Tampilkan postingan dengan label Kuliah Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kuliah Hukum. Tampilkan semua postingan

Senin, 01 Desember 2025

Contoh Surat Kuasa Khusus Gugatan Tata Usaha Negara

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Dalam perkuliahan sebelumnya platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Contoh Surat Gugatan Terhadap Surat Keputusan Tata Usaha Negara", "Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik Menurut Para Ahli dan Menurut Undang-Undang", silahkan dibaca juga mengenai "Asas-asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara" dan pada kesempatan ini akan dibahas perihal 'Contoh Surat Kuasa Khusus Gugatan Tata Usaha Negara'. Berikut contoh surat kuasa khusus dimaksud:[1]


SURAT KUASA KHUSUS

Yang bertanda tangan di bawah ini: ----------------------------------------------------------------------------------

Larasati

Dalam hal yang diuraikan di bawah ini, bertindak untuk diri sendiri, kewarganegaraan Indonesia, beralamat di Jl. Bunga Tulip No. 17, RT/RW: 001/07, Kelurahan Sukatani, Kecamatan Batuhulu, Jawa Timur. Pekerjaan: Ibu Rumah Tangga.------------------------------------------------------------------------------

Untuk selanjutnya disebut sebagai PEMBERI KUASA.---------------------------------------------------------

Bahwa dengan ini Pemberi Kuasa memberi Kuasa kepada: -----------------------------------------------------

Raheri Wirawan Atmaja, S.H.

Advokat pada "KANTOR ADVOKAT RAHESI & REKAN" Jl. Jenderal A. Yani, No.: 123 Jawa Timur. ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Untuk selanjutnya disebut sebagai PENERIMA KUASA.-------------------------------------------------------

------------------------------------------  KHUSUS  ------------------------------------------

Untuk dan atas nama serta mewakili Pemberi Kuasa mengajukan Gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara Jawa Timur terhadap Lurah Sukatani, beralamat di Jalan Bunga Rampai No. 1, Jawa Timur, selaku Tergugat I dan Camat Batuhulu, beralamat di Jalan H.R. Rasunasaid No. 75, Jawa Timur selaku Tergugat II, sehubungan dengan permasalahan mengenai Keputusan Tata Usaha Negara No. 05/593.SK/LBT/VIII/2005 tentang Letak Tanah yang masuk Kelurahan Sukatani, Jawa Timur, tanggal 1 Juli 2000 yang dikeluarkan oleh Tergugat I dan diketahui oleh Tergugat II. ----------------------------------

-----------------------------------Untuk Itu-----------------------------------

Penerima Kuasa berhak dan berkuasa sepenuhnya menghadap di Pengadilan Tata Usaha Negara dan instansi-instansi lain yang terkait; membuat serta menandatangani Surat Gugatan dan Replik; mengajukan bukti-bukti, Kesimpulan, dan surat-surat yang diperlukan; meminta atau memberi keterangan-keterangan; menerima atau menolak keterangan-keterangan dan bukti-bukti yang diajukan pihak lawan; mengadakan perdamaian; menentukan syarat-syarat perdamaian; menandatangani Akta Perdamaian; Mohon Putusan; Meminta Salinan Putusan; menerima atau membanding Putusan. Tegasnya, Penerima Kuasa berhak dan berkuasa melakukan segala upaya hukum yang berlaku tanpa kecualinya.--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Demikian, kuasa ini dibuat dengan sebenar-benarnya di atas kertas bermeterai cukup dan diberikan dengan hak substitusi. ------------------------------------------------------------------------------------------------

Jawa Timur, 3 September 2005

Pemberi Kuasa                                                        Penerima Kuasa



Ttd.                                                                          Ttd.

Larasati                                                                  Rahesi Wirawan Atmaja, S.H.
________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Dalam Konteks Undang-Undang PTUN, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2019)", Dr. Dwi Putri Cahyawati, S.H., M.H., Gramata Publishing, Bekasi, 2022, Hal.: 135-136.

Jumat, 28 November 2025

Contoh Surat Gugatan Terhadap Surat Keputusan Tata Usaha Negara

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Dalam perkuliahan sebelumnya platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik Menurut Para Ahli dan Menurut Undang-Undang", "Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)", silahkan dibaca juga mengenai "Asas-asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara" dan pada kesempatan ini akan dibahas perihal 'Contoh Surat Gugatan Terhadap Surat Keputusan Tata Usaha Negara'. Berikut Contoh Surat Gugatan Terhadap Surat Keputusan Tata Usaha Negara dimaksud:[1]


Jawa Timur, 5 September 2005

Nomor: 05/593.SK/LBT/VIII/2005

Perihal: Gugatan terhadap Surat Keputusan Tata Usaha Negara


Kepada Yang Terhormat,
Ketua PTUN Jawa Timur
Jl. Raya Ir. H. Juanda No. 89
Jawa Timur


Dengan hormat,

Yang bertanda tangan di bawah ini:-----------------------------------------------------------------------------------

Rahesi Wirawan Atmaja, S.H.

Advokat berkedudukan di kantor "ADVOKAD RAHESI & REKAN" Jl. Jenderal A. Yani No. 12 Jawa Timur. Dalam hal diuraikan di bawah ini, bertindak dalam kedudukannya selaku Kuasa dari Larasati, kewarganegaraan Indonesia, beralamat di Jl. Bunga Tulip No. 17, RT/RW: 001/07, Kelurahan Sukatani, Kecamatan Batuhulu, Jawa Timur, Pekerjaan Ibu Rumah Tangga. (Sebagaimana asli Surat Kuasa Khusus Terlampir).----------------------------------------------------------------------------------------------------

Untuk selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------------------------------- PENGGUGAT

Bahwa dengan ini Penggugat hendak mengajukan gugatan terhadap: -----------------------------------------

