Republik Baru. Yang menjadi sasaran kudeta pertama dalam riwayat RI itu bukanlah Sukarno selaku presiden, melainkan kabinet yang dipimpin Soetan Sjahrir sebagai perdana menteri. Tujuannya menginginkan sistem pemerintahan Indonesia kembali ke format presidensial di mana presiden berfungsi sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Tanggal 26 Juni 1946, terjadi penculikan terhadap Sjahrir di Surakarta oleh kelompok oposisi yang menamakan diri Persatuan Perjuangan dengan Mayjen Soedarsono selaku penggerak utamanya, dibantu oleh 14 orang pimpinan sipil. Kelompok ini tidak puas pada upaya diplomasi yang dilakukan Kabinet Sjahrir dan menuntut kemerdekaan sepenuhnya dari Belanda. Sjahrir pun mereka tahan di Boyolali.[10]

Tan Malaka dituduh sebagai aktor kudeta ini -- tuduhan yang hingga kini masih terus diperdebatkan. Nama Panglima Besar Jenderal Soedirman sempat pula terseret dalam perkara ini kendati nantinya ia selamat dari tudingan.  Akhirnya, drama ini berakhir dengan ditangkapnya Mayjen Sudarsono dan kolega-koleganya. Para pelaku kemudian diajukan ke Mahkamah Tentara Agung yang diketuai Koesoemah Atmadja.[11]

Mereka yang terlibat kasus ini ternyata orang-orang yang dekat dengan Presiden Sukarno, termasuk M. Yamin. Sukarno, yang dikisahkan murka ketika upaya kudeta 1946 itu terjadi, berusaha mendekati Koesoemah Atmadja. Sukarno memang tidak frontal melakukan intervensi terhadap Koesoemah Atmadja atas perkara ini. Usaha mempengaruhi dilakukan dengan cara halus yakni meminta Koesoemah Atmadja bertindak lebih “lembut” kepada para terdakwa.[12]

Permintaan itu ditolak mentah-mentah Koesoemah Atmadja. Bahkan ia mengancam mundur dari jabatannya jika Presiden Sukarno mencampuri kasus tersebut. Baginya, independensi institusi kehakiman wajib terjaga dan tidak boleh diintervensi, bahkan oleh presiden sekalipun. Pengadilan pun tetap digelar. Koesoemah Atmadja kemudian menjatuhkan vonis tegas. Mayjen Soedarsono dihukum 4 tahun penjara serta dipecat dan dicabut hak dan jabatannya di ketentaraan. Lama hukuman yang sama juga dijatuhkan kepada M. Yamin. Sementara Budiarto Martoatmojo kena bui selama 3 tahun 6 bulan. Adapun Achmad Soebardjo dan Iwa Kusuma Sumantri masing-masing mendapat ganjaran 3 tahun penjara.[13]
____________________
1. "Ketua Mahkamah Agung Pertama (Mr. Koesoemah Atmadja)", Tokoh.id., Diakses pada 7 Agustus 2020, https://tokoh.id/biografi/1-ensiklopedi/ketua-mahkamah-agung-pertama/
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid. 
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Ibid.
9. "Kisah Ketua MA Koesoemah Atmadja Menolak Kehendak Penguasa", Tirto.id., Diakses pada 7 Agustus 2020, https://tirto.id/kisah-ketua-ma-koesoemah-atmadja-menolak-kehendak-penguasa-cumn
10. Ibid.
11. Ibid.
12. Ibid.
13. Ibid. 

Jumat, 31 Juli 2020

Mr. Kasman Singodimejo, Jaksa Agung Kedua R.I.

(Kejaksaan.go.id)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com dalam label 'Tokoh Hukum' telah membahas biografi singkat dari  "Mr. Gatot Taroenamihardja Jaksa Agung R.I. Pertama", dan Pada kesempatan ini akan membahas tokoh Mr. Kasman Singodimedjo, Jaksa Agung Kedua R.I.
 
