Sabtu, 22 Agustus 2020

Sulitnya Mendesain Sistem Peradilan Yang Efektif

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Panggilan Batal, Juru Sita Dapat Dihukum", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Sulitnya Mendesain Sistem Peradilan Yang Efektif. Tulisan ini adalah bagian dari Bab 7 Perihal Putusan Akta Perdamaian Dalam Rangka Sistem Mediasi dari Bukunya Hukum Acara Perdata, penulis M. Yahya Harahap. 

Secara teori mungkin masih benar pandangan, bahwa dalam negara hukum tunduk kepada rule of law, dimana kedudukan peradilan dianggap sebagai pelaksana kekuasaan Kehakiman (judicial power), dimana peranannya adalah sebagai katup penekan atas segala pelanggaran hukum dan ketertiban masyarakat, oleh karena itu peradilan masih relevan sebagai the last resort untuk mencari keadilan.[1]

Akan tetapi pengalaman pahit menimpa masyarakat, mempertontonkan sistem peradilan yang tidak effektif dan tidak efisien. Penyelesaian perkara membutuhkan waktu bertahun-tahun, proses bertele-tele mulai dari banding, kasasi dan peninjauan kembali. Eksekusi pun dibenturkan lagi dengan adanya upaya verzet dan derden verzet. Padahal masyarakat membutuhkan penyelesaian yang cepat.[2] Bahkan sepengalaman penulis sebagai advokat praktik, tidak sering dijumpai dilakukan gugatan ulang lagi dari awal, padahal objek perkaranya adalah sama.

Akan tetapi, kenyataan praktik berbicara, sampai saat ini di negara manapun belum mampu mencipta dan mendesain sistem peradilan yang efektif. Dan pekerjaan mendesain sistem peradilan yang seperti itu, tidaklah gampang, dikarenakan terlalu banyak kepentingan yang harus dilindungi, Sedang pada lain sisi kepentingan itu bertentangan antara satu dengan yang lainnya.[3]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 229.
2. Ibid. Hal.: 229.
3. Ibid. Hal.: 229.

Jumat, 21 Agustus 2020

Panggilan Batal, Juru Sita dapat Dihukum

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Otentikasi Surat Panggilan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Panggilan Batal, Juru Sita dapat Dihukum.

Mengenai hal ini, tidak diatur dalam HIR dan RBg, tetapi ditemukan landasannya dalam Pasal 21 Rv. Selayaknya ketentuan ini dijadikan landasan hukum bagi Pengadilan untuk mengantisipasi tindakan juru sita yang sembrono. Menurut Pasal 21 Rv:[1]
  • Jika surat panggilan dinyatakan batal;
  • Hal itu terjadi disebabkan perbuatan juru sita (dilakukan dengan sengaja (intentional) atau karena kelalaian (omission));
  • Dalam hal seperti itu, Juru Sita dapat dihukum: (a. Untuk mengganti biaya Panggilan dan biaya acara yang batal; b. Juga untuk membayar ganti rugi atas segala kerugian yang diderita pihak yang dirugikan atas kebatalan itu berdasarkan PMH (Perbuatan Melawan Hukum yang digariskan Pasal 1365 KUH Perdata)).
Dalam pembaruan hukum acara yang akan datang, sudah saatnya untuk memperluas dan mempertegas tanggung jawab juru sita atas kesengajaan dan kelalaian yang dilakukan dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan. Ketentuan Pasal 21 Rv masih dianggap relevan sebagai dasar acuan.[2]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 228.
2. Ibid. Hal.: 228.

Kamis, 20 Agustus 2020

Otentikasi Surat Panggilan Sidang

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Tata Cara Pemanggilan Ditegakkan Azas Lex Fori", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Otentikasi Surat Panggilan Sidang.

Agar surat panggilan sah secara otentik, diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Hanya surat panggilan yang memiliki otentikasi yang sah sebagai surat atau relaas. Untuk itu harus memenuhi syarat-syarat berikut.[1]

Syarat pertama, Ditandatangani oleh Juru Sita. Apabila sudah ditanda-tangani, dengan sendirinya menurut hukum sah sebagai akta otentik yang dibuat oleh Pejabat Juru Sita. Kepalsuan otentikasinya, dapat dilumpuhkan berdasarkan putusan pidana pemalsuan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan isi atau tanda-tangan yang tercantum di dalamnya adalah palsu.[2]

Syarat kedua, Berisi keterangan yang ditulis tangan Juru Sita yang menjelaskan panggilan telah disampaikan di tempat tinggal yang bersangkutan secara in Person atau kepada Keluarga atau kepada Kepala Desa (Lurah). Belakangan untuk menghindari manipulasi atau pemalsuan pemanggilan dikembangkan praktik yang mengharuskan pihak yang dipanggil ikut membubuhkan tanda tangan pada surat panggilan. Pengembangan ini sangat efektif mengawasi kebenaran penyampaian panggilan. Adanya tanda tangan orang yang dipanggil merupakan bukti, bahwa panggilan telah benar-benar dilaksanakan sebagaimana mestinya.[3] Lihat contoh berikut:[4]

(pn-sengkang.go.id)

____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 227.
2. Ibid. Hal.: 227-228.
3. Ibid. Hal.: 228.
4. http://www.pn-sengkang.go.id/hubungi-kami/blog-pengadilan/relaas-panggilan-umum/item/relaas-panggilan-sidang.html

Rabu, 19 Agustus 2020

Tata Cara Pemanggilan Ditegakkan Azas Lex Fori

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Larangan Melakukan Pemanggilan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Tata Cara Pemanggilan Ditegakkan Azas Lex Fori.