  1. Lurah Sukatani, beralamat di Jalan Bunga Rampai No. 1 Jawa Timur. Untuk selanjutnya disebut sebagai-----------------------------------------------------------------------------------------TERGUGAT I
  2. Camat Batuhulu, beralamat di Jalan H.R. Rasunasaid No. 75 Jawa Timur. Untuk selanjutnya disebut sebagai-------------------------------------------------------------------------------TERGUGAT II
Adapun hal-hal yang menjadi dasar diajukannya gugatan ini ialah sebagai berikut: --------------------------
  1. Bahwa yang menjadi objek gugatan dalam perkara ini adalah Surat Keputusan Tata Usaha Negara No. 05/593.SK/LBT/VIII/2005 tentang Letak Tanah yang masuk Kelurahan Sukatani tanggal 1 Juli 2005, yang dikeluarkan oleh Tergugat I dan diketahui oleh Tergugat II, telah memenuhi Pasal 1 butir 3 UU No. 9 Tahun 2004 yang bersifat konkret, individual dan final dan menimbulkan akibat hukum.----------------------------------------------------------------------------------------------------
  2. Bahwa Surat Keputusan tersebut baru diketahui oleh Penggugat pada tanggal 29 Agustus 2005 saat pemeriksaan setempat dalam perkara No. 12/G.TUN/2002/PTUN-Jawa Timur sesuai dengan Surat Panggilan Pengadilan Tata Usaha Negara Jawa Timur tertanggal 20 Agustus 2005 tentang Pemeriksaan Setempat. Sesuai dengan ketentuan Pasal 55, Tergugat berkewajiban untuk mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang dimohonkan oleh Penggugat.--------------------
  3. Bahwa gugatan yang diajukan masih dalam tenggang waktu untuk Menggugat.----------------------
  4. Bahwa dikeluarkannya Surat Keterangan No. 05/593.SK/LBT/VIII/2005, tanggal 1 Juli 2005 oleh Tergugat I, telah merugikan Penggugat sebab dilakukan melalui prosedur yang salah dan sewenang-wenang.---------------------------------------------------------------------------------------------
  5. Bahwa sebelumnya di atas tanah terperkara, sudah ada Sertifikat Hak Milik No. 265/Sukatani atas nama Penggugat, tertanggal 4 Mei 1990.--------------------------------------------------------------------
  6. Bahwa dengan dikeluarkannya Surat Keterangan No. 05/593.SK/LBT/VIII/2005, tanggal 1 Juli 2005 oleh Tergugat I, berarti mengakui M. Soleh sebagai pemiliknya.---------------------------------
  7. Bahwa tanah milik Penggugat dulunya adalah milik Moersoedi berdasarkan Surat Tebas Tebang No. 76/PERLK/1973 tanggal 22 Agustus 1973.------------------------------------------------------------
  8. Bahwa kemudian Moersoedi menjual kepada Hasanudin berdasarkan Akta Jual Beli No. 105/SH/1979 tanggal 22 Maret 1979, yang menjadi saksi pada waktu itu adalah Lurah Sukatani Ahmad Sartiman.-----------------------------------------------------------------------------------------------
  9. Bahwa kemudian pada tahun 1980, Hasanudin mengkapling-kapling tanah tersebut dan menjual masing-masing kepada Budiman, Widodo dan masyarakat sekitarnya.---------------------------------
  10. Bahwa pada tahun 1988, Roeslan Hasan menghibahkan sebagian tanahnya seluas 1.890 M2 kepada Penggugat berdasarkan Akta Hibah No. 1611/SH/1988 tanggal 2 April 1988 atas nama Penggugat, dan yang menjadi saksi saat itu ialah Lurah Sukatani dengan batas-batas sebagai berikut: (a) Sebelah Utara berbatasan dengan tanah Surya Budiman; (b) Sebelah Timur berbatasan dengan tanah Kardiman; (c) Sebelah Selatan berbatasan dengan Jalan Delima; (d) Sebelah Barat berbatasan dengan Jalan Jambu.------------------------------------------------------------------------------
  11. Bahwa pada tahun 1989, Penggugat mengurus Sertifikatnya ke BPN yang kemudian terbitlah Sertifikat Hak Milik No. 265/Sukatani pada tanggal 4 Mei 1990 atas nama Penggugat seluas 1.105 M2 dengan batas-batas sebagai berikut: (a) Sebelah Utara berbatasan dengan tanah Surya Budiman; (b) Sebelah Timur berbatasan dengan tanah milik Kardiman; (c) Sebelah Selatan berbatasan dengan Jalan Muryo; (d) Sebelah Barat berbatasan dengan Jalan Arengka.--------------
  12. Bahwa kemudian Penggugat membeli sebagian tanah milik Kardiman yang semula dalam sertifikat Hak Miliknya tercantum atas nama Kardiman seluas 354 M2 pada 20 Februari 2001.---
  13. Bahwa Penggugat kemudian mengurus balik namanya sekaligus menggabungkannya dengan Sertifikat Hak Milik No. 265/Sukatani, sehingga keluarlah Sertifikat Hak Milik No. 4490/Sukatani tertanggal 23 Juli 2002 atas nama Penggugat dengan luas 1.175 M2 dengan batas-batas sebagai berikut: (a) Sebelah Utara berbatasan dengan tanah Surya Budiman; (b) Sebelah Timur berbatasan dengan tanah Kardiman; (c) Sebelah Selatan berbatasan dengan Jalan Sukadamai; (d) Sebelah Barat berbatasan dengan Jalan Soekarno-Hatta.-------------------------------
  14. Bahwa selama itu Penggugat selalu merawat tanah milik Penggugat dengan cara menanam pohon rambutan.---------------------------------------------------------------------------------------------------------
  15. Bahwa pada 2005 Penggugat dikejutkan dengan nama M. Soleh yang mengaku sebagai pemilik tanah milik Penggugat, berdasarkan Surat Keterangan No. 05/593.SK/LBT/VIII/2005 tanggal 1 Juli 2005 yang dikeluarkan oleh Tergugat I.----------------------------------------------------------------
  16. Bahwa Surat Keputusan No. 05/593.SK/LBT/VIII/2005 yang diterbitkan oleh Tergugat I didasarkan pada Surat Perjanjian Jual-Beli Tanah tanggal 30 September 1984 yang dibeli oleh M. Soleh dari saudara Muhdi.------------------------------------------------------------------------------------
  17. Bahwa jika diperhatikan Surat Jual Beli tanggal 30 September 1984 tidak ditemukan adanya surat-surat yang berhubungan dengan saudara Muhdi.---------------------------------------------------
  18. Bahwa sejak dulu hingga gugatan ini diajukan tidak ada pemilik tanah yang bernama Muhdi, baik sebagai pemilik tanah maupun pihak-pihak yang tinggal di sekitar tanah yang disengketakan.-----
  19. Bahwa jika diperhatikan dengan seksama Surat Perjanjian Jual Beli Tanah tanggal 30 September 1984 adalah Surat Perjanjian Jual Beli biasa yang bisa diketahui oleh siapa saja termasuk Lurah setempat, jadi bukan merupakan bukti kepemilikan hak.-------------------------------------------------
  20. Bahwa jika diperhatikan dengan teliti, tanda tangan Ahmad Sartiman sebagai Lurah Sukatani yang ada pada Surat Perjanjian Jual Beli tersebut berbeda dengan tanda tangan Lurah Ahmad Sartiman yang sesungguhnya, demikian juga dengan cap Kepala Desa Sukatani yang juga berbeda.---------------------------------------------------------------------------------------------------------
  21. Bahwa berdasarkan uraian di atas, ternyata Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Tergugat I tersebut cacat hukum sebab telah dikeluarkan bertentangan degan PP 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah Jo. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1973 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah Jo. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional Kota Jawa Timur No. 1375/500/XI/1990 tanggal 21 November 1990 tentang Keseragaman Alas Hak Atas Tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) a UU No. 51 Tahun 2009 dan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik.-----------------------------

Berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan di atas, Penggugat mohon kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Jawa Timur agar memberikan Putusan:
  1. Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk seluruhnya.----------------------------------------------------
  2. Menyatakan batal atau tidak sah Surat Keterangan No. 05/593.SK/LBT/VIII/2005, tanggal 1 Juli 2005 atas nama M. Soleh.-----------------------------------------------------------------------------------
  3. Mewajibkan Tergugat I untuk mencabut Surat Keputusan Tata Usaha Negara No. 05/593.SK/LBT/VIII/2005, tanggal 1 Juli 2005 atas nama M. Soleh.---------------------------------
  4. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng untuk membayar biaya perkara yang timbul selama ini.---------------------------------------------------------------------------------------

Demikianlah atas perhatian dan perkenannya diucapkan terima kasih.----------------------------------------

Hormat Penggugat,
Kuasanya,


Ttd.

Rahesi Wirawan Atmaja, S.H.
 
________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Dalam Konteks Undang-Undang PTUN, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2019)", Dr. Dwi Putri Cahyawati, S.H., M.H., Gramata Publishing, Bekasi, 2022, Hal.: 139-143.

Senin, 24 November 2025

Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik Menurut Para Ahli dan Menurut Undang-Undang

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Dalam perkuliahan sebelumnya platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)", "Asas-asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara", silahkan dibaca juga mengenai "Beragam Pengertian Hukum Tata Negara Menurut Para Ahli" dan pada kesempatan ini akan dibahas perihal 'Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik Menurut Para Ahli dan Menurut Undang-Undang'.

Dalam artikel ini Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik kemudian disingkat menjadi 'AUPB'. seorang ahli hukum Belanda Bernama  L.P. Sueten, mendefinisikan AUPB sebagai: "aturan hukum publik yang wajib diikuti oleh pengadilan dalam menerapkan hukum positif. Prinsip-prinsip AUPB ini merupakan kategori khusus dari prinsip-prinsip hukum umum dan dianggap sebagai sumber formal hukum dalam hukum administrasi, meskipun biasanya melibatkan hukum yang tidak tertulis".[1]

Dari tebaran rumusan pengertian para pakar hukum administrasi negara tentang AUPB, dapat ditarik point-point kesimpulan sebagai berikut:[2]
  1. AUPB merupakan norma hukum (tertulis) dan atau norma etik (tidak tertulis) yang khusus berlaku di lingkungan administrasi negara;
  2. AUPB merupakan asas yang penting karena menjadi pedoman bagi Pejabat TUN dalam menjalankan kewenangannya;
  3. AUPB sebagai prinsip-prinsip penting yang wajib diikuti oleh Hakim, berfungsi sebagai alat uji bagi Hakim Administrasi untuk sah atau tidaknya KTUN;
  4. AUPB sebagai dasar pengajuan gugatan bagi pihak penggugat;
  5. AUPB yang bersifat tidak tertulis berlaku mengikat manakala dijadikan dasar bagi Hakim TUN dalam memutus perkara;
  6. AUPB salah satu fungsinya adalah sebagai arahan atau patokan bagi pelaksanaan wewenang administrasi negara untuk memberikan dan menentukan batas-batas manakah yang harus diperhatikan oleh suatu Pejabat TUN dalam bertindak;
  7. AUPB sebagai alat uji bagi Hakim di Peradilan TUN untuk menilai sah atau tidaknya suatu KTUN.

