Minggu, 12 April 2020

4 Pasal KUHP Bagi Pelanggar PSBB

(liputan6.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada artikel sebelumnya yang berjudul “2 Ancaman Pidana Tidak Patuh PSBB” telah dibahas mengenai ancaman pidana yang diatur di luar KUHP bagi siapa saja yang melanggar kebijakan Pemerintah berupa Pembatasan Sosial Berskala Besar atau disingkat dengan PSBB.


Sebaliknya, pada kesempatan ini, akan dibahas aturan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dapat digunakan para penegak hukum, khususnya Polisi, untuk menjerat siapa saja yang tidak patuh pada kebijakan PSBB sebagaimana dimaksud.

Di dalam KUHP, sedikitnya terdapat empat Pasal yang dapat mengancam seseorang untuk dipidana dalam hal tidak mematuhi PSBB, yaitu:
  1. Pasal 212 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut: "Melawan seseorang pejabat yang menjalankan tugas yang sah, dipidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan".
  2. Pasal 214 KUHP, yang berbunyi sebagaimana dikutip berikut ini: "Jika hal tersebut dilakukan oleh dua orang atau lebih maka ancaman pidananya maksimal 7 tahun penjara".
  3. Pasal 216 ayat (1) KUHP, yang berbunyi sebagai berikut: "Tidak menurut perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang, dipidana penjara paling lama 4 bulan 2 minggu".
  4. Pasal 218 KUHP, yang bunyinya adalah sebagai berikut: "Barangsiapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan sengaja tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam karena ikut serta dengan pidana penjara 4 bulan 2 minggu".
Pada pasal pertama, kedua, ketiga dan keempat, pada umumnya disebut sebagai Pasal melawan perintah petugas yang sah. Pasal-pasal sebagaimana dimaksud, lazimnya ketika diaplikasikan pada konteks praktik tidaklah berdiri sendiri, ia di-juncto-kan ("berhubungan dengan") pasal yang lain. Pasal lain sebagaimana telah dibahas pada artikel sebelumnya adalah Pasal 93 Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan dan Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor: 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular.

Sabtu, 11 April 2020

2 Ancaman Pidana Tidak Patuh PSBB

(abtlaw.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terkait pandemi COVID-19 yang sedang marak ini, tim redaksi hukumindo.com pada artikel sebelumnya telah membahas mengenai Hukum Social & Physical Distancing Terkait COVID-19, sedangkan dalam perkembangannya terjadi kebijakan baru dari Pemerintah, yaitu dengan menerapkan Pembatasan Sosial Sekala Besar atau disingkat dengan PSBB.

Adapun yang dimaksud dengan Pembatasan Sosial Sekala Besar sebagaimana telah disinggung dalam artikel “Mengenal Istilah Hukum Kekarantinaan Terkait COVID-19” situs ini, adalah suatu terminologi dalam Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan yang mempunyai arti sebagai pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.


Terkait dengan kebijakan PSBB yang telah diluncurkan oleh Pemerintah ini, terdapat ancaman pidana khusus bagi siapa saja yang tidak mematuhinya. Dikatakan sebagai ancaman pidana khusus dikarenakan diatur di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sedikitnya ada dua ancaman Pidana sebagaimana dimaksud, yaitu diatur dalam Undang-undang Kekarantinaan Kesehatan dan Undang-undang Tentang Wabah Penyakit Menular, selanjutnya akan dijelaskan berikut ini:
Pasal 93 Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan

Pasal dimaksud berbunyi sebagai berikut:

Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana penjara 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (Seratus juta Rupiah)”.

Hal ini berarti, jika dikaitkan antara kondisi aktual sekarang dengan aturan hukum dimaksud, yang dimaksud dengan ketidakpatuhan terhadap PSBB yang diluncurkan oleh Pemerintah konkritnya adalah tindakan siapa saja yang sifatnya menghalangi kebijakan PSBB dimaksud sehingga kondisi masyarakat terkait COVID-19 ini makin darurat. Adapun ancaman hukuman apabila masyarakat tidak mematuhi ketentuan dimaksud adalah berupa pidana penjara satu tahun dan denda maksimal seratus juta Rupiah.

Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor: 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular

Pasal dimaksud berbunyi sebagai berikut:

(1) Menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah, diancam pidana penjara 1 tahun dan/atau denda Rp. 1.000.000,-
(2) Karena kealpaannya mengakibatkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan wabah, diancam pidana kurungan 6 bulan dan/atau denda Rp. 500.000,- (Lima ratus ribu Rupiah)”.

