Jumat, 18 November 2022

Hazairin, Begawan Hukum Adat Dari Tanah Bengkulu

(Wikipedia.org)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Corruption offenses in the Criminal Code", "Fidel Castro Ternyata Pernah Membuka Kantor Hukum" dan "Sekilas Karir Pengacara Mahatma Gandhi", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Hazairin, Begawan Hukum Adat Dari Tanah Bengkulu'.

Biografi Singkat

Prof. Dr. Mr. Hazairin (28 November 1906 – 11 Desember 1975) adalah seorang pakar hukum adat. Ia menjabat Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Asal usul, Hazairin lahir di tengah-tengah keluarga taat beragama, dari pasangan Zakaria Bahri (Bengkulu) dan Aminah (Minangkabau). Ayahnya adalah seorang guru dan kakeknya, Ahmad Bakar, adalah seorang ulama. Dari kedua orang tersebut, Hazairin mendapat dasar pelajaran ilmu agama dan bahasa Arab.[1] 

Hazairin kecil mengawali pendidikannya di Bengkulu di sebuah sekolah bernama Hollands Inlandsche School (HIS) tamat tahun 1920. Setamat dari HIS kemudian melanjutkan pendidikannya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang tamat tahun 1924. Usia Hazairin pada waktu itu 18 tahun dan tergolong muda untuk tamatan MULO. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke AMS (Algemene Middelbare School) di Bandung dan berhasil lulus pada tahun 1927.[2]

Hazairin menamatkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Hukum Jakarta (Recht Hoge School) pada tahun 1936, dengan gelar doktor hukum adat. Setamat kuliah, Hazairin bekerja sebagai kepala Pengadilan Negeri Padang Sidempuan (1938-1945). Selama menjabat, Hazairin juga melakukan penelitian terhadap hukum adat Tapanuli Selatan. Atas jasa-jasanya itu, dia diberikan gelar "Pangeran Alamsyah Harahap."[2]

Pada April 1946, dia diangkat sebagai Residen Bengkulu, merangkap Wakil Gubernur Militer Sumatra Selatan. Ketika menjabat sebagai residen, dia mengeluarkan uang kertas yang dikenal sebagai "Uang Kertas Hazairin." Sesudah revolusi fisik berakhir, dia diangkat menjadi Kepala Bagian Hukum Sipil Kementerian Kehakiman.[3]

Hazairin terjun di kancah perpolitikan Indonesia, dengan ikut mendirikan Partai Persatuan Indonesia Raya (PIR). Bersama Wongsonegoro dan Rooseno, dia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara sebagai wakil Partai PIR. Dalam kapasitasnya sebagai wakil partai pula, Hazairin diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953-1955). Pada Pemilu 1955, Partai PIR terpecah menjadi dua, yakni PIR - Wongsonegoro dan PIR - Hazairin. Dalam pemilihan tersebut, PIR - Hazairin hanya memperoleh 114.644 suara atau setara dengan satu kursi.[4]

Selesai terjun di dunia politik, Hazairin menjadi Guru Besar Hukum Adat dan Hukum Islam di Universitas Indonesia. Dia juga menjadi Guru Besar di Universitas Islam Jakarta, Perguruan Tinggi Hukum Militer (PTHM), dan Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Hazairin dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Atas jasa-jasanya, pada tahun 1999 Pemerintah mengukuhkan Hazairin sebagai Pahlawan Nasional.[5]

Publikasi Karya Hukum

Prof. Dr. Mr. Hazairin adalah seorang akademisi dan juga pejabat publik, sebagaimana dikutip laman id.wikipedia.org., beberapa karya buku beliau adalah sebagaimana berikut:[6]
  • Pergolakan Penyesuaian Adat Kepada Hukum Islam (1952)
  • Tujuh Serangkai Tentang Hukum (1981)
  • Hukum Kewarisan Bilateral menurut al-Qur’an dan Hadits (1982)
  • Hendak Kemana Hukum Islam (1976)
  • Perdebatan dalam Seminar Hukum tentang Faraidhh (1963)
  • Hukum Kekeluargaan Nasional
  • Tinjauan Mengenai Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974.
  • Hukum Pidana Islam Ditinjau dari Segi-segi, dan Asas-asas Tata Hukum Nasional; Demokrasi Pancasila (1970
  • Negara Tanpa Penjara (1981)
  • Hukum Baru di Indonesia (1973)
  • Ilmu Pengetahuan Islam dan Masyarakat (1973)
  • Demokrasi Pancasila (1981)

Sebagai informasi tambahan, pada tahun 1927, atas inisiatifnya sendiri, Hazairin merantau ke Jakarta/Batavia dan melanjutkan Studi di RSH (Rerchtkundige Hoogeschool) atau Sekolah Tinggi Hukum, jurusan Hukum Adat yang pada masa itu jurusan ini banyak diminati orang, jurusan Hukum Adat juga telah melahirkan sejumlah nama besar seperti Mr. Muhammad Yamin, Mr. M. M. Djojodiguno dan Mr. Kasman Singodimedjo. Selama delapan tahun Hazairin bekerja keras mendalami bidang Hukum Adat, ia berhasil meraih gelar Meester in de Rechten (MR) pada tahun 1935. selanjutnya ia mendapatkan tawaran untuk melakukan penelitian mengenai Hukum Adat Redjang (salah satu suku yang terdapat di Keresidenan Bengkulu, sekarang Provinsi Bengkulu), atas bimbingan B. Ter Haar seorang pakar Hukum Adat yang terkenal di masa itu, ia melakukan penelitian sebagai syarat untuk meraih gelar Doktor dalam bidang Hukum Adat. Dalam waktu tiga bulan Hazairin berhasil menyelesaikan penelitiannya dan menjadi Disertasi Doktornya yang diberi judul "De Redjang". Disertasi tersebut berhasil dipertahankan pada tanggal 29 Mei 1936. karya inilah yang menghantarkannya sebagai pakar Hukum Adat dan satu-satunya Doktor pribumi lulusan Sekolah Tinggi Hukum Batavia.[7] 

RSH (Rerchtkundige Hoogeschool) atau Sekolah Tinggi Hukum ini kemudian akan mejadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada masa setelah penjajahan Belanda. Tentunya pada masa itu meraih gelar doktor hukum bukanlah sesuatu hal yang mudah, apalagi di bawah bimbingan ketat B. Ter Haar dengan standar akademik negeri Belanda. Sebuah pencapaian yang 'pengecualian' (exeptional) saja untuk seorang pribumi. 
____________________
References:

1. "Hazairin", id.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 18 November 2022, https://id.wikipedia.org/wiki/Hazairin
2. "Hazairin", m.merdeka.com., Diakses pada tanggal 18 November 2022, https://m.merdeka.com/hazairin/profil
3. Op. Cit. id.wikipedia.org.
4. Op.Cit. id.wikipedia.org.
5. Op. Cit. id.wikipedia.org.
6. Op.Cit. id.wikipedia.org.
7. Op. Cit., m.merdeka.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Basic Requirements for Foreign Direct Investment in Indonesia

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Suspect Still Underage, Murder Case in ...