Senin, 08 April 2019

Tafsir Hukum Progresif terhadap PKPU Nomor 8/2018, Sebuah Surat Terbuka bagi Mahkamah Agung R. I.

(iStock)

Oleh: 
 Tim Hukumindo

PKPU Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota menuai kontroversi, khususnya Pasal 4 angka 3 yang berbunyi sebagai berikut: "Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi", mengatur, salah satunya, tentang larangan ex-koruptor menjadi caleg diusung oleh partai politik.

PKPU yang ditetapkan 2 Juli 2018 dan diundangkan 3 Juli 2018 tersebut disebut bertentangan dengan Undang-undang Nomor: 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Langkah hukum konkrit telah diambil oleh Wa Ode Nurhayati  (ex terpidana korupsi dana PPID) dengan melakukan judicial review atas PKPU tersebut ke Mahkamah Agung karena dirinya ingin mencalonkan diri pada Pemilu Legislatif tahun 2019 mendatang.

PKPU sebagaimana dimaksud menuai kontroversi karena di satu sisi mengatur dalam hal seseorang ex terpidana tergolong sebagai salah satu extra ordinary crime seperti halnya korupsi dilarang untuk dijadikan sebagai caleg, sedangkan di sisi lain, dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yaitu Undang-undang Pemilu yang sudah selayaknya menjadi undang-undang organis dari konstitusi yang menjamin hak-hak seseorang untuk turut serta dalam penyelenggaraan negara. Atas kontroversi dimaksud, penulis bermaksud meneropong PKPU dimaksud dari dua tafsir aliran filsafat hukum, pertama adalah tafsir hukum positivistik dan kedua adalah tafsir hukum progresif.

Tafsir Hukum Positivistik

Positivisme adalah salah satu aliran dalam filsafat yang beranggapan bahwa terkait hukum, adalah hanya bersangkut paut dengan perihal yang positif an sich. Secara sempit dapat dimaknai bahwa hukum adalah teks sebagaimana tertulis dalam Undang-undang dan aturan pelaksananya. 

Ilmu hukum tidak membahas lebih jauh apakah hukum yang saat ini dan berlaku kini itu baik atau buruk, serta tidak pula membahas soal efektivitas keberlakuannya di dalam masyarakat. Hukum melalui aturan-aturannya yang ada dan telah dibuat harus dilaksanakan semata sesuai dengan segala sesuatu yang telah ditetapkan. 

Salah satu tokohnya adalah John Austin. Dan dalam perkembangan dan korelasinya dengan filsafat hukum, dikemudian hari melahirkan tradisi pemikiran hukum analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek.

Dengan kata lain, aliran ini memandang bahwa betapapun buruknya peraturan dan ketentuan yang ada, asalkan peraturan dan ketentuan tersebut telah menjadi Undang-undang yang harus diterapkan dalam masyarakat menjadikan para pelaksana hukum seperti hakim menjadi terikat pada Undang-undang yang telah ditetapkan tersebut.

Padahal, sebagai kritik, peraturan perundang-undangan juga memiliki kekurangan, misalkan Bagir Manan memandang bahwa setidaknya ada dua kekurangan, yaitu: (1) Peraturan perundang-undangan tidak fleksibel. Tidak mudah menyesuaikannya dengan masyarakat. 

Pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan waktu dan tatacara tertentu sementara mesyarakat berubah terus bahkan mungkin sangat cepat. Akibatnya terjadi jurang pemisah antara peraturan perundang-undangan dengan masyarakat. (2). Peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi semua peristiwa hukum atau tuntutan hukum dan ini menimbulkan apa yang lazim disebut kekosongan hukum. 

Dalam kaitannya dengan identifikasi Hukum dan Undang-undang yang demikian kuatnya dilakukan oleh pihak penguasa dan pemerintah, kemudian pada akhirnya dapat saja terhadap Ketentuan Hukum dan Undang-undang tersebut disalah gunakan oleh pihak-pihak tertentu yang akan menguasai negara secara lalim sesuai dengan keinginannya. Kelemahan tafsir hukum positivistik seperti ini melahirkan kritik, salah satunya dari tafsir hukum progresif.

Jika dikaitkan dengan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 Pasal 4 angka 3 di atas, maka tafsir hukum positivistik tentu akan sejalan dengan bunyi dari aturan-aturan sebagaimana berlaku. Peraturan selalu telah baik dan benar ketika diberlakukan. Lalu bagaimana jika PKPU Nomor 20 Tahun 2018 Pasal 4 angka 3 di atas dianggap bertentangan dengan Undang-undang Pemilu, bahkan bertentangan dengan Konstitusi? Tafsir hukum positivistik akan menjawab dengan kemungkinan besar membatalkan Pasal 4 angka 3 PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tersebut karena dianggap bertentangan dengan aturan hukum yang derajatnya lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan adagiumnya bahwa hukum adalah untuk hukum.

