Senin, 23 Maret 2020

Tiga Alasan Berpoligami Secara Legal

(tribunnews.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Jika mendengar kata 'poligami', memori kolektif kita akan teringat kepada beberapa icon publik yang pernah mondar-mandir di jagad informasi, diantaranya adalah pengusaha Puspo Wardoyo pemilik Rumah Makan Ayam Bakar Wongsolo, da'i kondang Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), dan yang terakhir mencuat dalam pemberitaan media adalah Anggota DPR RI (2019-2024) dari Partai NasDem, yaitu Lora Fadil yang terpilih dari Dapil Jawa Timur III meliputi Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Situbondo dan Kabupaten Bondowoso. Terlepas dari sensasi pemberitaan media massa terkait poligami, lalu seperti apa hukum positif di Indonesia mengaturnya?

Azas Monogami Dalam Undang-undang Perkawinan Indonesia

Perkawinan sebagai salah satu fase dalam kehidupan manusia tidak luput dari aturan hukum, tidak terkecuali di negara kita Indonesia. Undang-undang yang mengatur tentang Perkawinan salah satunya adalah Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 

Di dalam Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pada azasnya di Indonesia menganut monogami. Hal ini sebagaimana bunyi dari Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagai berikut:
"(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami."
Dengan demikian, satu hal menjadi jelas bahwa secara negara, Indonesia menganut azas perkawinan yang sifatnya monogami. Hal dimaksud tidak menjadi perdebatan lagi, apapun agama dan keyakinannya, sudah tertuang dalam aturan sebagaimana dikutip di atas bahwa azas perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah monogami.

Poligami Dalam Undang-undang Perkawinan Indonesia

Meskipun pada azasnya Indonesia menganut perkawinan yang monogami, akan tetapi hal dimaksud tidaklah mutlak. Atau dengan posisi pemikiran yang berlawan, dapat diartikan bahwa poligami di Indonesia diperbolehkan dan 'sah' secara hukum, hanya saja diatur secara ketat.

Aturan undang-undang yang mengatur tentang poligami di Indonesia diantaranya adalah Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, khususnya Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (1) dan (2) yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 3 
(1)...
(2). Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan." 
Bunyi Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di atas secara limitatif telah mengatur bahwa yang dapat melakukan praktik poligami di Indonesia adalah dari pihak Suami. Serta, keabsahan seorang suami yang berpoligami dilihat dari perspektif hukum yang berlaku adalah dengan syarat terbitnya izin dari Pengadilan. Lalu, apa saja tiga alasan undang-undang yang melegitimasi seseorang untuk berpoligami secara sah menurut hukum?

Tiga Alasan Undang-undang Seseorang Dapat Berpoligami Secara Legal

Aturan mengenai sahnya praktik poligami seseorang di mata hukum tidak berhenti di atas, hal dimaksud juga diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Adapun bunyinya adalah sebagaimana berikut:
"(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan" 
Artinya, izin seorang suami kepada Pengadilan mencakup tiga alasan di atas, yaitu: tidak dapatnya isteri menjalankan kewajiban sebagai seorang isteri, terdapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan terakhir adanya keadaan mandul dari seorang isteri. Selain itu, pengajuan izin poligami dimaksud sifatnya adalah wajib diajukan permohonannya ke Pengadilan terkait. Selain tiga alasan di atas, selanjutnya apa saja syarat-syaratnya agar dapat diajukan izin ke Pengadilan?

Syarat-syarat Undang-undang Dalam Pengajuan Izin Poligami Ke Pengadilan

Selain daripada itu, masih terdapat syarat-syarat seorang suami apabila hendak mengajukan izin Poligami ke Pengadilan. Syarat dimaksud diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, adapun bunyinya adalah sebagai berikut:
"(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari isteri-isteri;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf 'a' pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri-isterinya tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan." 
Jelaslah bahwa meskipun seorang suami beralasan untuk meminta izin poligami dari Pengadilan, akan tetapi syarat-syarat yang harus dipenuhi relatif ketat. Harus adanya persetujuan dari isteri yang dikawinnya terlebih dahulu tentu bukan perkara mudah, dalam praktik harus sepersetujuan tertulis dan dibenarkan di depan Hakim Pengadilan. Syarat selanjutnya berupa jaminan bahwa suami memenuhi keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anaknya sangat berdimensi ekonomistik, sehingga untuk memenuhi syarat ini, praktinya seorang suami harus memenuhi dan harus membuktikan memiliki kuantitas asset yang tidak sedikit. Syarat selanjutnya juga tidak mudah, karena pertangungjawaban berlaku adil sifatnya adalah transendental dan kadangkala sangat subjektif dan personal.