Azas Lex Fori merupakan prinsip hukum perdata internasional yang menganjurkan hukum acara yang diterapkan ialah hukum nasional dari hakim yang memeriksa dan memutus perkara. Bertitik tolak dari prinsip tersebut, tata cara pemanggilan kepada Tergugat, meskipun dia pejabat diplomatik negara asing, tunduk kepada hukum acara negara tempat pengajuan Gugatan. Kalau pengajuan gugatan dalam sengketa perkara negara berdasarkan Hukum Acara Indonesia, dalam hal ini HIR sebagaimana yang diatur dalam Pasal 124 dan Pasal 390 HIR. Kasusnya, Penggugat adalah pemilik tanah dan bangunan di Jl. Wijaya, Persil Nomor: 36, HGB Nomor: 443. Tanah dan Bangunan sengketa dihuni staff Kedutaan Besar Amerika (Tergugat) dan sampai sekarang tidak dibayar sewanya. Atas peristiwa itu, Penggugat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.[1]

Atas gugatan tersebut, Tergugat mengajukan eksepsi yang mengatakan Panggilan tidak sah atas alasan dalam kedudukannya sebagai Badan Diplomatik negara asing, karena itu merupakan negara di luar RI, maka Panggilan untuk menghadiri sidang peradilan Indonesia, harus melalui prosedur diplomatik, yaitu melalui Pemerintah RI. Oleh karena panggilan langsung dilakukan Juru Sita kepada Kedubes Amerika, cara panggilan adalah keliru, karena tidak melalui prosedur yang benar, dan Pasal 118 ayat (1) HIR yang mengandung azas actor sequitor forum rei tidak dapat diterapkan kepada Tergugat.[2]

Terhadap eksepsi ini, Prof. Asikin Kusuma Atmadja berpendapat: "karena cara mengajukan perkara dan cara pemanggilan kedua belah pihak yang berperkara adalah sangat bersifat acara, maka dari itu harus tunduk pula kepada peraturan hukum dari negara hakim sendiri, in casu berlakulah hukum acara perdata yang diatur dalam HIR".[3]

Terkait dengan hal ini, Penulis selaku advokat praktik pernah menemukan sebuah kasus yang mirip, yaitu ketika Kedubes Malaysia digugat oleh warga negara Indonesia terkait dengan sengketa kepemilikan sebidang tanah di kawasan Kemang Jakarta Selatan. Persis, advokat senior di kantor penulis melakukan 'tangkisan' bahwa Panggilan tidak sah atas alasan dalam kedudukannya sebagai Badan Diplomatik negara asing, karena itu merupakan negara di luar RI, maka Panggilan untuk menghadiri sidang peradilan Indonesia, harus melalui prosedur diplomatik, yaitu melalui Pemerintah RI, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri. Alhasil eksepsi diterima dan gugatan Penggugat diputus tidak dapat diterima. Dalam menjawab eksepsi tersebut, Penggugat tidak mengemukakan dalil sebagaimana dikemukankan oleh Prof. Asikin sebagaimana telah dikutip di atas.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 227.
2. Ibid. Hal.: 227.
3. Ibid. Hal.: 227.

Selasa, 18 Agustus 2020

Larangan Melakukan Pemanggilan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Perihal Pendelegasian Pemanggilan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Larangan Melakukan Pemanggilan.

HIR dan RBg tidak mengatur larangan menyampaikan panggilan. Seolah-olah undang-undang tidak membatasi keleluasaan juru sita menyampaikan panggilan. Jika demikian halnya, hukum (secara tidak langsung) membenarkan juru sita menyampaikan panggilan pada hari libur atau tengah malam. Membenarkan kebolehan yang seperti itu, dapat menimbulkan tirani dan pelanggaran HAM.[1]

Untuk menghindari pemanggilan yang bercorak tidak berprikemanusiaan (inhumane) atau yang bersifat cruel (kejam), pemanggilan perlu berpedoman kepada ketentuan Pasal 17 dan 18 Rv berdasarkan asas process orde. Maksudnya, agar dapat ditegakkan tata cara pengadilan yang baik (procedure of good justice), pengadilan perlu menerapkan larangan menyampaikan panggilan yang diatur dalam Pasal 18 Rv, yang terdiri dari:[2]
  • Panggilan atau pemberitahuan tidak boleh disampaikan, sebelum jam 6 pagi;
  • Tidak boleh disampaikan, sesudah jam 6 sore; dan
  • Tidak boleh disampaikan pada hari Minggu.
Pengecualian terhadap larangan ini, hanya dapat dilakukan apabila:[3]
  • Ada izin dari Ketua Pengadilan Negeri;
  • Izin diberikan atas permintaan Penggugat;
  • Izin diberikan dalam keadaan mendesak; dan
  • Izin dicantumkan pada kepala surat Panggilan/Pemberitahuan.
Mengenai alasan keadaan mendesak, tergantung sepenuhnya pada penilaian hakim, asalkan hal itu dipertimbangkan secara objektif dan rasional dengan memperhatikan faktor urgensi dan relevansi.[4] Dengan demikian, penulis disini memberikan tambahan, bahwa dalam melakukan tugasnya, seorang juru sita harus memperhatikan sah dan patut-nya suatu pemanggilan.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 226.
2. Ibid. Hal.: 226.
3. Ibid. Hal.: 226.
4. Ibid. Hal.: 227.

What is a Bridging Visa?

( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Indonesia Immigration Implements Bridging ...