Tafsir Hukum Progresif

Salah satu pemikir hukum progresif di Indonesia yang sering dirujuk adalah Prof. Satjipto Raharjo, salah satu pemikirannya yang apabila dilawankan dengan aliran hukum positivistik adalah bahwa hukum perlu kembali pada filosofis dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofis tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia.

Bagi hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tetapi pada pelaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktunya. Pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan terlebih dahulu. 

Singkatnya peraturan buruk tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadikarkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan interprestasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan. 

Konsekuensi logisnya adalah dengan seburuk-buruknya peraturan yang ada, keadilan bisa tetap hadir karena para pelaksananya adalah manusia-manusia yang seyogyanya baik. Hukum progresif bermaksud merubah pola pikir manusia terkait hukum, dari text center ke human center.

Menjadi soal bagaimana dengan tafsir hukum progresif atas PKPU Nomor 20 Tahun 2018, khususnya Pasal 4 angka 3 di atas? Jawabannya harus dikembalikan kepada kepentingan manusia, kesejahteraan dan keadilan rakyat Indonesia, apakah dengan menempatkan calon-calon wakil rakyat ex koruptor bisa mencapai tujuan ini? Hanya dengan menempatkan manusia-manusia yang kelak menjadi wakil di legislatif yang berkarakter baik lah yang lebih mungkin mencapai tujuan dimaksud. Dengan kata lain dengan cara menempatkan caleg-caleg yang 'setidaknya masih bersih'.

Lalu bagaimana dengan anggapan bahwa PKPU ini bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yaitu Undang-undang Pemilu, bahkan bertentangan dengan konstitusi yang menjamin hak-hak seseorang untuk turut serta dalam penyelenggaraan negara? 

Menurut tafsir hukum progresif, dalam hal terdapat logika-logika peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan kesejahteraan dan keadilan rakyat, maka perlu dilakukan penafsiran yang lebih mengedepankan kesejahteraan dan keadilan rakyat dimaksud. Hal ini sejalan dengan salah satu statement pokok hukum progresif bahwa keberadaan hukum adalah untuk tujuan kemaslahatan manusia, bukan hukum untuk hukum.

Membaca Pidato Kenegaraan Presiden dalam Sidang Tahunan MPR 2018 pada Bidang Hukum

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebagaimana ketentuan Konstitusi Pasal 2 ayat (2), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bersidang minimal sekali dalam lima tahun. Pada annual meeting MPR tahun 2018 ini, Presiden Republik Indonesia (Ir. Joko Widodo) pada hari ini tanggal 16 Agustus 2018 telah berpidato dihadapan sidang MPR dan salah satu isi pidatonya adalah kembali menekankan tujuan bernegara dalam konteks kontemporer, yaitu mewujudkan kesejahteraan.

Berikut dikutip perihal dimaksud: "Kita tidak ingin kesejahteraan hanya dinikmati oleh seseorang atau sekelompok orang. Inilah janji kemerdekaan yang harus kita segera wujudkan, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut mewujudkan ketertiban dunia. Kesanalah kita bergerak..." Mungkin pidato kenegaraan dimaksud terkesan klise, akan tetapi Presiden dengan jelas mengatakan bahwa janji negara kepada rakyatnya adalah mewujudkan kesejahteraan.

Tujuan Kemerdekaan dan Korelasinya dengan Hukum

Bagaimana mewujudkan kesejahteraan? Hal ini tentu menjadi domain pokok ilmu ekonomi, akan tetapi pada akhirnya menjadi urusan hukum juga, setidaknya hukum sebagai salah satu supporting system dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan dimaksud. Bahkan saking pentingnya hukum dalam negara kita, Pasal 1 ayat (3) Konstitusi berbunyi: "Negara Indonesia adalah negara Hukum". Dengan kata lain, korelasi antara tujuan kemerdekaan dengan hukum adalah untuk mewujudkan kesejahteraan, tentunya usaha dimaksud melalui cara-cara yang legal.

Dalam Pidato kenegaraannya, dalam iklim kemerdekaan saat ini, bahwa pada bidang hukum juga tengah terjadi pembangunan, beliau memaparkan bahwa terkait lembaga Mahkamah Agung (MA): "Pada pembangunan bidang hukum, Mahkamah Agung terus berinovasi, guna meningkatkan kemudahan bagi masyarakat untuk memperoleh keadilan dan layanan publik, seperti penerbitan Peraturan Mahkamah Agung Nomor: 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik. Melalui Perma itu, penyelenggaraan administrasi peradilan diubah dari yang sebelumnya bersifat konvensional menjadi sistem elektronik melalui aplikasi e-court. Dengan begitu, pencari keadilan memperoleh berbagai kemudahan dan efisiensi yang cukup signifikan, mulai dari biaya pengajuan gugatan, waktu, dan lain-lain".

Tidak hanya itu, beliau juga menyinggung lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai berikut: "Sampai dengan Juli 2018, MK sudah menerima 63 perkara. Secara keseluruhan, pada tahun 2018 ini MK telah memutus dan mengadili sebanyak 112 perkara yang menjadi perhatian publik, seperti pengujian UU MD3 terkait dengan Pemanggilan Paksa oleh DPR, Hak Immunitas Anggota DPR, Pengujian UU LLAJ yang berkaitan dengan Keberadaan Ojek Daring, hingga putusan MK yang memastikan Advokat dapat menjadi kuasa hukum di Peradilan Pajak."

