Tampilkan postingan dengan label Kuliah Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kuliah Hukum. Tampilkan semua postingan

Minggu, 30 Juni 2019

Sekilas Hukum Pidana

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo


Melanjutkan kuliah sebelumnya berjudul: ‘Pembagian Ilmu Hukum’, maka untuk kuliah selanjutnya kita sudah memasuki bagian-bagian dari ilmu hukum. Untuk bagian pertama, penulis akan membahas mengenai hukum pidana terlebih dahulu. Hal ini dilakukan sebagai preferensi saja, jika L.J. van Apeldoorn dalam bukunya yang berjudul: “Pengantar Ilmu Hukum” atau “Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht”, Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldorn,  PT. Pradnya Paramita, Jakarta, (Cetakan Ke-dua puluh lima), 1993., mempunyai kecenderungan dominan hukum Perdata, dan E. Utrecht dalam bukunya berjudul “Pengantar Dalam Hukum Indonesia”, E. Utrecht, S.H., PT. Penerbit Dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta, (Cetakan Keenam), 1961., mempunyai kecenderungan dominan hukum tata negara, maka dalam kesempatan ini penulis memilih hukum pidana sebagai bahasan yang didahulukan.

Hukum pidana sebagai bagian dari ilmu hukum tentu memiliki keluasan, dan pada pembelajaran pertama ini akan dibahas terlebih dahulu azas-azas hukum pidana sebagai pondasinya. Pada bagian pertama ini akan dibahas terlebih dahulu pengertian hukum pidana, kemudian tugas dari ilmu hukum pidana. Tanpa basa-basi lagi, mari kita pelajari hukum pidana lebih lanjut.

Pengertian Hukum Pidana

Pompe dalam Poernomo, mendefinisikan hukum pidana sebagai: 1). Hukum pidana adalah hukum sanksi. Definisi ini diberikan berdasarkan ciri hukum pidana yang membedakan dengan lapangan hukum lain yaitu bahwa hukum pidana sebenarnya tidak mengadakan norma sendiri melainkan sudah terletak pada lapangan hukum yang lain, dan sanksi pidana diadakan untuk mengautkan ditaatinya norma-norma di luar hukum pidana. Secara tradisional definisi hukum pidana dianggap benar sebelum hukum pidana berkembang dengan pesat. 2). Hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya.[1]

D. Hazewingkel-Suringa dalam Poernomo, mendefinisikan hukum pidana dalam arti objektif (ius poenale) meliputi: a). Perintah dan larangan yang pelanggarannya diancam dengan sanksi pidana oleh badan yang berhak; b). Ketentuan-ketentuan yang mengatur upaya yang dapat dipergunakan, apabila norma itu dilanggar, yang dinamakan hukum penitentiaire; c). Aturan-aturan yang menentukan kapan dan dimana berlakunya norma-norma tersebut di atas. Hukum pidana dalam arti subjektif (ius puniendi) yaitu hak negara menurut hukum untuk menuntut pelanggaran delik dan untuk menjatuhkan serta melaksanakan pidana.[2]

Tugas Ilmu Hukum Pidana

Ilmu hukum pidana mempunyai tugas untuk menjelaskan, menganalisa, dan seterusnya menyusun dengan sistematis dari norma hukum pidana dan sanksi pidana agar pemakaiannya menjadi berlaku sesuai dengan kemanfaatan dalam masyarakat. Oleh karena itu yang menjadi objek ilmu hukum pidana adalah hukum pidana positif.[3]

Ilmu hukum pidana positif memandang kejahatan sebagai pelanggaran norma (rechtsnorm) dan mendapatkan pidana karena ancaman sanksi pidana (rechtsanctie) itu memang tidak dapat disangkal, akan tetapi apabila perkembangan hukum pidana positif telah sampai pada tujuan untuk memperhatikan kejahatan dan penjahat (aliran hukum pidana modern) berdasarkan kenyataan masyarakat dan kemanfaatan masyarakat berarti tidak akan lepas dari peninjauan terhadap manusia yang melanggar hukum dengan menyelidiki sebab-sebab dan cara ditindaknya (diagnose dan therapy) terhadap kejahatan itu. Penerapan hukum pidana dalam pertumbuhannya memerlukan bantuan bahan-bahan dan pengaruh hasil penyelidikan dari kriminologi.[4]

_________________________________
1.  “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 19-20.
2.  Ibid.
3.  Ibid. Hal.: 38.
4.  Ibid. Hal.: 39.

Jumat, 21 Juni 2019

Pembagian Ilmu Hukum

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Melanjutkan kuliah sebelumnya berjudul: ‘Hak-hak Subjektif’, maka dalam kesempatan ini, masih dalam konteks Pengantar Ilmu Hukum, akan dibahas mengenai Pembagian ilmu Hukum. Ilmu hukum yang dimaksud di sini adalah dalam pengertian, baik ilmu hukum dalam konteks privat seperti perdata, dan dalam konteks publik seperti hukum pidana.

Pada bagian ini, supaya memudahkan untuk mengerti dalam mempelajari ilmu hukum selanjutnya, penulis membandingkan dua ahli hukum dalam menguraikan pembagian ilmu hukum beserta pendapatnya, dan pada kesempatan ini akan dibandingkan antara L.J. van Apeldoorn dan E. Utrecht.

Pembagian Menurut L.J. van Apeldoorn

1. Hukum Perdata. Hukum Perdata dibagi dalam hukum perdata materiil dan hukum perdata formil. Hukum perdata materiil mengatur kepentingan-kepentingan perdata, sedangkan hukum perdata formil mengatur pertikaian hukum mengenai kepentingan-kepentingan perdata perdata atau dengan kata lain cara mempertahankan peraturan-peraturan hukum perdata materiil dengan pertolongan hakim.

2. Hukum Perdata Internasional. Hukum perdata internasional ialah berdasar pada kenyataan bahwa di dunia ini terdapat sejumlah negara yang mempunyai hukum perdata sendiri. Yang menjadi soal di sini (hukum perdata internasional) adalah terkait pertimbangan hubungan hukum yang terjadi di luar negeri atau jika tersangkut orang asing, atau terkait hubungan dengan luar negeri.