Para ahli menjabarkan AUPB ke dalam berbagai asas yang jenis dan jumlahnya tidak sama antara pakar yang satu dengan yang lain. Ada yang menjabarkan ke dalam 8 (delapan) asas, 7 (tujuh) asas, 5 (lima) asas, bahkan 13 (tiga belas) asas. Menurut para pakar seperti Addink, Donner, Koeman, Crince, Philipus, Koentjoro menyebutkan jumlah cakupan AUPB yang berbeda-beda. Adapun AUPB yang diakui dalam doktrin adalah sebagai berikut:[3]
  1. asas kepastian hukum;
  2. asas kecermatan;
  3. asas tidak boleh mencampuradukkan kewenangan;
  4. asas keadilan;
  5. asas fair play atau permainan yang wajar;
  6. asas keseimbangan atau perlakuan yang adil.

AUPB menurut Undang-Undang tersebar didalam setidaknya 7 Undang-Undang, yaitu: UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No. 5 Tahun 1986 Tentang PTUN, UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelengga-raan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, UU No. 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia dan UU No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara. Dari tebaran Undang-Undang dimaksud, setidaknya terdapat 13 AUPB sebagai berikut:[4]
  1. Asas Kepastian Hukum;
  2. Asas Kepentingan Umum (asas baru);
  3. Asas Keterbukaan (asas baru);
  4. Asas Kemanfaatan (asas baru);
  5. Asas Ketidakberpihakan / tidak diskriminatif;
  6. Asas Kecermatan;
  7. Asas Tidak menyalahgunakan kewenangan;
  8. Asas Pelayanan yang baik (asas baru);
  9. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
  10. Asas Akuntabilitas (asas baru);
  11. Asas Proporsionalitas;
  12. Asas Profesionalitas (asas baru);
  13. Asas Keadilan.

Dari ketiga belas asas tersebut, jika dibandingkan dengan asas-asas yang sudah diakui di dalam doktrin, terdapat enam asas baru, yaitu asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas kemanfaatan, asas pelayanan yang baik, asas akuntabilitas, dan asas profesionalitas.

________________
Referensi:

1. "ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK", bsdk.mahkamahagung.go.id, Penerbit: LeIP (Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan), Penulis: Cekli Setya Pratiwi, Shinta Ayu Purnamawati, Fauzi, Christina Yulita Purbawati, Diakses pada tanggal 23 November 2025, Link: https://bsdk.mahkamahagung.go.id/images/PDF/2018/PENJELASAN-HUKUM-ASAS-ASAS-UMUM-PEMERINTAHAN-YANG-BAIK.pdf
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.

Senin, 10 November 2025

Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Dalam perkuliahan sebelumnya platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Asas-asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara", "Beragam Pengertian Hukum Tata Negara Menurut Para Ahli", silahkan dibaca juga mengenai "Dasar Hukum Gugatan Perdata Wanprestasi Dan PMH" dan pada kesempatan ini akan dibahas perihal 'Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)'.

Pengertian Sempit

Dasar hukum pengertian sempit dari Keputusan Tata Usaha Negara adalah Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang No. 5 tahun 1986 sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang mengartikannya sebagai: "Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, dan final yang mengakibatkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata."[1]

Berdasarkan pengertian di atas, dapat dapat dirumuskan unsur-unsur keputusan tata usaha negara adalah sebagai berikut:[2]
  1. Penetapan tertulis, terutama menunjukan pada isi dan bukan pada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara. Sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan merupakan suatu keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang apabila sudah jelas (a). Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkannya; (b). Maksud dan apa isi tulisan itu; (c). Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya.
  2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, dalam hal ini ialah badan atau pejabat tata usaha negara di pusat dan di daerah yang melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat eksekutif.
  3. Tindakan hukum tata usaha negara, merupakan perbuatan hukum Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersumber pada suatu ketentuan hukum tata usaha negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain.
  4. Perundang-undangan yang berlaku, merupakan semua peraturan yang mengikat secara umum dan dikeluarkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah, serta semua keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di tingkat pusat maupun daerah yang juga mengikat secara umum.
  5. Konkret, ialah objek yang akan diputuskan di dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu berwujud dan atau dapat ditentukan.
  6. Individual, maksudnya ialah Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan tersebut tidak ditujukan untuk umum, tetapi untuk individu-individu tertentu termasuk alamat dan hal yang dituju.
  7. Final, maksudnya Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan sudah definitif, sehingga dapat menimbulkan akibat hukum.
  8. Menimbulkan akibat hukum, maksudnya adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan sudah menimbulkan suatu perubahan dalam hubungan hukum yang telah ada.    

Pengertian Luas

Dasar hukum pengertian luas dari Keputusan Tata Usaha Negara adalah Undang-Undang No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Penerbitan Undang-Undang ini telah memperluas objek sengketa Tata Usaha Negara dari yang semula hanya dibatasi pada Keputusan Tata Usaha Negara berupa penetapan tertulis yang bersifat konkret, individual dan final dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, maka dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan ini diperluas sehingga dirumuskan sebagai berikut: "Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan".[3]

Berdasarkan pada definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa beberapa unsur dari keputusan tata usaha negara yang dimaksud, yaitu:[4]
  1. Penetapan tertulis;
  2. Dikeluarkan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan;
  3. Dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Dengan demikian, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan memberikan makna yang lebih luas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara, tidak hanya dibatasi pada penetapan tertulis yang bersifat konkret, individual dan final, tetapi juga tindakan faktual terhadap semua urusan pemerintahan dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan, baik dalam lapangan eksekutif, legislatif maupun yudikatif.

Keputusan Tata Usaha Negara Berbentuk Elektronis

Lebih jauh lagi, Undang-Undang No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan juga memperluas bentuk Keputusan Tata Usaha Negara, yakni dengan memperkenalkan keputusan pejabat dan/atau badan pemerintahan yang berbentuk elektronis. Hal ini diuraikan dalam Pasal 38 Undang-Undang No. 30 tahun 2014, dengan rumusan sebagai berikut:[4]
  1. Pejabat dan/atau badan pemerintahan dapat membuat keputusan berbentuk elektronis;
  2. Keputusan berbentuk elektronis wajib dibuat atau disampaikan apabila keputusan tidak dibuat atau tidak disampaikan secara tertulis;
  3. Keputusan berbentuk elektronis berkekuatan hukum sama dengan keputusan yang tertulis dan berlaku sejak diterimanya keputusan tersebut oleh pihak yang bersangkutan;
  4. Jika keputusan dalam bentuk tertulis tidak disampaikan, maka yang berlaku ialah keputusan dalam bentuk elektronis;
  5. Dalam hal terdapat perbedaan antara keputusan dalam bentuk tertulis, yang berlaku ialah keputusan dalam bentuk tertulis.

Sumber hukum yang lain yang mengatur tentang Keputusan Tata Usaha Negara adalah Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dalam Pasal 175 angka 7, ditegaskan bahwa keputusan administrasi pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara, selanjutnya disebut Keputusan, ialah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga yang dimaksud dengan penyelenggaraan pemerintahan tersebut adalah segala urusan penyelenggaraan pemerintahan dalam lingkungan eksekutif, legislatif dan yudikatif.[5]
________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Dalam Konteks Undang-Undang PTUN, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, Undang-Undang Cipta Kerja, dan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2009)", Dr. Dwi Putri Cahyawati, S.H., M.H., Gramata Publishing, Bekasi, 2022, Hal.: 13-14.
2. Ibid. Hal.: 14-15.
3. Ibid. Hal.: 15-17.
4. Ibid. Hal.: 17-18.
5. Ibid. Hal.: 18.

Kamis, 06 November 2025

Asas-asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Dalam perkuliahan sebelumnya platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Beragam Pengertian Hukum Tata Negara Menurut Para Ahli", "Dasar Hukum Gugatan Perdata Wanprestasi Dan PMH", silahkan dibaca juga mengenai "Direksi Sebagai Agen Perusahaan" dan pada kesempatan ini akan dibahas perihal 'Asas-asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara'.

Asas-asas yang diterapkan dalam beracara pada Peradilan Tata Usaha Negara sebenarnya identik dengan asas-asas hukum acara yang lain. Namun demikian, terdapat kekhasan dalam asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, yakni memiliki ciri-ciri tersendiri. Adapun kekhasan tersebut tampak dari beberapa asas hukum yang menjadi landasan, yaitu:[1]

  1. Asas praduga rechmatig (vermoeden van rechtmatigheid praesumptio iustae causa), bermakna bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh penguasa harus selalu dimaknai sebagai rechtmatig sampai adanya keputusan tentang pembatalannya. Dengan diterapkannya asas ini, gugatan yang diajukan tidak akan menunda Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat.
  2. Asas pembuktian bebas, mengandung makna bahwa hakim yang berwenang menetapkan adanya beban pembuktian.
  3. Asas keaktifan hakim (dominius litis), bahwa keaktifan hakim ditujukan untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena Tergugat berkedudukan sebagai pejabat tata usaha negara, sementara Penggugat merupakan orang per orangan atau badan hukum perdata.
  4. Asas putusan pengadilan memiliki kekuatan mengikat, yang kemudian disebut sebagai "erga omnes". Sengketa tata usaha negara dikenal sebagai sengketa yang berada dalam ranah hukum publik, sehingga PTUN mengikat secara umum dan tidak hanya mengikat pihak-pihak yang bersengketa.

