Rabu, 17 Juni 2020

Tujuan Penggabungan Gugatan

(Getty Images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Pengertian dan Pengaturan Penggabungan Gugatan", dan Pada kesempatan ini akan membahas tentang Tujuan Penggabungan Gugatan.

Jika memperhatikan kembali Putusan Mahkamah Agung Nomor: 575 K/Pdt/1983, begitu juga dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 880 K/Sip/1970, terdapat pertimbangan mengenai manfaat dan tujuan penggabungan gugatan, yaitu bermanfaat dari segi acara (procesuel doelmatig).[1]

Memperhatikan Putusan di atas, dapat dikemukakan manfaat dan tujuan Penggabungan Gugatan adalah sebagai berikut:[2]
  1. Mewujudkan Peradilan Sederhana, melalui sistem penggabungan gugatan dalam satu gugatan, dapat dilaksanakan penyelesaian beberapa perkara melalui proses tunggal, dan dipertimbangkan serta diputuskan dalam satu putusan. Sebagai contoh, gugatan penggarapan atau penguasaan tanah yang dilakukan 20 orang. Melalui sistem penggabungan ini pelaksanaan penyelesaian perkara menjadi bersifat sederhana, cepat dan biaya murah.
  2. Menghindari Putusan yang Saling Bertentangan, manfaat lainnya melalui sistem penggabungan gugatan ini adalah dapat dihindari munculnya putusan yang saling bertentangan dalam kasus yang sama. 
Dari penjabaran di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa penggabungan gugatan bukan hanya bermanfaat untuk mewujudkan peradilan cepat dan biaya ringan, namun juga menghindari putusan yang saling bertentangan satu dengan lainnya.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 103.
2. Ibid. Hal.: 104.
3. Ibid. Hal.: 104.

Selasa, 16 Juni 2020

Pengertian dan Pengaturan Penggabungan Gugatan

(Getty Images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai topik perubahan gugatan, dan pada artikel terakhir telah membahas tentang "Perubahan Gugatan Pada Tingkat Banding", dan Pada kesempatan selanjutnya adalah terkait topik 'Penggabungan Gugatan'. Sebagai bagian awal topik, maka artikel ini akan membahas perihal Pengertian dan Pengaturan Penggabungan Gugatan.

Pengertian Penggabungan Gugatan

Secara teknis, penggabungan gugatan berarti penggabungan beberapa gugatan dalam satu gugatan. Disebut juga kumulasi gugatan atau istilah dalam bahasa Belandanya adalah samenvoeging van vordering, yaitu penggabungan lebih dari satu tuntutan hukum ke dalam satu gugatan. Pada prinsipnya, setiap gugatan harus berdiri sendiri. Masing-masing gugatan diajukan dalam satu surat gugatan yang terpisah serta berdiri sendiri. Akan tetapi dalam hal batas-batas tertentu, dibolehkan melakukan penggabungan gugatan dalam satu surat gugatan, apabila antara satu gugatan dengan gugatan yang lain terdapat hubungan erat atau koneksitas.[1] Sederhananya adalah penyatuan lebih dari satu gugatan, bahkan lebih, ke dalam satu gugatan.

Pengaturan Penggabungan Gugatan

Hukum positif tidak mengatur mengenai penggabungan gugatan. Baik HIR maupun RBg tidak mengaturnya. Hal yang sama juga dengan Rv, tidak diatur di dalamnya, setidaknya tidak diatur secara tegas, namun juga tidak melarangnya. Yang dilarang adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 103 Rv, yaitu hanya terbatas pada penggabungan atau kumulasi gugatan antara tuntutan hak menguasai (bezit) dengan tuntutan hak milik. Oleh M. Yahya Harahap hal ini ditafsirkan secara a contrario dengan mengartikannya sebagai pembolehan terkait penggabungan gugatan.[2]

