Tampilkan postingan dengan label Sudut Pandang Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sudut Pandang Hukum. Tampilkan semua postingan

Minggu, 18 Agustus 2019

Rehabilitasi Sebagai Hak Penyalahguna Narkotika


(istimewa)

Oleh:
Abdul Ghofur, S.H.
(Divisi Hukum dan Hak Asasi Manusi (HAM) Generasi Anti Narkotika Nasional (GANN) Kota Tangerang.)

Berdasarkan ketentuan umum Pasal 1 angka 1 Undang Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, yang dimaksud narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun emisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapatm enimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika).

Sumber Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan, negara kita sudah masuk ke dalam kondisi 'darurat narkotika' sejak 1971 sampai dengan saat ini oleh karena penyalahgunaan narkotika dengan segala macam jenis dan modusnya.

Semestinya, narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan, pengembangan ilmu pengatahuan dan teknologi. Kata penyalahgunaan mempunyai arti proses, cara, perbuatan menyalahgunakan, penyelewengan, sedangkan penyalah gunan adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Jadi, dari dua pengertian ini dapat disimpulkan bahwa penyalahgunaan narkotika adalah penggunaan narkotika yang bertujuan bukan untuk kepentingan kesehatan, pengembangan pengetahuan dan teknologi serta dilakukan dengan tanpa hak dan melawan hukum.

Umumnya, masyarakat sudah mengetahui dampak negatif penyalahgunaan narkotika. Selain akibat hukum yang berujung pada hukuman penjara bahkan hukuman mati, penyalahgunaan narkotika juga menimbulkan rasa ketergantungan dengan narkotika baik secara fisik maupun psikis.

Ketergantungan narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus dengan takaran (ukuran) yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama. Apabila penggunaannya dikurangi atau justru dihentikan secara tiba-tiba dapat menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.

Dalam rangka pengendalian dan menekan tingginya angka penyalahgunaan narkotika berserta dampaknya, maka pemerintah mewajibkan pecandu dan korban penyahguna narkotika menjalani rehabilitasi. Dengan kata lain, rehabilitasi adalah hak bagi pecandu dan koban penyahgunaan narkotika yang menjadi tersangka atau terdakwa yang sedang dalam proses penyidikan, penuntutan ataupun persidangan di pengadilan.

Bentuk rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika dibagi menjadi dua.

Pertama, rehabilitasi medis, yaitu suatu proses pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. Kedua, rehabilitasi sosial, yaitu suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalah kehidupan masyarakat.

Rehabilitasi secara medis maupun sosial baru dapat dilakukan setelah mendapatkan asesmen dari Tim Asesmen Terpadu. Tim Asesmen Terpadu (TAT) adalah tim yang terdiri dari tim dokter dan tim hukum yang ditetapkan oleh pimpinan satuan kerja setempat berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Nasional Provinsi dan Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota.

Berdasarkan hasil rekomendasi dari Tim Asesmen Terpadu itulah rehabilitasi di lembaga rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika dapat diselenggarakan semestinya.

Hak rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial di lembaga rehabilasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika diklasifikasikan menjadi empat. Pertama, tersangka penyalahgunaan narkotika yang ditangkap atau tertangkap tangan tanpa barang bukti tapi terbukti positiif menggunakan narkotika. Kedua, tersangka penyalahgunaan narkotika yang ditangkap atau tertangkap tangan dan terdapat barang bukti dengan jumlah tertentu serta terbukti positiif menggunakan narkotika. Ketiga, Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang tanpa hak dan melawan hukum yang ditangkap atau tertangkap tangan dengan barang bukti melebihi dari jumlah tertentu dan positif memakai Narkotika; Keempat, tersangka penyalahgunaan narkotika diduga sebagai pengedar.

Batas jumlah tertentu bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika pada klasifikasi kedua di atas ditetapkan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 03 Tahun 2011 dan SEMA Nomor 04 Tahun 2010 sebagai berikut: Kelompok methamphetamine (sabu) seberat 1 (satu) gram. Kelompok MDMA (ekstasi) seberat 24 (dua puluh empat) gram, sama dengan 8 (delapan) butir. Kelompok heroin seberat 1,8 (satu koma delapan) gram. Kelompok kokain seberat 1,8 (satu koma delapan) gram. Kelompok ganja seberat 5 (lima) gram. Kelompok koka seberat 5 (lima) gram. Meskalin seberat 5 (lima) gram.

Kelompok psilosybin sebanyak 3 (tiga) gram; Kelompok LSD (dlysergic acid diethylamide seberat 2 (dua) gram; Kelompok PCP (phecyclidine) seberat 3 (tiga) gram; Kelompok fentanyl seberat 1 (satu) gram; Kelompok metadon seberat 0,5 (nol koma lima) gram; Kelompok morfin seberat 1,8 (satu koma delapan) gram; Kelompok petidin seberat 0,96 (nol koma sembilan puluh enam) gram; Kelompok kodein seberat 72 (tujuh puluh dua) gram; Kelompok bufrenorfin seberat 32 (tiga puluh dua) milligram. Dan untuk barang bukti melebihi jumlah tertentu sebagaimana pada klasifikasi ketiga di atas adalah melebihi jumlah yang telah ditentukan oleh SEMA Nomor: 04 Tahun 2010 ini.

Bagi pecandu, korban dan penyalahgunaan narkotika yang ditangkap atau tertangkap tangan tanpa barang bukti tapi terbukti positiif menggunakan narkotika berhak ditempatkan di tempat rehabilitas milik pemerintah atau pun swasta yang telah ditetapkan sebagai tempat rehabilitasi narkotika. Namun, bagi pecandu, pengedar dan penyalahgunaan narkotika yang ditangkap atau tertangkap tangan dan terdapat barang bukti yang melebihi jumlah sebagaimana diatur dalam SEMA Nomor 04 Tahun 2010 berhak mendapatakan rehabilitasi di tempat rehabilitasi yang ada di dalam lapas, rutan atau cabang rutan.

Dalam penempatan pecandu dan penyalahguna narkotika ke lembaga rehabilitasi milik pemerintah, swasta, maupun lembaga rehabilitasi yang ada di dalam lapas, rutan atau cabang rutan, penyidik atau penuntut umum harus menyesuaikan dengan hasil tes urine, darah, rambut dan/atau DNA, dan membuatkan berita acara pemeriksaan hasil laboratorium, berita acara pemeriksaan oleh penyidik dan telah dinyatakan dengan rekomendasi hasil asesmen dari Tim Asesmen Terpadu.