Realitas Praktik Poligami Di Indonesia

Pada tataran realitas, praktik poligami di Indonesia tidaklah sebaik aturan positif di atas kertas. Tentu banyak faktor yang menjadikan kondisi realitas dimaksud. Faktor determinan seperti budaya, aturan hukum dan ekonomi menurut hemat penulis muncul sebagai faktor dominan.

Pada tataran budaya, Indonesia adalah mayoritas negara muslim terbesar di Dunia, sehingga ajaran agama Islam melingkupi sendi-sendi berkehidupan rakyatnya. Ajaran Islam yang memperbolehkan beristeri lebih dari satu telah menjadi nilai yang dianut secara turun menurun, bahkan bisa dirunut sampai pada raja-raja Jawa Islam yang beristerikan lebih dari satu. Hal ini, dalam batas tertentu, dijadikan contoh oleh sebagian rakyat Indonesia. Selain itu, aturan hukum positif yang berlaku di Indonesia menerapkan syarat yang ketat (belum lagi jika seseorang adalah juga berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil) dalam hal seseorang ingin berpoligami secara legal, salah satu imbasnya banyak terjadi praktik kawin siri untuk 'mengakalinya' secara illegal. Faktor terakhir adalah karena ekonomi, dikarenakan besarnya biaya ekonomi yang dibutuhkan seseorang untuk berpoligami secara sah, tidak jarang yang menyetujuinya menempuh cara-cara ekonomi yang lebih terjangkau dengan melakukan poligami secara siri.

Faktor-faktor dimaksud hanyalah sebagian kecil saja yang dapat disebutkan dalam melihat tidak idealnya praktik poligami di Indonesia, tentu masih banyak faktor-faktor lain yang juga cukup menentukan untuk dapat dikaji lebih dalam lagi. 

Sebagai penutup, dapat ditarik benang merah dalam dunia hukum di Indonesia, bahwa Poligami adalah tidak dilarang, hanya saja praktik perizinannya sangatlah ketat. Sebagai seorang praktisi, penulis sangat menyarankan bagi semua kaum Hawa di Indonesia yang berminat, hanya untuk yang berminat, agar berpoligami secara legal, sah diakui oleh hukum kita, dan penulis sangat siap apabila ditunjuk menjadi kuasa hukum untuk proses perizinannya ke Pengadilan. Bagi anda yang serius dan sedang menghadapi perihal hukum dimaksud, dapat berkomunikasi dengan penulis di alamat e-mail: mahmudkusuma22@gmail.com
_____________________________

Referensi:
  • Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Rabu, 05 Februari 2020

Sistematika Hukum Perdata

(rebateumrah.blogspot.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: “Sejarah Hukum Perdata di Indonesia (Hindia-Belanda)” telah disinggung bahwa pada dasarnya KUHS yang saat ini berlaku di Indonesia (dahulu Hindia-Belanda) adalah merupakan suatu copy KUHS negeri Belanda. Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai sistematika dari KUHS dimaksud.


Hukum perdata diatur dalam (bersumber pokok pada) Kitab Undang-undang Hukum Sipil yang disingkat KUHS (Burgerlijk Wetboek, disingkat B.W.).[1]

KUHS itu terdiri dari atas 4 Buku, yaitu:[2]
  1. Buku I, yang berjudul Perihal Orang (van Personen), yang memuat Hukum Perorangan dan Hukum Kekeluargaan;
  2. Buku II, yang berjudul Perihal Benda (van Zaken), yang memuat Hukum Benda dan Hukum Waris;
  3. Buku III, yang berjudul Perihal Perikatan (van Verbintennissen), yang memuat Hukum Harta Kekayaan yang berkenaan dengan hak, hak dan kewajiban yang berlaku bagi orang-orang atau pihak-pihak tertentu;
  4. Buku IV, yang berjudul Perihal Pembuktian dan Kadaluwarsa atau Liwat waktu (van Bewijs en Verjaring), yang memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat liwat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.

Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum, Hukum Perdata (yang termuat dalam KUHS) dapat dibagi dalam 4 bagian, yaitu:[3]
  1. Hukum Perorangan (Personenrecht) yang memuat antara lain: a. Peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subjek hukum; b. Peraturan-peraturan tentang kecakapan untuk memiliki hak-hak dan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu.
  2. Hukum Keluarga (Familierecht) yang memuat antara lain: a. Perkawinan beserta hubungan dalam hukum harta kekayaan antara suami/isteri; b. Hubungan antara orang tua dan anak-anaknya (kekuasaan orang tua—ouderlijke macht); c. Perwalian (voogdij); d. Pengampuan (curatele).
  3. Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht), yang mengatur tentang hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilaikan dengan uang. Hukum Harta Kekayaan meliputi: a. Hak mutlak, yaitu hak-hak yang hanya berlaku terhadap tiap orang; b. Hak Perorangan, yaitu hak-hak yang hanya berlaku terhadap seorang atau suatu pihak tertentu saja.
  4. Hukum Waris (Erfrecht), yang mengatur tentang benda atau kekayaan seorang jika ia meninggal dunia (mengatur akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang).

_________________________________
1. “Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka, Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 214.
2.  Ibid. Hal.: 214.
3.  Ibid. Hal.: 214-215.

Senin, 03 Februari 2020

Sejarah Hukum Perdata di Indonesia (Hindia-Belanda)

(MUI Sumut)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah disinggung sebelumnya pada artikel berjudul: ‘Sejarah Hukum Perdata di Negeri Belanda & Hindia Belanda’, bahwa kodifikasi hukum perdata yang berlaku di Indonesia saat ini adalah berasal dari negeri Belanda. Melalui Staatsblad No.: 23 yang berlaku pada tanggal 1 Mei 1848 di Hindia Belanda (kemudian Indonesia) mulai berlaku Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah Kitab Undang-undang Hukum Sipil (Burgerlijk Wetboek), disingkat KUHS (B.W.).

KUHS yang terlaksana dalam tahun 1848 itu adalah hasil panitia kodifikasi yang diketuai oleh Mr. C.J. Scholten van Oudhaarlem. Maksud kodifikasi pada waktu itu adalah untuk mengadakan persesuaian antara hukum dan keadaan di Hindia Belanda dengan hukum dan keadaan di negeri Belanda.[1]

Di negeri Belanda, setelah merdeka dari Perancis, aliran kodifikasi diwujudkan pada tahun 1830 dalam KUHS (tertanggal 5 Juli 1830) dan akan mulai berlaku jam 12 malam tanggal 31 Januari 1831 (antara 31 Januari dan 1 Februari 1831). Sesudah kodifikasi itu setelah pemerintah Belanda mengangkat Mr. C.C. Hageman sebagai Presiden Mahkamah Agung di Hindia Belanda dengan tugas supaya menyesuaikan peraturan lama Hindia-Belanda dengan kodifikasi tadi. Tapi Mr. C.C. Hageman yang diangkat pada Juli 1830 sampai dengan tahun 1835 tidak juga mengerjakan tugas utamanya, kemudian Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pada waktu itu J.CH. BAUD menegur beliau, dan kemudian digantikan oleh Scholten van Oudhaarlen.[2]