________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Dalam Konteks Undang-Undang PTUN, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, Undang-Undang Cipta Kerja, dan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2009)", Dr. Dwi Putri Cahyawati, S.H., M.H., Gramata Publishing, Bekasi, 2022, Hal.: 10.

Kamis, 23 Oktober 2025

Beragam Pengertian Hukum Tata Negara Menurut Para Ahli

  
(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Dalam perkuliahan sebelumnya platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Dasar Hukum Gugatan Perdata Wanprestasi Dan PMH", "Direksi Sebagai Agen Perusahaan", silahkan dibaca juga mengenai "Direksi Sebagai Pengurus Perseroan" dan pada kesempatan ini akan dibahas perihal 'Beragam Pengertian Hukum Tata Negara Menurut Para Ahli'.

Mengenai arti hukum tata negara sampai sekarang belum terdapat kesatuan pendapat. Sarjana-sarjana hukum yang ternama di negeri Belanda dan di Indonesia mempunyai alasan-alasan yang cukup bagi pendapatnya masing-masing. Karena ilmu hukum di Indonesia dan sebagian dari hukum positif Indonesia dibangun dan dikembangkan oleh dunia keilmuan masyarakat Belanda, maka dalam taraf pertama kita perlu mengetahui pendapat-pendapat yang hidup di antara para sarjana hukum Belanda.[1]

Istilah "hukum tata negara" merupakan hasil terjemahan dari perkataan bahasa Belanda staatsrecht. Sudah menjadi kesatuan pendapat di antara para sarjana hukum Belanda untuk membedakan antara "hukum tata negara dalam arti luas" (staatsrecht in ruime zin) dan "hukum tata negara dalam arti sempit" (staatsrecht in enge zin). Perbedaan pendapat yang timbul di antara para sarjana hukum Belanda itu adalah justru mengenai batas-batas pengertian kedua golongan hukum ini.[2]

Berikut adalah beberapa pendapat para ahli hukum Belanda dimaksud:[3]
  1. Prof. Mr. Ph. Kleintjes dalam bukunya yang berjudul Staatsinstellingen van Ned. Indie, berpendapat bahwa pengertian hukum tata negara Hindia Belanda terdiri dari kaidah-kaidah hukum mengenai tata Hindia Belanda, yaitu tentang alat-alat perlengkapan kekuasaan negara yang harus menjalankan tugas Hindia Belanda, dan tentang susunan, tata, wewenang dan perhubungan kekuasaan di antara alat-alat perlengkapan itu.
  2. Prof. Dr. J.H.A. Logemann dalam bukunya yang berjudul Over de Theorie van een Stellig Staatsrecht, menerangkan bahwa hukum tata negara adalah serangkaian kaidah hukum mengenai pribadi hukum dan jabatan atau kumpulan jabatan di dalam negara dan mengenai lingkungan berlakunya hukum dari suatu negara.
  3. Prof. Mr. R. Kranenburg dalam bukunya berjudul Inleiding in het Nederlands Administratiefrecht, menerangkan bahwa hukum tata negara meliputi hukum mengenai susunan (struktur) umum dari negara, yaitu yang terdapat dalam undang-undang dasar, undang-undang organik.

Berikut dikutip beberapa pendapat ahli hukum Indonesia terkait pengertian hukum tata negara:
  1. Prof. Usep Ranawijaya, S.H., dalam bukunya yang berjudul Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-dasarnya, memberikan pengertian hukum tata negara sebagai hukum mengenai organisasi negara pada umumnya (hubungan penduduk dengan negara, pemilihan umum, kepartaian, cara menyalurkan pendapat dari rakyat, wilayah negara, dasar negara, hak asasi manusia, lagu, bahasa, lambang, pembagian negara atas kesatuan-kesatuan kenegaraan, dan sebagainya), mengenai sistem pemerintahan negara, mengenai kehidupan politik rakyat dalam hubungan dengan susunan organisasi negara, mengenai susunan, tugas dan wewenang, perhubungan kekuasaan satu sama lain, serta perhubungannya dengan rakyat, dari alat-alat perlengkapan ketatanegaraan sebagai jabatan-jabatan tertinggi yang menetapkan prinsip umum bagi pelaksanaan berbagai usaha negara. Pendeknya segala sesuatu mengenai organisasi negara.[4]
  2. Kusumadi Pudjosewojo, dalam bukunya yang berjudul Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, merumuskan definisi hukum tata negara sebagai hukum yang mengatur bentuk negara dan bentuk pemerintahan, yang menunjukkan masyarakat hukum yang atasan maupun yang bawahan, beserta tingkatan-tingkatannya yang selanjutnya menegaskan wilayah dan lingkungan rakyat dari masyarakat-masyarakat hukum itu dan akhirnya menunjukkan alat-alat perlengkapan yang memegang kekuasaan penguasa dari masyarakat hukum itu, beserta susunan, wewenang, tingkatan imbangan dari dan antara alat perlengkapan itu.[5]
  3. Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H., dalam bukunya berjudul Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara dengan berbekal batasan mengenai keempat unsur dalam definisi hukum tata negara, memberikan pengertian hukum tata negara sebagai cabang ilmu hukum yang mempelajari prinsip-prinsip dan norma-norma hukum yang tertuang secara tertulis ataupun yang hidup dalam kenyataan praktik kenegaraan berkenaan dengan: (i) konstitusi yang berisi kesepakatan kolektif suatu komunitas rakyat mengenai cita-cita untuk hidup bersama dalam suatu negara; (ii) institusi-institusi kekuasaan negara beserta fungsi-fungsinya; (iii) mekanisme hubungan antar institusi itu; serta (iv) prinsip-prinsip hubungan antara institusi kekuasaan negara dengan warga negara.[6] 
________________
Referensi:

1. "Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-dasarnya", Prof. Usep Ranawijaya, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, Hal.: 11.
2. Ibid. Hal.: 12.
3. Ibid. Hal.: 12-15.
4. Ibid. Hal.: 20.
5. "Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia", Cet. ke-10, Kusumadi Pudjosewojo, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, Hal.: 86. 
6. "Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara", Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H., Rajawali Pers, Jakarta, 2015, Hal.: 29-30.

Selasa, 20 Juni 2023

Dasar Hukum Gugatan Perdata Wanprestasi Dan PMH

 
(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "7 Most Sadistic Serial Killer Cases in Indonesia: Dukun AS", "Direksi Sebagai Agen Perusahaan" dan "Hukum Jual-Beli Tanah Garapan", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Alasan-alasan Hukum Mengajukan Gugatan Perdata'.

Pengertian Gugatan

Yang dimaksud dengan gugatan adalah suatu tuntutan hak yang diajukan oleh penggugat kepada tergugat melalui pengadilan. Gugatan dalam hukum acara perdata umumnya terdapat 2 (dua) pihak atau lebih, yaitu antara pihak penggugat dan tergugat, yang mana terjadinya gugatan umumnya pihak tergugat telah melakukan pelanggaran terhadap hak dan kewajiban yang merugikan pihak penggugat. Terjadinya gugatan umumnya setelah pihak tergugat melakukan pelanggaran hak dan kewajiban yang merugikan pihak penggugat tidak mau secara sukarela memenuhi hak dan kewajiban yang diminta oleh pihak penggugat, sehingga akan timbul sengketa antara penggugat dan tergugat. Sengketa yang dihadapi oleh pihak apabila tidak bisa diselesaikan secara damai di luar persidangan umumnya perkaranya diselesaikan oleh para pihak melalui persidangan pengadilan untuk mendapatkan keadilan.[1]

Gugatan dapat disimpulkan sebagai suatu tuntutan hak dari setiap orang atau pihak (kelompok) atau badan hukum yang merasa hak dan kepentingannya dirugikan dan menimbulkan perselisihan, yang ditujukan kepada orang lain atau pihak lain yang menimbulkan kerugian itu melalui pengadilan, yang dalam objek pembahasan ini adalah pengadilan negeri. Oleh karena itu, syarat mutlak untuk dapat menggugat ke pengadilan haruslah atas dasar adanya perselisihan atau sengketa.[2] Kata kunci dari sebuah gugatan adalah adanya 'sengketa', sehingga harus diputus oleh Pengadilan setelah upaya hukum musyawarah-mufakat tidak tercapai.