Rangkaian proses permohonan rehabilitasi dimulai dari saat penangkapan oleh Penyidik Polri dan/atau Penyidik BNN dengan mengajukan permohonan asesmen. Asesmen adalah kegiatan yang meliputi wawancara, tentang riwayat kesehatan, riwayat penggunaan Narkotika, riwayat pengobatan dan perawatan, riwayat psikiatris, serta riwayat keluarga dan sosial tersangka dan/atau terdakwa, observasi atas perilaku tersangka dan pemeriksaan fisik dan psikis. Pada tahap penyidikan, asesmen diajukan oleh penyidik, dan pada saat proses persidangan, asesmen diajukan oleh jaksa penuntut umum. Penyidik atau penuntut umum mengajukan asesmen kepada Tim Asesmen Terpadu secara tertulis selambat-lambatnya 1 x 24 (satu kali dua puluh empat jam) dan ditembuskan ke BNN sesuai dengan tempat kejadian perkara.

Setelah permohonan diterima dengan nomor register asesmen, maka selambat-lambatnya 6 (enam) hari Tim Asesmen Terpadu memberikan rekomendasi hasil asesmen yang telah ditandatangani oleh 2 (dua) orang tim hukum dan rekomendasi pelaksanaan rehabilitasi kepada penyidik ataupun jaksa penuntut umum untuk dilaporkan ke pengadilan negeri setempat dan mendapatkan penetapan. Selanjutnya penyidik ataupun penuntut umum menempatkan pecandu dan korban penyalahguna narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi yang ditunjuk pemerintah dengan dilengkapi berita acara penempatan di lembaga rehabilitasi.

“Tulisan ini dibuat untuk memberikan transendensi kepada kita untuk membantu pecandu dan korban penyalahguna narkotika mendapatkan hak-haknya. Sekaligus memahami teknis dan mekanisme memperjuangkan hak dan martabat mereka sebagai manusia, membantu mereka menjalani konsientisasi hidup yang terrus terarah sebagai proses dimana manusia mendapatkan kesadaran yang semakin mendalam tentang realitas kultural yang melingkupi hidup dan kemampuannya untuk mengubah realitas dari belenggu kejahatan narkotika.”

*) Dikutip dari laman berikut ini.


Senin, 24 Juni 2019

Mendorong Pengisian Jabatan Wakil Gubernur D.K.I. Jakarta Melalui Mekanisme Gugatan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Mundurnya Sandiaga Uno Dari Wakil Gubernur D.K.I. Jakarta

Sandiaga Uno resmi mundur sebagai Wakil Gubernur D.K.I. Jakarta usai membacakan surat pengunduran diri di Gedung DPRD D.K.I. Jakarta dalam sidang paripurna, Senin 27 Agustus 2018. Dalam rapat itu, Sandi membacakan surat pengunduran diri di depan sembilan fraksi DPRD D.K.I. "Sesuai undang-undang maka dengan ini saya Sandiaga Salahuddin Uno menyatakan berhenti dari jabatan saya Wakil Gubernur D.K.I. Jakarta periode 2017-2022.”[1] Jika dihitung sampai saat ini, maka kekosongan jabatan Wakil Gubernur D.K.I. Jakarta sampai saat ini telah lebih dari 9 (sembilan) bulan.

Sandi telah mengajukan surat pengunduran diri pada tanggal 9 Agustus 2018. Ia melayangkan surat ke Gubernur Anies Baswedan setelah namanya menguat sebagai cawapres Prabowo Subianto. Lalu surat itu diteruskan ke DPRD oleh Wakil Ketua DPRD D.K.I. Muhammad Taufik, sehari setelahnya. DPRD D.K.I. pun telah menggelar paripurna pada 21 Agustus 2018. Namun karena Sandi tidak hadir, rapat diundur. Setelah ini, Gerindra, PKS, dan PAN sebagai partai pengusung akan mengajukan dua nama pengganti Sandi ke DPRD D.K.I.[2] Lalu bagaimana sebenarnya mekanisme hukum untuk pengisian jabatan Wakil Gubernur ini.

Mekanisme Pengisian Jabatan Wakil Gubernur

Mekanisme pengisian kekosongan jabatan Wakil Gubernur telah diatur dalam Pasal 176 Undang-Undang Nomor: 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Bunyi Pasal 176 ayat (1) undang-undang dimaksud adalah sebagai berikut: “Dalam hal Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan, pengisian Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota dilakukan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan usulan dari Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung.”[3]

Sedangkan bunyi ayat (2) Pasal 176 undang-undang dimaksud berbunyi sebagai berikut: “Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung mengusulkan 2 (dua) orang calon Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui Gubernur, Bupati, atau Walikota, untuk dipilih dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Pengisian kekosongan jabatan Wakil Gubernur dilakukan jika sisa masa jabatannya lebih dari 18 bulan terhitung sejak kosongnya jabatan tersebut.[4]

Selanjutnya terkait dengan prosesi pemilihan Wakil Gubernur dalam Rapat Paripurna DPRD, telah diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, Kabupaten dan Kota. Pemilihan Wagub diselenggarakan dalam rapat paripurna DPRD dan hasil pemilihannya ditetapkan dengan keputusan DPRD. Dari situ kemudian Pimpinan DPRD mengumumkan pengangkatan Wakil Gubernur baru dan menyampaikan usulan pengesahan pengangkatan Wagub kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri).[5] Dari segi aturan, belum begitu jelas sampai berapa lama kekosongan ini diperbolehkan.

Mendorong Pengisian Jabatan Wakil Gubernur D.K.I. Jakarta Melalui Mekanisme Gugatan

Sampai saat ini, partai pengusung pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga S. Uno, seyogyanya sudah mulai mengeksekusi secara riil mekanisme peraturan perundang-undangan dimaksud untuk mengisi jabatan Wakil Gubernur D.K.I. Jakarta, akan tetapi berbagai kendala seringkali dikemukakan, terutama terkait adanya hajatan Pilkada dan Pilpres serentak tahun 2019 ini. Tidak bisa dipungkiri, hajatan Pilpres dan Pilkada serentak dimaksud tentu menyita waktu dan tenaga, konsekwensinya hampir dipastikan pengisian ini menunggu pelantikan komposisi DPRD D.K.I. hasil Pilkada 2019 terpilih. Patut disayangkan para politisi partai pengusung sebelumnya juga tidak bergerak cepat atau setidaknya mengantisipasi kondisi kekosongan ini.

Meskipun pada dasanya jabatan Wakil Gubernur adalah satu paket dengan Gubernur, namun dengan belum juga terisinya jabatan Wakil Gubernur D.K.I. Jakarta menjadikan pengelolaan tugas pemerintahan daerah menjadi tidak ideal. Sudah sewajarnya terdapat tugas-tugas pemerintahan yang dapat didelegasikan dari Gubernur kepada Wakil Gubernur, meskipun tidak menyangkut hal-hal yang signifikan. Selain itu, dengan berlarut-larutnya proses pengisian jabatan Wakil Gubernur ini, mengindikasikan ada hal yang tidak seharusnya terjadi. Atau mungkin dalam proses yang seharusnya dilakukan terdapat hal-hal yang mengganjal, ataupun digantungkan pada dinamisnya politik di luar mekanisme hukum, yang seharusnya dapat dicari solusinya dengan cepat atau dilakukan antisipasi.