3. Hukum Negara. Dipakai dalam arti sempit, yaitu terkait dengan orang-orang yang memegang kekuasaan pemerintahan dan batas-batas kekuasaannya. Sedangkan dalam arti luas adalah meliputi hukum administratif.

4. Hukum Pidana. Sama halnya dengan hukum perdata, hukum pidana dibagi ke dalam hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil berisikan/menunjukan peristiwa-peristiwa dan aturan pidananya. Sedangkan pidana formil adalah hukum acara untuk menegakkan hukum pidana materiilnya.

5. Hukum Perburuhan. Yang dimaksud dengan hukum perburuhan di sini adalah peraturan-peraturan mengenai hubungan kerja yang timbul dari melakukan kerja upah untuk orang lain.[1]

L.J. van Apeldoorn masih melakukan pembagian yang lain, diantaranya filsafat hukum, sejarah hukum dan sosiologi hukum, hanya saja dikategorikannya ke dalam ilmu pengetahuan hukum. Selain itu, menurut hemat penulis, L.J. van Apeldoorn lebih kental aroma perdatanya, berbeda misalnya dengan E. Utrecht yang akan kita bahas berikut. Pembagian ini bertujuan untuk memudahkan kita dalam mempelajari hukum selanjutnya, terutama menjadi semacam horison ke depannya dalam mempelajari hukum lebih lanjut.

Pembagian Menurut E. Utrecht

1. Hukum Tata Negara. Menurut E. Utrecht, hukum tata negara adalah hukum mengenai susunan negara.

2. Hukum Administrasi Negara. Hukum administrasi negara itu terdiri atas peraturan-peraturan hukum istimewa, yang memungkinkan para pejabat (ambtsdrager) melakukan tugasnya. Yang dimaksud dengan peraturan-peraturan hukum ‘istimewa’ oleh E. Utrecht adalah terkait dengan kepentingan umum.

3. Hukum Pidana. Pada umumnya orang mengatakan hukum pidana menunjuk pada hukum pidana materiil (kategori perbuatan pidana). Di samping itu, terdapat hukum pidana formil, yaitu hukum acara untuk menegakkan hukum pidana materiil.

4. Hukum Acara. Hukum acara atau hukum formil itu menunjuk cara bagaimana peraturan-peraturan hukum materiil dipertahankan dan dijalankan. Hukum acara menunjuk cara bagaimana perkara diselesaikan di muka hakim atau suatu alat negara lain yang diberi tugas menyelesaikan perselisihan hukum.

5. Hukum Perburuhan. Hukum perburuhan adalah himpunan peraturan hukum yang mengatur hubungan antara pekerja dengan majikan dan yang mengatur penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan majikan.

6. Hukum Internasional. Mempelajari dan meninjau dari sudut hukum segala kejadian dalam sejarah politik dan hubungan internasional, supaya dapat mengetahui bagaimana perkembangan hukum internasional dari jaman dahulu sampai hari ini, dan segala kejadian politik dan hubungan internasional pada zaman sekarang.

7. Hukum Privat: Hukum Perdata Dan Hukum Dagang. Hukum privat ialah hukum yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lain (kadang-kadang juga antara anggota masyarakat dengan pemerintah). Di negeri-negeri Eropa Barat, hukum privat dibagi menjadi hukum perdata dengan hukum dagang.[2]
_________________________________
1.  “Pengantar Ilmu Hukum” atau “Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht”, Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldorn,  PT. Pradnya Paramita, Jakarta, (Cetakan Ke-dua puluh lima), 1993, Hal.: 220-477.
2.  Pengantar Dalam Hukum Indonesia”, E. Utrecht, S.H., PT. Penerbit Dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta, (Cetakan Keenam), 1961, Hal.: 335-567.

Sabtu, 01 Juni 2019

Hak-hak Subjektif

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah kita ikuti kuliah sebelumnya berjudul: “Pembagian Hukum Objektif”, maka dalam kesempatan ini, masih dalam konteks Pengantar Ilmu Hukum, akan dibahas tentang Hak-hak Subjektif.

I.         Subjek-subjek Hukum (Purusa)

Segala sesuatu yang mempunyai kewenangan hukum adalah subjek hukum (purusa) dalam arti yuridis. Sedangkan yang dimaksud dengan kewenangan hukum adalah kecakapan untuk menjadi pendukung subjek hukum. Kewenangan hukum adalah sifat yang diberikan oleh hukum objektif dan hanya dimiliki oleh mereka yang diberikan oleh hukum.[1]

Kini hukum objektif pada umumnya memberikan kewenangan hukum kepada setiap orang. Dahulu para wanita dan budak tidak mempunyai kewenangan hukum. Ajaran hukum kini juga undang-undang mengakui adanya subjek hukum yang lain daripada manusia. Untuk membedakannya, manusia disebut subjek hukum kodrat (natuurlijke personen) dan yang lain disebut subjek hukum.[2]

Yang dimaksud dengan purusa hukum adalah: 1. Tiap-tiap persekutuan manusia, yang bertindak dalam pergaulan hukum seolah-olah ia sebagai subjek hukum tunggal; dan 2. Tiap-tiap harta dengan tujuan tertentu, tetapi dengan tiada yang empunya, dalam pergaulan hukum diperlakukan seolah-olah ia sesuatu subjek hukum.[3]

Persekutuan manusia ialah: 1. Perhimpunan, yakni persekutuan-persekutuan yang hidupnya timbul dari pergabungan diri secara sukarela dari pribadi, didirikan oleh pribadi berdasarkan perjanjian; 2. Persekutuan-persekutuan yang tidak didirikan oleh subjek-subjek hukum khusus, melainkan tumbuh secara historis, seperti negara, propinsi dsb.; 3. Persekutuan-persekutuan yang didirikan oleh kekuasaan umum seperti perusahaan.[4]

II.      Pembagian Hak-hak Subjektif

Hak-hak subjektif dibagi ke dalam: hak-hak mutlak atau hak-hak onpersoonlijk dan hak-hak relatif atau hak-hak persoonlijk. Hak-hak mutlak adalah hak-hak yang memuat kekuasaan untuk bertindak. Hak-hak relatif adalah hak-hak yang memuat kekuasaan untuk menuntut agar orang lain bertindak, artinya berbuat sesuatu.[5]