Dasar Hukum Gugatan Perdata Wanprestasi Dan Perbuatan Melawan Hukum

Contoh gugatan di dalam dunia praktisi hukum banyak sekali. Diantaranya adalah gugatan sengketa waris, gugatan sengketa jual beli tanah, gugatan sengketa sewa menyewa rumah, dan sebagainya dan sebagainya. Dalam artikel ini, kita akan membahas dua dasar hukum gugatan perdata yang banyak ditemui dalam tataran riil praktik hukum, yaitu Gugatan Wanprestasi (Cidera Janji) dan gugatan Perbuatan Melawan Hukum atau sering disingkat PMH.

Dasar Hukum Gugatan Perdata Wanprestasi (Cidera Janji)

Dasar hukum wanprestasi dapat ditemukan dalam Pasal 1243 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:[3]
"Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan."

Jika kita cermati dari dasar hukum Pasal 1243 KUH Perdata di atas, maka setidaknya terdapat tiga unsur pasal yang mendasarinya, yaitu:[4]
  1. Adanya perjanjian;
  2. Terdapat pihak yang ingkar janji atau melanggar perjanjian; dan
  3. Telah dinyatakan lalai, namun tetap tidak melaksanakan isi perjanjian.

Sehingga, hal yang menyebabkan timbulnya wanprestasi adalah karena adanya cidera janji terhadap perjanjian yang telah disepakati sebelumnya yang menyebabkan salah satu pihak ingkar akan janjinya atau melanggar janji. Maka, pihak yang cidera janji harus bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan.[5]

Dasar Hukum Gugatan Perdata Perbuatan Melawan Hukum (PMH)

Dasar hukum Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dapat ditemukan dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:[6]
"Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut."

Jika kita cermati dari dasar hukum Pasal 1365 KUH Perdata di atas, maka menurut hemat penulis setidaknya terdapat tiga unsur pasal yang mendasarinya, yaitu:
  1. Terdapat/adanya perbuatan yang bertentangan dengan hukum;
  2. Perbuatan yang bertentangan tersebut mengakibatkan kerugian kepada orang lain;
  3. Orang yang mengakibatkan kerugian diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut. 

Perlu dipahami, bahwa konteks perbuatan melawan hukum ini pengertiannya sangat luas. Mariam Darus Badrulzaman sebagaimana dikutip oleh Rosa Agustina memberi penjelasan bahwa Perbuatan Melawan Hukum bisa diartikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, bisa juga diartikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hak subjektif orang lain, bisa juga diartikan bertentangan dengan kesusilaan, bisa juga diartikan perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.[7] Perbuatan-perbuatan ini, jika dilakukan penyederhanaan pengertian secara hukum, maka disebut sebagai segala perbuatan yang bertentangan dimata hukum. 

____________________
References:

1. "PENGERTIAN GUGATAN DAN BENTUK GUGATAN DAN TUNTUTAN DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA", MARDIOS, Universitas Ekasakti, Makalah, Tanpa Tahun, Hal.: 2. 
2. Ibid. Hal.: 2.
3. "Perbedaan Wanprestasi Dan Perbuatan Melawan Hukum", www.hukumonline.com., Diakses pada tanggal 20 Juni 2023, Link: https://www.hukumonline.com/klinik/a/perbedaan-wanprestasi-dan-perbuatan-melawan-hukum-cl2719/
4. Ibid. 
5. Ibid.
6. Ibid.
7. Ibid.

Rabu, 07 Juni 2023

Direksi Sebagai Agen Perusahaan

 
(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Direksi Sebagai Pengurus Perseroan", "Who's Legally Represents The Company In Indonesia?" dan "Tanggung Jawab Hukum Pemegang Saham", pada perkuliahan ini akan dibahas mengenai 'Direksi Sebagai Agen Perusahaan'.

Secara umum, direksi merupakan agen dari perseroan, Undang-undang No. 40 Tahun 2007 menyebutkan demikian dalam Pasal 1 butir 4 Jo. Pasal 82. Direksi merupakan organ perseroan yang bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan, serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Kepengurusan perseroan dilakukan oleh Direksi (Pasal 79 ayat 1), yang antara lain meliputi pengurusan sehari-hari dari perseroan.[1]

Ketentuan bahwa direksi sebagai agen dari perseroan ini sejalan dengan yang berlaku dalam sistem hukum common law bahwa the directors are the company's usual agent. Selain direksi, karyawan (officer) atau orang lain juga dapat mewakili perseroan (agent). Sehubungan dengan itu, undang-undang membatasi dengan ketentuan bahwa karyawan dapat mewakili perseroan dengan dibuatkannya kuasa tertulis dari direksi kepada satu orang karyawan perseroan atau lebih atau orang lain untuk dan atas nama perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu. Dalam hal ini, direksi bertindak selaku pimpinan dari karyawan atau orang lain yang diberi kuasa.[2]

Sehubungan dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur direksi sebagai agen perseroan, Undang-undang No.: 40 Tahun 2007 tidak mengaturnya lebih lanjut. Secara umum, kewenangan direksi untuk memberikan kuasa atau mewakilkan tugasnya tersebut diatur didalam anggaran dasar perseroan, seperti pemberian kuasa untuk tugas-tugas mengenai pengangkatan dan pemberhentian pegawai, pemberian penghargaan, atau pengenaan sanksi.[3] 

____________________
References:

1. "Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi & Komisaris Perseroan Terbatas (PT)", Frans Satrio Wicaksono, S.H., Visimedia, Jakarta, 2009, Hal.: 121.
2. Ibid., Hal.: 121.
3. Ibid., Hal.: 121.

Selasa, 06 Juni 2023

Direksi Sebagai Pengurus Perseroan

 
(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Saham Minoritas", "Contoh Akta Gadai Saham" dan "Tanggung Jawab Hukum Pemegang Saham", pada perkuliahan kali ini akan dibahas mengenai 'Direksi Sebagai Pengurus Perseroan'.

Direksi sebagai pengurus perseroan adalah salah satu tanggung jawab hukum dalam sebuah perseroan. Tentunya ada tanggung jawab lain dalam sebuah organ perseroan, namun dalam kesempatan ini akan dibahas perihal judul di atas.

Direksi dituntut untuk bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan, serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab harus menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan.[1] Perlu dipertegas bahwa direksi dalam menjalankan kepentingan perseroan harus dengan itikad baik (good will) dan penuh tanggung jawab.

Direksi dapat digugat secara pribadi ke Pengadilan Negeri jika perseroan mengalami kerugian yang disebabkan oleh kesalahan dan kelalaiannya. Begitu juga dalam hal kepailitan yang terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepaititan tersebut, maka setiap anggota direksi bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian tersebut.[2]

Prinsip-prinsip menejemen perseroan yang baik, yang telah diakomodasi dalam ketentuan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 masih harus dijabarkan secara detail dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Ketentuan dalam undang-undang tersebut hanya menjelaskan tanggung jawab direksi secara umum berdasarkan hubungan kepercayaan (Fiduciary of Relationship) antara direksi dan perseroan. Jika diperjelas lebih dalam, Fiduciary of Relationship tersebut mengandung tiga faktor penting, yaitu:[3]
  1. Prinsip kehati-hatian dalam bertindak bagi direksi (duty of skill and care).
  2. Prinsip itikad baik untuk bertindak semata-mata demi kepentingan dan tanggung jawab perseroan (duty of loyalty), dan
  3. Prinsip tidak mengambil keuntungan pribadi atas suatu kesempatan yang sebenarnya milik atau diperuntukan bagi perseroan (no secret profit rule doctrine of corporate opportunity).

Untuk menentukan kapan dan bagaimana direksi dianggap telah melanggar prinsip-prinsip tersebut secara detail, merupakan hal yang sulit jika hanya dicari dari undang-undang. Atas prinsip tersebut di atas, direksi dapat menggunakan konsep yang dikenal sebagai "the business judgement rule", yang merupakan suatu prinsip yang memberikan perlindungan bagi direksi atas dakwaan pelanggaran terhadap ketiga prinsip di atas. Dengan menggunakan prinsip ini, direksi dapat dibebaskan dari tanggung jawab secara pribadi sekalipun tindakannya mengakibatkan kerugian pada perseroan, baik karena salah perhitungan maupun hal lain di luar kemampuan yang menyebabkan kegagalan dari tindakan tersebut, asalkan tindakan yang diambilnya tersebut dilakukan sebagai keputusan bisnis yang dibuat berdasarkan itikad baik semata-mata untuk kepentingan perseroan.[4]

Direktur dalam membuat keputusan bisnis dianggap beritikad baik jika bukan merupakan pihak yang terlibat dalam subjek yang memerlukan keputusan bisnisnya tersebut, menerima informasi dengan cermat atas subjek yang memerlukan keputusan bisnisnya sampai secara rasional yakin sesuai dengan keadaannya, dan secara rasional yakin bahwa keputusan bisnisnya adalah keputusan yang terbaik bagi perseroan.[5]
____________________
References:

1. "Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi & Komisaris Perseroan Terbatas (PT)", Frans Satrio Wicaksono, S.H., Visimedia, Jakarta, 2009, Hal.: 119.
2. Ibid., Hal.: 119.
3. Ibid., Hal.: 119-120.
4. Ibid., Hal.: 120.
5. Ibid., Hal.: 120.