Dikarenakan penulis berada di luar sistem yang seharusnya melaksanakan mekanisme dimaksud, serta dari segi aturan, belum begitu jelas sampai berapa lama kekosongan ini diperbolehkan, maka salah satu tawaran solusi hukum yang dapat ditempuh bagi rakyat D.K.I. Jakarta adalah dengan mengajukan gugatan Perdata agar mekanisme untuk mengisi kekosongan jabatan di atas segera dilaksanakan. Terutama oleh partai politik pengusung seperti Gerindra, PKS, dan PAN wilayah D.K.I. Jakarta yang seharusnya memegang inisitif untuk lebih cepat bergerak.
________________________________
1. "Sandiaga Uno Resmi Mundur sebagai Wakil Gubernur DKI", CNNIndonesia.com, Dhio Faiz, 27 Agustus 2018, Diakses pada 23 Juni 2019, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180827151253-20-325219/sandiaga-uno-resmi-mundur-sebagai-wakil-gubernur-dki
2.     Ibid.
3.   "Kursi Wagub DKI Kosong, Begini Aturan dan Mekanisme Pengisiannya", Metrosindonews.com, Puguh Hariyanto, 12 Agustus 2018, Diakses pada 23 Juni 2019, https://metro.sindonews.com/read/1329833/171/kursi-wagub-dki-kosong-begini-aturan-dan-mekanisme-pengisiannya-1534077327
4.     Ibid.
5.     Ibid.

Sabtu, 18 Mei 2019

Menjawab Perseteruan Wiranto Vs. Amien Rais Terkait Jurisdiksi ICC

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo


Buntut Perseteruan Pilpres 2019

Setelah hasil quick count dirilis oleh beberapa lembaga survey independen, dan telah diketahui hasilnya, ternyata buntut perseteruan Pilpres tahun 2019 ini antara team Paslon 01 dengan 02 belum juga mereda. Terakhir adalah seruan people power oleh tokoh-tokoh Paslon 02 disikapi dengan pembentukan Tim Asistensi Hukum Kemenko Polhukam yang tugas utamanya adalah mengkaji manuver politik dimaksud dari sisi hukum, hal ini mengerucut pada perseteruan dua elit politik negeri ini yaitu Amien Rais dan Wiranto.

Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais mengatakan bakal melaporkan Menko Polhukam Wiranto ke Mahkamah Internasional karena dianggap menyalahgunakan kekuasaan. Amien sebelumnya menyindir Tim Asistensi Hukum bentukan Wiranto yang mulai mengkaji aktivitas sejumlah tokoh, termasuk dirinya. Dia pun mengingatkan Wiranto atas hal itu. "Di muka bumi ini, orang ngomong ditangkap itu nggak ada. Wiranto, hati-hati, Anda," kata Amien setelah menghadiri simposium terkait kecurangan Pemilu 2019 di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Selasa (14/5/2019). Dia menyatakan bisa membawa Wiranto ke Mahkamah Internasional. Menurut Amien, Wiranto telah melakukan kesewenang-wenangan kekuasaan. "Pak Wiranto perlu dibawa ke Mahkamah Internasional karena dia melakukan abuse of power. Dengan kuasanya, dia akan membidik lawan-lawan politiknya," ujarnya. [1]

Lalu apa kata Wiranto? Menko Polhukam Wiranto mengaku bingung dirinya akan dilaporkan ke Mahkamah Internasional. Dia mempertanyakan alasan dirinya akan dilaporkan ke Mahkamah Internasional itu. "Pak Wiranto lebih berat dari kolonial, mau dimasukin ke Mahkamah Internasional. Kok saya kok bingung," kata Wiranto dalam sambutannya saat acara buka bersama sejumlah pimpinan media di Hotel JS Luwansa, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (17/5/2019).[2] Dari dua statement antara Amien Rais melawan Wiranto di atas, jernih sekali dapat disimpulkan bahwa Amien Rais akan membawa Wiranto ke Mahkamah Internasional karena melakukan ‘abuse of power’, dan atas statement Amien Rais tersebut Wiranto bingung menyikapinya. Dikarenakan Menko Polhukam kita sedang kebingungan, maka menjadi tugas para sarjana hukum yang perduli untuk membantu menjelaskannya dari sudut pandang hukum.

Sekilas Sejarah The International Criminal Court (ICC)

Meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan Mahkamah Internasional yang mana, namun penulis yakin bahwa yang dimaksud dengan Mahkamah Internasional oleh Amien Rais adalah The International Criminal Court (ICC) yang berkedudukan di Den Haag negeri Belanda. Pada awalnya, Mahkamah Internasional dibentuk untuk mengadili para pemimpin politik yang dituduh melakukan kejahatan internasional. Pertama kali diusulkan selama Konferensi Perdamaian Paris pada tahun 1919 setelah Perang Dunia Pertama. Masalah ini dibahas lagi pada konferensi yang diadakan di Jenewa di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1937, yang menghasilkan kesimpulan dari konvensi pertama yang menetapkan pembentukan pengadilan internasional permanen untuk mengadili aksi terorisme internasional. Konvensi tersebut ditandatangani oleh 13 negara, tetapi tidak ada yang meratifikasinya dan konvensi tersebut tidak pernah berlaku.[3]

Setelah perang dunia kedua dan perang dingin usai, kemudian diadakan konferensi di Roma pada Juni 1998, dengan tujuan menyelesaikan perjanjian untuk berfungsi sebagai undang-undang Pengadilan. Pada 17 Juli 1998, Statuta Roma dari Pengadilan Kriminal Internasional diadopsi dengan suara 120 banding tujuh, dengan 21 negara abstain. Tujuh negara yang menentang perjanjian itu adalah Cina, Irak, Israel, Libya, Qatar, Amerika Serikat, dan Yaman. Setelah 60 ratifikasi, Statuta Roma mulai berlaku pada 1 Juli 2002 dan Mahkamah Pidana Internasional secara resmi didirikan. Pengadilan mengeluarkan surat perintah penangkapan pertamanya pada tanggal 8 Juli 2005, dan sidang pra-sidang pertama diadakan pada tahun 2006. Pengadilan mengeluarkan putusan pertamanya pada 2012 ketika mendapati pemimpin pemberontak Kongo Thomas Lubanga Dyilo bersalah atas kejahatan perang terkait penggunaan tentara anak-anak.[4]

Kompetensi Mengadili/Jurisdiksi The International Criminal Court (ICC)