Presiden juga menyebut lembaga Komisi Yudisial (KY) dalam pidatonya, sebagaimana dikutip berikut: "KY juga telah memfasilitasi penyelenggaraan pelatihan pemantapan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim bagi 117 Hakim. Melalui upaya-upaya tadi, KY berketetapan untuk memastikan peningkatan kualitas peradilan yang makin berbasis pada kesinambungan, yaitu antara independensi kekuasaan kehakiman dengan penguatan akuntabilitas kekuasaan kehakiman".

Klaim-klaim pembangunan terkait domain hukum pada pidato tahunan 2018 di atas dibaca dalam konteks menjadi suporting system dalam mewujudkan negara yang berkesejahteraan, sebagaimana layaknya janji kemerdekaan di atas.

Membaca Pembangunan dalam Bidang Hukum

Lalu, apakah klaim-klaim pembangunan dalam bidang hukum yang tengah berjalan, baik pada lembaga Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY) sebagaimana diuraikan dalam pidato kenegaraan Presiden di atas telah mencerminkan suatu langkah-langkah konkrit dari hukum dalam mewujudkan negara kesejahteraan?

Menurut hemat penulis, jika kita cermati dengan seksama pembangunan-pembangunan pada bidang hukum dalam pidato kenegaraan Presiden di atas adalah condong ke arah pembangunan hukum dalam arti prosedural. Pendekatan yang sama juga terlihat dalam menanggapi penuntasan kasus-kasus HAM di masa lampau, maupun persoalan penegakan hukum atas tindak pidana korupsi serta institusi lembaga KPK.

Dalam pidato kenegaraannya tahun ini, Presiden Joko Widodo belum memaparkan pembangunan bidang hukum dari aspek yang lebih substansial. Klaim pembangunan-pembangunan pada bidang hukum ini belum menjawab misalnya atas pertanyaan, apakah pembangunan hukum yang telah dilakukan secara nyata berdampak pada mulai tercapainya cita-cita negara Republik Indonesia yang sejahtera? Kita harap pada pidato kenegaraan Presiden pada HUT RI ke-74, tahun 2019 yang akan datang, sudah mulai membahas titik terang ini, aamiin.

Mengatasi Persoalan Gizi Buruk dalam Perlindungan Anak


(iStock)

Oleh: 
Tim Hukumindo

Salah satu persoalan bangsa saat ini yang cukup penting namun mempunyai eksposure yang biasa saja adalah stunting. Ini adalah soal gizi buruk pada balita, disebabkan asupan gizi yang kurang dalam waktu yang lama, dalam jangka panjang efeknya jelas berbahaya, yaitu terhambatnya perkembangan otak dan tumbuh kembang anak, sehingga anak menjadi kerdil dengan intelegensi rendah.

Jika dirunut lebih jauh, meskipun tidak selalu, akar persoalannya ada pada kompleksitas kemiskinan. Dan dalam skala yang besar seperti negara, dampak negatifnya adalah menghasilkan generasi penerus bangsa yang jauh dari kata unggul.  

Dikarenakan bukan merupakan isu baru, telah banyak studi maupun penelitian kuantitatif mengenai persoalan stunting, terutama dari segi ilmu gizi, statistik, maupun kedokteran pada umumnya.

Hanya saja, seperti halnya pada negara-negara berkembang pada umumnya, persoalan-persoalan yang mempunyai korelasi yang kompleks dengan kemiskinan seperti ini belum mendapat perhatian sebagaimana layaknya. Padahal, ini adalah persoalan mendasar, salah satu soal terkait hak asasi setiap warga negara. Dengan kata lain, penulis ingin mencermati soal ini dari perspektif yang berbeda, yaitu dari segi hukum dan hak asasi manusia.

Perlindungan Konstitusi dan Undang-undang

Pasal 28B ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 menjamin bahwa: "Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi". Jaminan kelangsungan hidup, tumbuh dan kembang anak ini diatur sebagai salah satu persoalan mendasar warga negara, yaitu hak asasi manusia.

Salah satu undang-undang organik untuk mengoperasionalkan ketentuan Pasal 28B ayat (2) Konstitusi di atas adalah Undang-undang Nomor: 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo. Undang-undang Nomor: 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor: 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, atau biasa disebut "Undang-undang Perlindungan Anak".

Bahwa, di dalam salah satu konsideran Undang-undang Perlindungan Anak, dikatakan Negara menjamin kesejahteraan tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia. Konsisten dengan ketentuan Pasal 28B ayat (2) Konstitusi negara ini.

Belum lagi jika kita menyebut undang-undang lain yang juga terkait dengan anak, diantaranya, Undang-undang Nomor: 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-undang Nomor: 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, juga ketentuan lain seperti Keputusan Presiden Nomor: 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-hak Anak.