Senin, 05 Juni 2023

Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Saham Minoritas

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "The Police Succeeded in Uncovering The Mode of the Wowon Cs. Murder Case Which Ended up Being a Serial Killer", "Tanggung Jawab Hukum Pemegang Saham" dan "Contoh Akta Pendirian Perseroan Terbatas (PT)", pada perkuliahan kali ini akan dibahas mengenai 'Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Saham Minoritas'.

Kepentingan pemegang saham minoritas mendapatkan perhatian dalam Undang-undang Perseroan Terbatas. Pasal 62 menyebutkan bahwa setiap pemegang saham berhak meminta perseroan untuk membeli sahamnya dengan harga wajar jika tidak menyetujui tindakan direksi perseroan yang dinilainya merugikan pemegang saham atau perseroan.[1] Hal ini berarti setiap pemegang saham dapat  meminta perseroan agar membeli sahamnya (saham minoritas) dengan harga yang wajar.

Jika tindakan direksi berdasarkan arahan atau kebijakan yang diputuskan dalam RUPS yang didukung oleh pemegang saham mayoritas, Pasal 97 ayat 6 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 mencantumkan adanya hak pemegang saham atas 10% atau lebih dari total keseluruhan saham untuk menggugat atas nama perseroan dengan biaya perseroan (derivative action) kepada dan dari perseroan untuk menggugat anggota direksi.[2]

Sebagai salah satu bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh undang-undang kepada para pemegang saham, para pemegang saham perseroan tersebut, baik pemegang saham publik dari suatu perseroan yang telah mendaftarkan sahamnya di bursa efek maupun pemegang saham dari perseroan yang tidak terdaftar sahamnya di bursa efek, yang mewakili paling sedikit 1/10 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap anggota direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian kepada perseroan.[3] Perlindungan hukumnya dalam hal ini adalah berupa hak untuk menggugat secara perdata ke Pengadilan Negeri terkait.

Ketentuan yang serupa berlaku juga terhadap komisaris sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tersebut. Pihak lain yang dapat mengajukan gugatan adalah kreditor, karyawan, atau pihak-pihak lain yang dirugikan sebagai akibat kesalahan anggota direksi atau komisaris.[4] 
____________________
References:

1. "Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi & Komisaris Perseroan Terbatas (PT)", Frans Satrio Wicaksono, S.H., Visimedia, Jakarta, 2009, Hal.: 116.
2. Ibid. Hal.: 116.
3. Ibid. Hal.: 116.
4. Ibid. Hal.: 116.

Selasa, 23 Mei 2023

Tanggung Jawab Hukum Pemegang Saham

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Mengenal Sumy Hastry, Polwan Pertama yang Jadi Dokter Forensik", "Contoh Akta Gadai Saham" dan "Contoh Akta Pendirian Perseroan Terbatas (PT)", pada perkuliahan kali ini akan dibahas mengenai 'Tanggung Jawab Hukum Pemegang Saham'.

Mengapa masyarakat lebih memilih bentuk badan usaha perseroan terbatas dalam menjalankan kegiatan usahanya? Perseroan Terbatas merupakan satu-satunya bentuk badan usaha yang memungkinkan pendirinya HANYA bertanggung jawab sebesar nilai saham yang disetornya, tanpa melibatkan harta kekayaan pribadi yang lainnya.[1]

Undang-undang Nomor: 40 Tahun 2007 menegaskan prinsip tanggung jawab terbatas terseebut dengan menetapkan bahwa pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang disetor.[2]

Dalam sistem hukum common law, prinsip tanggung jawab terbatas dalam perseroan terbatas dikenal dengan adanya selubung korporasi (corporate veil), yang memiliki arti pemisahan hak dan kewajiban perseroan dari pemilik/pemegang sahamnya dan khususnya pendiri/pemegang saham perseroan secara umum tidak bertanggung jawab terhadap utang dan kewajiban perseroan.[3]

Namun, prinsip tanggung jawab terbatas dari pendiri atau pemegang saham tersebut tidaklah berlaku mutlak. Masih terdapat kemungkinan bagi pendiri atau pemegang saham perseroan untuk dibebaskan dari tanggung jawab terbatas sehingga harus bertanggung jawab sampai kekayaan pribadinya jika melakukan hal-hal sebagai berikut:[4]
  1. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
  2. Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi;
  3. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan;
  4. Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.

Yurisprudensi dari sistem hukum common law menyampaikan adanya doktrin umum bagi kemungkinan dapat dilanggarnya prinsip tanggung jawab terbatas atau dimungkinkannya penerobosan selubung korporasi (piercing corporate veil), sebagai berikut:[5]
  1. Doktrin Instrumentality, yaitu menjadikan perseroan sebagai instrumen atau alat yang mengacu pada tiga unsur, yaitu: kontrol, melalaikan kewajiban, dan menimbulkan kerugian.
  2. Doktrin alter ego, yaitu menjadikan perseroan layaknya dirinya sendiri. Contoh, kepentingan pemegang saham mengalahkan kepentingan perseroan.
  3. Doktrin identity, yaitu ajaran yang menyerahkan permasalahan adanya kesatuan atau pemisahan kekayaan antara harta kekayaan pemegang saham dan perseroan, yang akan ditentukan dalam pembuktian di Pengadilan secara per kasus.  
____________________
References:

1. "Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi & Komisaris Perseroan Terbatas (PT)", Frans Satrio Wicaksono, S.H., Visimedia, Jakarta, 2009, Hal.: 111-114. 
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid.

Sabtu, 15 April 2023

Hukum Jual-Beli Tanah Garapan

 
(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Contoh Akta Jual Beli Saham", "Hukum Jual-Beli Tanah Kavling", "How To Buy Land In Indonesia?", "How to Open a Police Report in Indonesia?" dan "Principles of Buying Land in Indonesia", pada perkuliahan Hukum Agraria kali ini akan dibahas mengenai 'Hukum Jual-Beli Tanah Garapan'.

Perkataan "garap" (bahasa Jawa) berarti "kerja". Tanah garapan berarti tanah yang dikerjakan. Di Jakarta arti tanah garapan lain sedikit. Orang menyebut "tanah garapan" kalau maksudnya tanah itu tadinya tanah kosong dan kemudian dikuasai secara fisik tanpa adanya dasar hak yang resmi, Sesungguhnya yang terjadi ialah mula-mula orang "menyerobot" tanah kosong, biasanya tanah negara. Menyerobot dalam arti si pelaku langsung saja mendirikan bangunan di atas tanah itu, tanpa ada acara apapun, tentu saja juga tidak bayar sepeser pun. Kemudian bisa terjadi si penyerobot itu kemudian "menjual tanah garapannya" itu kepada orang lain. Dalam arti yang murni ia sebenarnya menjual "hak serobot". Sebab ia tidak ada hak apa pun atas tanah itu.[1]

Di Jakarta tanah garapan banyak sekali. Di daerah Slipi, di Kelurahan Harapan Mulia (Cempaka Putih) di daerah Kota (Jalan Kerajinan, Kebahagiaan dan lain-lain). Di Kampung Tanah Tinggi (Senen) terdapat banyak tanah garapan. Sebagian tanah garapan di Jakarta adalah bekas tanah partikelir. Dulu pemilik tanah partikelir itu disebut tuan tanah. Ada yang keturunan Cina ada pula keturunan Arab. Pada tahun 1958 Pemerintah Indonesia menyatakan melalui Undang-undang Penghapusan Tanah Partikelir (UU No. 1 Tahun 1958), semua tanah partikelir hapus dan menjadi tanah negara. Tanah-tanah itu kemudian banyak "diserobot" orang. Tanah serobotan itu sampai kini juga diperjualbelikan.[2]