Menurut situs resminya, ICC (www.icc-cpi.int) berkompeten mengadili berdasarkan Statuta Roma, kompetensi mengadili/jurisdiksi hukumnya terbatas pada setidaknya cakupan empat kejahatan utama. Pertama, kejahatan genosida dicirikan oleh niat khusus untuk menghancurkan seluruh atau sebagian kelompok nasional, etnis, ras atau agama dengan membunuh anggotanya atau dengan cara lain: menyebabkan kerusakan tubuh atau mental yang serius pada anggota kelompok; sengaja menimbulkan kondisi kehidupan kelompok yang diperhitungkan untuk menyebabkan kehancuran fisiknya secara keseluruhan atau sebagian; menerapkan tindakan yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau secara paksa memindahkan anak-anak dari kelompok ke kelompok lain.[5]

Kedua, kejahatan terhadap kemanusiaan, yang merupakan pelanggaran serius yang dilakukan sebagai bagian dari serangan skala besar terhadap penduduk sipil. Ke 15 bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang tercantum dalam Statuta Roma termasuk pelanggaran seperti pembunuhan, pemerkosaan, pemenjaraan, penghilangan paksa, perbudakan—khususnya perempuan dan anak-anak, perbudakan seksual, penyiksaan, apartheid dan deportasi.[6]

Ketiga, kejahatan perang yang merupakan pelanggaran berat konvensi Jenewa dalam konteks konflik bersenjata dan termasuk, misalnya, penggunaan tentara anak-anak; pembunuhan atau penyiksaan orang seperti warga sipil atau tahanan perang; sengaja mengarahkan serangan terhadap rumah sakit, monumen bersejarah, atau bangunan yang didedikasikan untuk agama, pendidikan, seni, ilmu pengetahuan, atau tujuan amal.[7]

Keempat, adalah kejahatan agresi. Ini adalah penggunaan angkatan bersenjata oleh suatu Negara melawan kedaulatan, integritas atau kemerdekaan Negara lain. Definisi kejahatan ini diadopsi melalui amandemen Statuta Roma pada Konferensi Tinjauan Statuta pertama di Kampala, Uganda, pada tahun 2010.[8]

Anggota The International Criminal Court (ICC)

Sampai dengan tanggal 16 Mei 2019, terdapat 122 negara yang telah meratifikasi Statuta Roma. Diantaranya adalah: Afganistan, Albania, Andorra, Argentina, Australia, Austria, Bangladesh, Belgia, Benin, Bolivia, Bostwana, Brazil, Bulgaria, Burkina Faso, Cambodia, Canada, Chad, Cile, Colombia, Democratic Republic of Congo, Croatia, Siprus, Estonia, Fiji, Finlandia, Jerman, Ghana, Yunani, Guatemala, Honduras, Irlandia, Italia, Jepang, Yordania, Korea Selatan, Maldives, Mali, Malta, Mauritius, Mexico, Moldova, Mongolia, Montenegro, Namibia, Belanda, Niger, Nigeria, Norwegia, Palestina, Panama, Paraguay, Peru, Polandia, Portugal, Rumania, Samoa, San Marino, Senegal, Serbia, Sierra Leone, Slovakia, Slovenia, Afrika Selatan, Spanyol, Suriname, Swedia, Swiss, Tanzania, Tajikistan, Trinidad dan Tobago, Tunisia, Uganda, Inggris, Uruguay, Vanuatu, Venezuela, Zambia.[9]

Hal yang menarik adalah terdapat beberapa negara yang telah menandatangani Statuta Roma namun tidak melakukan ratifikasi, atau setidaknya belum melakukan ratifikasi, yaitu: Bahrain, Israel, Kuwait, Russia, Sudan, Thailand, Ukraina, Amerika Serikat dan Yaman.[10] Tentunya, beberapa negara yang cukup menarik perhatian di sini adalah Israel, Russia dan Amerika Serikat.

Lalu dimana posisi Indonesia? Indonesia tidak termasuk negara yang menandatangani Statuta Roma, dan tidak termasuk negara yang meratifikasi Statuta Roma. Negara-negara lain dalam kategori ini diantaranya adalah: Brunei Darussalam, China, Cuba, India, Irak, Malaysia, Myanmar, Nepal, Pakistan, Rwanda, Papua Nugini, Somalia, Sri Lanka, Togo, Turki, Vietnam.[11] Hal ini berarti secara hukum negara Indonesia tidak tunduk pada jurisdiksi ICC.

Menjawab Perseteruan Menko Polhukam Wiranto Vs. Amien Rais

Menyambung perihal di atas, maka pertanyaan yang timbul atas perseteruan Menko Polhukam Wiranto melawan Amien Rais adalah: Pertama, apakah Menko Polhukam Wiranto dapat diajukan dan diadili di The International Criminal Court (ICC)? Kedua, apakah The International Criminal Court (ICC) berwenang mengadili perihal 'abuse of power'?

Jawaban atas pertanyaan pertama, Menko Polhukam Wiranto tidak dapat diajukan dan diadili oleh The International Criminal Court (ICC), dengan alasan sebagaimana telah diterangkan di atas yaitu Indonesia tidak termasuk negara yang menandatangani Statuta Roma, dan tidak termasuk negara yang meratifikasi Statuta Roma, oleh karena itu secara hukum, negara Indonesia tidak tunduk pada ICC. Jawaban atas pertanyaan kedua, ‘abuse of power’ tidak termasuk kompetensi mengadili dari The International Criminal Court (ICC), sebagaimana telah dibahas di atas, ICC hanya berkompeten mengadili setidaknya 4 (empat) kejahatan, yaitu: Pertama, kejahatan genosida. Kedua, kejahatan terhadap kemanusiaan. Ketiga, kejahatan perang. Serta terakhir, yang keempat, kejahatan agresi. Semoga dengan adanya artikel ini, secara tidak langsung membantu menjawab ‘kebingungan’ Menko Polhukam Wiranto.

________________________________
1.     "Amien Ingin Bawa ke Mahkamah Internasional, Wiranto Tanggapi Santai", www.detik.com, Lisye Sri Rahayu, 16 Mei 2019, https://news.detik.com/berita/d-4551510/amien-ingin-bawa-ke-mahkamah-internasional-wiranto-tanggapi-santai
2.     "Wiranto Bingung Dirinya Mau Dilaporkan ke Mahkamah Internasional", www.detik.com, Zakia Liland, 17 Mei 2019, https://news.detik.com/berita/d-4554158/wiranto-bingung-dirinya-mau-dilaporkan-ke-mahkamah-internasional
3.     "International Criminal Court", www.wikipedia.org. Diakses pada 18 Mei 2019, https://en.wikipedia.org/wiki/International_Criminal_Court
4.     www.wikipedia.org., Ibid.
5.     "How The Court Works", Diakses pada 18 Mei 2019, https://www.icc-cpi.int/about/how-the-court-works
6.     Ibid.
7.     Ibid.
8.     Ibid.
9.     "States parties to the Rome Statute of the International Criminal Court", Diakses pada 18 Mei 2019, https://en.wikipedia.org/wiki/States_parties_to_the_Rome_Statute_of_the_International_Criminal_Court
10. Ibid.
11. Ibid.