Biografi Singkat

Kasman Singodimedjo bernama lengkap Mayjen TNI (Purn.) Prof.Dr.Mr. H.R. Kasman Singodimedjo. Pada tahun 1904 Kasman Singodimedjo lahir di di Desa Klapar, Bagelen, Purworejo, Jawa Tengah, tanggal 25 Februari 1904. Ia pernah sekolah di Batavia, namun kemudian pulang, melanjutkan sekolah di Kutoarjo dan Magelang. Di Kutoarjo, Kasman bergabung dengan .[1]

Mendapatkan pendidikan hukum pada Rechts Hoge School (RHS), Batavia (Jakarta), 1933-20 Agustus 1939 (Mr., 1939, Bagian Sosiologi Ekonomi). Beliau pernah menjabat di antaranya Ketua Moehammadijah, untuk Batavia & Buitenzorg (Jakarta & Bogor), 1939-1941. Juga Asisten Dosen Prof. van der Kolf, Rechts Hoge School (RHS), Batavia (Jakarta), 1939-1940. Anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Wakil Ketua dan kemudian Ketua Badan Keamanan Rakyat (BKR) Pusat 1945 merangkap Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Jakarta, 29 Agutus 1945-10 Oktober 1945; Pengacara, 1945-1946; Jaksa Agung RI, 6 November 1945-10 Mei 1946. Pada tahun 1982 Kasman Singodimedjo wafat di Jakarta, tepatnya pada 25 Oktober, dalam usia 78 tahun. Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas nama Pemerintah R.I. menetapkannya sebagai pahlawan nasional pada 2018.[2]

Menjabat sebagai Jaksa Agung R.I.

Pada saat menjabat sebagai menjadi Jaksa Agung, Kasman mengeluarkan Maklumat Jaksa Agung No. 3 tanggal 15 Januari 1946. Maklumat tersebut ditujukan kepada para Gubernur, Jaksa, dan Kepala Polisi tentang ajakan untuk membuktikan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, yaitu negara yang selalu menyelenggarakan pengadilan yang cepat dan tepat. Karena itu, ia menganjurkan agar segera menyelesaikan perkara-perkara kriminal yang belum diselesaikan. Polisi dan Jaksa dituntut untuk selalu menyelaraskan diri dengan pembangunan negara yang berdasarkan hukum dengan bantuan para hakim.[3]

Pada masa kepemimpinannya pula, ada instruksi Jaksa Agung yang sangat penting bagi perkembangan eselonisasi dan tata kerja kejaksaan selanjutnya. Dalam instruksi pertama (tanpa tanggal pengeluaran) yang ditujukan kepada Kepala-kepala pemerintah di Jawa dan Madura, antara lain dikemukakan bahwa susunan kejaksaan di Jawa dan Madura untuk sementara terdiri dari Kejaksaan Agung sebagai pusat yang langsung memimpin kejaksaan-kejaksaan di bawahnya. Dalam Instruksi Jaksa agung lainnya tanggal 20 Desember 1945 tentang Pengadilan Kepolisian yang ditujukan kepada Kepala Kepolisian, diberikan petunjuk bahwa sebelum diadakan ketentuan lain, maka hukum acara pidana yang dipakai adalah HIR dan ketentuan mengenai penahanan dalam pasal 9 Gunseikkeizirei (Peraturan Pidana militer) tidak lagi digunakan.[4]

