Tampilkan postingan dengan label Kuliah Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kuliah Hukum. Tampilkan semua postingan

Senin, 02 September 2019

Pertumbuhan dan Batasan Sifat Melawan Hukum Materiil

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Dalam kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Tentang Elemen Melawan Hukum’, telah dibahas sekilas perihal melawan hukum, pada kesempatan ini akan diperluas dengan kajian mengenai pertumbuhan dan batasan sifat melawan hukum materiil.

Pertumbuhan Sifat Melawan Hukum Materiil

Pengaruh yang datangnya dari luar yang berasal dari perkembangan ilmu kemasyarakatan, politik dan lain sebagainya memberikan corak aneka ragam terhadap sifat melawan hukum yang materiil. Diantaranya, sifat melawan hukum materiil diartikan bertentangan dengan norma kebudayaan, bertentangan dengan kewajiban orang, secara negatif diartikan sebagai orang berbuat tidak melawan hukum apabila orang dengan daya upaya betul-betul untuk tujuan yang berguna, diartikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan dasar pikiran faham nasional sosialis (Jerman pada masa pemerintahan Hitler), diartikan sebagai perbuatan yang membahayakan masyarakat (Uni Soviet).[1]

Dengan demikian terdapat perluasan artian daripada perbuatan melawan hukum materiil sedemikian rupa, sehingga memerlukan kewaspadaan untuk mengikuti ajaran sifat melawan hukum yang materiil itu, dan dengan sendirinya harus disesuaikan dengan dasar bangsa dan negara. Berpangkal dari batasan tersebut, diperlukan pemisahan yang membedakan antara pandangan perbuatan melawan hukum materiil terbatas murni dalam norma-norma hukum, dan pandangan melawan hukum materiil yang luas berdasarkan sendi-sendi budaya yang dihukumkan.[2]

Batasan Sifat Melawan Hukum Materiil

Kiranya tidak ada alasan untuk menolak diterimanya pandangan perbuatan melawan hukum materiil dalam pengertian terbatas sebagai “perbuatan melawan hukum yang bertentangan dengan undang-undang, asas-asas umum, dan norma-norma hukum tidak tertulis”. Hal mana pernah dianut di dalam putusan pengadilan HR 20 Februari 1933 NJ 1933 W. No.: 12600. Selain itu, diterimanya perbuatan melawan hukum secara materiil juga diperkuat dari pengaruh yang terdapat dalam praktik hukum, seperti: diterimanya penafsiran extensieve, dll.[3]

Simons dalam Bambang Poernomo adalah tergolong sarjana yang tidak dapat menerima pandangan perbuatan melawan hukum secara materiil, menurutnya apabila suatu perbuatan telah masuk ke dalam rumusan delik dan dalam undang-undang tidak ditentukan pengecualiannya, maka hakim harus menjalankan undang-undang, dan supaya apa yang ditetapkan dalam hukum positif oleh pembentuk undang-undang tidak lagi diuji oleh pribadi Hakim. Para pendukungnya adalah Jonkers, Vos, dan Hazewinkel Suringa.[4]

Vos menyatakan dengan tegas berhubung adanya Pasal 1 ayat (1) KUHP penerapannya harus dalam peranan yang negatif, yaitu secara formil memenuhi rumusan delik, akan tetapi secara materiil tidak melawan hukum sehingga perbuatan itu tidak dipidana. Sedangkan menurut Jonkers menyatakan bahwa berhubung dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP bagi suatu perbuatan yang dapat dipidana sedikit-dikitnya disyaratkan perbuatan itu formil melawan hukum dan selanjutnya apakah perbuatan itu materiil juga harus melawan hukum.[5]

Sebagai contoh, seorang dokter yang melakukan abortus karena alasan medis tidak terkena Pasal 348 KUHP, serombongan ekspedisi yang membunuh atas permintaan seorang anggotanya yang mengalami luka-luka parah tanpa pertolongan tidak dikenai Pasal 344 KUHP, dokter hewan yang menyakiti hewan ternak dengan vaccinasi tidak dikenal peraturan Veewet, seorang bapak yang memukul pemuda yang menggoda anak perempuannya tidak dikenai Pasal 352 KUHP, dan semua kejadian itu didasarkan atas asas-asas umum dalam hukum tidak tertulis, sehingga tidak dapat dijatuhkan pidana bagi orang yang melakukan perbuatan seperti contoh-contoh tersebut, karena perbuatan melawan hukum materiil.[6]

Perbuatan melawan hukum yang dinyatakan sebagai elemen delik biasanya disebut dengan perkataan “melawan hukum”, akan tetapi di dalam undang-undang kadangkala dipergunakan perkataan lain yang bersifat implisit seperti dengan tanpa izin, dll. Sebaliknya, di dalam pasal-pasal KUHP yang lain tidak ditentukan dalam rumusan, sehingga tidak dijumpai perkataan melawan hukum.[7]  
_________________________________
1.“Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 116.
2.  Ibid. Hal.: 116-117.
3.  Ibid. Hal.: 117.
4.  Ibid. Hal.: 118.
5.  Ibid. Hal.: 118.
6.  Ibid. Hal.: 118.
7.  Ibid. Hal.: 118-119.