Secara normatif, pada level Konstitusi dan ketentuan undang-undang sepertinya telah terdapat payung hukum yang cukup untuk melaksanakan jaminan konstitusi sebagaimana dimaksud.

Program Kerja Pemerintah Sebagai Wujud Kemauan Politik

Kembali kepada ketentuan Pasal 21 angka (1) Undang-undang Perlindungan Anak mengatur bahwa Negara, Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati pemenuhan Hak Anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan Bahasa, status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik/atau mental.

Masih pada Undang-undang Perlindungan Anak, pada angka (2) diatur bahwa Negara berkewajiban memenuhi, melindungi dan menghormati Hak Anak. Pada angka (3) diatur lebih lanjut bahwa Pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang penyelenggaraan Perlindungan Anak.

Selanjutnya pada angka (4) diatur bahwa Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melaksanakan dan mendukung kebijakan nasional dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak di daerah. Lebih lanjut diatur pada angka (5) bahwa kebijakan sebagaimana dimaksud pada angka sebelumnya dapat diwujudkan melalui upaya daerah membangun Kabupaten/Kota Layak Anak.

Sebagai payung hukum, pada ayat (6) diatur bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan kabupaten/kota layak Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Presiden.

Perlu dicermati, bahwa Peraturan Presiden (Perpres) Kabupaten/Kota Layak Anak sampai saat ini masih ditunggu penerbitannya. Perpres dimaksud seyogyanya adalah perwujudan dari grand design pada tingkat nasional sebagai wujud pelaksanaan (program kerja nyata) perlindungan terhadap anak dan pemeliharaan generasi yang akan datang.

Namun adakalanya dalam realitas politik pemerintahan, skala prioritas menjadi berbeda-beda dalam satu rezim dengan rezim yang lain, dan tidak selalu ideal melaksanakan amanat sebagaimana tertuang dalam teks Konstitusi. Ujung-ujungnya adalah sangat tergantung dari kemauan politik rezim.

Kondisi di maksud, bagi pihak-pihak yang menaruh perhatian dan mempunyai kuasa, agaknya tidak menjadi hambatan untuk membuat dampak positif atas isu dimaksud. Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak misalnya telah menerbitkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor: 11 Tahun 2011 Tentang Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak, dan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor: 13 Tahun 2011 Tentang Panduan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak.

Era otonomi daerah juga menjadi inisiatif bagi para kepala daerah yang menaruh perhatian akan soal ini, diantaranya Kota Bogor yang menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Kota Bogor Nomor: 3 Tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan Kota Layak Anak. Karena memang dimungkinkan dan legal. 

Setelah terjabarkan di atas, sepertinya tidak ada lagi alasan pada aras norma yang membatasi Pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah, untuk abai dan tidak memberikan dampak positif atas persoalan gizi buruk yang menjadi salah satu tantangan bagi Perlindungan Anak. Soalnya ada pada keberpihakan dan kemauan, semoga Penulis keliru.

Ancaman Kekalahan Negara Melawan Kejahatan Narkotika

(iStock)

Oleh: 
Tim Hukumindo

Pada era kontemporer, di negara ini, terdapat tiga kejahatan yang tergolong kejahatan luar biasa. Pertama adalah kejahatan terorisme, kedua kejahatan korupsi, terakhir adalah kejahatan narkotika. Ketiga kejahatan ini dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa karena pada dasarnya mempunyai daya rusak yang sangat besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, secara lebih luas ketiganya merupakan kejahatan yang menjadi ancaman serius bagi peradaban.

Negara dan Ancaman Extra Ordinary Crime

Kejahatan terorisme secara umum bermaksud menjungkalkan idiologi negara umumnya diasosiasikan dengan cara-cara kekerasan, seraya membentuk negara baru sebagai tujuan akhirnya, sesuai dengan idiologi para teroris. 

Sasaran utama kejahatan ini adalah institusi-institusi negara, secara lebih khusus seringkali menyasar institusi Polri karena dianggap sebagai barisan terdepan dalam menghalangi tujuan-tujuan para pelaku teroris untuk mendirikan negara baru. Terorisme adalah kejahatan yang secara gamblang menyerang institusi negara yang sumbernya berasal dari luar.

Berbeda dengan kejahatan terorisme, kejahatan korupsi justru berasal dari faktor eksternal, para pelaku umumnya justru dari para penyelenggara negara sendiri. Secara sadar atau tidak, sasaran para koruptor sebenarnya adalah negara juga. Meskipun demikian negara dalam artian yang berbeda dengan perspektif para pelaku terorisme dalam kejahatan teroris. 

Negara dalam kejahatan korupsi diartikan secara lebih sempit sebagai sumber-sumber ekonomi yang dimiliki oleh otoritas kekuasaan suatu bangsa yang bisa diambil oleh para koruptor dengan cara-cara melawan hukum. Entah melalui suap menyuap, penyalahgunaan kekuasaan, maupun pengaturan tender-tender proyek dan mega proyek pemerintah, serta banyak modus lainnya.    