Kesimpulan

Terdapat beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari kajian tentang Kasman Singodimedjo, diantaranya, pertama adalah beliau pernah menjabat sebagai Jaksa Agung R.I. yang kedua setelah Mr. Gatot Taroenamihardja. Kedua, dalam konteks perkembangan birokratisasi instansi Kejaksaan RI, beliau berjasa melakukan perkembangan eselonisasi dan tata kerja kejaksaan yang waktu itu baru lahir.
____________________
1. "Sejarah 25 Februari 1904: Pancasila & Lahirnya Kasman Singodimedjo", Tirto.id., Diakses pada 1 Agustus 2020, https://tirto.id/sejarah-25-februari-1904-pancasila-lahirnya-kasman-singodimedjo-dhHF
2. "Pahlawan Nasional Kasman Singodimedjo Si Singa Podium", Kompasiana.com, Diakses pada 1 Agustus 2020, https://www.kompasiana.com/ahmad25847/5cdbbcfe3ba7f737ed145ae2/pahlawan-nasional-kasman-singodimedjo-si-singa-podium    
3. "MR. KASMAN SINGODIMEDJO", Kejaksaan.go.id., diakses pada 31 Juli 2020, https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=12&ids=26 
4. Ibid.

Kamis, 30 Juli 2020

Mr. Gatot Taroenamihardja Jaksa Agung R.I. Pertama

(Kejaksaan.go.id)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu pada label Tokoh Hukum platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Soekanto Tjokrodiatmodjo, Kapolri Pertama", serta Pada kesempatan ini akan membahas tokoh Mr. Gatot Taroenamihardja selaku Jaksa Agung R.I. yang pertama.

Tidak banyak literatur yang membahas mengenai Jaksa Agung Republik Indonesia yang pertama di dunia maya. Namun hal ini tentu tidak menyurutkan penulis untuk menulis artikel yang satu ini, dengan segala keterbatasannya, artikel ini diharapkan mampu menambah referensi terkait hal dimaksud, atau setidaknya menyebarluarkan informasi yang telah ada.

Mr. Gatot Taroenamihardja adalah Jaksa Agung Republik Indonesia yang pertama. Mr. Gatot Taroenamihardja ditetapkan menjadi Jaksa Agung pada tanggal 19 Oktober 1945. Ketetapan yang diumumkan oleh Presiden Soekarno itu menandai eksistensi Kejaksaan dan Jaksa Agung sebagai lembaga dan jabatan penting di Indonesia. Pada tanggal 1 Oktober 1945, nama Mr. Gatot Taroenamihardja sebagai Jaksa Agung kembali diumumkan oleh Menteri Dalam Negeri dalam Maklumat Pemerintah. Masa jabatan Mr. Gatot Taroenamihardja sebagai Jaksa Agung pertama berlangsung sangat singkat. Sebab, pada tanggal 24 Oktober 1945, atas permintaan sendiri, ia diberhentikan dengan hormat oleh Presiden.[1] Meskipun masa jabatan yang diembannya sangatlah singkat, akan tetapi point pentingnya adalah beliau tercatat sebagai Jaksa Agung RI yang pertama.

Dalam masa jabatannya yang singkat itu, Mr. Gatot Taroenamihardja sempat mengeluarkan satu maklumat dan satu instruksi. Dalam maklumat tanggal 1 Oktober 1945 yang diumumkan bersama-sama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman, dikemukakan antara lain kedudukan struktural organik Kejaksaan dalam Lingkungan Departemen Kehakiman dan Jaksa Agung sebagai pemegang pimpinan Kepolisian Kehakiman. Sementara dalam instruksinya tertanggal 1 Oktober 1945, secara gamblang dan tegas Jaksa Agung memerintahkan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk bertindak lebih keras menjaga keamanan, terutama terhadap Belanda-Belanda yang mau membinasakan Republik Indonesia.[2] Penulis berpendapat bahwa dalam masa awal pembentukan negara tidaklah ideal memandang institusi Kejaksaan sebagaimana saat ini. Pada maklumat yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung yang pertama ini adalah seputar kedudukan struktural korps Penuntutan dalam Departemen Kehakiman, serta instruksinya seputar Belanda yang kembali membayangi untuk kembali ke tanah air.