Sabtu, 31 Agustus 2019

Tentang Elemen Melawan Hukum

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Dalam kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Masalah yang Terdapat dalam Elemen Kelakuan, Elemen Akibat, dan Elemen Melawan Hukum’, telah dibahas sekilas mengenai masalah yang terdapat dalam setiap elemen, pada kesempatan ini akan dikhususkan pada elemen melawan hukum.

Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, bahwa susunan elemen delik yang mempunyai peranan penting dan masalahnya juga luas adalah elemen melawan hukum (wederrechtelijke). Elemen melawan hukum ini lebih menonjol daripada elemen objektif yang lain, karena dari definisi yang manapun terhadap delik atau strafbaar feit kedudukan elemen melawan hukum selalu tidak berubah. Sebagaimana telah diuraikan di muka, pengertian strafbaarfeit terdapat pertentangan, di satu pihak ada yang mencakup kesalahan dan di lain pihak ada yang memisahkan kesalahan.[1]

A. Arti Melawan Hukum

Apa yang dimaksud melawan hukum? Elemen melawan hukum mempunyai istilah asing “onrechtmatigheid” atau “wederrechtelijkheid”. Mengenai maksud istilah “wederrechtelijk”, dalam kepustakaan mempunyai beberapa makna, antara lain yaitu melawan hukum (tegen het recht), tanpa hak sendiri (zonder eigen recht), bertentangan dengan hukum pada umumnya (in strijd met het recht in het algemeen), bertentangan dengan hak pribadi seseorang (in strijd met een anders subjective recht), dan lain sebagainya.[2]

Di dalam KUHP ternyata dijumpai beberapa ketentuan mengenai elemen melawan hukum, seperti Pasal 406 mengandung arti “zonder eigen recht”, Pasal 333 mengandung arti “tegen het objective recht”, Pasal 167, 378, 522 mengandung arti “strijdig met het recht”, kadang-kadang sesuatu pasal dapat mempunyai arti lebih dari satu, misalnya Pasal 167 dan 378 tergantung kepada interpretasi setiap kasus.[3]

B. Sifat Melawan Hukum Suatu Perbuatan

Kapan suatu perbuatan dikatakan melawan hukum? Sifat melawan hukumnya suatu perbuatan terdapat dua ukuran, yaitu sifat melawan hukum yang formel dan sifat melawan hukum yang materiel. Dijabarkan sebagai berikut.[4]
  • Sifat Melawan Hukum Formel (formeele wederrechtelijkheidbegrip)
Suatu perbuatan yang dinyatakan melawan hukum apabila persesuaian dengan rumusan delik dan sesuatu pengecualian seperti daya paksa, pembelaan terpaksa itu hanyalah karena ditentukan tertulis dalam undang-undang (Pasal 48, 49 KUHP). Melawan hukum diartikan melawan undang-undang, oleh karena itu pandangan ini disebut sifat melawan hukum formel.
  • Sifat Melawan Hukum Materiel (materiele wederrechtelijkheidbegrip)
Sebaliknya, tidak selamanya perbuatan melawan hukum itu selalu bertentangan dengan peraturan undang-undang, dan suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang dapat dikecualikan sebagai perbuatan yang tidak melawan hukum. Melawan hukum dapat diartikan baik melawan undang-undang maupun hukum di luar undang-undang, oleh karena itu pandangan ini disebut sifat melawan hukum yang materiel.

Vos dalam Bambang Poernomo memberikan penjelasan yang lebih sederhana sebagai berikut. Disebut formeele wederrechtelijkheid sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum positif (tertulis). Sedangkan materiele wederrechtelijkheid adalah perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas umum/norma hukum tidak tertulis.[5] Dengan demikian, dapat dipahami bahwa bertentangan dengan hukum dalam arti formil hanyalah kategori sifat melawan hukum yang terbatas pada konteks tertulis saja, sedangkan bertentangan dengan hukum dalam arti materiil adalah lebih daripada itu, mencakup norma-norma yang hidup dan dianut oleh masyarakat dalam arti luas.
_________________________________
1.  “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 113.
2.  Ibid. Hal.: 114-115.
3.  Ibid. Hal.: 115.
4.  Ibid. Hal.: 115.
5.  Ibid. Hal.: 115.