Terkait dengan tugas dimaksud, kemudian dibentuk panitia dengan Scholten van Oudhaarlen sebagai ketua, dengan anggotanya adalah: 1). Mr. I. Schneither dan 2). Mr. I.F.H van NES. Adapun tugas panitia tersebut adalah untuk: 1). Merancang peraturan, agar aturan-aturan undang-undang Belanda dapat dijalankan; 2). Mengemukakan usul-usul; 3). Memperhatikan organisasi kehakiman. Panitia dimaksud berhasil membuat rancangan peraturan tentang susunan badan peradilan di Hindia-Belanda, yang walaupun sudah disahkan oleh pemerintah Belanda, mulai berlakunya ditangguhkan. Rancangan yang disahkan itu kemudian dikirimkan ke Gubernur Jenderal (Merkus) untuk kemudian meminta nasihat dari J. Van de Vinne selaku directeur’s Lands Middelen en Domein. Panitia menyelesaikan pula beberapa usul, antara lain tentang KUHS dan RO. Walaupun reaksinya sengit, namun Scholten van Oudhaarlen sebagai Jurist masih dapat mempertahankan pendirian-pendiriannya, sehingga usulnya diterima menjadi undang-undang (KUHS dan RO/Reglement op de R.O.).[3]

Sebagaimana telah diketahui, bahwa peraturan di Hindia-Belanda konkordan dengan peraturan di negeri Belanda. Disimpulkan bahwa azas konkordansi itu adalah sempit (enge concordantie), jadi, peraturan-peraturan negeri Belanda selalu diikuti oleh Hindia-Belanda. Hanya bila sangat perlu saja boleh menyimpang; konkordansi itu demikian eratnya, sehingga, walaupun peraturan Belanda nyata-nyata salah, namun peraturan Hindia-Belanda tidaklah boleh menyimpang. Demikianlah KUHS Hindia-Belanda kemudian Indonesia setelah merdeka, sekarang ini (yang mulai berlaku sejak 1 Mei 1848) dapat dikatakan suatu copy KUHS negeri Belanda.[4]
_________________________________
1.  “Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka, Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 210.
2.  Ibid. Hal.: 210-211.
3.  Ibid. Hal.: 212-213.
4.  Ibid. Hal.: 213-214.

Jumat, 31 Januari 2020

Sejarah Hukum Perdata di Negeri Belanda & Hindia Belanda


(Gallica-BnF)

Oleh:
Tim Hukumindo

Kuliah azas-azas hukum pidana telah ditutup dengan artikel berjudul: ‘Tentang Tidak Mampu Bertanggungjawab Sebagaimana Diatur Dalam Pasal 44 KUHP’. Selanjutnya, kuliah dalam www.hukumindo.com akan berlanjut pada azas-azas hukum perdata. Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai sejarah hukum perdata di Indonesia.

Sejarah hukum perdata di Indonesia pada intinya dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, adalah kodifikasi hukum perdata Belanda, tahun 1830. Kedua adalah kodifikasi hukum perdata di Indonesia, tahun 1848.[1] Dengan kata lain, kodifikasi hukum perdata yang berlaku di Indonesia saat ini adalah berasal dari negeri Belanda. Pada artikel ini akan dibahas terlebih dahulu mengenai bagian pertama.

Sumber pokok Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah Kitab Undang-undang Hukum Sipil (Burgerlijk Wetboek), disingkat KUHS (B.W.). KUHS sebagian besar adalah hukum perdata Perancis, yaitu Code Napoleon tahun 1811-1838 akibat pendudukan Perancis di Belanda, berlaku di Negeri Belanda sebagai Kitab Undang-undang Hukum Sipil yang resmi. Sebagian dari Code Napoleon ini adalah Code Civil, yang dalam penyusunannya mengambil karangan-karangan pengarang bangsa Perancis tentang hukum Romawi (Corpus Juris Civilis), yang pada jaman dahulu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Juga unsur-unsur hukum kanoniek (hukum agama Katholik) dan hukum kebiasaan setempat mempengaruhinya.[2]

Peraturan-peraturan yang belum ada pada jaman Romawi, tidak dimasukkan dalam Code Civil, tetapi dalam kitab tersendiri ialah Code de Commerce. Setelah pendudukan Perancis berakhir, oleh pemerintah Belanda dibentuk suatu panitia yang diketuai oleh Mr. J.M. Kemper dan bertugas membuat rencana kodifikasi hukum perdata Belanda dengan menggunakan sebagai sumber sebagian besar “Code Napoleon” dan sebagian kecil hukum Belanda Kuno.[3]