Extra ordinary crime yang terakhir dimaksud di sini adalah kejahatan narkotika. Terdapat kesamaan antara kejahatan narkotika dengan kejahatan terorisme, keduanya sama-sama merupakan kejahatan yang bersumber dari ancaman eksternal yang menyasar negara. Negara dalam konteks ini bukan negara dalam artian institusi-institusinya, namun para pemegang saham mayoritasnya yaitu rakyat. 

Penyataan bahwa pada umumnya ancaman kejahatan narkotika adalah berasal dari luar (faktor eksternal) agaknya harus mulai kita pertanyakan. Menurut penulis, terdapat kecenderungan bahwa para pelaku kejahatan narkotika sudah mulai mengerti akan arti pentingnya menjadi bagian dari penyelenggara negara untuk melancarkan bisnis haramnya. Selanjutnya, tulisan ini akan lebih berfokus pada isu kejahatan yang disebutkan terakhir.

Kasus Kejahatan Narkotika yang Melibatkan Penyelenggara Negara Sebagai Bandar

Kasus yang tidak terlalu lama berlalu, tahun 2017, adalah kisah mantan Wakil Ketua DPRD Bali bernama Jero Gede Komang Swastika alias Mang Jangol (41). Mantan politisi Partai Gerindra ini ternyata mempunyai sisi gelap dengan menjadi bandar narkoba. Dari rumahnya, Polisi menemukan dan kemudian menyita dokumen transaksi narkoba jenis sabu, senjata api, senjata tajam dan uang hasil kejahatan. Bahkan rumahnya disebut digunakan untuk melakukan transaksi dan pemakaian langsung ditempat.

Kasus yang masih hangat adalah mantan anggota DPRD Langkat dan mantan kader Partai Nasdem bernama Ibrahim Hasan alias Hongkong (45). Barang bukti yang dirilis BNN adalah lebih dari 100 Kilogram narkotika jenis sabu. Patut dicatat bahwa ini yang terungkap saja, tidak termasuk di luar itu. Ibrahim ditangkap bersama 10 tersangka lainnya yang diduga menjadi rekan kerja jaringan internasional sindikat narkoba.

Dari kedua kasus di atas, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa keduanya adalah mantan penyelenggara negara, mantan pejabat publik, yaitu mantan Wakil Ketua DPRD dan Anggota DPRD yang seharusnya merepresentasikan nilai-nilai kebaikan atas nama rakyat. Dan yang ditakutkan dari kasus ini adalah hanya  fenomena gunung es, dan kita telah tertinggal mengikuti modus para pelaku kejahatan narkotika. 

Pada level bandar, para pelaku kejahatan narkotika adalah orang-orang pintar yang memahami dan bahkan telah menginfiltrasi negara untuk turut berkuasa dengan tujuan-tujuan akhir melawan hukum. Pada level ini, akan sulit mengasosiasikan para pelaku kejahatan narkotika sebagai penjahat kelas teri, sebaliknya ia adalah kejahatan kerah putih yang terorganisir.

Memahami Pemikiran Bandar Narkotika dalam Menjalankan Bisnisnya

Secara ekonomis, bisnis haram narkotika adalah bisnis yang sangat menguntungkan. Saking menguntungkannya, hahkan ada adagium bahwa bisnis ini sama dengan bisnis 'emas putih'. Adagium yang sebanding dengan bisnis 'emas hitam' yang bersumber dari minyak. 

Mengelola sebuah bisnis haram beromset miliaran bahkan triliunan rupiah tentu bukan pekerjaan gampang, oleh karenanya kejahatan narkotika tidak dapat lagi diasosiasikan dengan kejahatan jalanan kelas teri. Kejahatan narkotika sudah mulai terlihat sebagai bisnis haram dengan omset menggiurkan yang dikelola secara serius berdasarkan prinsip mafia yang pemikiran-pemikirannya dapat dirunut pada ajaran atau tokoh-tokoh dunia hitam tertentu.

Melacak pemikiran tentang kejahatan idealnya tentu harus belajar ilmu kriminologi. Teori kriminologi klasik seperti pemikiran Cesare Lombroso (1835-1909) yang menekankan pada aspek fisik para pelaku kriminal agaknya untuk saat ini hanya dapat dijadikan sebagai salah satu referensi saja dalam memahami kejahatan. Dalam konteks modern, sepertinya pemikiran Mario Puzo (1920-1999) dan tokoh dunia hitam Pablo Escobar (1949-1993) lebih mumpuni untuk memahami pemikiran para mafia narkoba dalam menjalankan bisnis hitamnya.

Mario Puzo tersohor dengan salah satu novel fiksi kriminalnya yang berjudul 'The Godfather' (1969), yang kemudian difilmkan oleh Hollywood secara trilogy (1972-1974-1990) dengan judul sama oleh aktor utama Marlon Brando dan Al Pacino. Novel ini sering menjadi rujukan klasik cerita film genre gangster, yang pada intinya bercerita tentang perang para mafia keturunan Italia di Amerika yang mempertahankan dinasti bisnis hitam keluarganya.