Hak-hak mutlak ialah: 1. Segala hak publik, segala hak subjektif yang berdasar dalam hukum publik dalam arti objektif, terutama apa yang disebut hak-hak dasar, hak-hak kemerdekaan atau hak-hak manusia, hak-hak manusia yang diuraikan dalam Undang-undang Dasar, yang memberikan kemerdekaan bertindak dalam berbagai hal, dan yang membawa kewajiban bagi setiap orang, juga badan-badan pemerintahan untuk tidak melanggarnya. 2. Sebagian hak-hak perdata (yaitu hak-hak yang bersandar pada hukum perdata dalam arti objektif, yaitu: a). Hak-hak kepribadian (persoonlijkheidsrechten), contoh hak manusia atas jiwanya; b). Hak-hak keluarga (familierechten), seperti kekuasaan orang tua, kekuasaan perwalian dan pengampuan; c). Sebagian dari hak-hak harta (vermogensrechten); d). Hak-hak kebendaan (zakelijke rechten); e). Hak-hak atas barang-barang tak berwujud (rechten op immateriele goederen), contoh hak cipta.[6]

Hak-hak relatif ialah hak-hak harta, terkecuali hak-hak kebendaan dan hak-hak atau benda tak berwujud. Dipandang dari sudut yang berhak (penagih hutang), hak-hak relatif itu dinamai piutang atau hak tagih. Dipandang dari sudut yang lain (orang-orang yang berhutang), disebut utang. Biasanya hukum relatif disebut ikatan (verbintenis). Utang sebenarnya tidak lain dari suatu keadaan yang terdiri atas hal, bahwa menurut hukum seseorang harus melakukan prestasi atau menerima prestasi. Jika hal itu dipenuhi, maka timbul keadaan yang dikehendaki oleh hukum.[7]

III.   Terjadinya Dan Lenyapnya Hak-hak Subjektif

Pada bagian ini, secara umum dibagi ke dalam dua bagian, yaitu: A. Fakta-fakta Hukum; B. Memperoleh hak secara asli dan memperoleh hak secara tidak langsung.

A. Fakta-fakta Hukum

Bagaimana terjadinya hukum hukum subjektif? Hukum subjektif terjadi ketika hukum objektif bertindak. Agar hukum objektif bergerak dan agar terjadi hukum subjektif, diperlukan terjadinya suatu peristiwa hukum (peristiwa hukum kemudian menjadi fakta hukum). Peraturan “pembeli wajib membayar harga pembelian”, baru menimbulkan sesuatu hukum subjektif (suatu kewajiban untuk membayar dan sesuatu hak untuk menuntut pembayaran), jika benar-benar diadakan suatu persetujuan jual-beli.[8]

Apa yang berlaku untuk terjadinya, berlaku juga untuk lenyapnya hak-hak subjektif. Hal itu juga tergantung kepada terjadinya sesuatu fakta yang ditunjuk oleh hukum objektif. Fakta-fakta demikian, agar hukum objektif mengikatkan terjadinya atau sebaliknya, lenyapnya hak-hak subjektif dimaksud, kemudian disebut fakta hukum.[9]

Fakta-fakta hukum (agar hukum objektif mengikatkan terjadinya atau sebaliknya, lenyapnya hak-hak subjektif dimaksud) dapat dibagi ke dalam: Perbuatan-perbuatan manusia dan fakta-fakta hukum lainnya. Diterangkan sebagaimana berikut:[10]

a). Perbuatan hukum manusia terbagi ke dalam dua bagian, yaitu: perbuatan-perbuatan hukum dan perbuatan-perbuatan lainnya. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang oleh hukum objektif diikatkan kepada terjadinya dan lenyapnya sesuatu hak subjektif sebagai akibat perbuatan itu, karena hukum objektif menduga bahwa akibatnya dikehendaki oleh para pihak yang bertindak. Perbuatan-perbuatan hukum dapat dibagi lagi menjadi perbuatan hukum sepihak seperti wasiat, atau perbuatan-perbuatan hukum yang berpihak dua (timbal balik) atau perjanjian. Sedangkan yang termasuk perbuatan-perbuatan lainnya: 1, Perbuatan-perbuatan dalam hal hukum objektif mengikatkan sesuatu akibat, bebas dari kehendak orang-orang yang bertindak, artinya tidak perduli ada yang menghendaki atau tidak, contoh: membuang sebagian muatan kapal untuk kepentingan keselamatan kapal, membuat sesuatu karya sastra, ilmu pengetahuan atau kesenian yang membawa akibat hak cipta. 2, Perbuatan-perbuatan tanpa hak (onrechtmatige handelingen), akibat perbuatan-perbuatan tersebut hukum mengikatkan sesuatu akibat yang tidak diinginkan oleh pihak yang bertindak, yaitu berupa ikatan untuk membayar kerugian yang disebabkan oleh perbuatan itu.

b). Termasuk fakta-fakta hukum lainnya, yang tidak merupakan perbuatan manusia, seperti kelahiran dan kematian, berlangsungnya waktu (dalam hal daluarsa).

B. Memperoleh hak secara asli dan memperoleh hak secara tidak langsung

Mengenai terjadinya hak-hak subjektif, kita harus membedakannya ke dalam dua bagian, yaitu:[11]

Pertama, hal-hal dimana timbul sesuatu hak yang baru seluruhnya, sesuatu hak yang belum ada, juga tidak dalam benih, tidak merupakan kelanjutan, juga bukan merupakan pertumbuhan dari sesuatu hak yang telah ada. Disebut juga perolehan hak secara asli, atau original. Contoh: Waktu memperoleh hak milik dengan cara gadai, hipotek, dll.

Kedua, memperoleh hak yang tidak langsung atau derivatif adalah ketika seseorang memperoleh hak yang telah ada, atau yang setidaknya tumbuh atau terjadi sebagai lanjutan dari hak yang telah ada. Disebut juga sebagai perolehan hak secara peralihan atau lanjutan. Contoh: Penyerahan hak milik (levering) dan warisan.