Jumat, 03 Mei 2019

Eksistensi Anarcho-syndicalism dalam Bingkai Hukum Positif Negara Republik Indonesia

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo


Sekilas Anarcho-syndicalism

Dua hari yang lalu, ketika peringatan May Day (Hari Buruh Internasional) di Jakarta, ada fenomena yang menarik perhatian aparat keamanan, yaitu vandalisme mulai dari corat-coret tembok sampai dengan merusak pagar halte Tosari Trans Jakarta. Aparat keamanan memberikan keterangan bahwa para pelakunya adalah kelompok “anarcho-syndicalism”. Terlepas dari adanya dugaan tindak pidana dari kejadian dimaksud, sebagai bagian dari sikap ilmiah, ada baiknya terlebih dahulu memahami apa yang dimaksud dengan “anarcho-syndicalism”.

Sebelum masuk ke anarkisme, perlu ditegaskan di sini terkait makna vandalisme. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, vandalisme adalah (1) Perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya (keindahan alam dan sebagainya); 2 Perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas.[1] Jadi perlu dipahami bahwa vandalisme adalah terkait tindakan seseorang, bukan sebuah aliran pemikiran atau semacam paham. Kembali ke anarkisme, aliran pemikiran ini mempunyai akar panjang di Eropa. Istilah anarkisme berasal dari bahasa Yunani, ‘anarkos’, yang berarti tanpa penguasa. Namun bentuk anarkisme yang berkembang luas saat ini terbentuk saat Revolusi Prancis, di mana industrialisasi meluas. Banyak orang marah terhimpit dan marah di bawah kekuasaan monarki dan kekuatan elit kapitalis.[2]

Di antara tokohnya adalah Pierre-Joseph Proudhon (1809-1865) yang merupakan filsuf Prancis ternama abad ke-19, adalah orang pertama yang mendapuk dirinya sebagai seorang anarkis. Ucapannya pada 1849 sangat terkenal: “Siapapun yang menggunakan kekerasan untuk memerintah saya adalah seorang perebut kekuasaan dan seorang tiran, dan saya menganggapnya sebagai musuh saya.” Berbeda dengan pengertian kontemporer, Proudhon berusaha mengubah konotasi negatif penuh kekerasan yang kerap dilekatkan pada anarkisme. Menurut Proudhon, anarkisme adalah cara paling rasional dan adil untuk menciptakan ketertiban masyarakat. Antara lain dia menganjurkan apa yang dia disebut “mutualisme” dan (melampaui zamannya) menciptakan konsep bebas pinjaman dari bank dan serikat pekerja untuk melindungi kepentingan buruh.[3]

Menurut Brian Crabtree dalam tulisan “The History of Anarchism“, meski Proudhon tak mengakui hak milik, dia juga tidak mendukung komunisme. Dia menggarisbawahi pentingnya hak pekerja untuk mengendalikan alat produksi sebagai bagian penting dari kebebasan. Proudhon adalah orang pertama yang menggagas serikat pekerja. Bersama rekan-rekannya, pada 1864 dia membentuk First International Workingmen’s Association, sebuah serikat buruh berskala internasional pertama di dunia.[4]

Pemikir lainnya adalah Mikhail Bakunin (1814-1876), seorang intelektual Rusia, merupakan nama penting berikutnya dalam perkembangan pemikiran anarkis di Eropa. Dia mengembangkan pemikiran Proudhon menjadi “anarkisme kolektif”, di mana pekerja bergabung secara setara untuk mengendalikan sepenuhnya hasil produksi mereka. Titik berat pemikiran Bakunin ada pada “anarko-sindikalisme”, di mana serikat pekerja, yang dipimpin para anarkis, memperjuangkan kebebasan lebih besar bagi diri mereka sendiri. Bakunin percaya bahwa anarki hanya dimungkinkan melalui sebuah revolusi yang menghancurkan seluruh institusi yang ada. Bakunin tidak menyetujui visi Karl Marx tentang “diktator proletariat”, dan menulis pada 1868 bahwa “sosialisme tanpa kebebasan adalah perbudakan dan sebuah bentuk kebrutalan.”[5]

Beberapa hal penting menjadi catatan. Pertama, anarko-sindikalisme berakar dari revolusi Prancis. Di satu sisi, ketika revolusi industri meluas maka ia melahirkan kelas elit kapitalis, dan elit kapitalis ini membutuhkan kekuasaan kaum monarki (penguasa negara) untuk menjalankan agendanya. Di sisi lain, untuk menjalankan agenda revolusi industri, kaum elit kapitalis juga membutuhkan buruh untuk menjalankan produksi. Di sinilah terjadi pertentangan antara kaum anarko-sindikalisme dengan elit kapitalis dan penguasa negara.

Catatan kedua, sebagai sebuah ajaran pemikiran, anarko-sindikalisme berbeda dengan komunisme. Meskipun secara akar masalah terdapat persamaan, atau setidaknya persinggungan. Jika komunisme bermaksud mendirikan diktator proletariat untuk menyelesaikan permasalahan di maksud, artinya eksistensi penguasa negara yang dahulunya diisi oleh kaum monarki (penguasa negara) digantikan oleh kekuatan diktator proletar. Maka pada anarko-sindikalisme berbeda, kaum ini justru berpendapat bahwa negara adalah bagian dari kekuatan yang juga menindas, oleh karenanya harus dilenyapkan, dan tujuannya adalah bukan hanya menciptakan tatanan tanpa kelas, tapi juga melenyapkan institusi kekuasaan seperti negara. Sederhananya, kekuatan penindas buruh bagi kaum anarko-sindikalisme ada dua, yaitu elit pemodal dan juga penguasa negara. Lalu kira-kira masyarakat seperti apa jadinya? Sebagaimana diterangkan di atas, konsepnya adalah menciptakan masyarakat tanpa negara yang ‘mutualisme’, sederajat dan saling menguntungkan.

Eksistensi Anarcho-syndicalism Dalam Bingkai Hukum Positif Negara Republik Indonesia

Dikarenakan pada May Day kemarin fenomena anarko-sindikalisme ini salah satunya terjadi di Indonesia, maka disadari atau tidak oleh kaum ini, terdapat konsekuensi hukum daripadanya. Menurut penulis, hampir bisa dipastikan gerakan yang secara tidak langsung berimplikasi ingin melenyapkan eksistensi elit pemodal dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bisa dipastikan bertentangan dengan Pancasila sebagai ideologi negara dan sebagai turunannya juga bertentangan dengan hukum positif di Indonesia.