Tanah garapan itu juga bisa terjadi dengan cara sebagai berikut. Tanah sudah dibebaskan oleh salah satu instansi Pemerintah. Maksud semula ialah untuk membangun perumahan pegawai. Tetapi karena satu dan lain hal tidak jadi. Lalu pegawai-pegawai instansi itu "menyerobot" saja dengan mendirikan bangunan di atasnya. Ada juga instansi yang kemudian membagi-bagikan tanah itu kepada pegawainya. Tampaknya cara ini resmi, tetapi sebenarnya instansi itu tidak berhak berbuat demikian. Tanah yang seperti itu pun banyak diperjualbelikan. Notaris yang baik tidak akan bersedia membuat akte mengenai tanah garapan. Sebab sebenarnya si penggarap tidak punya hak apa pun terhadap tanah itu, kecuali "hak serobot" yang telah disebut "tanah garap". Kalau Notaris membuat akte penjualan "hak serobot", berarti notaris itu mengakui adanya "hak serobot" itu. Hal mana adalah tidak pada tempatnya.[3]

Karena itu "jual-beli", juga dalam praktek disebut "pengoperan hak" dibuktikan hanya dengan surat di bawah tangan. Pada umumnya Lurah atau Ketua RT yang jadi saksi. Mereka ini minta imbalan yang seringkali sampai 1% dari harga jual. Tentu saja tidak ada aturan surat-surat apa yang perlu dalam acara transaksi itu. Semuanya tergantung kepada para pihak. Tetapi biasanya kepada pembeli diserahkan surat Ipeda (kalau ada) dan akte pengoperan hak sebelumnya. Apakah ada kemungkinan untuk memperoleh hak atas tanah di atas (tanah) garapan? Kemungkinan itu ada, dengan memohon kepada Gubernur setempat. Tetapi kecil sekali harapan untuk dikabulkan, sebab dasar hak permohonan itu adalah "penyerobotan". Berlainan dengan "tanah kavling" yang dasar hak memohon itu ialah surat penunjukan penggunaan tanah, yang resmi dan sah.[4] 
____________________
References:

1. "Praktek Jual Beli Tanah", Effendi Perangin, S.H., (Pengacara & Konsultan Hukum), Rajawali Pers, Jakarta, Cetakan Ke-1, 1987, Hal.: 32.
2. Ibid., Hal.: 32.
3. Ibid., Hal.: 33.
4. Ibid., Hal.: 33.

Senin, 10 April 2023

Hukum Jual-Beli Tanah Kavling

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Contoh Akta Hibah Bangunan", "How To Buy Land In Indonesia?", "How to Open a Police Report in Indonesia?" dan "Principles of Buying Land in Indonesia", pada kesempatan perkuliahan kali ini akan dibahas mengenai 'Hukum Jual-Beli Tanah Kavling'.

Istilah "tanah kavling" bukan istilah hukum, tetapi muncul dalam bahasa sehari-hari. Perkataan "kavling" (bahasa Belanda) berarti "petak". Jadi "tanah kavling" berarti "tanah petak".[1]

Di DKI Jakarta, seringkali oleh Pemerintah daerah dibebaskan hak-hak atas tanah kepunyaan rakyat. Lalu tanah yang sudah dibebaskan itu, menjadi Tanah Negara. Kemudian dilakukan pengkavlingan atau pemetakan tanah itu. Luas petak-petak itu ditentukan, ada standarnya. Tanah yang telah dipetak-petak itulah yang disebut tanah kavling. Kemudian ditunjuk orang/badan tertentu untuk mempergunakannya. Tentu saja orang/badan itu harus memenuhi syarat tertentu dan membayar sejumlah uang kepada Pemerintah DKI Jakarta.[2]

Pada mulanya, timbulnya pengkavlingan dalam rangka menyediakan penampungan orang-orang yang terkena penggusuran, karena tanah yang dikuasainya terkena proyek pembangunan. Tetapi kemudian perusahaan-perusahaan perumahan dan tanah industri juga melakukan pengkavlingan tanah-tanah yang mereka kuasai, untuk selanjutnya dijual kepada yang memerlukannya.[3]

Jadi pengertian asli tanah kavling tidak lain dari tanah yang sudah dipetak. Tetapi dalam pengertian masyarakat luas, tanah kavling adalah tanah yang diperoleh dari pemerintah daerah atau perusahaan tanah/perumahan atau industri.[4]

Secara hukum apa yang disebut tanah kavling itu adalah tanah yang telah dibatasi panjang dan lebarnya oleh yang berwenang, yang dimaksudkan untuk diberikan hak pemakaiannya kepada orang/badan yang membutuhkannya, dengan persyaratan tertentu. Persyaratan tertentu itu misalnya, mengenai orang yang boleh mendapat (misalnya korban penggusuran), tentang maksud penggunaan (misalnya untuk perumahan atau bangunan industri), sehubungan dengan cara dan besarnya pembayaran dan permohonan hak atas tanah dan sebagainya. Oleh pejabat yang berwenang itu diberikan hak penggunaan dari tanah kavling itu kepada seseorang. Jadi yang diberi hak boleh menguasai dan menggunakan tanah itu (mendirikan rumah atau gedung atau bangunan pabrik di atasnya). Tetapi hak atas tanahnya masih harus dimohon oleh yang menggunakan tanah itu kepada pejabat yang berwenang.[5]

Jelas, bahwa kalau orang mengatakan ia bermaksud menjual tanah kavling, harus diselidiki: tanah kavling itu sudah bersertifikat atau belum? Artinya: sudah ada hak atas tanahnya atau belum? Acara jual-beli tanah kavling itu tergantung dari jawaban atas pertanyaan itu. Kalau sudah bersertifikat, maka jual-belinya sama saja dengan tanah bersertifikat lain yang bukan tanah kavling. Jika belum bersertifikat, artinya hak atas tanah itu belum ada, baru adaa hak menggunakan, maka jual-belinya (secara hukum harus disebut: pengoperan hak) berbeda dengan jual-beli tanah yang sudah kita bicarakan.[6]

Dalam hal terakhir ini tidak ada jual-beli hak atas tanah. Yang ada ialah pengoperan hak yang timbul dari penunjukan penggunaan tanah kavling itu, yaitu: menguasai dan mempergunakan tanah itu serta memohon hak atas tanah kepada pejabat yang berwenang. Oleh sebab itu, mengalihkan hak secara demikian itu dibuat dengan akte dibawah tangan atau akte notaris. Surat-surat yang diperlukan adalah: a). Surat pembayaran Ipeda; b). Surat penunjukan penggunaan tanah; c). Kartu Tanda Penduduk pembeli dan penjual. Saksi terdiri dari dua orang. Sebaiknya orang yang mempunyai surat penunjukan penggunaan tanah segera memohon hak atas tanahnya. Kalau hak atas tanah sudah ada, maka kedudukan hukum pemegang hak sudah kuat, lagi pula ia akan mempunyai sertifikat.[7]
____________________
References:

1. "Praktek Jual Beli Tanah", Effendi Perangin, S.H., (Pengacara & Konsultan Hukum), Rajawali Pers, Jakarta, Cetakan Ke-1, 1987, Hal.: 29.
2. Ibid., Hal.: 29.
3. Ibid., Hal.: 29.
4. Ibid., Hal.: 29-30.
5. Ibid., Hal.: 30.
6. Ibid., Hal.: 30.
7. Ibid., Hal.: 31.

Sabtu, 01 April 2023

Mengenal Istilah Jual Lepas, Jual Gadai dan Jual Tahunan dalam Hukum Tanah

 
(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Contoh Surat Kuasa Permohonan Perubahan Akta Kelahiran", "Contoh Gugatan Sengketa Tanah", "Contoh Perjanjian Jual Beli Tanah", "How To Buy Land In Indonesia?" dan "Principles of Buying Land in Indonesia", pada perkuliahan kali ini akan dibahas mengenai 'Mengenal Istilah Jual Lepas, Jual Gadai dan Jual Tahunan dalam Hukum Tanah'.

