Selasa, 23 Juni 2020

4 Penggabungan Gugatan Yang Dilarang

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu redaksi Hukumindo.com telah membahas mengenai "Bentuk Penggabungan Gugatan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Empat Penggabungan Gugatan Yang Dilarang.

Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa penggabungan gugatan yang tidak dibenarkan. Dengan kata lain, terdapat beberapa penggabungan yang dilarang oleh hukum. Larangan itu bersumber dari hasil pengamatan praktik pengadilan, hal dimaksud adalah:[1]
  1. Pemilik Objek Gugatan Berbeda, hal ini berarti penggugat mengajukan gugatan kumulasi terhadap beberapa objek, dan masing-masing objek gugatan dimiliki oleh pemilik yang berbeda atau berlainan;
  2. Gugatan yang Digabungkan Tunduk pada Hukum Acara yang Berbeda, ini berarti tidak dibenarkan menggabungkan beberapa gugatan yang tunduk pada hukum acara yang berbeda;
  3. Gugatan Tunduk pada Kompetensi Absolut yang berbeda, yang dimaksud di sini adalah jika terdiri dari beberapa gugatan, yang masing-masing tunduk kepada kewenangan absolut yang berbeda, penggabungan tidak dapat dibenarkan;
  4. Gugatan Rekonpensi Tidak Ada Hubungan dengan Gugatan Konvensi, dengan demikian berarti sesuai dengan ketentuan Pasal 132 'a' ayat (1) HIR, Tergugat berhak mengajukan gugatan rekonvensi, sehingga terjadi penggabungan gugatan antara konvensi dan rekonvensi. Akan tetapi kebolehan yang seperti itu, tetap berpatokan pada syarat, terdapat hubungan erat antara keduanya. Apabila tidak terdapat hubungan erat di antara konvensi dan rekonvensi, penggabungan gugatan yang dilakukan Tergugat melalui gugatan rekonvensi adalah tidak dibenarkan.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 108-109.

Senin, 22 Juni 2020

Pengertian Wanprestasi

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Kuliah sebelumnya platform Hukumindo.com telah menyampaikan mengenai "Ruang Lingkup Hukum Perjanjian", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Pengertian Wanprestasi.

Dalam membicarakan "wanprestasi" kita tidak bisa terlepas dari masalah "pernyataan lalai" dan "kelalaian" (verzuim).[1]

Adapun pengertian umum tentang wanprestasi adalah "pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya". Kalau begitu seorang debitur disebutkan dan berada dalam keadaan wanprestasi, apabila dia dalam melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah lalai sehingga "terlambat" dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut "sepatutnya/selayaknya".[2]

Seperti yang telah disinggung, akibat yang timbul dari wanprestasi ialah: keharusan atau kemestian bagi debitur membayar "ganti rugi". Atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak yang lainnya dapat menuntut "pembatalan perjanjian". Seperti yang dapat kita lihat dalam keputusan Mahkamah Agung tanggal 21 Mei 1973 No: 70HK/Sip/1972: apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi karena tidak melaksanakan pembayaran barang yang dibeli, pihak yang dirugikan dapat menuntut pembatalan jual-beli.[3]

Wanprestasi sebagai perbuatan melawan hak kreditur, akan hilang atau terhapus atas dasar alasan 'overmacht/keadaan memaksa'. Jika ketidak tepatan waktu pelaksanaan, atau terdapatnya kekurang sempurnaan pelaksanaan prestasi yang merugikan kreditur terjadi 'diluar perhitungan' debitur, dalam hal seperti ini wanprestasi tidak melekat. Kekurang tepatan waktu dan kekurang patutan yang dapat dipakai sebagai dasar 'wanprestasi', adalah jika timbul oleh keadaan-keadaan yang benar-benar dapat "diperkirakan" oleh debitur.[4]
____________________
1.“Segi-segi Hukum Perjanjian”, M. Yahya Harahap, S.H., Alumni, Bandung, 1986, Hal.: 60.
2. Ibid. Hal.: 60.
3. Ibid. Hal.: 60-61.
4. Ibid. Hal.: 61.

Sabtu, 20 Juni 2020

Bentuk Penggabungan Gugatan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "2 Syarat Penggabungan Gugatan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Bentuk Penggabungan Gugatan.