Meskipun HIR dan RBg maupun Rv tidak mengatur, peradilan sudah lama menerapkannya. Supomo menunjukkan salah satu putusan Raad Justisie Jakarta pada tanggal 20 Juni 1939 yang memperbolehkan penggabungan gugatan, asal antara gugatan-gugatan itu, terdapat hubungan erat (innerlijke samenhang). Pendapat yang sama ditegaskan juga dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 575 K/Pdt/1983, yang penjelasannya antara lain:[3]
  • Meskipun Pasal 393 ayat (1) HIR mengatakan hukum acara yang diperhatikan hanya HIR, namun untuk mewujudkan tercapai process doelmatigheid, dimungkinkan menerapkan lembaga dan ketentuan acara di luar yang diatur dalam HIR, asal dalam penerapan itu berpedoman pada ukuran: a). Benar-benar untuk memudahkan atau menyederhanakan proses pemeriksaan; b). Menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan;
  • Berdasarkan alasan itu, boleh dilakukan penggabungan (samenvoeging) atau kumulasi objektif maupun subjektif, asal terdapat innerlijke samenhangen atau koneksitas erat di antaranya. Ternyata dalam kasus ini, hal itu tidak terdapat, karena utang yang terjadi adalah utang yang masing-masing berdiri sendiri, sehingga tidak bisa dikumulasi.
__________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 102.
2. Ibid. Hal.: 103.
3. Ibid. Hal.: 103.

Senin, 15 Juni 2020

Perubahan Gugatan Pada Tingkat Banding

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "3 Syarat Perubahan Gugatan", kemudian juga telah dibahas mengenai "Batas Waktu Pengajuan Perubahan Gugatan", serta "Tiga Larangan Hukum Acara Terkait Merubah Surat Gugatan", maka Pada kesempatan ini akan membahas tentang Perubahan Gugatan Pada Tingkat Banding.

Pada prinsipnya perubahan gugatan dilakukan pada peradilan tingkat pertama, yaitu Pengadilan Negeri. Oleh karena itu, tidak dapat dilakukan pada tingkat banding pada instansi Pengadilan Tinggi. Akan tetapi, tanpa mengurangi prinsip tersebut, Asikin dalam Yahya Harahap berpendapat: "dimungkinkan mengajukan atau melakukan perubahan gugatan pada tingkat banding. Demikian juga halnya Pengadilan Tinggi yang berfungsi sebagai tingkat banding juga adalah peradilan yang memeriksa fakta-fakta. Oleh karena itu, perubahan gugatan dapat juga diajukan dalam tingkat banding, asal saja pihak tergugat diberi kesempatan mengemukakan pendapat dan membela diri".[1] Jika penulis cermati, maka statement di atas bertitik tolak dari anggapan bahwa Pengadilan Banding adalah juga masih memeriksa perkara yang sifatnya faktawi (judex facti), sehingga dimungkinkan diajukan perubahan gugatan sebagaimana layaknya tingkat pertama.

Pasal 344 Rv juga melarang pengajuan tuntutan baru pada tingkat banding. Hal ini dengan rincian: a). Dilarang mengajukan tuntutan baru pada Tingkat Banding, perlu dicermati di sini yang dilarang bukan merubah gugatan, tapi mengajukan tuntutan baru. Yang dimaksud dengan tuntutan baru adalah yang merubah pokok perkara. Misalnya telah disinggung terdahulu, salah satu contohnya adalah merubah pokok perkara dari gugatan wanprestasi menjadi gugatan waris. b). Boleh mengajukan tuntutan baru secara exceptional, antara lain tuntutan Uitvoerbaar Bij Voorraad. Pasal ini memungkinkan mengajukan tuntutan baru seperti uang bunga, dll., biaya kerugian dan bunga karena kerugian yang diderita, serta putusan serta merta/dijalankan terlebih dahulu.[2] Yang dimaksud dengan tuntutan exceptional di atas adalah sebenarnya merupakan tuntutan assesoir, bukan tuntutan pokok.