Rabu, 28 Agustus 2019

Problem Kausalitas dalam Perumusan Delik

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Dalam kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Masalah yang Terdapat dalam Elemen Kelakuan, Elemen Akibat, dan Elemen Melawan Hukum’, telah dibahas sekilas mengenai problem kausalitas, pada kesempatan ini akan diteruskan dan dilakukan pembahasan lebih lanjut.


Sebagaimana dipahami sebelumnya, di dalam merumuskan delik sebagai strafbaarfeit terdapat elemen akibat dari perbuatan, artinya suatu hubungan antara sebab dan akibat yang dapat menimbulkan kejadian yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Penentuan hubungan kausalitas yang beraneka ragam dapat dikelompokan menjadi beberapa teori dasar pertumbuhan yurisprudensi:[1]
  1. Teori Conditio Sine Qua Non;
  2. Kelompok teori yang mengindividualisasi;
  3. Kelompok teori yang menggeneralisasi;
  4. Teori Relevansi;
  5. Yurisprudensi mengenai penentuan kasusalitas.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, maka selanjutnya akan dibahas satu per satu sebagaimana berikut ini.

1. Teori Condition Sine Qua Non

Teori ini dikemukakan oleh Von Buri, seorang berkebangsaan Jerman. Menurut teori ini, semua syarat yang menyebabkan akibat dipandang sebagai musabab. Semua syarat dipandang sebagai musabab untuk terjadinya akibat, sehingga tidak dibedakan mana syarat yang dapat menjadi musabab dan mana yang hanya merupakan syarat belaka, maka ajaran teori ini (menjadi) terlalu luas.[2]

Perbuatan menempatkan pelayan tidur di dapur belakang kemudian ternyata digigit serangga berbisa dan meninggal, maka perbuatan menempatkan pelayan itu di dapur dianggap kausal kematian. Teori ini menyamakan antara syarat dan musabab, pada hakikatnya dapat menjadi dasar dari semua ajaran kausal dengan sedikit perbedaan pola berpikir. Di satu pihak mencari syarat mana yang terpenting untuk terjadinya akibat dan di lain pihak menghargai sama tiap-tiap syarat yang secara umum dapat menimbulkan akibat.[3]

2. Kelompok Teori yang Mengindividualisasi

Kelompok teori yang mengindividualisasi (individualiseerende theorien) menentukan syarat mana menurut kenyataan, dengan pertimbangan post factum setelah peristiwa terjadi, syarat mana yang mempunyai pengaruh terbesar untuk terjadinya akibat.[4]

Teori ini dapat dirangkum sebagai berikut:[5]
  • Teori “meist wirksame Bedigung” dari K. Birkmeyer, mengajarkan tentang faktor yang paling aktif dan elektif. Teori ini timbul kesulitan apabila ada dua menarik kereta, kuda manakah yang paling kuat menarik kereta yang bergerak itu.
  • Teori “Gleichgewicht” atau “Uebergewicht”, menyatakan bahwa musabab adalah syarat yang mendorong ke arah timbulnya akibat (positieve) jika dibandingkan dengan syarat yang mencegah (negatieve), atau dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa syarat adalah musabab jika syarat positif itu menentukan di atas syarat negatif.
  • Teori “die Art des Werdens” dari Kohler, mengajarkan dengan membandingkan syarat manakah yang menurut sifatnya dapan menjadi musabab yang menimbulkan akibat.

3. Kelompok Teori yang Menggeneralisasi

Kelompok teori yang menggeneralisasi (generaliseerende theorieen) menghargai pelbagai faktor, yang dapat ditujukan sebagai syarat untuk terjadinya akibat yang dipertimbangkan secara abstrak menurut sifat umum, dengan pertimbangan secara ante factum yang mengambil pendirian pada saat sebelum timbulnya akibat.[6]

Teori ini dapat dirangkum sebagai berikut:[7]
  • Teori “adequate” dari von Kries, mengajarkan teori tentang musabab, adalah sebagai serentetan syarat yang pada umumnya, menurut jalannya kejadian yang normal, dapat menimbulkan akibat. Yang dimaksud normal menurut keadaan sekitar terjadinya akibat dimana terdakwa mengetahui atau seharusnya mengetahui.
  • Teori “der adequate Verursachung vom Standpunkte objectivnachtraglicher Prognose” dari Rumelin, mengajarkan teori adequate atas peramalan objektif dengan mengingat keadaan-keadaan sesudah terjadi akibat.
  • Teori “adequate” dari Traeger, mengajarkan teori seimbang, dalam menentukan musabab harus dicari dari syarat yang manakah yang seimbang dengan akibat yang timbul.