_________________________________
1.  “Pengantar Ilmu Hukum” atau “Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht”, Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldorn,  PT. Pradnya Paramita, Jakarta, (Cetakan Ke-dua puluh lima), 1993, Hal.: 191.
2.           L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 192.
3.           L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 193.
4.           L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 194.
5.           L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 198-199.
6.           L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 199-208.
7.           L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 209.
8.           L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 213.
9.           L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 213.
10.        L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 213-215.
11.        L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 218-219.

Senin, 27 Mei 2019

Pembagian Hukum Objektif

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah kita ikuti kuliah sebelumnya berjudul: “Hukum dan Hak”, maka dalam kesempatan ini, masih dalam konteks Pengantar Ilmu Hukum, akan dibahas tentang Pembagian Hukum Objektif.

Hukum objektif menurut pengertian di sini adalah hukum yang dipahami dari sifat hubungan-hubungan yang diaturnya. Objektif yang dimaksud adalah peraturan-peraturan hukum yang bergantung kepada hakekat kepentingan-kepentingan yang diaturnya.

I. Pembagian Menurut Isi Hukum

Pembagian menurut isi hukum dibagi menjadi dua bagian, pertama adalah hukum publik, dan kedua adalah hukum perdata.

Kepentingan-kepentingan yang diatur oleh hukum dapat berupa dua kepentingan. Pertama, kepentingan-kepentingan umum atau kepentingan-kepentingan publik. Kedua, kepentingan-kepentingan khusus atau kepentingan-kepentingan perdata.[1]

Terdapat keberatan mengenai kriteria ini, memang ini ada benarnya. Pada tiap-tiap peraturan hukum memang tersangkut kepentingan umum. Sebaliknya tiap-tiap peraturan hukum juga menyinggung kepentingan-kepentingan perseorangan. Akan tetapi hal itu tidaklah melemahkan kriteria yang kita terima di atas tadi. Sebab kriteria itu tidak terletak pada hal bahwa pada peraturan hukum yang satu tersangkut kepentingan pribadi; melainkan bahwa hukum publik mengatur kepentingan umum dan hukum perdata mengatur kepentingan pribadi.[2]

Jadi hukum perdata adalah peraturan-peraturan hukum yang objeknya ialah kepentingan-kepentingan khusus dan yang soal akan dipertahankannya atau tidak diserahkan kepada yang berkepentingan. Hukum publik adalah peraturan-peraturan hukum yang objeknya ialah kepentingan-kepentingan umum dan yang karena itu, soal mempertahankannya dilakukan pemerintah.[3]

II. Pembagian Hukum Menurut Daya Kerjanya

Pembagian hukum menurut daya kerjanya dibagi ke dalam dua bagian, yaitu hukum yang memaksa dan hukum yang mengatur.

Nama hukum yang memaksa tidaklah tepat. Segala hukum sifatnya memaksa. Tetapi dengan hukum yang memaksa (juga disebut hukum yang memerintah atau hukum yang mutlak) dimaksud peraturan-peraturan, untuk orang-orang yang berkepentingan tidak boleh menyimpang dari perjanjian. Hukum yang memaksa mengikat dengan tiada bersyarat, artinya tidak perduli para pihak menghendakinya atau tidak.[4]

Juga nama hukum yang mengatur, sebenarnya kurang tepat. Dikarenakan segala hukum sifatnya mengatur. Tetapi dengan hukum yang mengatur (disebut juga hukum tambahan, hukum relatif atau hukum dispositif) dimaksud adalah peraturan-peraturan yang tunduk kepada peraturan yang dibuat dengan perjanjian oleh yang berkepentingan. Hukum yang mengatur hanya mengatur dan tidak mengikat tanpa syarat. Ia hanya mengikat jika dan sepanjang para pihak yang berkepentingan tidak menentukan peraturan lain dengan perjanjian.[5]

Di antara perbedaan hukum yang memaksa dan hukum yang mengatur pada satu pihak dan hukum publik dan hukum perdata pada pihak lain terdapat persamaan. Hukum publik biasanya hukum yang memaksa, karena ia mengatur kepentingan-kepentingan umum. Karena itu biasanya tidak diperbolehkan menyimpang daripadanya untuk kepentingan-kepentingan subjek hukum (purusa) khusus, meskipun terdapat pengecualian, akan tetapi jarang.[6]

Sebaliknya, hukum perdata biasanya adalah hukum yang mengatur, karena ia mengatur kepentingan perdata. Dan pembentuk undang-undang pada umumnya memberi kebebasan pada subjek hukum (purusa) khusus untuk mengatur kepentingan-kepentingan sebagaimana yang dikehendaki. Dengan kata lain, pada umumnya hukum perdata adalah wilayah otonomi daripada purusa-purusa/subjek hukum-subjek hukum khusus.[7]
_________________________________
1.  “Pengantar Ilmu Hukum” atau “Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht”, Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldorn,  PT. Pradnya Paramita, Jakarta, (Cetakan Ke-dua puluh lima), 1993, Hal.: 171.
2.  L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 172.
3.  L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 174.
4.  L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 182-183.
5.  L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 183.
6.  L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 184.
7.  L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 184.

Senin, 20 Mei 2019

Hukum Dan Hak

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada Kuliah Pengantar Ilmu Hukum sebelumnya yang berjudul: “Faktor-faktor Yang Membantu Pembentukan Hukum” telah kita pelajari elemen pendukung pembentuk hukum, pada kesempatan berikut ini dibahas mengenai Hukum dan Hak. Adapun referensi yang dipakai dalam kuliah ini adalah buku berjudul: “Pengantar Dalam Hukum Indonesia”, karangan: E. Utrecht, S.H., Penerbit: PT. Penerbit Dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta, (Cetakan Keenam), tahun 1961.

