Sabtu, 03 Oktober 2020

Adagium Hukum II

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah mengetengahkan kepada sidang pembaca yang budiman perihal Adagium Hukum I, selanjutnya pada kesempatan ini akan dibahas lanjutannya, yaitu Adagium Hukum II.

Penulis memaknai adagium sebagai pepatah yang turun temurun dan telah dianggap benar yang berkaitan dengan hukum. Berikut Adagium Hukum II:
  1. "IN DUBIO PRO REO", artinya dalam keragu-raguan diberlakukan ketentuan yang paling menguntungkan bagi si Terdakwa;
  2. "LEX SPECIALIS DEROGAT LEX GENERALI", artinya undang-undang yang khusus didahulukan berlakunya daripada undang-undang yang umum;
  3. "LEX SUPERIOR DEROGAT LEGI INFERIORI", artinya undang-undang yang lebih tinggi  mengenyampingkan undang-undang yang lebih rendah tingkatannya;
  4. "PACTA SUNT SERVANDA", artinya setiap perjanjian itu mengikat para pihak dan harus ditaati dengan itikad baik;
  5. "PRESUMPTION OF INNOCENCE", dikenal dengan asas praduga tidak bersalah, artinya: seseorang dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan hakim yang menyatakan ia bersalah dan putusan hakim tersebut telah mempunyai kekuatan tetap;
  6. "HET VERMOEDEN VAN RECHMATIGHEID", artinya kebijakan Pemerintah harus dianggap benar dan memiliki kekuatan hukum mengikat sampai dibuktikan sebaliknya;
  7. "KOOP BREEKT GEEN HUUR", artinya jual beli tidak memutuskan sewa-menyewa. Perjanjian sewa-menyewa tidak berubah, walaupun barang yang disewanya beralih beralih tangan – pasal 1576 KUHPerdata;
  8. "IUDEX NON ULTRA PETITA atau ULTRA PETITA NON COGNOSCITUR" artinya hakim hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya;
  9. "IUDEX NE PROCEDAT EX OFFICIO", artinya hakim bersifat pasif menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya.
____________
Referensi:

1. "Adagium Hukum", rendratopan.com, diakses pada 3 Oktober 2020, https://rendratopan.com/2019/03/18/adagium-hukum/
2. "Adagium-adagium Dalam Ilmu Hukum", triwidodowutomo.blogspot.com., diakses pada 3 Oktober 2020, http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/10/adagium-adagium-dalam-ilmu-hukum.html 

Jumat, 02 Oktober 2020

Sita Berdasarkan Permohonan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Esensi Tindakan Penyitaan", dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Sita Berdasarkan Permohonan.

Menurut Pasal 226 dan Pasal 227 HIR atau Pasal 720 Rv maupun berdasarkan SEMA No.: 5 Tahun 1975, pengabulan dan perintah pelaksanaan sita, bertitik tolak dari permintaan atau permohonan Penggugat. Perintah penyitaan tidak dibenarkan berdasarkan ex-officio hakim.[1] Hal ini menerangkan bahwa titik tolak adanya pengabulan dan perintah sita adalah dari adanya niat dari Penggugat yang diwujudkan dengan sebuah permohonan.

Adapun bentuk permohonannya bertitik tolak dari prinsip pemeriksaan persidangan yang dianut dalam HIR-RBg, terutama terkait proses beracara secara lisan, dihubungkan dengan ketentuan Pasal 226 dan Pasal 227 HIR, maka bentuk permohonan sita adalah:[2]
  1. Bentuk lisan (oral), hal ini sesuai dengan prinsip yang dianut dalam HIR-RBg bahwa jalannya proses pemeriksaan di persidangan adalah beracara secara lisan (mondelinge procedure). Apabila permohonan sita diajukan dengan lisan, permintaan itu dicatat dalam berita acara sidang, dan berdasarkan itulah hakim mengeluarkan perintah sita apabila permohonan dianggap mempunyai dasar alasan yang cukup;
  2. Bentuk tertulis, bentuk ini dianggap paling tepat karena memenuhi administrasi yustisial yang lebih baik. Itu sebabnya Pasal 227 ayat (1) HIR menghendaki agar sita diajukan dalam bentuk tertulis berupa surat permintaan: a). Permintaan disatukan dengan surat gugatan, artinya diajukan bersama-sama dengan surat gugatan; dan b). Diajukan dalam surat tersendiri, artinya pengajuan sita dilakukan secara terpisah dari pokok perkara. Berarti permohonan sita diajukan tersendiri di samping gugatan pokok perkara. Menurut ahli M. Yahya Harahap, sikap ini dianggap berlebihan, karena dengan cara ini terdapat permohonan sita secara ganda.
Sangat lumrah jika sita diajukan dengan dua cara di atas, akan tetapi terkait dengan permohonan secara lisan, saat ini sudah sangat jarang. Sepengalaman penulis berpraktik sebagai advokat, lazimnya permohonan sita diajukan secara tertulis. Adapun hal yang menarik adalah, terkadang ada juga kuasa hukum yang mengajukan sita secara ganda, yaitu tidak hanya diajukan dalam surat gugatan, namun diajukan juga terpisah dalam persidangan. Salah satu alasannya adalah supaya ada penegasan, hal ini tidak dilarang, akan tetapi di lain sisi memang hal demikian menjadi overlapping
____________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 287.
2. Ibid., Hal.: 288-289.