4. Teori Relevansi

Teori “Relevantie” dari Mezger dalam karangannya tentang “Strafrecht” tahun 1931, mengajarkan bahwa dalam menentukan hubungan sebab-akibat tidak mengadakan perbedaan antara musabab dan syarat, melainkan dimulai dengan menafsirkan rumusan delik yang memuat akibat yang dilarang itu dicoba menemukan kelakuan yang manakah kiranya yang dimaksud pada waktu undang-undang itu dibuat. Jadi pemilihan dari syarat-syarat yang relevan itu didasarkan apa yang dirumuskan dalam undang-undang.[8]

Penentuan hubungan kausal antara kelakuan dan akibat sebagaimana disebutkan di atas, pada umumnya diterapkan terhadap jenis delik yang dirumuskan commissie delicten yang meliputi materiele delicten, geqwalificeerde delicten, dan formeele delicten.[9]

5. Yurisprudensi mengenai penentuan kausalitas

Yurisprudensi mengenai kausalitas berubah-ubah mengikuti ajaran yang berkembang, hal ini ternyata dalam putusan pengadilan dari negeri Belanda dan Hindia Belanda dahulu.[10]

Sebelum tahun 1911 dengan arrest HR 7 Juni 1911 W. 9209 memutuskan bahwa oleh karena undang-undang tidak menentukan tentang ajaran sebab akibat, maka menyerahkan kepada hakim dengan kebijaksanaannya untuk memilih ajaran kausalitas.[11]

Pada tahun 1929 dengan arrest HR 8 April 1920 W. 12004 telah memutuskan perkara dengan ajaran conditio sine qua non dari Von Buri.[12]

Kemudian dalam tahun 1933 dengan arrest HR 30 Oktober 1933 W. 12683 NJ telah memberikan putusan perkara dengan mengikuti ajaran adequate yang subjektif dari V. Kries. Dan ada pula putusan yang mengikuti ajaran adequate yang objektif dari Rumelin dalam putusan HR 11 April 1938 NJ 1938 No. 1020 dan HR 24 Januari 1950 NJ 1950 No. 293.[13]
_________________________________
1. “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 107-108.
2.  Ibid. Hal.: 109.
3.  Ibid. Hal.: 109.
4.  Ibid. Hal.: 109-110.
5.  Ibid. Hal.: 110.
6.  Ibid. Hal.: 110.
7.  Ibid. Hal.: 110.
8.  Ibid. Hal.: 111.
9.  Ibid. Hal.: 112.
10.        Ibid. Hal.: 112.
11.        Ibid. Hal.: 112.
12.        Ibid. Hal.: 112-113.
13.        Ibid. Hal.: 113.

Senin, 26 Agustus 2019

Masalah yang Terdapat dalam Elemen Kelakuan, Elemen Akibat, dan Elemen Melawan Hukum

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah kita lewati kuliah sebelumnya berjudul: ‘Elemen-elemen Delik’, dan selanjutnya dalam kesempatan ini akan dibahas mengenai masalah-masalah yang terdapat di dalam elemen kelakuan, elemen akibat, dan elemen melawan hukum.

Menurut pandangan yang merumuskan delik sebagai strafbaarfeit dalam arti definisi pendek/hukum positif, maka elemen-elemennya cukup mengambil elemen yang objektif saja, yaitu:[1]
  1. Elemen kelakuan (doen of nalaten);
  2. Elemen akibat dari perbuatan, menurut rumusan delik;
  3. Elemen objektif yang menyertai keadaan delik, yang bersifat kualitas atau yang memberatkan atau meringankan;
  4. Elemen melawan hukum (wederrechtelijkeid).

Akan tetapi pada bagian selanjutnya, yang akan dibahas hanyalah tiga, yaitu elemen kelakuan, elemen akibat dari perbuatan, dan elemen melawan hukum.

A. Elemen Kelakuan

Elemen kelakuan yang dirumuskan dalam delik bentuknya berupa kelakuan dengan berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang seharusnya dilakukan. Di dalam hukum pidana sering disebut dengan kelakuan positif (doen) dan kelakuan negatif (nalaten).[2]

Menurut Vos dalam Bambang Poernomo, pertama menyebutkan suatu pengertian dari kelakuan sebagai gerakan otot yang dikehendaki, pengertian ini berarti tidak dimasukkan terhadap kelakuan negatif, sehingga kurang lengkap. Kedua, pengertian kelakuan sebagai suatu kejadian yang ditimbulkan oleh orang, yang nampak ke luar, dan yang ditujukan kepada suatu tujuan yang menjadi objek norma yang berlaku, pengertian inipun tidak memuaskan. Ketiga, pengertian kelakuan sebagai sikap jasmani yang disadari, tidak termasuk reflek. Pendapat inilah yang disetujui oleh Prof. Moeljatno, S.H., karena dapat mencakup kelakuan positif dan negatif.[3]

