Jumat, 24 Januari 2020

Perihal Melaksanakan Perintah Jabatan (Ambtelijk Bevel)

(kanalaceh.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Tentang Melaksanakan Ketentuan Undang-undang (Wettelijkvoorchrift)’, telah dilakukan pembahasan, masih pada bab yang sama tentang Azas-azas Dan Dasar Alasan Penghapusan Pidana, dan selanjutnya untuk kesempatan yang satu ini akan dikaji mengenai melaksanakan perintah jabatan (Ambtelijk Bevel).

Hukum positif terkait dengan melaksanakan perintah jabatan (Ambtelijk Bevel) terdapat dalam Pasal 51 ayat 1 dan 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi sebagaimana berikut: “Pasal 51 ayat 1 KUHP: tidaklah dapat dihukum barangsiapa melakukan suatu perbuatan untuk melaksanakan suatu perintah jabatan yang telah diberikan oleh suatu kekuasaan yang berwenang memberikan perintah tersebut”. Dalam bahasa Belanda, rumusan ayat ini adalah ‘Niet strafbaar is hij die een feit begaat ter uitvoering van een ambtelijk bevel, gegeven door het daartoe bevoegde gezag’. Dan Pasal 51 ayat 2 KUHP: perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana kecuali jika yang diperintah, dengan iktikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya”.

Melaksanakan perintah jabatan dibedakan dalam dua hal, yaitu perintah jabatan yang (ber)wenang (Pasal 51 ayat 1 KUHP) dan perintah jabatan tanpa (we)wenang (Pasal 51 ayat 2 KUHP). Hubungan antara perintah jabatan dan dengan pihak yang diperintah harus mempunyai hubungan hukum yang bersifat berlaku umum, baik menurut isinya peraturan itu sendiri maupun karena sesuatu pernyataan penguasa yang berwenang.[1]

Adapula syarat bahwa mengenai cara dan alat yang dipakai untuk melaksanakan perintah jabatan harus sesuai, dalam arti tidak boleh terjadi seorang penjual rokok mendapat perintah dari jaksa untuk melaksanakan perintah jabatan menahan tersangka.[2]

Perintah yang dikeluarkan oleh jabatan yang tidak berwenang (Pasal 51 ayat 2) tidak dipidana, asalkan oleh pembuat yang melaksanakan perintah jabatan itu dipenuhi syarat: (1). Secara subjektif yang diperintah itu mempunyai itikad baik, yaitu dalam batin yang diperintah sama sekali tidak tahu bahwa perintah itu tidak sah, jadi ada salah kira dari pihak yang diperintah; dan (2). Secara objektif adalah masuk karena perintah jabatan yang tidak sah itu masih dalam lingkungan pekerjaannya.[3]

Dari sebab itu perintah jabatan pada Pasal 51 ayat 1 di situ perbuatannya dibenarkan, tidak bersifat melawan hukum sebagai rechtvaardigingsgrond, maka perintah jabatan tidak berwenang Pasal 51 ayat 2, di situ perbuatannya tetap bersifat melawan hukum, sehingga tidak dipidananya adalah karena dihapuskannya kesalahannya, atau dimaafkan.[4]

Memang oleh pembentuk undang-undang telah memberikan ketentuan bahwa perintah jabatan tanpa wewenang itu menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika dipenuhi syarat subjektif adanya itikad baik dan syarat objektif masuk dalam lingkungan pekerjaan orang yang diperintah, maka syarat-syarat yang demikian itu dapat menghapuskan kesalahan.[5]
_________________________________
1.“Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 201.
2.  Ibid. Hal.: 201.
3.  Ibid. Hal.: 201.
4.  Ibid. Hal.: 201-202.
5.  Ibid. Hal.: 202.

Rabu, 22 Januari 2020

Tentang Melaksanakan Ketentuan Undang-undang (Wettelijkvoorchrift)

(valery-petelin-police-in-action)

Oleh:
Tim Hukumindo

Masih dalam kuliah hukum pidana, khususnya bab tentang Azas-azas Dan Dasar Alasan Penghapusan Pidana. Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Perihal Pembelaan Terpaksa (Noodweer)’, telah dilakukan pembahasan, dan pada kesempatan ini akan dikaji mengenai melaksanakan ketentuan undang-undang (wettelijkvoorchrift).

Pasal 50 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi sebagaimana berikut: “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”.