Sebagai kesimpulan, dengan adanya artikel ini diharapkan sidang pembaca setidaknya mengetahui bahwa Jaksa Agung yang pertama Republik Indonesia dijabat oleh Mr. Gatot Taroenamihardja.
____________________
1.“Mr. Gatot Taroenamihardja", www.kejaksaan.go.id., diakses pada 29 Juli 2020, https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=12&ids=27.
2. Ibid.

Minggu, 29 Maret 2020

Soekanto Tjokrodiatmodjo, Kapolri Pertama

(cnnindonesia.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Siapa yang mengetahui nama Kapolri yang pertama? Bagi sebagian praktisi hukum pada era millenial ini, tentu tidak semuanya tahu siapa Kapolri pertama. Adalah tugas kita semua untuk turut serta mencari tahu mengenai Kapolri pertama. Tulisan ini bermaksud menyediakan informasi yang memadai guna mengetahui siapa RS Soekanto Tjokrodiatmodjo yang merupakan tokoh Kapolri pertama. Pertama, akan dibahas mengenai sejarah singkat institusi Polri dimana tokoh dimaksud mengabdi. Kedua, dibahas secara singkat perihal riwayat karir pada institusi Polri. Kemudian, ketiga, disinggung mengenai akhir jabatan yang diembannya. Terakhir, atau keempat, disinggung mengenai jasa tokoh dimaksud pada institusi Polri. 

Sejarah Singkat Institusi Polri

Pada tanggal 19 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) membentuk Badan Kepolisian Negara (BKN). Pada tanggal 29 September 1945 Presiden Soekarno melantik Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo menjadi Kepala Kepolisian Negara (KKN). Pada awalnya kepolisian berada dalam lingkungan Kementerian Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara yang hanya bertanggung jawab masalah administrasi, sedangkan masalah operasional bertanggung jawab kepada Jaksa Agung.[1]

Mulai tanggal 1 Juli 1946 dengan Penetapan Pemerintah tahun 1946 No. 11/S.D. Djawatan Kepolisian Negara yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri. Pada masa negera Republik Indonesia Serikat, Jawatan Kepolisian Negara Republik Indonesia Serikat berada di bawah Perdana Menteri dengan perantaraan Jaksa Agung dalam bidang politik dan operasional. Sementara itu dalam hal pemeliharaan dan susunan administrasi bertanggungjawab kepada Menteri Dalam Negeri. Presiden RIS, Soekarno pada tanggal 21 Januari 1950 mengangkat kembali Soekanto Tjokrodiatmodjo sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Republik Indonesia Serikat. Setelah RIS bubar, Soekanto diangkat kembali sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Republik Indonesia.[2]

Pada tahun 1961 Kepolisian Negara menjadi bagian dari angkatan bersenjata. Pada tahun 1962 jabatan kepala jawatan kepolisian diubah menjadi Menteri/Kepala Kepolisian Negara, dan diubah lagi menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian Negara. Pada masa Kabinet Dwikora jabatan Kapolri diubah lagi menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian.[3]

Setelah reorganisasi ABRI tahun 1970, kembali menjadi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) yang berada di bawah komando dari Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Panglima ABRI). Mulai tanggal 1 April 1999, Kepolisian Negara Republik Indonesia dipisahkan dengan Tentara Nasional Indonesia dari ABRI dan menjadi berdiri sendiri. Kapolri dipilih oleh Presiden berdasarkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.[4]

Riwayat Singkat Karir Soekanto Sebagai Polisi

Soekanto lahir di Bogor pada 7 Juni 1908 dan cukup mentereng sejak masa mudanya. Dia adalah lulusan HBS KW III, yang gedungnya kini menjadi kompleks Perpustakaan Nasional di Salemba, Jakarta Pusat. Menurut G. Ambar Wulan dalam Polisi dan Politik: Intelijen Kepolisian Pada Masa Revolusi Tahun 1945-1949 (2009: 33), setelah lulus dari HBS, Soekanto sempat kuliah di Recht Hooge School (sekolah tinggi hukum) Jakarta.[5]

