Rabu, 24 Juni 2020

Penggabungan Gugatan Cerai dengan Pembagian Harta Bersama Bagi Non Muslim

(iStock Photo)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "4 Penggabungan Gugatan Yang Dilarang", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Penggabungan Gugatan Cerai dengan Pembagian Harta Bersama Bagi Non Muslim.

Jika bertitik tolak dari Putusan Mahkamah Agung Nomor: 220 K/Pdt/1981, tidak dibenarkan menggabungkan gugatan perceraian dengan pembagian harta bersama. Menurut putusan itu, hukum acara tidak membolehkan penggabungan antara gugatan cerai dengan pembagian harta bersama. Alasan yang sering diajukan, antara kedua gugatan masing-masing berdiri sendiri. Gugatan perceraian berada di depan, dan pembagian harta bersama berada di belakang. Gugatan harta bersama berdasarkan hukum acara, baru dapat muncul setelah gugatan perceraian memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap.[1] Sepanjang pengalaman penulis berpraktik sebagai advokat, memang betul antara gugatan perceraian dengan pembagian harta bersama tidak dapat digabungkan, hal ini berlaku bagi warga non muslim. Bahkan harus diakui bahwa penulis pernah mengalami penanganan case dimaksud, meskipun client telah diedukasi, namun tetap saja meminta dilakukan penggabungan demikian. 

Pendapat tersebut dibantah oleh ahli M. Yahya Harahap, pendapat ini dinilai tidak realistis dan sangat formalistis. Realita yang terjadi, gugatan perceraian memakan waktu antara 5 sampai 7 tahun (maksimal) mulai dari tingkat pertama sampai kasasi. Oleh karena itu tidak boleh digabungnya gugatan perceraian dengan pembagian harta bersama, khususnya bagi warga non muslim, bertentangan dengan azas peradilan cepat biaya ringan.[2]

Lain halnya bagi warga muslim, berdasarkan Pasal 86 ayat (1) Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1989 (UU Peradilan Agama), berbunyi sebagai berikut: "Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap." Selanjutnya, maksud kebolehan penggabungan itu, demi tercapainya prinsip peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.[3]

Meskipun ketentuan ini hanya diperuntukan bagi peradilan agama, jangkauan penerapannya dapat diperluas menjadi pedoman bagi PN berdasarkan asas process doelmatigheid. Menerapkan ketentuan ini di lingkungan Peradilan Umum (PN), tidak hanya sekedar (untuk) kepentingan beracara, tetapi sekaligus untuk memenuhi ketertiban umum (public order) dan keadilan berdasarkan moral (moral justice).[4] Penulis melihat ahli M. Yahya Harahap kesal betul dengan kondisi ini, karena ketentuan dimaksud adalah untuk domain Pengadilan Agama, bukan Pengadilan Negeri, akan tetapi sepertinya ahli juga tidak mampu berbuat banyak. Memang harus diakui bahwa ketentuan acara di Pengadilan Agama (muslim) secara normatif dibuat lebih akhir, sehingga lebih mengakomodasi kondisi kekinian, sedangkan HIR dan RBg serta Rv masih produk kolonial. Tidak ada kata lain, sudah selayaknya direvisi terkait ketentuan dimaksud.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 109-110.
2. Ibid. Hal.: 110.
3. Ibid. Hal.: 110.
4. Ibid. Hal.: 111.

Selasa, 23 Juni 2020

4 Penggabungan Gugatan Yang Dilarang

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu redaksi Hukumindo.com telah membahas mengenai "Bentuk Penggabungan Gugatan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Empat Penggabungan Gugatan Yang Dilarang.

Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa penggabungan gugatan yang tidak dibenarkan. Dengan kata lain, terdapat beberapa penggabungan yang dilarang oleh hukum. Larangan itu bersumber dari hasil pengamatan praktik pengadilan, hal dimaksud adalah:[1]
  1. Pemilik Objek Gugatan Berbeda, hal ini berarti penggugat mengajukan gugatan kumulasi terhadap beberapa objek, dan masing-masing objek gugatan dimiliki oleh pemilik yang berbeda atau berlainan;
  2. Gugatan yang Digabungkan Tunduk pada Hukum Acara yang Berbeda, ini berarti tidak dibenarkan menggabungkan beberapa gugatan yang tunduk pada hukum acara yang berbeda;
  3. Gugatan Tunduk pada Kompetensi Absolut yang berbeda, yang dimaksud di sini adalah jika terdiri dari beberapa gugatan, yang masing-masing tunduk kepada kewenangan absolut yang berbeda, penggabungan tidak dapat dibenarkan;
  4. Gugatan Rekonpensi Tidak Ada Hubungan dengan Gugatan Konvensi, dengan demikian berarti sesuai dengan ketentuan Pasal 132 'a' ayat (1) HIR, Tergugat berhak mengajukan gugatan rekonvensi, sehingga terjadi penggabungan gugatan antara konvensi dan rekonvensi. Akan tetapi kebolehan yang seperti itu, tetap berpatokan pada syarat, terdapat hubungan erat antara keduanya. Apabila tidak terdapat hubungan erat di antara konvensi dan rekonvensi, penggabungan gugatan yang dilakukan Tergugat melalui gugatan rekonvensi adalah tidak dibenarkan.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 108-109.

Senin, 22 Juni 2020

Pengertian Wanprestasi

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Kuliah sebelumnya platform Hukumindo.com telah menyampaikan mengenai "Ruang Lingkup Hukum Perjanjian", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Pengertian Wanprestasi.

Dalam membicarakan "wanprestasi" kita tidak bisa terlepas dari masalah "pernyataan lalai" dan "kelalaian" (verzuim).[1]

Adapun pengertian umum tentang wanprestasi adalah "pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya". Kalau begitu seorang debitur disebutkan dan berada dalam keadaan wanprestasi, apabila dia dalam melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah lalai sehingga "terlambat" dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut "sepatutnya/selayaknya".[2]

Seperti yang telah disinggung, akibat yang timbul dari wanprestasi ialah: keharusan atau kemestian bagi debitur membayar "ganti rugi". Atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak yang lainnya dapat menuntut "pembatalan perjanjian". Seperti yang dapat kita lihat dalam keputusan Mahkamah Agung tanggal 21 Mei 1973 No: 70HK/Sip/1972: apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi karena tidak melaksanakan pembayaran barang yang dibeli, pihak yang dirugikan dapat menuntut pembatalan jual-beli.[3]

Wanprestasi sebagai perbuatan melawan hak kreditur, akan hilang atau terhapus atas dasar alasan 'overmacht/keadaan memaksa'. Jika ketidak tepatan waktu pelaksanaan, atau terdapatnya kekurang sempurnaan pelaksanaan prestasi yang merugikan kreditur terjadi 'diluar perhitungan' debitur, dalam hal seperti ini wanprestasi tidak melekat. Kekurang tepatan waktu dan kekurang patutan yang dapat dipakai sebagai dasar 'wanprestasi', adalah jika timbul oleh keadaan-keadaan yang benar-benar dapat "diperkirakan" oleh debitur.[4]
____________________
1.“Segi-segi Hukum Perjanjian”, M. Yahya Harahap, S.H., Alumni, Bandung, 1986, Hal.: 60.
2. Ibid. Hal.: 60.
3. Ibid. Hal.: 60-61.
4. Ibid. Hal.: 61.

Sabtu, 20 Juni 2020

Bentuk Penggabungan Gugatan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "2 Syarat Penggabungan Gugatan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Bentuk Penggabungan Gugatan.

Dalam praktik beracara Perdata, dikenal dua bentuk penggabungan gugatan, yaitu:[1]
  1. Kumulasi Subjektif; dan
  2. Kumulasi Objektif.
Kumulasi Subjektif

Pada bentuk penggabungan gugatan ini, dalam satu surat gugatan terdapat: a). Beberapa orang Penggugat; dan b). Beberapa orang Tergugat. Dapat terjadi variabel sebagai berikut:[2]
  • Penggugat terdiri dari beberapa orang, berhadapan dengan seorang tergugat saja. Dalam hal ini kumulasi subjektifnya terdapat pada pihak Penggugat.
  • Sebaliknya, Penggugat satu orang, sedangkan tergugat terdiri dari beberapa orang. Kumulasi subjektif yang terjadi dalam kasus ini, berada pada pihak Tergugat.
  • Dapat juga terjadi bentuk kumulasi subjektif yang meliputi pihak Penggugat dan Tergugat. Pada kumulasi yang seperti itu, Penggugat terdiri dari beberapa orang berhadapan dengan beberapa orang Tergugat.
Perlu diingatkan kembali bahwa agar kumulasi subjektif tidak bertentangan dengan hukum, harus ada hubungan hukum antara orang tersebut.