Penulis belum memperoleh informasi apakah perkumpulan anarko-sindikalisme di Indonesia telah mempunyai badan hukum resmi. Misalnya didirikan berdasarkan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor: 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan berbunyi sebagai berikut: "Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh". Namun asumsi ini hampir tidak mungkin, karena kaum ini secara pemikiran menolak eksistensi kekuasaan negara. Meskipun demikian, sepengetahuan penulis, aturan hukum maupun produk hukum yang secara langsung menyatakan bahwa anarko-syndikalisme adalah sebuah organisasi atau paham terlarang di Indonesia juga tidak ada, atau setidaknya belum ada.

Sebagai perbandingan, mari kita lihat beberapa permasalahan sejenis. Contoh pertama adalah Komunisme. Di Indonesia, eksistensinya adalah dilarang melalui aturan hukum berupa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor: XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Diseluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia Dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.

Contoh kedua adalah terkait Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Awalnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah terdaftar di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai organisasi kemasyarakatan (ORMAS), kemudian terbit Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 yang mengubah UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Akibat bertentangan dengan aturan dimaksud (dianggap anti-Pancasila), status badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dicabut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 Tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-0028.60.10.2014 Tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Bukan hanya itu, pun setelah diajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara Jakarta dengan Nomor: 211/G/2017/PTUN.JKT. didaftarkan tanggal 13 Oktober 2017, PTUN Jakarta menolak gugatan dimaksud. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara ini juga dikuatkan pada tingkat Banding melalui Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor:196 B/2018/PT.TUN.JKT. Serta pada tingkat Kasasi Mahkamah Agung juga menolak gugatan ini melalui Putusan Nomor: 27 K/TUN/2019, diputus pada hari Kamis, 14 Februari 2019.

Belajar dari dua permasalahan sejenis di atas, yaitu Komunisme dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), maka terkait dengan isu anarko-sindikalisme di Indonesia sampai saat ini hampir bisa dipastikan bukanlah gerakan yang telah mempunyai badan hukum resmi yang selayaknya diakui negara, baik itu sebagai organisasi buruh atau organisasi kemasyarakatan. Karena dari segi pemikiran saja sudah menentang eksistensi negara. Menurut penulis, keberadaannya harus dilihat sebagai perkumpulan di luar framing hukum positif Indonesia terkait.

Konsekuensi Hukum Pidana

Akan tetapi, akibat dari tindakan mengatasnamakan apapun di wilayah Republik Indonesia yang mengakibatkan kerusakan fasilitas publik seperti telah disebutkan di awal, menjadikan perbuatan dimaksud (merusak pagar halte Tosari Trans Jakarta) potensial dapat dipidana sebagaimana diatur dalam Pasal 170 dan/atau Pasal 406 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).  

Pasal 170 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi sebagai berikut: “(1)   Barang siapa yang di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan. (2)   Tersalah dihukum: 1. Dengan penjara  selama-lamanya tujuh tahun, jika ia dengan sengaja merusakkan barang atau kekerasan yang dilakukannya itu menyebabkan sesuatu luka; 2. Dengan penjara selama-lamanya sembilan tahun, jika kekerasan itu menyebabkan luka berat pada tubuh; 3. Dengan penjara selama-lamanya dua belas tahun, jika kekerasan itu menyebabkan matinya orang”.

Pasal 406 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi sebagai berikut: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

Dalam perspektif hukum, terdapat ancaman pidana sebagaimana diatur dalam pasal-pasal KUHP di atas dalam hal ekspresi pemikiran melanggar koridor hukum. Saran penulis, ekspresi pemikiran bisa melalui cara lain agar tidak melanggar hukum, salah satunya mungkin bisa melalui seni tarik suara seperti John Lenon dalam lagunya berjudul “Imagine” (1971) yang beberapa bait liriknya dikutip sebagai berikut: “...Imagine there's no countries, It isn't hard to do, Nothing to kill or die for, And no religion too, Imagine all the people living life in peace, you... Imagine no possessions, I wonder if you can, No need for greed or hunger, A brotherhood of man, Imagine all the people sharing all the world, you...”.

________________________________
1.  Vandalisme”, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Online), https://kbbi.web.id/vandalisme
2.  "Tiga Abad Anarkisme Eropa”, Devi Fitria, 07 Januari 2011, Historia.id., https://historia.id/politik/articles/tiga-abad-anarkisme-eropa-6lB3v
3.  Ibid.
4.  Ibid.
5.  Ibid.

Selasa, 30 April 2019

Sejarah Perpindahan Ibu Kota Republik Indonesia dan Aspek Hukumnya

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo


Rencana Pemindahan Ibu Kota Negara Ke Luar Pulau Jawa

Presiden Joko Widodo memutuskan untuk memindahkan Ibu Kota ke luar pulau Jawa. Hal itu diputuskan Jokowi dalam rapat terbatas terkait pemindahan Ibu Kota di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (29/4/2019). Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengatakan, Jokowi berencana memindahkan Ibu Kota ke luar Jawa. [1] Hal ini menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat, meskipun demikian rencana ini bukanlah hal baru.

"Dalam rapat tadi diputuskan, Presiden memilih alternatif ketiga, yaitu memindahkan Ibu Kota ke luar Jawa. Ini barangkali salah satu putusan penting yang dilahirkan hari ini," kata Bambang. Menurut Bambang, keputusan Jokowi itu diambil dengan mempertimbangkan agar Indonesia tidak Jawa sentris. Diharapkan nantinya pertumbuhan ekonomi bisa merata di setiap wilayah. [2]

Menurut penulis, setidaknya ada dua hal penting dari berita di atas, pertama adalah ibu kota akan dipindahkan ke luar jawa, dan kedua adalah tujuan dari rencana tersebut agar pertumbuhan ekonomi merata di setiap wilayah, alasannya adalah faktor ekonomi. Sepanjang sejarah Negara Republik Indonesia, perpindahan Ibu Kota Negara bukanlah hal yang baru, setidaknya tercatat telah dua kali mengalami perpindahan, ke daerah mana saja itu? Apa saja alasan utamanya? Serta apa dasar hukumnya?

Sejarah Perpindahan Ibu Kota Republik Indonesia

Sepanjang sejarah perjuangan negara ini, Indonesia setidaknya mengalami dua kali perpindahan Ibu Kota. Pertama adalah perpindahan dari Jakarta ke Yogjakarta ketika terjadi Agresi Militer I Belanda, dan kedua adalah perpindahan dari Yogyakarta ke Bukittinggi untuk mencegah kekosongan kekuasaan setelah Agresi Militer II dari Belanda.

Perpindahan Ibu Kota Negara Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta hanya berselang lima bulan setelah deklarasi kemerdekaan. Pemindahan Ibu Kota dilakukan karena Belanda datang kembali ke Indonesia dengan membonceng Sekutu dan Jakarta berhasil diduduki pada 29 September 1945. [3] Kemudian pada tanggal 2 Januari 1946 Sultan HB IX mengirimkan kurir ke Jakarta dan menyarankan agar ibukota NKRI dipindah ke Yogyakarta. Tawaran Sultan diterima dengan oleh Soekarno, sehingga  tanggal 4 Januari ibukota NKRI resmi pindah ke Yogyakarta. [4] Inilah perpindahan pertama, yaitu pada 4 Januari 1946. Adapun alasannya, setelah jatuhnya Jakarta ke tangan Belanda dan Sekutu, maka Yogyakarta dinilai sebagai wilayah yang paling siap dari sisi ekonomi, politik dan keamanan pada waktu itu.  