A. Hubungan Hukum Dan Hak

Pada kuliah sebelumnya telah diketahui bahwa hukum itu mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain di dalam masyarakat. Jadi terapat hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain yang diatur oleh hukum. Siapa saja yang berani untuk tidak mematuhi hubungan itu, maka ia akan dikenakan sanksi oleh hukum. Tiap-tiap hubungan hukum mempunyai dua segi, yaitu wewenang/kekuasaan dan kewajiban. Kekuasaan ini oleh hukum diberi kepada seseorang atau badan hukum karena hubungan hukumnya dengan seorang lain biasanya diberi nama sebagai hak. Contoh: A berhak menuntut pembayaran dari B sedangkan B wajib membayar sepatu sebanyak yang dijanjikan. Sebaliknya, B berhak meminta sepatu sebanyak yang dijanjikan dari A sedangkan A wajib menyerahkan sepatu sebanyak yang dijanjikan kepada B.[1]

Dalam hukum Eropa-Kontinental dibuat perbedaan antara apa yang disebut hukum objektif dengan hukum subjektif. Yang dimaksud dengan hukum objektif adalah peraturan, kaidah, norma yang mengatur suatu hubungan sosial, misalnya K.U.H. Perdata. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum subjektif adalah peraturan hukum yang dihubungkan dengan seseorang dan oleh karenanya telah menjadi kekuasaan-kewajiban.[2]

Hubungan hukum ada dua macam, pertama hubungan hukum yang bersegi satu dan hubungan hukum yang bersegi dua. Dalam hubungan hukum yang bersegi satu hanya satu pihak yang berkuasa. Pihak lain hanya berkewajiban (Pasal 1234 K.U.H. Perdata, tentang Prestasi). Dalam hubungan hukum yang bersegi dua, kedua belah pihak masing-masing berkuasa meminta sesuatu dari pihak lain. Tetapi kedua belah pihak masing-masing berkewajiban memberi sesuatu kepada pihak lain.[3]  

B. Sifat Dari Hak

Tentang sifat dari hak telah menimbulkan banyak polemik. Di Jerman pada abad ke-19 dikemukakan dua teori tentang hak. Pertama adalah teori yang menganggap hak sebagai kehendak yang dilengkapi dengan kekuatan (wilsmachtstheorie). Menurut pendapat ini, hak itu sesuatu yang penting bagi yang bersangkutan, yang dilindungi oleh hukum, yakni suatu kepentingan yang terlindungi.[4]

Van Apeldoorn menganggap bahwa hak adalah suatu kekuatan yang teratur oleh hukum. Kekuatan itu berdasarkan pada kesusilaan, bukan hanya kekuatan yang bersifat fisik. Pendapat lain dari Lemaire menganggap hak itu adalah ijin. Hak adalah ijin bagi yang bersangkutan untuk berbuat sesuatu. Menurut Leon Duguit, tidak ada seorangpun manusia yang mempunyai hak. Sebaliknya di dalam masyarakat bagi manusia hanya ada suatu tugas sosial. Tata tertib hukum tidaklah didasarkan atas hak dan kebebasan manusia, melainkan tugas-tugas sosial yang harus dijalankan oleh anggota masyarakat. Teori ini disebut teori fungsi sosial, maka pengertian hak itu diganti dengan fungsi sosial. Manusia hanya merupakan sebuah roda kecil dari mesin kemasyarakatan, yang dijalankan manusia hanyalah suatu tugas sosial.[5]

Anggapan yang mengemukakan hak sebagai suatu kekuasaan lengkap yang oleh hukum diberi kepada yang bersangkutan sebagai suatu kekuasaan individual sepenuhnya yang oleh hukum dilindungi berasal dari aliran individualisme pada saat lahirnya revolusi Prancis. Konsepsi hak seperti ini sudah banyak berkurang, dan telah terjadi semacam pensosialan, hak tidak lagi absolut, namun juga dibatasi oleh kepentingan sosial. Namun tidak berarti hak ini lambat laun dihapuskan sama sekali.[6]  

C. Menjalankan Hak Yang Tidak Sesuai Dengan Tujuannya

Tiap peraturan hukum oleh pembuatnya diberi suatu tujuan tertentu. Demikian juga tiap hak yang diberikan oleh hukum kepada seseorang, ia mempunyai tujuan tertentu. Bisa dikatakan bahwa tiap hak diberi suatu tujuan sosial. Ini berarti hak itu tidak dapat melindungi suatu kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan umum. Hak tidak dapat melindungi kepentingan yang bersifat a-sosial. Dengan kata lain, tidak ada kekuasaan yang oleh hukum diberikan kepada seseorang untuk dipakai dengan sengaja merugikan orang lain atau yang mungkin dengan sengaja merugikan masyarakatnya. Menjalankan hak tidak sesuai dengan tujuannya adalah menyimpang dari tujuan hukum, yaitu menyimpang dari jaminan kepastian hukum. Sebaliknya, seseorang harus menjalankan haknya yang sesuai dengan tujuan dari hak itu.[7]

Contohnya adalah keputusan Pengadilan Tinggi di Colmar (Prancis) tanggal 2 Mei 1855 sebagai berikut. A menjadi tetangga B. Rumah A lebih tinggi dari rumah B. Di rumah A ada jendela yang memberi pemandangan dengan melintasi atap rumah B. Pada suatu waktu, maka B mendirikan sebuah pipa asap di atas atap rumahnya di muka jendela rumah A dengan maksud merusak pemandangan A. Pipa asap itu tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan tempat api. Pengadilan Tinggi dalam keputusannya memerintahkan B untuk membongkar pipa asap itu. Hak B untuk memetik kenikmatan kepunyaan rumahnya tidak dapat dijalankannya secara mengganggu orang lain dengan tidak berdasarkan niat baik.[8]
_________________________________
1.  “Pengantar Dalam Hukum Indonesia”, E. Utrecht, S.H., PT. Penerbit Dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta, (Cetakan Keenam), 1961, Hal.: 267-268.
2.  E. Utrecht, Ibid., Hal.: 268.
3.  E. Utrecht, Ibid., Hal.: 269.
4.  E. Utrecht, Ibid., Hal.: 270.
5.  E. Utrecht, Ibid., Hal.: 273.
6.  E. Utrecht, Ibid., Hal.: 273-276.
7.  E. Utrecht, Ibid., Hal.: 277.
8.  E. Utrecht, Ibid., Hal.: 278.

Rabu, 15 Mei 2019

Hukum Dan Kaidah-kaidah Etika Lainnya

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: “Hukum Sebagai Kaidah dan Kebiasaan” telah kita selesaikan, kemudian kita akan beranjak untuk memahami kaidah hukum dalam posisinya sebagai salah satu kaidah dalam etika dan hubungannya dengan kaidah-kaidah lain. Adapun buku yang dijadikan acuan dalam kuliah ini adalah “Pengantar Ilmu Hukum” atau “Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht”, karya Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldorn, penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, (Cetakan Ke-dua puluh lima), tahun 1993.

