Senin, 27 Januari 2020

Tentang Tidak Mampu Bertanggungjawab Sebagaimana Diatur Dalam Pasal 44 KUHP

(tirto.ID)


Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Tentang Melaksanakan Perintah Jabatan (Ambtelijk Bevel)’, telah dilakukan pembahasan, masih pada bab yang sama tentang Azas-azas Dan Dasar Alasan Penghapusan Pidana, dan selanjutnya untuk kesempatan yang satu ini akan dikaji tentang tidak mampu bertanggungjawab Sebagaimana Diatur Dalam Pasal 44 KUHP.

Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi sebagaimana berikut: "(1) Seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana jika cacat kejiwaan atau terganggung karena penyakit." (2) “Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, maka dapatlah hakim memerintahkan memasukkan dia ke rumah sakit jiwa selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa."

Dasar penghapusan pidana karena tidak mampu bertanggungjawab dalam hal-hal tertentu karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau gangguan penyakit, telah diatur dalam Pasal 44 KUHP. Tidak mampu bertanggung jawab menurut Pasal 44 ini, telah banyak disinggung di dalam bab yang menguraikan tentang kesalahan. Alasan penghapus pidana karena jiwa yang cacat tubuhnya atau gangguan penyakit, mempunyai sifat perseorangan di mana perbuatannya itu sendiri tetap dipandang bersifat melawan hukum, akan tetapi berhubung keadaan si pembuat di situ kesalahannya tidak ada padanya, dan karena itu pula kepadanya tidak dipidana. Menurut ilmu pengetahuan, dasar penghapusan pidananya termasuk "schulduitsluitingsgrond".[1]

Pasal 44 KUHP ini, mempunyai syarat bahwa harus ada hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan cacat pertumbuhan/penyakit jiwa yang diderita oleh pembuat. Sampai dengan saat sekarang hubungan kausal penyakit jiwa ini, menimbulkan banyak persoalan karena ada berbagai penyakit jiwa dan sifat-sifatnya yang terdapat di dalam ilmu psikiatri. Bahkan ketentuan pidana tidak mau mengambil resiko terhadap golongan penyakit jiwa yang telah ternyata dengan positif, kepada hakim masih tetap diberi wewenang untuk tidak menghapuskan pidana begitu saja, melainkan dapat mengambil tindakan berupa penetapan untuk dimasukkan ke rumah sakit jiwa, sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (2).[2]


Perbuatan pidana yang dilakukan karena cacat/penyakit jiwa yang berarti tidak mampu bertanggung jawab sehingga dihapuskan kesalahan. Di dalam doktrin juga telah jelas bahwa perbuatan pidana yang dilakukan karena umur yang masih muda/anak-anak, di situ ada ketidakmampuan bertanggung jawab, yang dengan sendirinya tidak dapat dipersalahkan, akan tetapi digolongkan dan diatur dalam aturan yang lain.[3] Dengan berakhirnya pembahasan tentang tidak mampu bertanggungjawab sebagaimana diatur dalam Pasal 44 KUHP ini, maka pembahasan tentang azas-azas hukum pidana telah usai. Selanjutnya akan dibahas perkuliahan mengenai azas-azas hukum perdata.
_________________________________
1.“Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 202-203.
2.  Ibid. Hal.: 203.
3.  Ibid. Hal.: 203.


Jumat, 24 Januari 2020

Perihal Melaksanakan Perintah Jabatan (Ambtelijk Bevel)

(kanalaceh.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Tentang Melaksanakan Ketentuan Undang-undang (Wettelijkvoorchrift)’, telah dilakukan pembahasan, masih pada bab yang sama tentang Azas-azas Dan Dasar Alasan Penghapusan Pidana, dan selanjutnya untuk kesempatan yang satu ini akan dikaji mengenai melaksanakan perintah jabatan (Ambtelijk Bevel).

Hukum positif terkait dengan melaksanakan perintah jabatan (Ambtelijk Bevel) terdapat dalam Pasal 51 ayat 1 dan 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi sebagaimana berikut: “Pasal 51 ayat 1 KUHP: tidaklah dapat dihukum barangsiapa melakukan suatu perbuatan untuk melaksanakan suatu perintah jabatan yang telah diberikan oleh suatu kekuasaan yang berwenang memberikan perintah tersebut”. Dalam bahasa Belanda, rumusan ayat ini adalah ‘Niet strafbaar is hij die een feit begaat ter uitvoering van een ambtelijk bevel, gegeven door het daartoe bevoegde gezag’. Dan Pasal 51 ayat 2 KUHP: perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana kecuali jika yang diperintah, dengan iktikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya”.