Kamis, 01 Oktober 2020

Adagium Hukum I

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas "Kata Mutiara Hukum Terpilih III (Selected Law Quotes III)" dan pada kesempatan ini akan dibahas perihal Adagium Hukum I.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, adagium adalah 'pepatah; peribahasa'.[1]  Sedangkan yang dimaksud dengan adagium menurut wikipedia.org yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah "Pepatah singkat, mudah diingat, dan biasanya filosofis yang mengkomunikasikan kebenaran penting yang berasal dari pengalaman, adat istiadat, atau keduanya, dan yang banyak orang anggap benar dan kredibel karena tradisi panjangnya, yaitu diturunkan dari generasi ke generasi, atau memetika replikasi."[2] Dapat dimaknai bahwa yang dimaksud dengan adagium adalah pepatah yang turun temurun dan telah dianggap benar. Perlu diperhatikan juga bahwa adagium ini berbeda dengan kata mutiara, sidang pembaca dapat menelitinya kemudian terkait perbedaan dimaksud.

Adagium hukum yang ada di jagad maya cukup banyak jumlahnya, akan tetapi penulis hanya akan menyajikannya pada konteks yang populer saja, check it out:
  1. "AUDI ET ALTERAM PARTEMATAU AUDIATUR ET ALTERA PARS", artinya para pihak harus didengar. Apabila persidangan dimulai, hakim harus mendengar dari kedua belah pihak yang bersengketa, bukan hanya dari satu pihak saja;[3]
  2. "EQUALITY BEFORE THE LAW", artinya setiap orang bersamaan kedudukannya dalam hukum.[4]
  3. "FIAT JUSTITIA RUAT COELUM ATAU FIAT JUSTITIA PEREAT MUNDUS", terjemahannya dalam bahasa Inggris: Let justice be done though the heaven should fall, artinya sekalipun esok langit akan runtuh, meski dunia akan musnah, atau walaupun harus mengorbankan kebaikan,keadilan harustetap ditegakkan;[5]
  4. "GEEN STRAF ZONDER SCHULD", artinya tiada hukum tanpa kesalahan.[6]
  5. "JUDEX SET LEX LAGUENS" terjemahannya dalam bahasa Inggris: The judge is the sepaking law, artinya Sang hakim ialah hukum yang berbicara;[7]
  6. "LEX POSTERIOR DEROGAT PRIORI", terjemahannya dalam bahasa Inggris: "A later statute repeals an earlier one", artinya Undang-undang yang baru menghapus Undang-undang yang lama;[8]
  7. "UBI SOCIETAS, IBI JUS", artinya di mana ada masyarakat, di situ ada hukumnya;[9]
  8. "IUS CURIA NOVIT", artinya seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya;[10]
  9. "UNUS TESTIS NULLUS TESTIS", artinya satu orang saksi bukanlah saksi;[11] 
  10. "TESTIMONIUM DE AUDITU", artinya kesaksian yang didengar dari orang lain;[12]
  11. "NULLUM DELICTUM NOELA POENA SINE PRAEVIA LEGE POENALI", artinya suatu aturan hukum tidak bisa diterapkan terhadap suatu peristiwa yang timbul sebelum aturan hukum yang mengatur tentang peristiwa itu dibuat dan diberlakukan. Dapat juga diartikan sebagai tiada suatu perbuatan dapat dihukum, kecuali atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang telah ada lebih dahulu daripada perbuatan itu.[13]
_______________
Referensi:

1. "Adagium", Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, Diakses pada tanggal 1 Oktober 2020, https://kbbi.web.id/adagium
2. "Adage", en.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 1 Oktober 2020, https://en.wikipedia.org/wiki/Adage 
3. "Adagium Hukum", rendratopan.com, diakses pada tanggal 1 Oktober 2020, https://rendratopan.com/2019/03/18/adagium-hukum/
4. Ibid.
5. Ibid.
6. Ibid.
7. "Adagium Hukum", pa-bengkulukota.go.id, Diakses pada tanggal 1 Oktober 2020, http://www.pa-bengkulukota.go.id/foto/Adagium%20Hukum.pdf
8. Ibid.
9. "Adagium-adagium Dalam Ilmu Hukum", triwidodowutomo.blogspot.com, Diakses pada tanggal 1 Oktober 2020, http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/10/adagium-adagium-dalam-ilmu-hukum.html
10. Ibid.
11. Ibid.
12. Ibid.
13. Ibid.