Bahkan untuk filmnya seringkali disematkan sebagai film tersukses sepanjang massa, dan meraih sederet penghargaan bergengsi. Dalam novel maupun film ini banyak prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang kerap direplikasi oleh para pengikutnya dalam menjalankan dan melanggengkan kekuasaan bisnisnya. Termasuk ketika bisnisnya bersinggungan dengan masalah-masalah seperti kompetitor bisnis, hukum, polisi, politisi, pers, pengkaderan serta suksesi kepemimpinan dan lain-lain. Bahkan secara satire dapat diartikan sebagai panduan nilai dalam mengarungi kehidupan yang keras di dunia ini.

Pablo Escobar adalah seorang drugs lord kelahiran Kolombia. Sebagaimana dikutip situs Wikipedia, pada masa jayanya, kartel Pablo Escobar (Kartel Medellin) diperkirakan menyediakan 80% dari kokain yang diseludupkan ke Amerika Serikat. Diantara film buatan Hollywood yang memuat kisah Pablo Escobar adalah 'Escobar: Paradise Lost' (2014), 'The Infiltrator' (2016), dan 'Loving Pablo' (2017).

Hal yang penting kaitannya dalam tulisan ini adalah bahwa pada tahun 1982, Escobar terpilih sebagai anggota alternatif dari Kamar Perwakilan Kolombia sebagai bagian dari Partai Liberal Kolombia. Melalui ini ia menjadi bertanggungjawab dalam pembangunan rumah sakit, dan gereja-gereja di Kolombia barat, yang kemudian memberinya popularitas dalam Gereja Katolik Roma lokal, serta seolah menjadikannya sebagai local hero layaknya Robin Hood pada daerah yang sering dikunjunginya.

Bahkan Pablo Escobar terkenal akan salah satu kutipannya yaitu ilmu dasar penyeludupan narkotika adalah sangat sederhana, yaitu suap. Dengan kata lain, Pablo Escobar memahami bahwa dalam menjalankan bisnisnya, masuk ke dalam penyelenggaraan negara telah menjadi salah satu kebutuhan dalam menjalankan bisnisnya. Masuk ke dalam penyelenggaraan negara oleh pelaku kejahatan narkotika di Indonesia adalah kecenderungan baru yang harus diwaspadai, ini memberikannya pemahaman dan akses pada kekuasaan bagi para pelaku kejahatan.

Akibat Kegagalan Negara dalam Menanggulangi Kejahatan Narkotika

Negara kita sudah sadar betul akan bahaya kejahatan narkotika. Bahkan seringkali diberitakan bahwa Indonesia telah menjadi pangsa pasar potensial narkotika internasional. Bahkan negara kita telah memasukkan kejahatan narkotika dalam kategori salah satu kejahatan luar biasa, yang penanggulangannya tidak dapat lagi dilakukan secara biasa saja. Negara sudah darurat kejahatan narkotika. 'Perang' melawan kejahatan narkotika menjadi tidak terelakan.

Kegagalan kita dalam menanggulangi kejahatan narkotika akan mengakibatkan ancaman sangat serius bagi eksistensi negara, taruhannya adalah hilangnya generasi penerus bangsa. Kekalahan negara melawan kejahatan narkotika akan menjerumuskan kita dalam kategori terburuk sebagai narco-state. 

Kartel-kartel narkoba telah menyusup ke dalam institusi-institusi negara, 'zombie-zombie' penyalahguna narkoba berkeliaran dalam kantung-kantung daerah kumuh. Dalam kategori ini, bayang-bayang extra judicial killing seperti yang terjadi di Filipina untuk menanggulangi kejahatan narkotika adalah konsekwensi terburuk yang dapat dilakukan oleh negara. Yang tentu saja tidak ramah Hak Asasi Manusia.

Menggagas Acara Televisi Bertema Edukasi Hukum

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Belum lama ini terjadi polemik di Daerah Istimewa Yogyakarta di mana salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia cabang daerah tersebut (Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU DIY) mengeluarkan Fatwa Haram menonton acara televisi Indonesia Lawyers Club (ILC) di tvOne.

Adapun alasan utama dikeluarkannya Fatwa Haram tersebut adalah karena dinilai tayangan ILC adalah provokatif dan mencemarkan nama baik.

Adapun latar belakang dikeluarkannya Fatwa Haram ini, menurut Ketua LBM PWNU DIY yaitu Fajar, adalah berangkat dari keresahan masyarakat terhadap tayangan televisi yang provokatif, salah satunya adalah tayangan ILC ini.

Konten provokatif dinilai bisa menimbulkan fitnah di tengah masyarakat, selain itu warga juga bisa saling mencela dan menghujat akibat terprovokasi konten tersebut.

Sebagaimana dikutip Detik.com, ILC dipandang menampilkan orang-orang yang sangat bersebrangan, sehingga dalam acara tersebut terjadi saling bully, saling mencaci dan sebagainya.