Hal ini berarti jika dikaitkan antara kondisi aktual sekarang dengan aturan hukum dimaksud, yang dimaksud dengan ketidakpatuhan terhadap PSBB yang diluncurkan oleh Pemerintah konkritnya adalah tindakan siapa saja yang sifatnya menghalangi usaha penanggulangan wabah penyakit menular yang tengah dilakukan Pemerintah, ataupun tindakan siapa saja yang karena kealpaannya menghalangi usaha penanggulangan wabah penyakit menular yang tengah dilakukan Pemerintah sebagaimana dimaksud. Ayat pertama penekanannya adalah pada adanya kesengajaan, dan ayat kedua penekanannya pada kealpaan. Pada ayat pertama diancam dengan pidana satu tahun dan denda satu juta Rupiah, sedangkan pada ayat kedua diancam dengan pidana penjara lebih sedikit, yaitu enam bulan dan/atau denda lima ratus ribu Rupiah.
____________________
1.     Undang-undang Nomor: 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular.
2.     Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Jumat, 10 April 2020

Perkawinan Menurut Hukum Perdata Eropa (KUHPerdata (BW))


(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: “Pengampuan Menurut KUHPerdata (BW)” telah dibahas mengenai wilayah hukum pengampuan dalam cakupan hukum keluarga yang ketiga. Selanjutnya, pada kesempatan ini akan dijelaskan cakupan hukum keluarga selanjutnya, keempat, yaitu mengenai ‘Perkawinan’ menurut KUHPerdata (BW).

Telah dipahami pada artikel 4 Cakupan Hukum Keluarga Menurut KUHPerdata (BW) sebelumnya, bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan Menurut Hukum Perdata Eropa, berlandaskan pada Pasal 26 KUHPerdata (BW) dan seterusnya, ialah peraturan-peraturan hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan hukum serta akibat-akibatnya antara dua pihak, yaitu seorang laki-laki dan seorang wanita dengan maksud hidup bersama untuk waktu yang lama menurut peraturan perundang-undangan yang ditetapkan.

Kebanyakan isi peraturan mengenai pergaulan hidup suami-isteri diatur dalam norma-norma kegamaan, kesusilaan atau kesopanan. Hukum perkawinan yang diatur dalam KUHPerdata (BW) berdasarkan agama Kristen yang berasaskan monogami (seorang suami hanya diperbolehkan mempunyai seorang isteri).[1]

Syarat-syarat yang pokok yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perkawinan menurut Hukum Perdata Barat antara lain:[2]

  1.  Pihak-pihak calon mempelai dalam keadaan tidak kawin;
  2. Laki-laki berumur 18 tahun, perempuan 15 tahun;
  3. Dilakukan di muka Pegawai Catatan Sipil (Burgerlijke Stand);
  4. Tidak ada pertalian darah yang terlarang;
  5. Dengan kemauan yang bebas, dan sebagainya.

Perlu menjadi perhatian, bahwa pembahasan hukum perkawinan menurut KUHPerdata (BW) ini untuk kini sangat sedikit sekali faedahnya, dikarenakan sudah terbit Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan beserta perubahannya, adapun jika tetap dilakukan pembahasan, tujuannya pada artikel ini hanya semata-mata pembelajaran saja. Dalam perjalanannya, hukum perkawinan menurut Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 dan perubahannya, adalah objek bahasan hukum yang cukup luas, sehingga patut menjadi pembahasan tersendiri.
_______________________
1. “Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka, Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 219.
2.  Ibid. Hal.: 219.


Kamis, 09 April 2020

Pengampuan Menurut KUHPerdata (BW)

(wetrecht.nl)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: “Perwalian Menurut KUHPerdata (BW)” telah dibahas mengenai wilayah hukum perwalian dalam cakupan hukum keluarga yang kedua. Pada kesempatan ini akan dijabarkan cakupan hukum keluarga selanjutnya, ketiga, yaitu mengenai ‘Pengampuan’ (Curatele).

Telah dipahami pada artikel 4 Cakupan Hukum Keluarga Menurut KUHPerdata (BW) sebelumnya, bahwa yang dimaksud dengan Pengampuan sebagaimana dimaksud dengan Pasal 433 KUHPerdata dan seterusnya adalah mengatur mengenai orang yang telah dewasa akan tetapi ia (1) sakit ingatan; (2) Pemboros; (3) Lemah daya atau (4) tidak sanggup mengurus kepentingan sendiri dengan semestinya, disebabkan kelakuan buruk di luar batas atau mengganggu keamanan, memerlukan pengampuan.

Biasanya suami jadi pengampu atas isterinya atau sebaliknya. Akan tetapi mungkin juga Hakim mengangkat orang lain atau perkumpulan-perkumpulan, sedangkan sebagai Pengampu Pengawas ialah Balai Harta Peninggalan.[1] Dengan kata lain, yang dapat menjadi pengampu adalah dapat berupa orang atau perkumpulan.