B. Elemen Akibat

Elemen akibat dari perbuatan, artinya suatu hubungan antara sebab dan akibat yang dapat menimbulkan kejadian yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Penentuan hubungan antara sebab dan akibat itu, di dalam undang-undang harus ditentukan apakah akibat yang terjadi yang dilarang oleh undang-undang itu disebabkan oleh kelakuan orang yang berbuat, atau dengan perkataan lain apakah disebabkan oleh kelakuan orang itu lalu timbul akibat yang dilarang oleh undang-undang, sehingga harus terbukti bahwa akibat itu disebabkan kelakuan yang bersangkutan atau kelakuan itu menyebabkan akibat yang bersangkutan.[4]

Penentuan hubungan kausalitas yang beraneka ragam dapat dikelompokan menjadi beberapa teori dasar pertumbuhan yurisprudensi:[5]
  1. Teori Conditio Sine Qua Non;
  2. Kelompok teori yang mengindividualisasi;
  3. Kelompok teori yang menggeneralisasi;
  4. Teori Relevansi;
  5. Yurisprudensi mengenai penentuan kasusalitas.

C. Elemen Melawan Hukum

Susunan elemen delik yang mempunyai peranan penting dan masalahnya juga luas adalah elemen melawan hukum (wederrechtelijke). Elemen melawan hukum ini lebih menonjol daripada elemen objektif yang lain, karena dari definisi yang manapun terhadap delik atau strafbaar feit kedudukan elemen melawan hukum selalu tidak berubah. Sebagaimana telah diuraikan di muka, pengertian strafbaarfeit terdapat pertentangan, di satu pihak ada yang mencakup kesalahan dan di lain pihak ada yang memisahkan kesalahan.[6]
_________________________________
1.  “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 106.
2.  Ibid. Hal.: 106.
3.  Ibid. Hal.: 106.
4.  Ibid. Hal.: 107-108.
5.  Ibid. Hal.: 108.
6.  Ibid. Hal.: 113.

Senin, 29 Juli 2019

Elemen-elemen Delik

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo


Sebagaimana telah kita lewati kuliah sebelumnya berjudul: ‘Penggolongan Delik’, selanjutnya dalam kesempatan ini akan dibahas mengenai elemen-elemen delik.

Bertalian dengan perumusan delik yang mempunyai sejumlah elemen, di antara para ahli mempunyai jalan pikiran yang berlainan. Sebagian pendapat membagi elemen perumusan delik secara mendasar saja, dan ada pendapat lain yang membagi elemen perumusan delik secara terperinci.[1]

Elemen Delik Secara Mendasar

Pembagian secara mendasar di dalam melihat perumusan delik hanya mempunyai dua elemen dasar yang terdiri atas:[2]
  1. Bagian yang objektif menunjuk delik terdiri dari perbuatan (een doen of nalaten) dan akibat, yang merupakan kejadian yang bertentangan dengan hukum positif sebagai anasir yang melawan hukum (onrechtmatig) yang dapat diancam dengan pidana; dan
  2. Bagian yang subjektif merupakan anasir kesalahan daripada delik.

Menurut van Apeldoorn dalam Bambang Poernomo, elemen delik itu terdiri dari elemen objektif yang berupa adanya suatu kelakuan yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatig/wederrechtelijk) dan elemen subjektif yang berupa adanya seorang pembuat (dader) yang mampu bertanggungjawab atau dapat dipersalahkan (toerekeningsvatbaarheid) terhadap kelakuan yang bertentangan dengan hukum itu.[3]

Kiranya sesuai sekali dengan apa yang diuraikan oleh van Bemmelen dalam Bambang Poernomo yang menyatakan bahwa elemen-elemen dari delik dapat dibedakan menjadi: Elementen voor de strafbaarheid van het feit terletak dalam bidang objektif karena pada dasarnya menyangkut tata kelakuan yang melanggar hukum, seterusnya mengenai elementen voor de strafbaarheid van de dader terletak dalam bidang subjektif karena pada dasarnya menyangkut keadaan/sikap batin orang yang melanggar hukum, yang kesemuanya merupakan elemen yang diperlukan untuk menentukan dijatuhkannya pidana sebagaimana yang diancamkan.[4]

Elemen Delik Secara Terperinci

Adapun pembagian elemen delik secara terperinci melihat delik didasarkan atas susunan isi perumusan dari tiap-tiap delik yang bersangkutan, sehingga secara alternatif setiap delik harus mempunyai elemen yang pada umumnya sesuai dengan luasnya isi rumusan delik yang berkembang dalam ilmu pengetahuan. Tidak terdapat satu kesatuan doktrin dari para ahli dalam menentukan pembagian perincian elemen dalam sesuatu delik.[5]