Melaksanakan perintah jabatan dibedakan dalam dua hal, yaitu perintah jabatan yang (ber)wenang (Pasal 51 ayat 1 KUHP) dan perintah jabatan tanpa (we)wenang (Pasal 51 ayat 2 KUHP). Hubungan antara perintah jabatan dan dengan pihak yang diperintah harus mempunyai hubungan hukum yang bersifat berlaku umum, baik menurut isinya peraturan itu sendiri maupun karena sesuatu pernyataan penguasa yang berwenang.[1]

Adapula syarat bahwa mengenai cara dan alat yang dipakai untuk melaksanakan perintah jabatan harus sesuai, dalam arti tidak boleh terjadi seorang penjual rokok mendapat perintah dari jaksa untuk melaksanakan perintah jabatan menahan tersangka.[2]

Perintah yang dikeluarkan oleh jabatan yang tidak berwenang (Pasal 51 ayat 2) tidak dipidana, asalkan oleh pembuat yang melaksanakan perintah jabatan itu dipenuhi syarat: (1). Secara subjektif yang diperintah itu mempunyai itikad baik, yaitu dalam batin yang diperintah sama sekali tidak tahu bahwa perintah itu tidak sah, jadi ada salah kira dari pihak yang diperintah; dan (2). Secara objektif adalah masuk karena perintah jabatan yang tidak sah itu masih dalam lingkungan pekerjaannya.[3]

Dari sebab itu perintah jabatan pada Pasal 51 ayat 1 di situ perbuatannya dibenarkan, tidak bersifat melawan hukum sebagai rechtvaardigingsgrond, maka perintah jabatan tidak berwenang Pasal 51 ayat 2, di situ perbuatannya tetap bersifat melawan hukum, sehingga tidak dipidananya adalah karena dihapuskannya kesalahannya, atau dimaafkan.[4]

Memang oleh pembentuk undang-undang telah memberikan ketentuan bahwa perintah jabatan tanpa wewenang itu menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika dipenuhi syarat subjektif adanya itikad baik dan syarat objektif masuk dalam lingkungan pekerjaan orang yang diperintah, maka syarat-syarat yang demikian itu dapat menghapuskan kesalahan.[5]
_________________________________
1.“Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 201.
2.  Ibid. Hal.: 201.
3.  Ibid. Hal.: 201.
4.  Ibid. Hal.: 201-202.
5.  Ibid. Hal.: 202.

Rabu, 22 Januari 2020

Tentang Melaksanakan Ketentuan Undang-undang (Wettelijkvoorchrift)

(valery-petelin-police-in-action)

Oleh:
Tim Hukumindo

Masih dalam kuliah hukum pidana, khususnya bab tentang Azas-azas Dan Dasar Alasan Penghapusan Pidana. Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Perihal Pembelaan Terpaksa (Noodweer)’, telah dilakukan pembahasan, dan pada kesempatan ini akan dikaji mengenai melaksanakan ketentuan undang-undang (wettelijkvoorchrift).

Pasal 50 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi sebagaimana berikut: “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”.

Bertindak untuk melaksanakan ketentuan undang-undang menurut Pasal 50 KUHP tidak dipidana. Dasar alasan penghapusan pidana dari Pasal 50 KUHP adalah paling mudah jalan pemikirannya, oleh karena sudah selayaknya barangsiapa yang oleh undang-undang yang satu diperintah/diberi kekuasaan untuk menjalankannya, di situ tidak akan dipidana oleh undang-undang yang lain, sebab jika tidak demikian tidak akan ada orang yang berani menjalankan undang-undang yang sering memuat larangan/perintah yang berat.[1]

Perbuatannya tidak bersifat melawan hukum, sehingga perbuatan itu dibenarkan karena rechtvaardigingsgrond. Namun tidak berarti meskipun melaksanakan undang-undang itu tanpa batas-batas yang patut, seperti halnya polisi menembak tahanan yang lari tanpa alasan isyarat lebih dahulu. Beberapa yurisprudensi menunjukan bahwa tiap-tiap kasus ditinjau sendiri-sendiri.[2]

Suatu perkataan “menjalankan/melaksanakan” peraturan undang-undang, masih terdapat perbedaan pendapat antara di satu pihak terbatas menjalankan kewajiban, dan di lain pihak mencakup perbuatan menjalankan kewajiban serta menjalankan kekuasaan. Dalam yurisprudensi pernah memutus dengan menganut pandangan yang pertama maupun yang kedua dengan mencakup verplichting dan bevoegheid.[3]

Mengenai arti perkataan “ketentuan/peraturan undang-undang” dalam perkembangan yang terdapat di dalam yurisprudensi sampai dengan tahun 1914, telah diterima sebagai pengertian ketentuan/peraturan undang-undang dalam arti formal maupun yang materiil, tidak hanya peraturan yang dibentuk oleh pembuat undang-undang saja, melainkan setiap kekuasaan yang berwenang untuk membuat peraturan yang berlaku mengikat.[4]
_________________________________
1.“Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 200.
2.  Ibid. Hal.: 200.
3.  Ibid. Hal.: 201.
4.  Ibid. Hal.: 201.