Menanggapi kemungkinan sebagaimana diatur dalam Pasal 344 Rv dan pendapat ahli Asikin di atas, penulis berpendapat sebagai seorang advokat praktik yang berpijak khususnya pada pengalaman beracara, akan sangat sulit mengharapkan hasil positif dari perubahan gugatan yang diajukan pada tingkat banding. Meskipun secara normatif ternyata juga tidak dilarang, akan tetapi sepengalaman penulis, perubahan gugatan yang diajukan pada tingkat banding adalah tidak populer. Umumnya lawan akan merasa keberatan dengan adanya perubahan gugatan dimaksud, hal mana juga diatur dalam Pasal 127 Rv bahwa perubahan gugatan tidak boleh merugikan Tergugat. Di sisi lain, dalam hal perkara memakai jasa kuasa hukum, patut dipertanyakan kapasitas dan kompetensi kuasa hukum jika memang sejak awal (sejak surat gugatan didaftarkan pada pengadilan negeri) tidak cermat dan tidak mampu mengkonstruksi sebuah surat gugatan yang baik dari perkara yang telah dikuasakan kepadanya. Dengan demikian, penulis lebih sependapat dengan argumentasi hukum bahwa pada prinsipnya perubahan gugatan dilakukan pada peradilan tingkat pertama, yaitu Pengadilan Negeri, dan tidak populer dilakukan pada tingkat banding.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 101.
2. Ibid. Hal.: 102.

Sabtu, 13 Juni 2020

3 Syarat Perubahan Gugatan

(Bigstock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu redaksi Hukumindo.com telah membahas mengenai "Batas waktu Pengajuan Perubahan Gugatan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Syarat Perubahan Gugatan.

Pasal 127 Rv tidak menyebut syarat formil pengajuan perubahan gugatan. Dalam praktik peradilan, ditemukan dalam Buku Pedoman yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung sebagai berikut:[1]

Pengajuan Perubahan Pada sidang yang Pertama Dihadiri Tergugat, syarat yang pertama ini berarti perubahan gugatan diajukan oleh Penggugat pada sidang pertama, dan dihadiri oleh Para Pihak. Sebaliknya hal ini berarti Penggugat tidak diperkenankan mengajukan perubahan gugatan dalam hal diajukan di luar hari sidang, dan pada sidang yang tidak dihadiri oleh Tergugat.[2] Disini terlihat bahwa perubahan gugatan yang diajukan sampai Replik-Duplik ataupun sebelum Putusan sangat sulit dilaksanakan, dalam hal ini ahli M. Yahya Harahap tidak menyinggungnya pendapatnya lagi bahwa perubahan gugatan diajukan sampai batas Replik-Duplik (lihat pendapat beliau di artikel sebelumnya), namun secara eksplisit setuju diajukan pada sidang pertama.

Memberi Hak Kepada Tergugat Menanggapi, syarat ini berarti perubahan gugatan yang diajukan Penggugat tanpa mendengar pendapat Tergugat dianggap tidak sah. Serta memberi hak dan kesempatan kepada Tergugat untuk menanggapi dan membela kepentingannya.[3] Sepengalaman penulis berpraktik sebagai advokat, kesempatan ini kadang dipergunakan oleh Parat Tergugat dan Turut Tergugat dan kadang juga tidak dipergunakan, bahkan kadang kala ada Tergugat yang sampai mempermasalahkan hal-hal yang tidak substansial seperti salah ketik.

Tidak Menghambat Acara Pemeriksaan, syarat ini dikemukakan dalam catatan perkara Mahkamah Agung Nomor: 943 K/Pdt./1984. Ditegaskan bahwa kebolehan perubahan gugatan tidak menghambat acara pemeriksaan perkara. Menurut ahli M. Yahya Harahap hal ini dapat disetujui, meskipun agak sulit mengkonstruksikannya dalam tataran praktik. Sebagai catatan, hal dimaksud harus diterapkan secara cermat dan kasuistik.[4] Sepengalaman penulis beracara sebagai advokat, belum pernah bersinggungan dengan aturan yang satu ini, meskipun penulis tentu saja harus menyetujui bahwa perubahan gugatan sudah selayaknya tidak menghambat pemeriksaan perkara.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 95.
2. Ibid. Hal.: 95.
3. Ibid. Hal.: 95-96.
4. Ibid. Hal.: 96.

Jumat, 12 Juni 2020

Batas Waktu Pengajuan Perubahan Gugatan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu redaksi Hukumindo.com telah membahas mengenai "Merubah Gugatan Adalah Hak Penggugat", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Batas Waktu Pengajuan Perubahan Gugatan.