Kumulasi Objektif

Dalam bentuk penggabungan ini, yang digabungkan adalah gugatan. Penggugat menggabungkan beberapa gugatan dalam satu surat gugatan. Jadi yang menjadi faktor kumulasi adalah gugatannya, dalam arti beberapa gugatan di gabung dalam satu gugatan. Perlu diingatkan kembali, agar sah, harus adanya hubungan yang erat. Contoh penggabungan gugatan yang tidak mempunyai hubungan erat dapat dikemukakan pada Putusan MA Nomor: 1975 K/Pdt/1984, dalam putusan ini mencampurkan gugatan Wanprestasi dan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH).[3] Sayang sekali memang, di atas telah dikutip mengenai yurisprudensi penggabungan gugatan bentuk kumulasi objektif yang salah, akan tetapi tidak dicantumkan yurisprudensi yang menunjukan bentuk kumulasi gugatan yang benar. Sepertinya penulis dan sidang pembaca yang budiman harus berusaha mencarinya sendiri. 
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 106.
2. Ibid. Hal.: 106.
3. Ibid. Hal.: 107.

Kamis, 18 Juni 2020

Ruang Lingkup Hukum Perjanjian

(iStock Photo)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah terdahulu, platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Lahirnya Perjanjian", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Ruang Lingkup Hukum Perjanjian.

Menepati Perjanjian

Menepati perjanjian berarti memenuhi isi perjanjian. Atau dalam arti yang lebih luas lagi yaitu 'melunasi' (betaling) pelaksanaan isi perjanjian. Pelaksanaan isi perjanjian bisa: a). Dilakukan sendiri oleh debitur; b). Dilakukan dengan bantuan orang lain; c). Bisa juga pemenuhan prestasi perjanjian dilakukan oleh pihak ketiga untuk kepentingan dan atas nama debitur.[1]

Perihal menepati perjanjian ini dapat dijabarkan menjadi tiga hal, yaitu:[2]
  1. Kewajiban apa yang hendak dilaksanakan, maka untuk mengetahui hal-hal apa yang wajib dilaksanakan debitur dapat dilihat dari berbagai sumber, yaitu: a). Dari sumber undang-undang sendiri; b). Dari sumber akta/surat perjanjian; c). Dari sifat perjanjiannya sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan perjanjian.
  2. Pelaksanaan yang baik, pertanyaannya kemudian adalah: bagaimana menentukan pelaksanaan (perjanjian) yang baik dan sempurna? Ukurannya didasarkan pada "kepatutan" atau behoorlijk. Artinya, debitur telah melaksanakan kewajibannya menurut yang sepatutnya, sesuai dan layak menurut semestinya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah mereka setujui bersama. Pelaksanaan perjanjian yang telah dilakukan selayaknya atau sepatutnya harus dilihat pada 'saat pelaksanaan' perjanjian.
  3. Pelaksanaan Pemenuhan (nakoming), Setiap pihak yang membuat perjanjian, terutama pihak kreditur, sangat menghendaki agar pelaksanaan perjanjian diusahakan dengan sempurna secara sukarela sesuai dengan isi ketentuan perjanjian. Akan tetapi dalam praktik, tidak semua berjalan sebagaimana mestinya. Boleh jadi debitur inkar janji. Keinkaran debitur inilah yang memberi hak kepada kreditur untuk "memaksa" debitur melaksanakan prestasi. Tentu tidak dengan cara main hakim sendiri. Pada umumnya pemaksaan pelaksanaan prestasi harus melalui kekuatan putusan vonis Pengadilan.
____________________
1.“Segi-segi Hukum Perjanjian”, M. Yahya Harahap, Alumni, Bandung, 1986, Hal.: 56.
2. Ibid. Hal.: 56-58.

Three Ways to Conduct FDI in Indonesia

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Knowing Joint Venture Companies in FDI ...