Soekanto kemudian memilih untuk mengikuti jejak ayahnya, yang saat itu merupakan pensiunan mantri polisi di Tangerang. Maka pada 1930, Soekanto mendaftar di Sekolah Aspiran Komisaris Polisi di Sukabumi. Sebelum masuk sekolah polisi itu, dia sempat aktif di Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Sejak 1933, masih menurut Ambar Wulan, Soekanto menjadi aspiran komisaris polisi kelas tiga dan bertugas di bagian lalu lintas di Semarang. Kemudian dia dipindah ke bagian reserse dan berlanjut di Politieke Inlichtingen Dienst (PID). Di antara tiga bagian itu, seperti dicatat buku Bapak Kepolisian Negara Republik Indonesia: Jenderal Polisi R.S. Soekanto (2000: 24), yang paling disukai Soekanto adalah reserse.[6]

Ambar Wulan menyebut (hlm. 34), selain di Semarang, Soekanto pernah pula bertugas pada bagian pengawasan di Purwokerto dengan pangkat komisaris polisi kelas dua dan kemudian menjabat Kepala Polisi Seksi III di Semarang. Sejak 1940, Soekanto ditugaskan menjadi pimpinan teknis di Kalimantan bagian selatan sambil merangkap sebagai Wakil Kepala Polisi Banjarmasin dengan pangkat komisaris polisi kelas satu. Hingga datangnya Jepang, dia masih di sana. Setelahnya dia ditempatkan di Jakarta, lalu dijadikan pengawas di sekolah polisi Sukabumi. Hoegeng Imam Santoso dalam autobiografinya, Hoegeng, Polisi Idaman dan Kenyataan (1993: 137), menyebut Soekanto di zaman Jepang pernah menjadi instruktur di Sekolah Kader Tinggi Polisi di Sukabumi. Di situ, Hoegeng menjadi salah satu murid Soekanto. Ketika Hoegeng menjadi mayor di Polisi Militer di Angkatan Laut, Soekanto adalah orang yang menyadarkan Hoegeng menjadi polisi sipil kembali.[7]

Ketika Indonesia baru saja merdeka, Soekanto berhubungan dengan dua kolega lawasnya, Mr. Sartono dan Iwa Kusumasumantri. Kedua penasihat Presiden Sukarno ini mengajak Soekanto ke sidang kabinet pada 29 September 1945. Menurut Ambar Wulan, Sartono dan Iwa sebelumnya tidak memberi tahu bahwa Sukarno sedang membutuhkan orang untuk dijadikan kepala jawatan kepolisian. Ternyata, dalam sidang kabinet itu, Sukarno menunjuk Soekanto untuk mengisi jabatan tersebut. Ketika ditunjuk Sukarno, Soekanto sempat menyampaikan bahwa ada perwira polisi yang lebih senior darinya seperti Asikin Natanegara di Gunseikanbu, Ating Natakusumah di Palembang, dan Raden Joesoef bin Snouck Hurgronje di Bandung. Sukarno pun memberi ketegasan soal pengangkatan Soekanto sebagai Kepala Kepolisian Negara (KKN). Pengangkatan itu terkait masa lalu Soekanto di era pergerakan nasional. “Soekanto diperintahkan oleh Presiden Sukarno untuk membentuk Polisi Negara RI,” tulis Ambar Wulan dan kawan-kawan dalam Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia (2006: 121).[8]