A. Pendahuluan

Hukum terdiri dari peraturan-peraturan/kaidah-kaidah tingkah laku. Tetapi selain daripada hukum, masih ada peraturan/kaidah lain. Kumpulan dari segala peraturan-peraturan dimaksud bernama etika. Etika meliputi kaidah-kaidah tentang agama, kesusilaan, hukum dan adat. Pada zaman dahulu, manusia tidak membedakan perbedaan-perbedaan itu. Misalnya dalam “The Ten Commandments”, dalam kitab Zabur atau Al-Qur’an terdapat bermacam-macam kaidah agama, kesusilaan, dan hukum yang dicampuradukan, pada waktu itu alasannya adalah dikarenakan seluruhnya berasal dari Tuhan. Meskipun hubungan antar kaidah dimaksud adalah erat, akan tetapi kesadaran untuk membedakannya datang di kemudian hari.[1]

B. Hukum Dan Adat Berbeda Dari Kesusilaan Dan Agama

1. Hukum dan Kesusilaan

Hidup manusia mempunyai dua segi: manusia sekaligus adalah makhluk perseorangan dan juga makhluk sosial. Kesusilaan menyangkut manusia sebagai perseorangan, hukum dan adat menyangkut kemasyarakatan. Kesusilaan memberi peraturan untuk seseorang. Sebaliknya hukum dan adat ditujukan pada manusia sebagai makhluk masyarakat. Orientasinya, ia menghendaki kesempurnaan masyarakat.[2]

Antara hukum dan adat pada satu pihak dan kesusilaan pada pihak lain, terutama terdapat perbedaan tujuan. Tujuan hukum ialah tata tertib masyarakat yang baik; tujuan kesusilaan ialah penyempurnaan seseorang. Dengan perbedaan tersebut, terdapat hubungan erat dengan perbedaan yang lain, yang lebih mengenai isinya, Hukum dan adat yang menghendaki peraturan masyarakat yang baik, memberikan peraturan-peraturan untuk perbuatan-perbuatan lahir manusia. Kesusilaan yang ditujukan pada kesempurnaan seseorang, pertama-tama tidak mengindahkan perbuatan-perbuatan manusia, melainkan lebih mengindahkan sikap batin. Akan tetapi perbedaan-perbedaan itu jangan terlalu dibayangkan terlalu tajam.[3]

Akan tetapi, perbedaan antara hukum dan kesusilaan ialah: bila tingkah laku lahir seseorang sesuai dengan peraturan hukum, maka hukum tidak menanyakan kehendak baiknya. Hukum merasa cukup dengan tingkah laku lahir yang sesuai dengan peraturannya. Meskipun ketika seseorang melanggar hukum, diperhatikan juga kehendak baiknya. Hal ini menjelaskan bahwa ketika seseorang melanggar hukum, ternyata menjadikan kedua kaidah ini saling mendekati, bahkan saling tumpang tindih. Hukum tidak jarang terpaksa menjatuhkan vonis hukuman atas perbuatan-perbuatan yang ditimbulkan oleh alasan-alasan yang dibenarkan oleh kesusilaan.[4]

Perbedaan antara hukum dan adat pada satu pihak dan kesusilaan pada pihak lain, adalah terkait asal-usul kaidahnya. Rumusannya adalah sebagai berikut: Kesusilaan adalah otonom, hukum (demikian juga adat) adalah heteronom. Dalam hukum, kekuasaan dari luarlah yang meletakkan kemauannya kepada kita, yakni masyarakat. Kita takluk pada hukum di luar kehendak kita, hukum mengikat kita tanpa syarat. Sebaliknya seluruh susila adalah suatu tuntutan yang dilakukan orang terhadap dirinya sendiri. Kesusilaan mengikat kita karena kehendak kita sendiri. Perbedaan lain juga erat kaitannya dengan titik pangkal pikiran kita. Hukum menghendaki peraturan pergaulan hidup yang baik. Tujuan ini hanya tercapai jika di luar dan di atas perseorangan terdapat kekuasaan yang tidak berpihak yang membuat perintah bagaimana mereka harus bertindak satu sama lain. Sedangkan kesusilaan menghendaki kesempurnaan diri seseorang. Apa yang dapat dipandang mencukupi tujuan itu hanya dapat ditentukan oleh tiap-tiap orang untuk dirinya sendiri.[5]

Hukum dan adat, sebagai peraturan tingkah laku, dapat dibedakan dari kesusilaan dari segi bagaimana orang patuh terhadapnya. Kesusilaan berakar dari suara hati manusia. Sifat perintah susila ialah bahwa ia harus dipenuhi dengan sukarela. Satu-satunya kekuasaan yang berdiri di belakang kesusilaan adalah kekuasaan suara hati manusia sendiri. Sedangkan dalam hukum, kekuatan kekuasaan hati nurani manusia tidaklah asing, ia juga menjadi dasar seseorang patuh terhadap hukum, hukum dipatuhi salah satunya atas sebab hati nurani seseorang merasa sejalan dengan keyakinan kesusilaannya. Akan tetapi, dalam hukum, dapat juga seseorang patuh terhadap hukum secara lahiriah tanpa memperhatikan sikap batinnya. Di belakang hukum terdapat juga kekuasaan yang lain daripada hati nurani, yaitu masyarakat meletakkan peraturan-peraturan pada kita dan juga mempunyai alat kekuasaan untuk memaksakannya.[6]

Antara hukum dan adat pada satu pihak, dengan kesusilaan di pihak lain masih terdapat perbedaan dalam daya kerjanya. Hukum dan adat mempunyai dua daya kerja. Ia memberikan kekuasaan dan meletakkan kewajiban. Ia serentak normatif dan atributif. Sedangkan kesusilaan hanya meletakkan kewajiban semata. Ia semata-mata bersifat normatif. Perbedaan ini merupakan lanjutan perbedaan tujuan antara berbagai golongan kaidah dalam etika. Hukum dan adat menghendaki peraturan pergaulan hidup yang baik dan meletakkan atas diri manusia kewajiban-kewajiban untuk kepentingan sesama manusia. Kesusilaan menghendaki kesempurnaan individu, menunjukan peraturan-peraturannya kepada manusia sebagai individu, untuk kepentingan manusia itu sendiri.[7]