Setelah Ibu Kota Negara Indonesia pindah ke Yogyakarta, kerajaan Belanda melancarkan agresi militer II pada 19 Desember 1948. Sederhananya, setelah kembali menginjakan kaki di nusantara, khususnya di Jakarta melalui Agresi Militer I dengan membonceng Sekutu, Kerajaan Belanda ingin kembali berkuasa. Maka dibuatlah Agresi Militer II, hal ini bertujuan untuk menumpas pemerintahan negara Indonesia yang baru saja diproklamasikan. Mengembalikan kendali kekuasaan kolonial Kerajaan Belanda di nusantara. Agresi Militer II ini mengakibatkan jatuhnya Yogyakarta sebagai Ibu Kota Negara Indonesia ke tangan Belanda, dan pemimpin Republik Indonesia tertinggi, yaitu Soekarno-Hatta ditangkap dan kemudian diasingkan ke luar jawa.

Namun sebelum diasingkan Presiden Sokarno memberikan surat kuasa kepada Safrudin Prawiranegara yang berada di Bukittinggi untuk mendirikan pemerintahan darurat. [5] Tanggal 22 Desember 1948, Syafruddin mengumumkan berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatera Barat. PDRI dibentuk karena Belanda menduduki Ibu Kota RI saat itu, Yogyakarta. Para pemimpin Republik pun ditangkap, termasuk Sukarno, Mohammad Hatta, Soetan Sjahrir, dan lainnya, lalu diasingkan ke luar Jawa. [6] Dengan demikian, hanya berselang dua hari setelah kejatuhan Yogyakarta, dibentuklah pemerintahan darurat Republik Indonesia di Bukittinggi, Sumatera Barat. Inilah perpindahan kedua, adapun alasan perpindahan Ibu Kota dari Yogyakarta ke Bukittinggi ini adalah dikarenakan pemerintahan berada pada kondisi darurat.

Dasar Hukum Perpindahan Ibu Kota Republik Indonesia

Dari latar sejarah dapat kita pahami bahwa perpindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Yogyakarta, dan dari Yogyakarta ke Bukittinggi, kedua-duanya disebabkan oleh faktor utama yaitu keadaan darurat. Jatuhnya wilayah Jakarta dan Yogyakarta ke tangan Sekutu dan Belanda pada waktu itu menjadi alasan utama dipindahkannya Ibu Kota Negara.

Dalam keadaan darurat seperti telah dijelaskan di atas, aspek hukum terkait perpindahan Ibu Kota Negara, terutama berdasarkan hukum positif pada waktu itu tidaklah mengemuka. Meskipun demikian, adalah tidak tepat pula jika mengatakan pada waktu itu tidak ada dasar hukumnya. Menurut hemat penulis, hal ini bisa dikembalikan dasar hukumnya kepada Undang-undang Dasar 1945 yang disahkan dan dinyatakan berlaku pada 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Setidaknya terdapat satu pasal di dalam Undang-undang Dasar 1945 sebelum amandemen yang relevan pada waktu itu, pertama adalah Pasal 4 ayat (1). Adapun bunyinya adalah sebagai berikut:

Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945: “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.

Juga relevan adalah Pasal 12 Undang-undang Dasar 1945, perihal Presiden menyatakan keadaan bahaya. Akan tetapi, dalam kondisi darurat seperti itu, Presiden berperan dominan sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan. Maka secara hukum Presiden menjadi berwenang untuk memindahkan Ibu Kota Negara dari satu daerah Indonesia ke daerah lainnya. Mungkin harus dikaji kembali sumber-sumber sejarah terkait sisi hukum administrasi pemerintahannya sebagai instrumen hukum turunan dari Undang-undang Dasar. Sehingga belum telihat ketika Presiden Soekarno memindahkan Ibu Kota Negara Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta pada waktu itu dengan menerbitkan instrumen hukum apa? Dan alih tangan kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno ke Syafruddin Prawiranegara yang mengumumkan berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi memakai instrumen hukum apa? Namun demikian, kita tentunya tidak dapat selalu berpikir positivistik an sich, karena pemerintahan negara pada waktu itu sangatlah tidak ideal.

Beda dulu dengan sekarang. Sebagaimana diterangkan di awal, alasan pemindahan Ibu Kota Negara saat ini adalah terutama dikarenakan faktor ekonomi, yaitu melakukan pemerataan pertumbuhan. Saat ini tidak ada alasan negara dalam keadaan darurat sebagaimana alasan pemindahan Ibu Kota sebelumnya pada awal perjuangan kemerdekaan. Lalu bagaimana dengan instrumen hukumnya?

Sebagaimana diatur dalam Undang-undang Dasar 1945, sampai dengan amandemen ke-4, tidak diatur mengenai ketentuan Ibu Kota Negara Indonesia harus di wilayah tertentu, namun yang pasti masih di dalam wilayah Republik Indonesia (vide Pasal25 A Undang-undang Dasar 1945). Siapa yang dapat mengambil kebijakan atas pemindahan Ibu Kota Negara Indonesia? Jawabannya adalah Presiden, dasar hukumnya adalah Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana dikutip di atas. Apa bentuk instrumen hukum turunan dari Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 untuk melandasi kebijakan pemindahan Ibu Kota Negara Indonesia? Jawabannya menurut hemat penulis adalah cukup dengan diterbitkan Keputusan Presiden (Keppres). Entah jika kemudian Presiden mempunyai pertimbangan lain, misalnya dengan mengusulkan Undang-undang ke DPR. Mari kita cermati bersama perkembangannya.

_______________________________
1.  Kompas.com, "Rencana Pemindahan Ibu Kota, Bagaimana Nasib Jakarta?", 30 April 2019,  https://megapolitan.kompas.com/read/2019/04/30/08063981/rencana-pemindahan-ibu-kota-bagaimana-nasib-jakarta.
2.  Ibid.
3.  Liputan6.com, “Cerita di Balik Aksi Pindah Ibu Kota ke Jogja”, 15 Agustus 2016, https://www.liputan6.com/regional/read/2577674/cerita-di-balik-aksi-pindah-ibu-kota-ke-jogja
4.  Republika.Co.id, "Tanggal 4 Januari 1946 Ibukota NKRI Pindah ke Yogyakarta", 04 Jan 2011, https://nasional.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/11/01/04/156100-tanggal-4-januari-1946-ibukota-nkri-pindah-ke-yogyakarta
5.  Jagosejarah.blogspot.com, 22 September 2016, http://jagosejarah.blogspot.com/2014/09/agresi-militer-belanda-2.html
6.  Tirto.id., “Syafruddin Prawiranegara: Menyelamatkan Republik, Lalu Membelot", 15 Februari 2018, https://tirto.id/syafruddin-prawiranegara-menyelamatkan-republik-lalu-membelot-cEwq.