Senin, 20 Januari 2020

Perihal Pembelaan Terpaksa (Noodweer)

(shutterstock)

Oleh:
Tim Hukumindo


Kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Tentang Daya Paksa (Overmacht)’, telah kita bahas, dan pada kesempatan ini akan dikaji tentang Pembelaan Terpaksa (Noodweer).

Pasal 49 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi sebagaimana berikut: “Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum”.

Pasal 49 KUHP mengatur tentang pembelaan terpaksa dengan harus dipenuhi syarat-syarat tertentu untuk perbuatan itu tidak dapat dipidana. Pada hakikatnya pembelaan terpaksa adalah orang yang melakukan perbuatan dengan menghakimi sendiri (eigen-richting), akan tetapi dalam batas tertentu diperkenankan karena semata-mata untuk membela diri terhadap serangan yang dilakukan oleh orang lain, yang dengan keadaan demikian itu tidak dapat diharapkan ada alat negara yang sempat memberikan pertolongan guna mencegah kejahatan dan oleh sebab itu diperkenankan berbuat membela diri.[1]

Syarat untuk terjadinya pembelaan terpaksa harus dipenuhi sifat-sifat berupa: (1). Harus ada serangan, yaitu: a). Yang timbul secara mendadak; b). Yang mengancam secara langsung; c). Yang bersifat melawan hukum. (2). Adanya pembelaan, yaitu: a). Sifatnya harus terpaksa; b). Dorongan yang dilakukan harus seimbang; c). Kepentingan yang dibela hanya tubuh manusia, kesusilaan dan benda.[2]

Suatu sifat khusus di Indonesia dengan pertimbangan wilayahnya yang luas dan petugasnya tidak mencukupi, maka dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP ditentukan, bahwa serangan harus timbul mendadak atau ancaman seranganan secara langsung berarti bahwa tidak perlu serangan sudah dimulai.[3]

Ditentukan pula untuk pembelaan terpaksa harus berhadapan dengan serangan yang melawan hukum, dengan sendirinya serangan itu harus dilakukan oleh orang. Serangan yang datangnya dari binatang buas menjadi tidak termasuk, sedangkan serangan dari orang gila dapat dipandang sebagai noodweer.[4]
_________________________________
1.“Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 197.
2.  Ibid. Hal.: 198.
3.  Ibid. Hal.: 198.
4.  Ibid. Hal.: 198.

Jumat, 17 Januari 2020

Tentang Daya Paksa (Overmacht)

(123RF.com)

Oleh:
Tim Hukumindo


Kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Azas-azas Dan Dasar Alasan Penghapusan Pidana’, telah kita lalui, dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai daya paksa (overmacht).

Daya paksa yang disebut dalam Pasal 48 KUHP (“Orang yang melakukan tindak pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dapat dipidana”) memberikan dasar tentang tidak dipidananya suatu perbuatan karena didorong oleh keadaan memaksa. MvT memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan daya paksa adalah suatu kekuatan, suatu paksaan, suatu tekanan yang tidak dapat dielakkan.[1]

Jonkers membagi overmacht ke dalam tiga bagian:[2]
  1.  Overmacht yang absolut yaitu orang yang mengalami sesuatu yang tidak dapat dilawan karena pengaruh yang dialami baik yang bersifat kejasmanian maupun kejiwaan. Contoh: seseorang yang dipegang oleh orang yang lebih kuat lalu melemparkan sehingga timbul kerusakan pada barang-barang, atau seseorang yang terkena hypnose sehingga tidak sadar melakukan pertunjukan cabul di depan umum;
  2. Overmacht yang relatif yaitu orang yang mengalami pengaruh yang tidak mutlak akan tetapi paksaannya tidak dapat dilawan. Contoh: seorang pemimpin bank yang di bawah ancaman pistol menyerahkan sejumlah uang kepada perampok;
  3. Noodtoestand yaitu keadaan darurat karena seseorang terpaksa melakukan didorong oleh keadaan dari luar untuk memilih di antara dua peristiwa yang sama jeleknya.

Bagi Prof. Moeljatno, S.H dalam Bambang Poernomo, semua daya paksa ini mempunyai keadaan dimana fungsi batinnya tak dapat bekerja secara normal karena tekanan dari luar, kepada orang itu dapat dimaafkan kesalahannya.[3]
_________________________________
1. “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 194.
2.  Ibid. Hal.: 195.
3.  Ibid. Hal.: 197.

Three Ways to Conduct FDI in Indonesia

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Knowing Joint Venture Companies in FDI ...