Menurut Hazewinkel Suringa dalam Bambang Poernomo, di dalam suatu delik dimungkinkan adanya beberapa elemen yaitu:[6]
  1. Elemen kelakuan orang;
  2. Elemen akibat, yang ditetapkan dalam rumusan undang-undang karena pembagian delik formil dan materiil;
  3. Elemen psikis, seperti ‘dengan maksud’ atau ‘dengan sengaja’ atau ‘karena kealpaannya’;
  4. Elemen objektif yang menyertai keadaan delik seperti elemen ‘di muka umum’;
  5. Syarat tambahan untuk dapat dipidananya perbuatan, seperti dalam Pasal 164 dan 165 disyaratkan apabila kejahatan terjadi;
  6. Elemen melawan hukum (wederrechtelijkheid) sebagai elemen yang memegang peranan penting, seperti dalam Pasal 167 dan 406.
_________________________________
1.  “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 103.
2.  Ibid. Hal.: 103.
3.  Ibid. Hal.: 103.
4.  Ibid. Hal.: 103.
5.  Ibid. Hal.: 103.
6.  Ibid. Hal.: 104.

Kamis, 25 Juli 2019

Penggolongan Delik

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebagaimana telah kita lewati kuliah sebelumnya berjudul: ‘Subjek dan Rumusan Delik’, selanjutnya dalam kesempatan ini akan dibahas mengenai penggolongan daripada delik.

Penggolongan Delik

Penggolongan jenis-jenis delik di dalam KUHP, terdiri atas kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Penggolongan untuk kejahatan disusun di dalam Buku II KUHP dan pelanggaran disusun di dalam Buku III KUHP. Undang-undang hanya memberikan penggolongan kejahatan dan pelanggaran, akan tetapi tidak memberikan arti yang jelas.[1] Oleh karena itu, sederhana sekali bahwa berbagai macam delik, khususnya yang terdapat di dalam KUHP, dapat digolongkan ke dalam dua kategori, pertama adalah delik kejahatan dan kedua adalah delik pelanggaran. Berikut dijelaskan mengenai perbedaan antara Kejahatan dengan Pelanggaran.

Kejahatan

Risalah penjelasan undang-undang (Mvt) yang terdapat di negara Belanda membuat ukuran kejahatan atas dasar teoritis bahwa kejahatan adalah “rechtdelicten”. Ilmu Pengetahuan kemudian menjelaskan bahwa rechtdelicten merupakan perbuatan dalam keinsyafan batin manusia yang dirasakan sebagai perbuatan tidak adil dan disamping itu juga sebagai perbuatan tidak adil menurut undang-undang.[2]

Kejahatan adalah “crimineel-onrecht”, merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan hukum. Ada juga yang memberikan pendapat lain bahwa arti crimineel-onrecht sebagai perbuatan bertentangan dengan norma-norma menurut kebudayaan atau keadilan yang ditentukan oleh Tuhan atau membahayakan kepentingan hukum.[3]

Pelanggaran

Risalah penjelasan undang-undang (Mvt) yang terdapat di negara Belanda membuat ukuran kejahatan atas dasar teoritis bahwa pelanggaran adalah “wetsdelicten”. Ilmu Pengetahuan kemudian menjelaskan bahwa wetdelicten merupakan perbuatan yang menurut keinsyafan batin manusia tidak dirasakan sebagai perbuatan tidak adil, tetapi baru dirasakan sebagai perbuatan terlarang karena undang-undang mengancam dengan pidana.[4]

Pelanggaran adalah “politie-onrecht”, yaitu merupakan perbuatan yang tidak mentaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa negara. Politie-onrecht ini menitikberatkan sebagai perbuatan yang pada umumnya dilarang oleh peraturan penguasa atau negara.[5]

Sebagai kesimpulan, Bambang Poernomo menjelaskan, bahwa perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran dikarenakan sifat dan hakikatnya, seperti ukuran perbedaan yang telah diuraikan terdahulu, akan tetapi adapula perbedaan kejahatan dan pelanggaran didasarkan atas ukuran pelanggaran itu dipandang dari sudut kriminologi tidak begitu berat dibandingkan dengan kejahatan. Perbedaan yang demikian itu disebut perbedaan secara kualitatif dan kuantitatif.[6]
_________________________________
1.  “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 95-96.
2.  Ibid. Hal.: 96.
3.  Ibid. Hal.: 96.
4.  Ibid. Hal.: 96.
5.  Ibid. Hal.: 96.
6.  Ibid. Hal.: 97.

Kamis, 18 Juli 2019

Subjek Dan Rumusan Delik

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah kita lewati kuliah sebelumnya berjudul: ‘Istilah dan Pengertian Delik’, selanjutnya dalam kesempatan ini akan dibahas mengenai Subjek delik dan Rumusan delik.