Perbedaan Dasar Hukum

Atas Fatwa Haram menonton tayangan televisi yang mempunyai konten provokatif seperti dimaksud di atas, LBM PWNU DIY mendasarkan diri pada ketetapan/nash Al-Qur'an, seperti keterangan dalam Surat Al-Maidah ayat 8 dan nash hadist.

Selain itu juga dari Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali serta Kitab-kitab Kuning lainnya. Adalah sebuah kewajaran mendasarkan analisa atas tayangan televisi dimaksud sesuai dengan latar belakang organisasi masyarakat masing-masing.

Sebagai sebuah tayangan televisi, maka acara televisi Indonesia Lawyers Club (ILC) di tvOne sepatutnya tunduk pada dasar hukum negara, diantaranya adalah Undang-undang Nomor: 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Undang-undang Nomor: 40 Tahun 1999 tentang Pers

Menurut penulis, dua undang-undang inilah yang seharusnya menjadi koridor dalam memproduksi sebuah acara televisi, tidak terkecuali pada acara ILC ini.

Dalam pembelaannya, Karni Ilyas, S.H. sebagai pembawa acara ILC berpendapat bahwa acara ILC selalu berimbang dan menjalankan fungsi wartawannya sebagai watch dog.

Sedangkan pendapat lain dari Dewan PWI Pusat yang beranggapan tindakan LBM PWNU DIY bertentangan dengan Pasal 4 Undang-undang Nomor: 40 Tahun 1999 tentang Pers, terkait 'Pembredelan' atau 'Penyensoran terhadap Produk Pers' menurut penulis adalah pernyataan yang berlebihan, karena sederhana saja, LBM PWNU DIY, bukan lembaga yang mempunyai kapasitas melakukan itu.   

Mungkin terlalu masuk ke dalam teknis hukum jika kita mengutip dasar-dasar hukum baik dari versi LBM PWNU DIY maupun versi ILC.

Akan tetapi, sederhana saja, menurut LBM PWNU DIY konten provokatif dinilai bisa menimbulkan fitnah di tengah masyarakat, selain itu warga juga bisa saling mencela dan menghujat akibat terprovokasi konten tersebut pada hilirnya membuat orang-orang awam menjadi kebingungan.

Penulis berpendapat bahwa LBM PWNU DIY ada benarnya, dalam konteks kepentingan masyarakat, seharusnya ILC juga memperhatikan acara penyiaran televisinya sebagai media pendidikan (vide Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor: 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran).

Tapi ketika kita bicara Penyiaran dalam konteks kontemporer, dalam hal yang lebih khusus adalah acara televisi, tentu fungsi penyiaran sebagai sarana pendidikan tidak selalu bisa dimunculkan, ia sangat tergantung faktor-faktor lain seperti fungsi pers dengan dalih watch dog, ketergantungan pada iklan, rating acara, dll.

Singkat kata, menyajikan sebuah acara televisi yang berkonten mendidik, sebagaimana tersirat dari keinginan LBM PWNU DIY, adalah pekerjaan yang tidak mudah, sebaliknya lembaga penyiaran, dalam hal ini menunjuk televisi, kerap kali dengan tuntutan dan kondisi zaman, justru lebih mengedepankan unsur 'hiburan'.

Acara televisi bertemakan hukum yang edukatif sekaligus mempunyai rating yang baik sangat minim, bahkan sepengetahuan penulis belum ada.

Menggagas Acara Televisi Bertema Hukum yang Edukatif

Disinilah terjadi kekosongan, yaitu saluran televisi nasional belum bisa menyajikan acara televisi bertemakan hukum yang mendidik sekaligus mempunyai rating yang baik. Jika saya seorang pengusaha penyiaran, saya tentu akan memperhatikan peluang ini.

Kekosongan ini hampir tidak terlalu diperdulikan oleh insan-insan Pers, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam era demokrasi, hukum menjadi penting, dan edukasi hukum yang baik secara massal melalui media televisi seharusnya tidak terelakan. Apa tujuannya? Menciptakan masyarakat sadar hukum.

Lalu bagaimana riil acara televisi bertema hukum yang edukatif? Penulis sendiri bukan insan pers, penulis adalah seorang praktisi hukum, seorang advokat.

Jika ditanya demikian, tentu juga perlu belajar lagi dalam mengaktualisasikan ide acara televisi bertema hukum yang edukatif. Namun, menurut hemat penulis, ada dua premis dimana kita berangkat tadi, yaitu:

Acara televisi bertemakan hukum dimaksud adalah solusi alternatif dari acara televisi yang mempunyai konten provokatif yang bisa saling mencela dan menghujat;
Acara televisi bertemakan hukum dimaksud mempunyai konten edukatif yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Kata kunci acara televisi bertemakan hukum dimaksud adalah Edukatif dan Bermanfaat bagi masyarakat. Menyajikan sebuah acara televisi dengan kriteria dimaksud tentu tidak mudah, karena jujur saja, hukum pun bukan sesuatu hal yang mudah, apalagi menyajikannya kepada masyarakat luas yang awam.