2. Agama

Agama dalam arti sempit adalah hubungan antara Tuhan dan manusia. Hubungan itu mengandung kewajiban-kewajiban terhadap Tuhan, sebagai cinta terhadap Tuhan dan percaya kepada Tuhan. Kewajiban-kewajiban dimaksud benar-benar bersifat keagamaan sejati, yang isinya berbeda dari kewajiban yang sifatnya moral maupun yang sifatnya kewajiban hukum.  Hubungan antara Tuhan dengan manusia membawa juga kewajiban untuk menuruti kehendak Tuhan. Maka, agama meliputi lapangan yang lebih luas dari semata-mata hubungan antara Tuhan dan manusia. Berdasarkan kewajiban mengikuti kehendak Tuhan lah kemudian manusia juga terikat untuk melakukan perintah pada sesama manusia. Dari hal ini manusia memperoleh sifat kesusilaan keagamaanya, yaitu ketika terikat secara batin atas dasar hubungannya dengan Tuhan.[8]

C. Hukum Dan Adat

Adat adalah segala peraturan tingkah laku yang tidak termasuk dalam lapangan hukum, kesusilaan dan agama. Tetapi adat juga diartikan sebagai tingkah laku yang berlaku untuk anggota lingkungan tertentu. Selanjutnya adat dimaknai dalam arti peraturan-peraturan tingkah laku. Terdapat hubungan yang rapat sekali antara adat dan kebiasaan. Adat timbul dikarenakan adanya kebiasaan.[9]

Untuk menarik batas yang tegas antara hukum dan adat adalah hal yang sukar. Hukum sebagai kebiasaan misalnya, ia timbul dan tumbuh dari kebiasaan. Sebagaimana telah disinggung tadi, bahwa adat juga timbul dikarenakan kebiasaan. Beberapa persamaan antara hukum dan adat: 1). Bahwa ia ditujukan pada manusia sebagai makhluk sosial. 2). Bahwa ia puas dengan tingkah laku lahir, tidak menanyakan kehendak baik yang mendukung tingkah laku itu. 3). Sifatnya heteronom, diletakkan pada diri kita oleh masyarakat dimana kita hidup. 4). Bahwa ia memberi hak-hak menuntut sesuatu tingkah laku sesuai peraturan-peraturannya.[10]

Perbedaan antara hukum dan adat seringkali dilihat dari sanksinya. Meskipun demikian hal ini tidaklah sesederhana yang dikatakan. Perbedaan antara hukum dan adat tidak begitu saja terletak pada paksaan. Pada peraturan-peratuan adat, paksaan datanya dari tiap-tiap orang yang tidak teratur, seringkali melampaui batas. Sebaliknya pada hukum, paksaan dilakukan oleh masyarakat melalui institusi/organ. Perbedaan lain yang pokok antara adat dan hukum adalah bersifat formil, bukan materiil. Artinya hanya dari sudut pandang pengertian hukum saja, bukan dari isinya.[11]

D. Hubungan Antara Berbagai Golongan Kaidah-kaidah Etika

Hukum pada satu pihak, kesusilaan, agama dan adat pada pihak lain dapat dibedakan, akan tetapi pemisahan tersebut sesungguhnya tidak ada. Dikarenakan semua memberikan fungsinya berupa peraturan-peraturan hubungan antar manusia. Terdapat hubungan yang rapat antara berbagai kaidah etika, tiap-tiap kaidah sebagaimana dimaksud memberikan pengaruh yang kuat terhadap isi kaidah-kaidah lain. Antara lain, kaidah agama dan kaidah kesusilaan terus menerus mempengaruhi kaidah hukum. Hukum untuk sebagian besar adalah kesusilaan positif yang diperlukan oleh Pemerintah, dan kesusilaan didasarkan pada agama. Kejahatan-kejahatan yang diuraikan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, hampir semuanya perbuatan-perbuatan yang dicela juga oleh kesusilaan dan agama. Selain itu, bukan hanya pembuat undang-undang saja yang harus mengikuti kesusilaan, hakim juga selalu berbuat demikian.[12]

Selain itu, hubungan lainnya adalah kaidah-kaidah etika yang beragam itu saling memperkuat daya masing-masing. Peraturan hukum diikuti tidak semata-mata karena sifat memaksa dari Pemerintah melalui institusi/organ pelaksananya, melainkan juga bersandar pada bahwa orang merasa terdorong mengikutinya berdasarkan agama dan kesusilaan.[13]  
_________________________________
1.  “Pengantar Ilmu Hukum” atau “Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht”, Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldorn,  PT. Pradnya Paramita, Jakarta, (Cetakan Ke-dua puluh lima), 1993, Hal.: 22.
2.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 22-23.
3.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 23.
4.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 25.
5.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 25-26.
6.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 27.
7.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 28.
8.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 29.
9.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 29-30.
10.        L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 31.
11.        L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 32.
12.        L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 35-36.
13.        L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 37-38.

Jumat, 10 Mei 2019

Faktor-faktor Yang Membantu Pembentukan Hukum

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo


Kuliah Pengantar Ilmu Hukum sebelumnya yang berjudul: ‘Sumber-sumber Hukum’ telah kita lalui, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai faktor-faktor yang membantu pembentukan hukum. Di samping sumber-sumber hukum dalam arti formil yang telah di bahas sebelumnya, masih terdapat hal-hal lain yang membantu pembentukan hukum. Menurut L.J. van Apeldoorn hal dimaksud adalah persetujuan antara yang berkepentingan, pengadilan dan ilmu pengetahuan.