Penetapan di bawah pengampuan dapat dimintakan oleh suami atau isteri, keluarga sedarah, Kejaksaan dalam hal lemah daya hanya boleh atas permintaan yang berkepentingan saja.[2]

Orang yang dibawah pengampuan disebut Kurandus, dan akibat dari dibawah pengampuan adalah dinyatakan tidak cakap bertindak. Pengampuan berakhir apabila alasan-alasan itu sudah tidak ada lagi. Tentang hubungan hukum antara Kurator dengan Kurandus, tentang syarat-syarat timbul dan hilangnya pengampuan dan sebagainya, kesemuanya itu diatur dalam peraturan tentang pengampuan atau curatele.[3]

Menurut C.S.T. Kansil, terdapat perbedaan dan persamaan antara kekuasaan orang tua, perwalian dan pengampuan.

  • Persamaannya adalah bahwa kesemua itu mengawasi dan menyelenggarakan hubungan hukum orang-orang yang dinyatakan tidak cakap bertindak.[4]

Sedangkan Perbedaan antara kekuasaan orang tua, perwalian dengan pengampuan adalah:[5]
  • Pada kekuasaan orang tua, kekuasaan asli dilaksanakan oleh orang tuanya sendiri yang masih dalam ikatan perkawinan terhadap anak-anaknya yang belum dewasa. Pada Perwalian, pemeliharaan dan bimbingan dilaksanakan oleh wali, dapat salah satu ibunya atau bapaknya yang tidak dalam keadaan ikatan perkawinan lagi atau orang lain terhadap anak-anak yang belum dewasa. Sedangkan pada Pengampuan bimbingan dilaksanakan oleh kurator (yaitu keluarga sedarah atau orang yang ditunjuk) terhadap orang-orang dewasa yang karena sesuatu sebab dinyatakan tidak cakap bertindak di dalam lalu lintas hukum.
_______________________
1. “Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka, Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 218.
2.  Ibid. Hal.: 218.
3.  Ibid. Hal.: 219.
4.  Ibid. Hal.: 219.
5.  Ibid. Hal.: 219.

Rabu, 08 April 2020

Perwalian Menurut KUHPerdata (BW)

(stearn-law.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: “Kekuasaan Orang Tua Menurut KUHPerdata (BW)” telah dibahas mengenai wilayah hukum kekuasaan orang tua menurut KUHPerdata. Pada kesempatan ini akan dijabarkan cakupan hukum keluarga yang kedua, yaitu mengenai ‘Perwalian’ (Voogdij).

Telah dipahami pada artikel 4 Cakupan Hukum Keluarga Menurut KUHPerdata (BW) sebelumnya, bahwa yang dimaksud dengan Perwalian sebagaimana diatur dalam Pasal 331 KUHPerdata dan seterusnya, adalah tentang anak yatim piatu atau anak-anak yang belum cukup umur namun tidak dalam kekuasaan orang tua secara hukum tetap memerlukan pemeliharaan dan bimbingan, oleh karenanya harus ditunjuk wali, yaitu orang atau perkumpulan yang akan menyelenggarakan keperluan hidup anak tersebut.

Wali ditetapkan oleh Hakim atau dapat pula karena wasiat orang tua sebelum ia meninggal. Sedapat mungkin wali diangkat dari orang-orang yang mempunyai pertalian darah terdekat dengan si anak itu atau bapaknya yang karena sesuatu hal telah bercerai atau saudara-saudaranya yang dianggap cakap untu itu. Hakim juga dapat menetapkan seseorang atau perkumpulan-perkumpulan sebagai wali.[1] Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa yang dapat diangkat sebagai wali adalah perorangan atau perkumpulan.

Perwalian dapat terjadi karena: a). Perkawinan orang tua putus, baik disebabkan salah seorang meninggal dunia atau karena bercerai; b). Kekuasaan orang tua dipecat atau dibebaskan, maka Hakim mengangkat seorang Wali yang disertai Wali Pengawas yang harus mengawasi pekerjaan Wali tersebut. Wali Pengawas di Indonesia dijalankan oleh pejabat Balai Harta Peninggalan (Weeskamer).[2] Pada umumnya, perwalian dapat terjadi karena dua hal, yaitu perkawinan yang putus atau dipecatnya orang tua oleh Hakim.

Yang perlu ditegaskan di sini, perbedaan antara wali dengan orang tua adalah bahwa wali tidak mempunyai hubungan darah langsung dengan anak, meskipun sangat disarankan masih mempunyai hubungan keluarga, sedangkan orang tua mempunyai hubungan darah langsung dengan anak.
_______________________
1.  “Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka, Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 218.
2.  Ibid. Hal.: 218.

Lay off Hits Hundreds of offices and bureaus of US State Department

( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Don't do This When you Travel to Japan...