Meskipun penyusunan tersebut sudah selesai sebelumnya (5 Juli 1830), tetapi Hukum Perdata Belanda baru diresmikan pada 1 Oktober 1838. Pada tahun itu dikeluarkan: 1. Burgerlijk Wetboek (KUH Sipil); 2. Wetboek van Koophandel (KUH Dagang).[4]

Berdasarkan azas konkordansi, kodifikasi hukum perdata Belanda menjadi contoh bagi kodifikasi hukum perdata Eropah di Hindi Belanda (kemudian Indonesia). Kodifikasi ini diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No.: 23 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848 di Hindia Belanda (kemudian Indonesia).[5]
_________________________________
1.  “Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka, Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 209 & 210.
2.  Ibid. Hal.: 209.
3.  Ibid. Hal.: 209.
4.  Ibid. Hal.: 209.
5.  Ibid. Hal.: 209-210.

Rabu, 29 Januari 2020

Perjanjian Jual-Beli Dengan Hak Untuk Membeli Kembali

(grooveground.com)

Oleh:
Tim Hukumindo 

Yang bertanda-tangan di bawah ini:                                                    

Nama: ........................., Jenis Kelamin: ................, NIK: ................Tempat/Tgl. Lahir:.............................., Pekerjaan: ...................., Alamat:..............................

Selanjutnya disebut sebagai “Pihak Pertama-Penjual”.

Nama: ........................., Jenis Kelamin: ................, NIK: ................Tempat/Tgl. Lahir:.............................., Pekerjaan: ...................., Alamat:..............................

Selanjutnya disebut sebagai “Pihak Kedua-Kembali”.

Pihak Pertama” menerangkan dengan ini telah menjual kepada “Pihak Kedua” yang menerangkan telah membeli dari “Pihak Pertama”:

“Sebuah persil hak eigendom nomor perponding no: ............................... terletak di ............................., Kelurahan .......................... yang dimaksudkan dalam surat eugendom tertanggal ......................... tahun ......................, dibuat dihadapan yang berajib di ........................ tertulis atas nama Pihak Pertama, dengan semua yang didirikan dan ditanam di atas persil tersebut yang karena sifatnya, maksudnya dan menurut ketetapan Undang-undang termasuk sebagai barang tidak bergerak.”

Penjualan dan pembelian ini telah terjadi dan diterima untuk harga Rp. ...............(.......................Rupiah) jumlah uang mana telah diterima oleh Pihak Pertama dari Pembeli, pada waktu surat yang syah dan selanjutnya dengan memakai syarat-syarat dan perjanjian-perjanjian sebagai berikut:

Pasal 1

Mulai hari ini persil tersebut menjadi kepunyaan pembeli dan mulai waktu ini pula pembeli berhak menempati dan menjalankan serta menggunakan hak-haknya tersebut di atas yang telah dibelinya.

Pasal 2

Persil tersebut mulai hari ini pindah kepada pembeli menurut keadaannya sebagaimana pembeli sudah mendapat pada waktu ini dan mulai hari ini pula segala bahaya maupun kerugian sudah menjadi tanggungannya pembeli.

Pasal 3

Ongkos-ongkos pembalikan nama, denda-denda atas bea balik nama dan ongkos dari sebab beban-beban untuk membalik nama persil tersebut di atas namanya pembeli, adalah atas tanggungan dan pembayarannya pembeli.

Beban pajak dari persil tersebut hingga akhir bulan ini adalah atas tanggungannya penjual, dan sesudahnya itu menjadi tanggungan dan pembayarannya pembeli.

Pasal 4

Penjual menjamin pembeli bahwa persil yang dijual itu tidak dibebani dengan hipotik atau diberati dengan beban-beban lainnya dan karenanya pembeli dijamin oleh penjual terhadap segala sangkut-paut berkenaan dengan hal-hal tersebut.

Pasal 5

Penjual atau mereka yang mendapat hak dari padanya berhak untuk membeli kembali dan pembeli diwajibkan harus menjual kepada penjual apa yang telah dijual dan dibeli dengan surat perjanjian dalam waktu .......................... bulan terhitung dari hari ini sehingga harus dilunasi selambat-lambatnya pada tanggal ......................... tahun ................................ Dengan membayar kembali uang penjualannya sebesar Rp. ................................. (.............................Rupiah) oleh penjual kepada pembeli, maka penjual dianggap telah membeli kembali apa yang telah dijual dengan perjanjian ini.