A. Perjanjian

Ada analogi tertentu antara undang-undang dan perjanjian. Hingga batas tertentu, para pihak yang mengadakan perjanjian berbuat sebagai pembentuk undang-undang: ia membentuk sesuatu peraturan. Jadi apabila perjanjian itu kita sebut sumber hukum, maka kata hukum itu kita pakai dalam arti yang lain daripada apabila kita menyebut undang-undang sebagai sumber hukum. Dalam hal yang terakhir, dengan hukum dimaksud, peraturan-peraturan yang umum mengikat, jadi apa yang dalam kebiasaan hukum disebut hukum obyektif; dalam hal yang pertama, dimaksud sesuatu peraturan yang dibentuk untuk hal yang tertentu atau ‘hukum yang konkrit’. Perbedaan antara kedua hal tersebut ialah bahwa undang-undang adalah keputusan kehendak dari suatu pihak; perjanjian, keputusan kehendak dari dua pihak; dengan perkataan lain, bahwa orang terikat pada perjanjian berdasar atas kehendaknya sendiri pada undang-undang terlepas dari kehendaknya.[1]

Dalam hal itu jangan kita lupa, bahwa dalam menguraikan pengertian undang-undang dan perjanjian itu kita menarik batas lebih tajam daripada keadaan sebenarnya. Dalam keadaan sebenarnya, tidak adalah pemisahan yang mutlak, kedua hal tersebut kadang-kadang sangat mendekati.[2] Penulis setuju denan hal ini, bahwa meskipun antara Perjanjian (sebagai salah satu faktor yang membantu pembentukan hukum) dengan Undang-undang (sebagai sumber hukum) dapat dibedakan pada aras analisa keilmuan hukum, namun keduanya saling berkaitan, sehingga dalam batas tertentu dapat dibedakan dan sekaligus juga saling berkaitan.

B. Peradilan

Sebagaimana halnya dengan undang-undang dan perjanjian, maka antara undang-undang dan keputusan hakim terdapat analogi. Keduanya membentuk peraturan. Akan tetapi, secara umum, keputusan hakim membentuknya dalam konkreto, undang-undang dalam abstrakto. Keputusan hakim hanya mengikat para pihak yang berperkara. Hakim tidak dapat membentuk peraturan-peraturan yang umum mengikat.[3]

Di Negeri Belanda tidak ada hakim yang terikat pada keputusan hakim lain; juga tidak pada keputusan hakim-hakim yang lebih tinggi. Dalam pada itu biasanya para hakim mengikuti keputusan-keputusan yang dahulu diberikannya sendiri atau oleh orang lain. Terutama, mengenai keputusan-keputusan badan peradilan yang tertinggi, Mahkamah Agung.[4] Hal yang sama terjadi di Indonesia (menganut sistem hukum Eropa-Kontinental), yaitu keputusan hakim bersifat independen, putusan hakim sebelumnya tidak mengikat hakim untuk memutus perkara setelahnya. Sebaliknya, sistem hukum Anglo-Saxon, keputusan hakim setelahnya adalah terikat pada putusan hakim sebelumnya untuk perkara-perkara sejenis.

Walaupun di Negeri Belanda pengadilan tidak merupakan sumber hukum dalam arti formil, akan tetapi ia sangat membantu pembentukan hukum. Itu sudah dilakukannya selama ia berdiri. Di Inggris, Amerika Serikat dan Afrika Selatan, para hakim terikat pada keputusan-keputusan hakim yang tingkatnya lebih tinggi daripada diri sendiri, atau yang setingkat dengan dia. Jadi di negeri tersebut, peradilan memang merupakan sumber hukum dalam arti formil. “Judge-made law” atau “common law” mengambil tempat yang penting di samping “statute law” (hukum undang-undang).[5] Penulis kira perbedaannya menjadi jelas, bahwa dalam sistem hukum Anglo-Saxon/Common Law, peradilan adalah salah satu sumber hukum, sebaliknya pada sistem hukum Eropa Kontinental.

C. Ajaran Hukum

Sejarah mencatat, bahwa pada bangsa Romawi, ajaran hukum adalah merupakan salah satu sumber hukum. Singkat kata, para sarjana hukum yang ternama pada waktu itu membuat semacam buku/kitab-kitab yang berisikan catatan-catatan hukum kebiasaan sesuatu suku, negeri atau kota, untuk memenuhi kebutuhan utama pada masa itu, dikemudian zaman menjadi semacam literatur yang diwajibkan, bahkan beberapa dari buku/kitab-kitab hukum itu memperoleh kekuasaan yang demikian besarnya, sehingga ia dipakai dalam peradilan, seolah-olah ia bukan catatan-catatan hukum partikulir, melainkan catatan hukum resmi. Contoh yang diajukan oleh L.J. van Apeldoorn misalnya: “Grand Coutumier de Normandie” (abad ke-13), yang penulisnya tidak dikenal.[6]

Di Negeri Belanda, ajaran hukum bukan sumber hukum dalam ari formil. Hukum yuris Romawi, yang sebenarnya bukan ilmu pengetahuan, melainkan agak merupakan sesuatu hasil kesenian yang gemilang perihal praktek hukum (ars boni et aequi) adalah tersusun dari nasehat-nasehat yang diberikan oleh para ahli hukum mengenai peristiwa-peristiwa yang diacarakan dan karena itu dapat dipakai untuk praktek. Di Negeri Belanda, ajaran hukum lebih-lebih mempunyai sifat teoritis, juga dalam hal ia langsung mengabdi pada pelaksanaan hukum.[7]

Walaupun di Negeri Belanda ajaran hukum bukan sumber hukum dalam arti formil, ini tidak menghalang-halangi, bahwa ia merupakan faktor yang penting dalam pembentukan hukum. Itu sudah barang yang sewajarnya karena peradilan di Negeri Belanda dipegang oleh hakim-hakim yang mendapat pendidikan ilmiah, sehingga walaupun mereka tidak mengakui kekuasaan ajaran hukum sebagai kekuasaan yang mengikat, merekapun akan dipengaruhi juga.[8]

_________________________________
1.  “Pengantar Ilmu Hukum” atau “Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht”, Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldorn,  PT. Pradnya Paramita, Jakarta, (Cetakan Ke-dua puluh lima), 1993, Hal.: 155-156.
2.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 156.
3.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 159.
4.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 161.
5.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 162.
6.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 164-165.
7.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 166-167.
8.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 168.

What is a Bridging Visa?

( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Indonesia Immigration Implements Bridging ...