Rabu, 30 September 2020

Esensi Tindakan Penyitaan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Pengertian dan Tujuan Penyitaan" dan pada kesempatan ini, masih dalam label praktik hukum, akan dibahas mengenai Esensi Tindakan Penyitaan.

Setelah memperhatikan pengertian penyitaan sebagaimana dimaksud dalam artikel sebelumnya, dapat dikemukakan beberapa esensi sebagai landasan penerapan penyitaan yang perlu diperhatikan.[1] Adapun esensi-esensi yang dimaksud akan diterangkan sebagai berikut.
  1. Sita merupakan tindakan eksepsional, dengan kata lain penyitaan termasuk salah satu acara mengadili yang bersifat istimewa, hal ini dikarenakan: a). Penyitaan memaksakan kebenaran Gugatan; b). Penyitaan membenarkan Putusan yang belum dijatuhkan;[2]
  2. Sita merupakan tindakan perampasan, jika ditinjau dari segi HAM, penyitaan tidak berbeda dengan perampasan harta kekayaan Tergugat. Padahal salah satu hak asasi yang paling mendasar adalah mempunyai hak milik, dan pada prinsipnya seseorang tidak boleh dirampas hak miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum. Akan tetapi, meskipun hak itu bersifat universal, tindakan perampasan itu dijustifikasi hukum acara, sehingga tindakan itu sah secara hukum. Perlu pertimbangan yang seksama dan objektif terkait pengabulan permintaan sita;[3]
  3. Penyitaan berdampak psikologis, dikarenakan pelaksanaannya dilakukan di tengah-tengah masyarakat, disaksikan oleh dua saksi dari Kepala Desa namun boleh juga ditonton masyarakat luas, secara administratif penyitaan barang tertentu harus diumumkan dengan cara mendaftarkannya di buku register kantor yang bersangkutan agar terpenuhi asas publisitas. Oleh karena itu penyitaan sangat berdampak psikologis berupa merugikan nama baik seseorang apalagi sebagai pelaku bisnis;[4]
  4. Tujuan penyitaan, adapun tujuan penyitaan adalah: a). Agar gugatan tidak ilusoir, artinya tidak dipindahkan kepada orang lain melalui jual-beli atau penghibahan, dan sebagainya serta tidak dibebani dengan sewa-menyewa atau diagunkan kepada pihak ketiga; b). Objek eksekusi sudah pasti, pada saat permohonan sita diajukan, Penggugat harus menjelaskan dan menunjukan identitas barang yang hendak disita. Menjelaskan letak, jenis, ukuran, dan batas-batasnya. Artinya sejak semula sudah diketahui dan dipastikan objek barang yang disita.[5]
_______________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 282-284.
2. Ibid. Hal.: 284.
3. Ibid. Hal.: 284-285.
4. Ibid. Hal.: 285-287.

Selasa, 29 September 2020

Pengertian dan Tujuan Penyitaan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Platform Hukumindo.com sebelumnya telah membahas mengenai 3 Kekuatan Hukum Penetapan Akta Perdamaian, sampai di situ selesai dibahas mengenai Mediasi dan Perdamaian. Selanjutnya kita akan beranjak ke bab berikutnya terkait dengan Penyitaan. Pada kesempatan ini, terlebih dahulu akan dibahas mengenai Pengertian dan Tujuan Penyitaan.

Penyitaan berasal dari terminologi beslag (Belanda), dan istilah Indonesia beslah, tetapi istilah bakunya ialah sita atau penyitaan. Dapat penulis tambahkan di sini terdapat transliterasi dari istilah beslag menjadi beslah. Pengertian yang terkandung di dalamnya ialah:[1]
  • Tindakan menempatkan harta kekayaan Tergugat secara paksa berada ke dalam keadaan penjagaan (to take into custody the property of a defendant);
  • Tindakan paksa penjagaan (custody) itu dilakukan secara resmi (official) berdasarkan perintah Pengadilan atau Hakim;
  • Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang disengketakan, tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat pembayaran atas pelunasan utang Debitur atau Tergugat, dengan jalan menjual lelang (executorial verkoop) barang yang disita tersebut;
  • Penetapan dan penjagaan barang yang disita, berlangsung selama proses pemeriksaan, sampai ada putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap, yang menyatakan sah atau tidak tindakan Penyitaan itu.
Berdasarkan uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan penyitaan adalah sebuah tindakan dari aparat penegak hukum, dalam hal ini Pengadilan melalui Juru Sita nantinya, guna melakukan penempatan secara paksa atas harta dari Tergugat atas nama hukum yang kemudian dijadikan pembayaran pelunasan hutang dari debitur atau Tergugat secara lelang.
________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Cetakan ke-10 tahun 2010,  Hal.: 282.

Indonesia Immigration Implements Bridging Visa

  ( gettyimages ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Amount of Authorized Capital of For...