Bertindak untuk melaksanakan ketentuan undang-undang menurut Pasal 50 KUHP tidak dipidana. Dasar alasan penghapusan pidana dari Pasal 50 KUHP adalah paling mudah jalan pemikirannya, oleh karena sudah selayaknya barangsiapa yang oleh undang-undang yang satu diperintah/diberi kekuasaan untuk menjalankannya, di situ tidak akan dipidana oleh undang-undang yang lain, sebab jika tidak demikian tidak akan ada orang yang berani menjalankan undang-undang yang sering memuat larangan/perintah yang berat.[1]

Perbuatannya tidak bersifat melawan hukum, sehingga perbuatan itu dibenarkan karena rechtvaardigingsgrond. Namun tidak berarti meskipun melaksanakan undang-undang itu tanpa batas-batas yang patut, seperti halnya polisi menembak tahanan yang lari tanpa alasan isyarat lebih dahulu. Beberapa yurisprudensi menunjukan bahwa tiap-tiap kasus ditinjau sendiri-sendiri.[2]

Suatu perkataan “menjalankan/melaksanakan” peraturan undang-undang, masih terdapat perbedaan pendapat antara di satu pihak terbatas menjalankan kewajiban, dan di lain pihak mencakup perbuatan menjalankan kewajiban serta menjalankan kekuasaan. Dalam yurisprudensi pernah memutus dengan menganut pandangan yang pertama maupun yang kedua dengan mencakup verplichting dan bevoegheid.[3]

Mengenai arti perkataan “ketentuan/peraturan undang-undang” dalam perkembangan yang terdapat di dalam yurisprudensi sampai dengan tahun 1914, telah diterima sebagai pengertian ketentuan/peraturan undang-undang dalam arti formal maupun yang materiil, tidak hanya peraturan yang dibentuk oleh pembuat undang-undang saja, melainkan setiap kekuasaan yang berwenang untuk membuat peraturan yang berlaku mengikat.[4]
_________________________________
1.“Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 200.
2.  Ibid. Hal.: 200.
3.  Ibid. Hal.: 201.
4.  Ibid. Hal.: 201.

Senin, 20 Januari 2020

Perihal Pembelaan Terpaksa (Noodweer)

(shutterstock)

Oleh:
Tim Hukumindo


Kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Tentang Daya Paksa (Overmacht)’, telah kita bahas, dan pada kesempatan ini akan dikaji tentang Pembelaan Terpaksa (Noodweer).

Pasal 49 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi sebagaimana berikut: “Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum”.

Pasal 49 KUHP mengatur tentang pembelaan terpaksa dengan harus dipenuhi syarat-syarat tertentu untuk perbuatan itu tidak dapat dipidana. Pada hakikatnya pembelaan terpaksa adalah orang yang melakukan perbuatan dengan menghakimi sendiri (eigen-richting), akan tetapi dalam batas tertentu diperkenankan karena semata-mata untuk membela diri terhadap serangan yang dilakukan oleh orang lain, yang dengan keadaan demikian itu tidak dapat diharapkan ada alat negara yang sempat memberikan pertolongan guna mencegah kejahatan dan oleh sebab itu diperkenankan berbuat membela diri.[1]

Syarat untuk terjadinya pembelaan terpaksa harus dipenuhi sifat-sifat berupa: (1). Harus ada serangan, yaitu: a). Yang timbul secara mendadak; b). Yang mengancam secara langsung; c). Yang bersifat melawan hukum. (2). Adanya pembelaan, yaitu: a). Sifatnya harus terpaksa; b). Dorongan yang dilakukan harus seimbang; c). Kepentingan yang dibela hanya tubuh manusia, kesusilaan dan benda.[2]

Suatu sifat khusus di Indonesia dengan pertimbangan wilayahnya yang luas dan petugasnya tidak mencukupi, maka dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP ditentukan, bahwa serangan harus timbul mendadak atau ancaman seranganan secara langsung berarti bahwa tidak perlu serangan sudah dimulai.[3]

Ditentukan pula untuk pembelaan terpaksa harus berhadapan dengan serangan yang melawan hukum, dengan sendirinya serangan itu harus dilakukan oleh orang. Serangan yang datangnya dari binatang buas menjadi tidak termasuk, sedangkan serangan dari orang gila dapat dipandang sebagai noodweer.[4]
_________________________________
1.“Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 197.
2.  Ibid. Hal.: 198.
3.  Ibid. Hal.: 198.
4.  Ibid. Hal.: 198.

Jumat, 17 Januari 2020

Tentang Daya Paksa (Overmacht)

(123RF.com)

Oleh:
Tim Hukumindo


Kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Azas-azas Dan Dasar Alasan Penghapusan Pidana’, telah kita lalui, dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai daya paksa (overmacht).