Namun menurut penulis, hal ini justru tantangan bagi insan Pers dan Penyiaran untuk 'mengemas' acara televisi bertema hukum yang berkualitas.

Masyarakat dan Kebutuhan Akan Edukasi Hukum

Menggagas acara televisi bertema hukum yang edukatif pertama-tama berarti menelusuri kebutuhan masyarakat akan hukum.

Tayangan televisi yang menghadirkan para ahli hukum yang bersebrangan pendapat satu dengan yang lainnya adalah jauh dari kebutuhan masyarakat awam akan hukum.

Hampir bisa dipastikan manfaat langsungnya sangat sedikit. Penulis hampir bisa memastikan bahwa tayangan televisi sebagaimana dimaksud lebih kental aroma 'hiburan'-nya daripada aroma hukumnya.

Menelusuri kebutuhan masyarakat akan hukum adalah meneropong persoalan hukum apa saja yang dihadapi masyarakat.

Sepengetahuan penulis, persoalan hukum yang dihadapi masyarakat adalah beragam, namun bentuk riil-nya bisa langsung penulis sebutkan sebagai berikut:
  • Bagaimana proses pensertifikatan tanah dengan segala kesulitan-kesulitannya?
  • Bagaimana proses mendapatkan surat-surat terkait penerbitan hak atas tanah di Desa/Kelurahan?
  • Bagaimana prosedur yang harus ditempuh ketika seseorang ingin pindah alamat?
  • Bagaimana prosedur penerbitan SIM yang benar?
  • Bagaimana prosedur penerbitan KIR yang benar?
  • Bagaimana melakukan pengecekan atas legalitas sebuah Biro Perjalanan Umroh?
  • Bagaimana penyelesaian hukum atas Tindak Pidana Ringan seperti Tilang?
  • Bagaimana proses mengajukan perceraian tanpa Advokat di Pengadilan?
  • Bagaimana mengurus Penetapan Ahli Waris atas harta waris?
  • Bagaimana proses mendapatkan IMB?
  • Bagaimana proses mendirikan PT?
  • Bagaimana tahapan seorang menjadi anggota Dewan?
  • Bagaimana tahapan seseorang menjadi Polisi?
  • Bagaimana tahapan seseorang menjadi anggota TNI?
  • Bagaimana tahapan seseorang menjadi PNS?
  • Bagaimana proses mendirikan CV?
  • Bagaimana proses mendaftarkan Perusahaan?
  • Bagaimana proses mendapatkan IUP?
  • Bagaimana mendapatkan NPWP?
  • Bagaimana tahapan Pengangkatan seseorang sebagai Pegawai Tetap di sebuah Perusahaan?
  • Apa saja hak-hak seorang pekerja yang bekerja di sebuah Perusahaan?
  • Bagaimana prosedur mendapatkan Akta Kelahiran Anak?
  • Bagaimana prosedur mendapatkan Kartu Keluarga?
  • Bagaimana proses mendapatkan SKCK?
  • Bagaimana proses mendapatkan Akta Perkawinan dari KUA?
  • Bagaimana caranya mengadukan oknum Kelurahan dan KUA yang menjadi Calo di Pengadilan?
  • Bagaimana solusi hukum jika Keluarga dikawin Siri?
  • Bagaimana proses mendapatkan Hak Asuh Anak di Pengadilan?
  • Bagaimana proses mendapatkan Harta Bersama Perkawinan di Pengadilan?
  • Bagaimana proses menjadi anggota BPJS Kesehatan?
  • Bagaimana proses pidana jika anggota keluarga yang terkena delik Pidana Narkoba?
  • Bagaimana proses mengajukan Rehabilitasi di BNN?
  • Bagaimana melakukan pengecekan legalitas seorang Advokat?
  • Bagaimana mengajukan Izin Perceraian bagi PNS di Badan Kepegawaian Daerah?
  • Bagaimana cara mendapatkan KTP Elektronik?
  • Bagaimana proses bekerja di Luar Negeri yang Legal?
  • Bagaimana prosedur melakuan pengaduan tindak Pidana di Kepolisian dan KPK?
  • Bagaimana upaya hukum bila seseorang terkena Penggusuran?
Dan banyak lagi persoalan hukum lainnya yang dihadapi masyarakat kita. Jika disederhanakan, maka acara televisi yang lebih dibutuhkan masyarakat dalam bidang hukum adalah semacam 'klinik hukum'.

Jika dibandingkan dengan acara televisi bertema kesehatan diantaranya adalah semacam acara 'Dr. Oz Indonesia'.

Jika diasumsikan bahwa inilah yang merupakan kebutuhan masyarakat akan hukum, maka tinggal tugas para insan Pers dan Penyiaran yang melakukan 'packaging' menarik agar acara dimaksud kelak diterima oleh masyarakat. Ini tantangannya.

Amount of Authorized Capital of Foreign Investment Companies in Indonesia

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Three Ways to Conduct FDI in Indonesia ...