Subjek Delik

Delik mempunyai sifat melarang atau mengharuskan suatu perbuatan tertentu dengan ancaman pidana kepada barangsiapa yang melakukannya. Delik ditujukan kepada yang memperkosa kepentingan hukum, membahayakan kepentingan hukum, dengan tujuan untuk menjaga kepentingan hukum. Kepentingan hukum yang dimaksudkan meliputi kepentingan negara, kepentingan masyarakat, dan kepentingan individu.[1]

Hubungan antara sifat delik yang demikian itu dan kepentingan hukum yang harus dilindungi, maka yang menjadi subjek delik pada umumnya adalah manusia (een natuurlijk persoon). Vos dalam Bambang Poernomo memberikan penjelasan mengapa hanya manusia yang dapat menjadi subjek delik:[2]
  1. Terdapat rumusan yang dimulai dengan “hij die...” di dalam peraturan undang-undang pada umumnya, yang berarti tidak lain adalah manusia;
  2. Jenis-jenis pidana pokok hanya dapat dijalankan tidak lain daripada oleh manusia;
  3. Di dalam hukum pidana berlaku azas kesalahan bagi seorang manusia pribadi.

Bambang Poernomo menambahkan, perkembangan di dalam perundang-undangan hukum pidana baru ternyata bagi badan hukum (rechtspersoon) dapat juga dipidana dengan penetapan sebagai tindakan, dan di dalam undang-undang fiscal dapat dipidana badan hukum dengan reele executie atas harta kekayaannya.[3]

Rumusan Delik

Di dalam bahasannya, Bambang Poernomo membandingkan rumusan delik dari para ahli hukum pidana seperti Jonkers dan Vos. Dengan asumsi berbagai bentuk perumusan delik disebabkan oleh faktor-faktor seperti teknis-yuridis, yuridis-sosiologis dan politis.[4]

Jonkers mengenal empat jenis metode rumusan delik di dalam undang-undang, terdiri atas:[5]
  1. Yang lazim menyebutkan rumusan dengan cara menerangkan isi delik dan keterangan itu dapat dijabarkan menjadi unsur-unsur perbuatan yang dapat dipidana, seperti misalnya Pasal 279, 281, 286, 242 dan sebagainya dalam KUHP;
  2. Dengan cara menerangkan unsur-unsur dan memberikan pensifatan (kualifikasi), seperti misalnya pemalsuan Pasal 263, pencurian Pasal 362, Penggelapan Pasal 372, penipuan Pasal 378 dalam KUHP;
  3. Cara yang jarang dipakai adalah hanya memberikan pensifatan kualifikasi saja seperti misalnya Penganiayaan Pasal 351, pembunuhan Pasal 338 dalam KUHP;
  4. Kadang kala undang-undang merumuskan ancaman pidananya saja untuk peraturan-peraturan yang masih akan dibuat kemudian seperti misalnya Pasal 521 dan Pasal 122 ayat (1) KUHP;

Vos berpendapat hanya mengenal tiga macam rumusan delik, yaitu:[6]
  1. Rumusan yang merupakan bagian-bagian delik (de kenmerken of feitelijke bestanddelen), misalnya Pasal 362, 372, 378 KUHP, dan Pasal 167 dan sebagainya dalam KUHP, akan tetapi tentang pencurian, penggelapan dan sebagainya itu mengandung pula rumusan kualifikasi;
  2. Rumusan yang menyebutkan kualifikasi delik (de juridische benaming of qualificatie), seperti misalnya Pasal 351 tentang Penganiayaan, Pasal 297 tentang Perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum cukup umur dan sebagainya dalam KUHP;
  3. Rumusan yang hanya memuat ancaman pidana (de strafbedreiging) seperti misalnya Pasal 122, 564, 566 KUHP.

Metode perumusan delik dari Vos maupun Jonkers tidak ada perbedaannya dan pendapat inilah yang sekiranya dapat diikuti untuk mengenal metode, perumusan delik atas dasar teknik penyusunan. Ada pendapat lain yang mengatakan rumusan delik dapat dibagi atas dasar tingkah lakunya (gedraging) yang dapat menjadi perumusan kelakuan positif/handelen sebagai “commissiedelict”, atau sebaliknya dengan kelakuan negatif/nalaten sebagai “ommissiedelict”, sehingga kedua rumusan dengan bentuk nyata-nyata dari kelakuan itu dinamakan “formeeldelict”, sedangkan rumusan akibat dari kelakuan dinamakan “materieldelict”.[7]
_________________________________
1.  “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 92-93.
2.  Ibid. Hal.: 93.
3.  Ibid. Hal.: 93.
4.  Ibid. Hal.: 94-95.
5.  Ibid. Hal.: 94.
6.  Ibid. Hal.: 94-95.
7.  Ibid. Hal.: 95.