Daya paksa yang disebut dalam Pasal 48 KUHP (“Orang yang melakukan tindak pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dapat dipidana”) memberikan dasar tentang tidak dipidananya suatu perbuatan karena didorong oleh keadaan memaksa. MvT memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan daya paksa adalah suatu kekuatan, suatu paksaan, suatu tekanan yang tidak dapat dielakkan.[1]

Jonkers membagi overmacht ke dalam tiga bagian:[2]
  1.  Overmacht yang absolut yaitu orang yang mengalami sesuatu yang tidak dapat dilawan karena pengaruh yang dialami baik yang bersifat kejasmanian maupun kejiwaan. Contoh: seseorang yang dipegang oleh orang yang lebih kuat lalu melemparkan sehingga timbul kerusakan pada barang-barang, atau seseorang yang terkena hypnose sehingga tidak sadar melakukan pertunjukan cabul di depan umum;
  2. Overmacht yang relatif yaitu orang yang mengalami pengaruh yang tidak mutlak akan tetapi paksaannya tidak dapat dilawan. Contoh: seorang pemimpin bank yang di bawah ancaman pistol menyerahkan sejumlah uang kepada perampok;
  3. Noodtoestand yaitu keadaan darurat karena seseorang terpaksa melakukan didorong oleh keadaan dari luar untuk memilih di antara dua peristiwa yang sama jeleknya.

Bagi Prof. Moeljatno, S.H dalam Bambang Poernomo, semua daya paksa ini mempunyai keadaan dimana fungsi batinnya tak dapat bekerja secara normal karena tekanan dari luar, kepada orang itu dapat dimaafkan kesalahannya.[3]
_________________________________
1. “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 194.
2.  Ibid. Hal.: 195.
3.  Ibid. Hal.: 197.

Rabu, 15 Januari 2020

Azas-azas Dan Dasar Alasan Penghapusan Pidana

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah kita lalui kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Akibat Hukum Dari Pemikiran Tentang Perbuatan Pidana Dan Kesalahan’, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai azas-azas dan dasar alasan penghapusan pidana. Pada bagian ini pembaca akan dihantarkan untuk memahami mengenai alasan pembenar dan alasan pemaaf.

Oleh pembentuk undang-undang, selain menuangkan rumusan perbuatan pidana, juga menentukan pengecualian dengan batasan tertentu, bagi suatu perbuatan tidak dapat diterapkan peraturan hukum pidana, sehingga disitu terdapat alasan penghapus pidana.[1]

Sebaliknya pembentuk undang-undang juga menentukan karena keadaan tertentu yang menyertai perbuatan pidana, mengakibatkan alasan mengurangi pidana, dan juga mengakibatkan alasan memberatkan pidana.[2]

Meskipun kadang-kadang hanya didapatkan suatu perbedaan terminologi untuk tidak dapat diterapkan peraturan hukum pidana, dalam ilmu pengetahuan diperlukan perbedaan dasar yaitu atas dasar alasan penghapusan penuntutan (vervolgingsuitsluitings gronden) dan atau atas dasar alasan penghapus pidana (strafuitsluitings gronden).[3] Pembuat undang-undang kemudian menggunakannya istilah dimaksud secara tidak persis namun maksudnya adalah sama.

Menurut Van Hamel, strafuitsluitings gronden dibedakan antara alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum (rechtvaardigingsgronden) dan alasan yang menghapuskan sifat dapat dipidana (strafwaardigheid).[4]

Vos dalam Bambang Poernomo, menerangkan bahwa yang dimaksud dengan alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum (rechtvaardigingsgronden) mempunyai arti dihapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan sehingga perbuatan itu dibenarkan, dengan kata lain disebut alasan pembenar. Hal ini merupakan bagian objektif. Sedangkan alasan yang menghapuskan sifat dapat dipidana (strafwaardigheid) artinya dihapuskan dari pertanggungjawaban si pembuat atau dihapuskan kesalahan si pembuat sehingga perbuatan itu tidak dipidana, dengan kata lain disebut alasan pemaaf. Hal ini merupakan bagian subjektif.[5]
_________________________________
1. “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 191.
2.  Ibid. Hal.: 191.
3.  Ibid. Hal.: 191.
4.  Ibid. Hal.: 192.
5.  Ibid. Hal.: 193.

Amount of Authorized Capital of Foreign Investment Companies in Indonesia

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Three Ways to Conduct FDI in Indonesia ...