Di awal tugasnya sebagai KKN, Soekanto berada di bawah Menteri Dalam Negeri R.A.A. Wiranatakoesoemah V. Setelah November 1945, atasan Soekanto ganti lagi, yakni Sutan Sjahrir, yang merangkap jabatan Perdana Menteri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Luar Negeri, hingga Maret 1946. Pada 1 Juli 1946 keluar Surat Penetapan No 11/S-D tahun 1946 yang mengeluarkan kepolisian dari Departemen Dalam Negeri untuk menjadi jawatan tersendiri di bawah kendali langsung Perdana Menteri. Soekanto sempat berkantor di Jalan Rijswijk (kini menjadi Jalan Veteran) di kantor Kementerian Dalam Negeri. Ketika ibu kota RI pindah ke Yogyakarta, kepolisian pun ikut pindah ke Purwokerto dari Jakarta. Sementara itu, militer Inggris sebagai perwakilan tentara Sekutu di Indonesia barat pada 16 Januari 1946 membentuk Civil Police (polisi sipil) di Jakarta. Menurut Ambar Wulan (2009: 39), Soekanto pernah ditangkap tentara Inggris dan ditawari bergabung dalam Civil Police, namun dia menolaknya. Soekanto sebagai orang yang pernah dekat dengan pergerakan nasional lebih memilih berdiri di belakang Republik.[9]

Bersama jabatan itu, Soekanto merasakan bahaya revolusi. Dalam suatu kunjungan ke Jawa Timur, seperti diakuinya dalam buku Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan II (1983: 325-326), tempat yang hendak dikunjungi Soekanto dan rombongannya kena bom oleh militer Belanda. Soekanto dan rombongan terhindar dari maut karena mobil yang mereka tumpangi mogok.[10]

Akhir Jabatan Yang Unik

Soekanto menjabat Kepala Kepolisian Negara dari 29 September 1945 hingga 15 Desember 1959. Ketika akan lengser, nama jabatan Soekanto adalah Menteri Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak). Pada era itu polisi mulai menjadi bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).[11]

Mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso menyebut pelengseran Soekanto dari jabatan Menpangak boleh dikata cukup unik. Soekanto didongkel oleh sekelompok perwira tinggi yang menganggap dirinya lebih mementingkan urusan kebatinan ketimbang urusan kepolisian.[12]

Soekanto tutup usia pada 24 Agustus 1993, tepat hari ini 26 tahun lalu, di Jakarta. Dia dimakamkan satu liang dengan istrinya yang lebih dulu meninggal pada 1 Maret 1986, Hadidjah Lena Mokoginta, kakak dari Letnan Jenderal Ahmad Junus Mokoginta. Sebagai kepala polisi pertama, paling tidak namanya telah diabadikan sebagai nama rumah sakit milik kepolisian di Kramat Jati, Jakarta Timur.[13]

Arti Penting Soekanto Tjokrodiatmodjo Sebagai Kapolri Pertama

Menurut salah satu media di tanah air, peran penting Kepala Kepolisian RI (Kapolri) pertama Indonesia, Komisaris Jenderal Polisi Raden Said Soekanto dalam sejarah kepolisian negeri ini adalah menjadi pemula penataan organisasi kepolisian di seluruh wilayah Indonesia.[14] Hal ini tentu tidak dapat dipungkiri.
__________________

Referensi:

1. "Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia", www.wikipedia.org., Url: https://id.wikipedia.org/wiki/Kepala_Kepolisian_Negara_Republik_Indonesia, diakses pada tanggal 21 Maret 2020.
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. "RS Soekanto: Sejarah Kapolri Pertama yang Teguh di Jalur Kebatinan", tirto.id., Url: https://tirto.id/rs-soekanto-sejarah-kapolri-pertama-yang-teguh-di-jalur-kebatinan-egLw, diakses pada tanggal 21 Maret 2020.
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Ibid.
9. Ibid.
10. Ibid.
11. Ibid.
12. Ibid.
13. Ibid.
14. "Mengenal Kapolri Pertama Indonesia, Raden Said Soekanto...", www.kompas.com, Url: https://nasional.kompas.com/read/2019/07/01/11371501/mengenal-kapolri-pertama-indonesia-raden-said-soekanto?page=all., diakses pada tanggal 21 Maret 2020.

Basic Requirements for Foreign Direct Investment in Indonesia

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Suspect Still Underage, Murder Case in ...