Rabu, 10 Juli 2019

Istilah Dan Pengertian Delik

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Kuliah sebelumnya berjudul: ‘Azas-azas Tidak Tertulis Dalam Hukum Pidana’, telah kita lalui, selanjutnya dalam kesempatan ini akan dibahas mengenai Istilah dan pengertian dari "delik".

Istilah Delik

Di dalam KUHP (WvS) dikenal dengan istilah strafbaar feit. Kepustakaan hukum pidana sering mempergunakan istilah ‘delik’, sedangkan pembuat undang-undang dalam merumuskan undang-undang mempergunakan istilah ‘peristiwa pidana’ atau ‘perbuatan pidana’, atau ‘tindak pidana’. Tanpa mempersoalkan perbedaan istilah seperti tersebut di atas, yang nantinya akan ditulis tersendiri, pada kesempatan ini akan dicari pengertian strafbaar feit lebih dahulu menurut pendapat para ahli hukum Belanda.[1]

Pengertian Delik

Vos dalam Bambang Poernomo terlebih dahulu mengemukakan arti delict sebagai “Tatbestandmassigheit” dan delik sebagai “Wesenschau”. Makna “Tatbestandmassigheit” merupakan kelakuan yang mencocoki lukisan ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan, maka dari situ telah ada delik. Sedangkan makna “Wesenschau” merupakan kelakuan yang mencocoki ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan, maka baru merupakan delik apabila kelakuan itu “dem Wesen nach” yaitu menurut sifatnya cocok dengan makna dari ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan.[2]

Delik menurut pengertian sebagai “Wesenschau” telah diikuti oleh para ahli hukum pidana dan jurisprudensi di negeri Belanda dalam hubungannya dengan ajaran sifat melawan hukum yang materiil.[3]

Pengertian dari istilah “strafbaar feit” menurut Vos dalam Bambang Poernomo adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilaran dengan ancaman pidana.[4]

Menurut Pompe dalam Bambang Poernomo, pengertian “strafbaar feit” dibedakan atas:[5]
  1. Definisi menurut teori memberikan pengertian ‘strafbaar feit’ adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum;
  2. Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian ‘strafbaar feit’ adalah suatu kejadian (feit) yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.


Sejalan dengan definisi yang membedakan antara pengertian menurut teori dan menurut hukum positif itu, juga dapat dikemukakan pandangan dari Jonkers yang telah memberikan definisi ‘strafbaar feit’ menjadi dua pengertian:[6]
  1. Definisi pendek memberikan pengertian ‘strafbaar feit’ adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang;
  2. Definisi panjang atau lebih mendalam yang memberikan pengertian ‘strafbaar feit’ adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.


Jalan pikiran menurut definisi pendek pada hakikatnya menyatakan bahwa pastilah untuk setiap delik yang dapat dipidana harus berdasarkan undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang dan pendapat umum tidak dapat menentukan lain daripada yang telah ditentukan oleh undang-undang.[7]
Sedangkan dalam definisi yang panjang menitikberatkan kepada sifat melawan hukum dan pertanggungan jawab yang merupakan unsur-unsur yang telah dirumuskan secara tegas di dalam setiap delik, atau unsur-unsur yang tersembunyi secara diam-diam dianggap ada. Apabila dirumuskan secara tegas justru dalam membuktikan unsur-unsur delik tersebut akan banyak persoalan, untuk setiap kali harus dibuktikan yang merupakan beban yang berat bagi penuntut umum.[8]

Di dalam mencari elemen yang terdapat di dalam ‘strafbaar feit’ oleh Vos telah ditunjuk pendapat dari Simons yang menyatakan suatu ‘strafbaar feit’ adalah perbuatan yang melawan hukum dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Dari pengertian ini dapat dikatakan suatu ‘strafbaar feit’ mempunyai elemen “wederrechtelijkheid” dan “schuld”.[9]

Bambang Poernomo menyimpulkan, semakin jelas bahwa pengertian strafbaar feit mempunyai dua arti, yaitu menunjuk kepada perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, dan menunjuk kepada perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.[10]

_________________________________
1.  “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 90.
2.  Ibid. Hal.: 90.
3.  Ibid. Hal.: 91.
4.  Ibid. Hal.: 91.
5.  Ibid. Hal.: 91.
6.  Ibid. Hal.: 91.
7.  Ibid. Hal.: 91.
8.  Ibid. Hal.: 91-92.
9.  Ibid. Hal.: 92.
10.        Ibid. Hal.: 92.

What is a Bridging Visa?

( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Indonesia Immigration Implements Bridging ...