Pasal 6

Jika penjual atau mereka yang mendapat hak dari padanya tidak menggunakan hak-haknya dalam waktu tersebut dalam Pasal 5 dari perjanjian ini, maka pembeli menjadi pemilik mutlak dari barang yang dibelinya dengan surat perjanjian ini.

Pasal 7

Pembeli diwajibkan dan ia menerangkan menerima kewajiban ini untuk memelihara apa yang dijual sebaik-baiknya supaya ia menyerahkan kembali bangunan-bangunan yang berada di atas persil itu dalam keadaan baik kepada penjual jika yang terakhir hendak menggunakan haknya tersebut di atas, sedang ongkos-ongkos pemeliharaan bangunan-bangunan itu menjadi tanggungan dan pembayaran penjual.

Pasal 8

Kedua belah pihak telah mengetahui, bahwa untuk jual beli ini harus diperoleh ijin terlebih dahulu dari yang berwajib dan jika ternyata ijin tersebut tidak didapati, maka penjualan dan pembelian ini menjadi batal. Dalam hal demikian pembeli dikuasakan mutlak oleh penjual untuk menjual apa yang dijual kepada siapa saja yang mendapat ijin untuk membelinya, untuk harga dan menurut syarat-syarat dan perjanjian-perjanjian yang disetujui oleh pihak kedua, menandatangani akte jual-belinya, membantu menyerahkan apa yang dijual itu, menerima uang penjualannya dan memberi tanda penerimaannya serta memperuntukan uang penjualan tersebut yang dianggap sebagai mengganti uang pembeliannya. Ia tidak berhak untuk menagihnya kembali dari penjual, baik untuk sebagian maupun untuk seluruhnya.

Apabila uang pendapatan itu kurang dari uang pembeliannya tersebut, maka sisanya dihapuskan dan bilamana ada kelebihan, maka uang kelebihan itu diperuntukan pihak kedua dan dianggap sebagai pembayaran kerugian karena pembatalan jual-beli ini.

Hak untuk menjual kepada orang lain yang diberikan oleh penjual kepada pembeli menurut pasal ini tidak boleh dipergunakan, jikalau waktu tersebut dalam pasal 5 dari perjanjian ini belum lewat.

Pasal 9

Kedua belah pihak dengan ini memberi kuasa kepada ....................................................................untuk bersama-sama atau masing-masing mewakili kedua belah pihak dalam memohon ijin dari yang berwajib mengenai penjualan dan pembelian ini dan dalam hal pembalikan nama persil tersebut di atas namanya pembeli, menerima semua transport, menghadap dimana perlu, membuat serta menandatangani semua surat yang perlu dan selanjutnya mengerjakan segala sesuatu yang diharuskan atau diperlukan, semua itu dengan hak untuk memindahkan kekuasaan ini kepada orang lain (substitutie).

Kekuasaan ini merupakan bagian yang terpenting dan tidak dapat terpisah dari surat ini, dengan tidak ada kekuasaan mana surat ini tidak dibuat dan karenanya tidak akan batal atau dapat dibatalkan karena apapun juga.

Pasal 10

Kedua belah pihak memilih tentang perjanjian ini dan segala akibatnya, tempat kediaman yang sah dan tidak berubah di Kantor Panitera Pengadilan Negeri di ........................................

________________________________________
Pustaka: Prof. Mr. Dr. S. Gautama, "Contoh-contoh Kontrak, Rekes & Surat Resmi Sehari-hari Jilid 1", Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, Hal.: 255-257.

Catatan: untuk terminologi eigendom, saat ini dapat disesuaikan sebagai Sertifikat Hak Milik (SHM), sedangkan untuk hipotek saat ini dapat disesuaikan sebagai Hak Tanggungan (HT). Dokumen dalam format word, silahkan diunduh pada link berikut ini.  

Three Ways to Conduct FDI in Indonesia

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Knowing Joint Venture Companies in FDI ...