Mengenai batas waktu pengajuan perubahan gugatan terdapat sedikitnya dua versi. Versi pertama adalah sampai saat perkara diputus. Tenggang batas jangka waktu ini ditegaskan dalam rumusan Pasal 127 Rv yang menyatakan, Penggugat berhak mengubah atau mengurangi tuntutan sampai saat perkara diputus. Pada catatan yang diberikan pada Putusan MA Nomor: 943 K/Sip/1987, tanggal 19 September 1985, terdapat penegasan yang memperbolehkan perubahan gugatan selama persidangan. Ahli M. Yahya Harahap, S.H. kurang setuju dengan ketentuan batas jangka waktu ini, hal ini dianggap kesewenang-wenangan terhadap Tergugat.[1] Sepanjang pengalaman penulis beracara sebagai advokat, memang belum menemukan majelis hakim yang memberikan keleluasaan dalam melakukan perubahan gugatan sampai sebelum putusan dijatuhkan. Dan harap maklum, harus diakui oleh penulis, bahwa penulis pun baru mengetahui adanya yurisprudensi tertanggal 19 September 1985 di atas.

Versi kedua adalah sampai dengan hari sidang pertama. Hal ini berpedoman pada Buku Pedoman yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung. Selain harus diajukan pada hari sidang pertama, disyaratkan para pihak harus hadir. Dari segi hukum, perubahan gugatan dimaksud untuk memperbaiki dan menyempurnakan gugatan. Menurut M. Yahya Harahap, S.H., hal ini justru terlalu membatasi, sehingga kurang realistis.[2] Sedikit berkomentar, sepengalaman penulis dalam beracara sebagai advokat, inilah jangka waktu lazimnya diajukan perubahan gugatan, yaitu pada sidang pertama. Praktik di lapangan adalah Penggugat mengajukan perubahan gugatan kepada majelis hakim pemeriksa perkara pada sidang pertama, dan pada sidang selanjunya paper/berkas sudah diserahkan ke Majelis hakim. Dan sidang setelahnya, baru giliran para tergugat dan turut tergugat mengajukan Jawabannya masing-masing. 

M. Yahya Harahap, S.H. berpendapat bahwa perubahan gugatan masih dapat dilakukan sampai agenda Replik-Duplik. Hal ini dengan alasan bahwa versi pertama terlalu memberikan keleluasaan jika perubahan gugatan masih dapat diajukan sebelum putusan dijatuhkan. Sebaliknya, versi kedua, terlalu membatasi jika perubahan gugatan hanya dapat diajukan pada saat sidang pertama. Menurut salah satu ahli dimaksud (M. Yahya Harahap, S.H.), lebih baik menerapkan tenggang waktu yang bersifat moderat, dalam arti membolehkan pengajuan perubahan gugatan tidak hanya terbatas pada sidang pertama, namun diperbolehkan sampai dengan agenda Replik-Duplik.[3]

Menurut hemat penulis sebagai advokat, pendapat terakhir ini juga kurang pas, karena dalam praktik akan berimbas pada berubahnya konstruksi tulisan, baik itu gugatan maupun jawaban, bahkan seterusnya. Tidak akan terlalu bermasalah jika perubahan gugatan dimaksud hanya sebatas salah ketik, namun apabila lebih dari itu, misalnya mengurangi tuntutan atau kesalahan pada perhitungan, maka imbasnya cukup signifikan pada konstruksi tulisan posita, bahkan petitum. Sepengalaman penulis, sudah cukup jika perubahan gugatan diajukan pada sidang pertama. Hakim akan menilai jika perubahan gugatan dimaksud cukup signifikan, maka sudah selayaknya diberikan waktu yang relatif lebih lama atau setidaknya proporsional. Sehingga ketika memasuki agenda jawaban, replik dan duplik, para pihak dan majelis hakim yang mengadili telah terbebas dari urusan perubahan gugatan ini.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 94.
2. Ibid. Hal.: 94.
3. Ibid. Hal.: 94-95.

Case of Blocking US Immigration Officials From Arresting Individuals

( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Del Monte Files for US Bankruptcy ", ...