Jual lepas mengenai tanah ialah penyerahan sebidang tanah untuk selama-lamanya dengan penerimaan uang kontan (atau dibayar dahulu untuk sebagian), uang mana disebutkan--sebagai--uang pembelian. Dengan terlaksananya perjanjian jual-beli itu maka beralih lah hak milik tanah itu dari si penjual kepada si pembeli. Saat beralihnya hak milik tersebut ialah pada waktu si penjual dan si pembeli mengikrarkan perjanjian jual beli itu, dan uang pembelian telah diserahkan.[1]

Jual gadai ialah penyerahan tanah dengan pembayaran sejumlah uang secara kontan, (se)demikian rupa sehingga yang menyerahkan tanah itu masih mempunyai hak untuk mengembalikan tanah itu kepadanya dengan pembayaran kembali sejumlah uang yang tersebut. Termasuk juga seperti empang ikan dan sebagainya. Jual gadai juga dinamakan suatu perjanjian pelunasan (delgingsovereenkomst).[2]

Jual tahunan ialah penyerahan sebidang tanah kepada orang lain dengan pemberian sejumlah uang oleh orang lain itu dengan perjanjian bahwa setelah tanah itu ada beberapa waktu di tangan orang lain itu umpamanya 3 atau 4 tahun maka tanah akan dikembalikan. Jual tahunan ini dapat dipersamakan dengan persewaan dengan membayar sewa lebih dahulu (huur met vooruitbetaalde huur-schat). Jadi dianggap sebagai sewa akan tetapi uang sewanya telah dibayar lebih dahulu.[3] 

____________________
References:

1. "Jual Lepas, Jual Gadai dan Jual Tahunan" (Cetakan ke-3), Prof. S.A. Hakim, S.H., Elstar Offset ELEMAN, Bandung, 1975, Hal.: 9.
2. Ibid., Hal.: 28.
3. Ibid., Hal.: 52.

Senin, 27 Maret 2023

Sejarah Peradilan Islam di Masa Khilafah

 
(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo


Di masa Abu Bakar tidak nampak ada suatu perubahan dalam lapangan peradilan ini, karena kesibukannya memerangi sebagian kaum Muslimin yang murtad sepeninggal Rasul SAW, dan kaum pembangkang menunaikan zakat dan urusan-urusan politik dan pemerintahan lainnya, di samping belum meluasnya wilayah kekuasaan Islam pada waktu itu. Hanya diriwayatkan, bahwa pada masa Abu Bakar ini, urusan qadla' diserahkan kepada Umar bin Khattab selama dua tahun lamanya, namun selama itu tidak pernah terjadi adanya sengketa yang perlu dihadapkan ke muka Pengadilan, karena dikenalnya Umar sebagai orang yang sangat keras, dan juga karena faktor pribadi-pribadi kaum Muslimin pada masa itu yang dikenal sebagai sangat saleh dan toleran terhadap sesama Muslim, sehingga faktor inilah yang sangat membantu tidak terwujudnya selisih sengketa di antara mereka.[1]

Tetapi setelah meluasnya wilayah kekuasaan Islam di masa Umar bin Khattab serta semakin banyaknya beban-beban yang menyangkut bidang peradilan ini, ditambah dengan keharusan peningkatan perhatian dalam urusan pemerintahan di daerah-daerah, maka Khilafah Umar bin Khattab mulai memisahkan antara kekuasaan peradilan dengan kekuasaan pemerintahan, dan ia mengangkat Abu Darda' sebagai qadli kota Madinah, dan Syuraih bin Qais bin Abil Ash di Mesir.[2]

Diriwayatkanlah bahwa Umar bin Khattab pernah berkata kepada salah seorang qadli sebagaimana berikut:[3]
"Janganlah dibawa kehadapanku, kasus persengketaan yang bernilai satu atau dua dirham."

"Dan setelah urusan peradilan ini merupakan bagian dari kekuasaan umum, maka di antara wewenang penguasa adalah menentukan wewenang qadli terhadap sebagian urusan peradilan yang harus ditanganinya serta membatasi wewenang tersebut," dan karena itu, maka Khilafah Umar ketika mengangkat pejabat-pejabat qadli, beliau membatasi mereka, khusus tentang penyelesaian sengketa harta benda (urusan perdata), tetapi perkara-perkara jinayah (pidana) yang menyangkut hukum qishash, atau had-had maka tetap menjadi wewenang Khalifah dan penguasa-penguasa daereah.[4]

Sedang Khilafah Usman bin Affan adalah Khalifah yang pertama kali mendirikan gedung peradilan, yang di masa dua orang Khalifah sebelumnya, kegiatan ini dilakukan di masjid. Demikian juga di masa Khalifah-khalifah ini telah diterbitkan gaji bagi pejabat-pejabat peradilan dengan diambilkan dari Kas Baitul Mal yang mula-mula dirintis di masa Khilafah Abu Bakar.[5]

Demikian pula Khalifah Ali bin Abi Thalib mengangkat An Na-kha'i sebagai Gubernur di Ustur dan Mesir dengan pesan-pesannya, agar ia bertakwa kepada Allah, dan agar hatinya diliputi rasa kasih sayang dan kecintaan kepada rakyat, dan agar bermusyawarah dan memilih penasehat-penasehat, serta dijelaskannya tentang siasat pemerintahan, lalu ia berkata (memberi pesan) tentang khusus urusan qadla': "Kemudian pilihlah untuk jabatan qadli, di antara rakyatmu yang engkau pandang sebagai orang terhormat yang tidak disibukkan oleh urusan-urusan lain...dan anjurkanlah agar mereka bersabar dalam usaha mengungkapkan tabir yang menyelimuti rahasia perkara yang sebenarnya, lalu pilihlah orang yang tidak sombong lantaran pujian, dan tidak condong lantaran hasutan, kemudian perbanyaklah memberikan pesan-pesan kepadanya dan berilah fasilitas yang dapat meringankan bebannya...".[6]

Dan Khilafah-khilafah sering kali memperbaharui pesan-pesan mereka kepada para penguasa dan qadl-qadli dengan memberikan bimbingan-bimbingan. Di antaranya adalah surat Khalifah Umar kepada Abu Musa Al Asy'ari--qadli di Kufah--yang isinya mengandung pokok-pokok penyelesaian perkara di muka sidang, yang ternyata disambut dan diterima di kalangan Ulama' serta dihimpunlah daripadanya, pokok-pokok hukum.[7]

Para Khalifah, apabila dihadapkan suatu perkara kepada mereka, atau dimohon memberikan fatwa hukum, maka mereka mencari ketentuan hukumnya di dalam Kitabullah, kemudian apabila mereka tidak menemukannya suatu ketentuan hukum di dalam Kitabullah, maka mereka mencarinya di dalam Sunnah Nabi SAW, lalu apabila mereka tidak mendapatkannya di dalam Sunnah, maka mereka menanyakan orang-orang, apakah di antara mereka ada yang mengetahui hukum perkara seperti itu di dalam Sunnah, apabila ditemukan maka mereka berpegang dengan Sunnah tersebut setelah memperoleh penguat dengan saksi-saksi, seperti yang diperbuat Abu Bakar, Umar, atau dengan menyumpah pembawa Sunnah tersebut atau kebenarannya sebagaimana yang dilakukan Ali bin Abi Thalib. Dan kalau mereka tidak menemukan hukum masalah yang mereka hadapi itu dengan cara demikian, maka mereka berijtihad dengan ijtihad bersama (jama'i) apabila masalah itu menyangkut hukum dan berhubungan dengan masyarakat, dan dengan ijtihad perorangan (fardy) apabila masalahnya menyangkut hal-hal yang bersifat khusus, menyangkut urusan orang-seorang.[8]

Dapat diambil kesimpulan, bahwa pada periode khilafah ini, para qadli belum mempunyai sekretaris atau catatan yang menghimpun hukum-hukum produk qadla'nya, karena qadlilah yang melaksanakan sendiri segala keputusan yang dikeluarkannya, demikian juga qadli pada masa itu belum memiliki tempat khusus (gedung pengadilan), sehingga mula-mula seorang qadli hanya berada di rumah, kemudian pihak-pihak yang berperkara itu datang ke rumahnya, lalu diperiksa dan diputus di situ juga. Kemudian perkembangan selanjutnya, masjid lah yang dijadikan tempat untuk menyelesaikan segala sengketa dimana fungsi masjid yang sebenarnya tidaklah terbatas hanya untuk melakukan sembahyang saja, tetapi ia merupakan pusat bagi memecahkan segala urusan sosial, seperti peradilan, pengajaran, dan memecahkan berbagai masalah.[9] 
____________________
References:

1. "Peradilan Dalam Islam", Muhammad Salam Madkur, Dosen Syari'at Islam pada Fakultas Hukum Universitas Cairo, (alih bahasa: Drs. Imron A.M.) PT. Bina Ilmu, Cetakan Keempat (1990), Surabaya. Hal.: 41.
2. Ibid., Hal.: 41.
3. Ibid., Hal.: 42.
4. Ibid., Hal.: 42.
5. Ibid., Hal.: 42.
6. Ibid., Hal.: 42.
7. Ibid., Hal.: 42-43.
8. Ibid., Hal.: 46-47.
9. Ibid., Hal.: 47.

Contoh Surat Kuasa Khusus Gugatan Tata Usaha Negara

( iStock ) Oleh: Tim Hukumindo Dalam perkuliahan sebelumnya platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai " Contoh Surat Gugatan T...