Jumat, 19 April 2019

Kabar Baik Dari Pemilu 2024 Untuk Prabowo Subianto

(twitter.com/prabowo/photo)

Oleh:
Tim Hukumindo

Hasil Quick Count

Hitung cepat (quick count) Pemilihan Presiden pada PEMILU tahun 2019 ini mengunggulkan pasangan urut nomor: 01 Joko Widodo dan Ma’ruf Amin. Litbang KOMPAS misalnya, dengan sample masuk hampir 99.95%, sampai hari jumat tanggal 19 April 2019 ini, mencatat keunggulan pasangan urut nomor: 01 di angka 54.43 % berbanding 45.57% untuk pasangan urut nomor: 02 pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. [1] Terdapat selisih ± 4% suara untuk keunggulan pasangan urut nomor: 01. Hasil survey hitung cepat lembaga lain juga tidak jauh berbeda, mengunggulkan pasangan urut nomor: 01, dengan angka relatif sama.

Menariknya adalah Prabowo Subianto menolak hasil hitung cepat sejumlah lembaga survey dengan alasan tim internalnya telah melakukan real count, dan hasilnya adalah pasangan urut nomor: 02 unggul dengan raihan 62% suara. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan terkait dengan akurasi lembaga survey dalam melakukan tugas utamanya. Contoh, Litbang KOMPAS secara terbuka menunjukan track record-nya dalam survey kontestasi Pilkada maupun Pilpres sejak tahun 2007, dan hasilnya relatif mendekati hasil akhir rekapitulasi KPU. [2] Hal ini berarti hasil quick count lembaga-lembaga survey yang kredibel cukup bisa diandalkan untuk memprediksi peluang siapa yang unggul dalam kontestasi Pilpres kali ini.

Penetapan Pemenang Pilpres Oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)

Meskipun lembaga-lembaga survey telah memprediksi hasil Pilpres 2019 ini, akan tetapi yang mempunyai kewenangan secara hukum untuk menetapkan pemenang tentu saja adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara. Tidak ada institusi lain di luar itu, termasuk lembaga-lembaga survey. Oleh karena itu, tetap saja para pihak harus menunggu KPU menetapkan pemenangnya.

Lalu kapan KPU menetapkan pemenang Pilpres 2019 ini? Secara urutan, rekapitulasi ini berlangsung secara bertahap mulai dari TPS hingga KPU. Proses rekapitulasi di TPS sudah berlangsung dari Rabu (17/4/2019) hingga Kamis (18/4/2019). Setelah dihitung di tingkat TPS, suara akan direkapitulasi di tingkat kecamatan mulai Kamis (18/4/2019) hingga Sabtu (4/5/2019). Selepas itu, 514 KPUD Kabupaten/Kota akan mulai merekapitulasi hasil pilpres dan pileg mulai Senin (22/4/2019) hingga Selasa (7/4/2019). Pada hari yang sama, rekapitulasi suara berjalan di 34 KPUD Provinsi dan berlangsung hingga Senin (12/5/2019). Kemudian, hasil rekapitulasi ini dihitung ulang KPU Pusat mulai Kamis (25/4/2019) hingga Rabu (22/5/2019). Di hari terakhir penghitungan ini, capres-cawapres dan caleg terpilih sudah bisa dipastikan, meski KPU belum secara resmi menetapkan mereka. Penetapan secara resmi ini menunggu hasil sidang sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi yang digelar mulai Kamis (23/5/2019) hingga Sabtu (15/6/2019). Paling lama 3 hari setelah sidang di MK selesai, KPU bakal mengumumkan secara resmi siapa pemenang Pilpres 2019. [3] Seyogyanya, pemenang Pilpres 2019 ini akan ditetapkan pada bulan Juni 2019 oleh KPU.

Menyambung hasil perhitungan cepat lembaga-lembaga survey di atas, maka pada Juni 2019, pasangan urut nomor: 01 akan ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2019 ini, sepanjang tidak ada hal-hal yang menghalangi atau membatalkannya secara hukum. Dengan kata lain, secara a priori kini dan de facto nanti, pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin akan ditetapkan oleh KPU sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan 2019-2024.

Akibat Hukum Penetapan Pemenang Pilpres 2019 oleh KPU Terhadap Pilpres 2024

Sebagaimana layaknya sebab-akibat, penetapan pemenang Pilpres 2019 oleh KPU juga mempunyai akibat hukum. Setidaknya, ada dua akibat langsung, pertama adalah bagi rakyat Indonesia, dan kedua adalah akibat bagi Pasangan Pilpres 2019 itu sendiri. Akibat pertama, bagi rakyat Indonesia tentu mendapat Pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Akibat kedua adalah bagi Pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang akan ditetapkan sebagai pemenang itu sendiri, dalam hal ini menunjuk pada Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Kaitannya adalah dengan ketentuan Pasal 7 Undang-udang Dasar 1945.

Pasal 7 Undang-undang Dasar 1945, amandemen pertama, berbunyi sebagai berikut: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” Perubahan pertama Undang-undang Dasar 1945 adalah hasil dari sidang MPR tahun 1999 tanggal 14-21 Oktober 1999. Singkatnya, menurut pasal ini, seorang warga negara Indonesia hanya dapat memangku jabatan Presiden dan Wakil Presiden maksimal dua (2) periode saja. Tidak lebih dari itu. Ketentuan ini tidak mengatur seberapa banyak seseorang maju menjadi calon Presiden maupun Wakil Presiden, yang dihitung hanyalah ketika seseorang menjabat saja.

Berpegang pada ketentuan pasal Undang-undang Dasar di atas, kontestasi Pilpres 2024 secara hukum tidak dapat diikuti kembali oleh Joko Widodo, dikarenakan hampir bisa dipastikan, beliau menjadi telah menjabat dua periode jabatan Presiden. Sebaliknya, terlepas dari konstelasi politik nantinya, kabar baik bagi Prabowo Subianto yang masih dapat mengikuti kontestasi Pilpres di tahun 2024. Sampai bertemu lagi di Pilpres tahun 2024.
________________________________
1. "Hitung Cepat Pemilihan Presiden 2019”, https://pemilu.kompas.com/quickcount
3. "Pemenang Pilpres 2019 Akan Ditetapkan Secara Resmi Juni Nanti", https://tirto.id/pemenang-pilpres-2019-akan-ditetapkan-secara-resmi-juni-nanti-dmEc.

Basic Requirements for Foreign Direct Investment in Indonesia

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Suspect Still Underage, Murder Case in ...