Dalam praktik beracara Perdata, dikenal dua bentuk penggabungan gugatan, yaitu:[1]
  1. Kumulasi Subjektif; dan
  2. Kumulasi Objektif.
Kumulasi Subjektif

Pada bentuk penggabungan gugatan ini, dalam satu surat gugatan terdapat: a). Beberapa orang Penggugat; dan b). Beberapa orang Tergugat. Dapat terjadi variabel sebagai berikut:[2]
  • Penggugat terdiri dari beberapa orang, berhadapan dengan seorang tergugat saja. Dalam hal ini kumulasi subjektifnya terdapat pada pihak Penggugat.
  • Sebaliknya, Penggugat satu orang, sedangkan tergugat terdiri dari beberapa orang. Kumulasi subjektif yang terjadi dalam kasus ini, berada pada pihak Tergugat.
  • Dapat juga terjadi bentuk kumulasi subjektif yang meliputi pihak Penggugat dan Tergugat. Pada kumulasi yang seperti itu, Penggugat terdiri dari beberapa orang berhadapan dengan beberapa orang Tergugat.
Perlu diingatkan kembali bahwa agar kumulasi subjektif tidak bertentangan dengan hukum, harus ada hubungan hukum antara orang tersebut.

Kumulasi Objektif

Dalam bentuk penggabungan ini, yang digabungkan adalah gugatan. Penggugat menggabungkan beberapa gugatan dalam satu surat gugatan. Jadi yang menjadi faktor kumulasi adalah gugatannya, dalam arti beberapa gugatan di gabung dalam satu gugatan. Perlu diingatkan kembali, agar sah, harus adanya hubungan yang erat. Contoh penggabungan gugatan yang tidak mempunyai hubungan erat dapat dikemukakan pada Putusan MA Nomor: 1975 K/Pdt/1984, dalam putusan ini mencampurkan gugatan Wanprestasi dan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH).[3] Sayang sekali memang, di atas telah dikutip mengenai yurisprudensi penggabungan gugatan bentuk kumulasi objektif yang salah, akan tetapi tidak dicantumkan yurisprudensi yang menunjukan bentuk kumulasi gugatan yang benar. Sepertinya penulis dan sidang pembaca yang budiman harus berusaha mencarinya sendiri. 
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 106.
2. Ibid. Hal.: 106.
3. Ibid. Hal.: 107.

Kamis, 18 Juni 2020

Ruang Lingkup Hukum Perjanjian

(iStock Photo)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah terdahulu, platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Lahirnya Perjanjian", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Ruang Lingkup Hukum Perjanjian.

Menepati Perjanjian

Menepati perjanjian berarti memenuhi isi perjanjian. Atau dalam arti yang lebih luas lagi yaitu 'melunasi' (betaling) pelaksanaan isi perjanjian. Pelaksanaan isi perjanjian bisa: a). Dilakukan sendiri oleh debitur; b). Dilakukan dengan bantuan orang lain; c). Bisa juga pemenuhan prestasi perjanjian dilakukan oleh pihak ketiga untuk kepentingan dan atas nama debitur.[1]

Perihal menepati perjanjian ini dapat dijabarkan menjadi tiga hal, yaitu:[2]
  1. Kewajiban apa yang hendak dilaksanakan, maka untuk mengetahui hal-hal apa yang wajib dilaksanakan debitur dapat dilihat dari berbagai sumber, yaitu: a). Dari sumber undang-undang sendiri; b). Dari sumber akta/surat perjanjian; c). Dari sifat perjanjiannya sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan perjanjian.
  2. Pelaksanaan yang baik, pertanyaannya kemudian adalah: bagaimana menentukan pelaksanaan (perjanjian) yang baik dan sempurna? Ukurannya didasarkan pada "kepatutan" atau behoorlijk. Artinya, debitur telah melaksanakan kewajibannya menurut yang sepatutnya, sesuai dan layak menurut semestinya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah mereka setujui bersama. Pelaksanaan perjanjian yang telah dilakukan selayaknya atau sepatutnya harus dilihat pada 'saat pelaksanaan' perjanjian.
  3. Pelaksanaan Pemenuhan (nakoming), Setiap pihak yang membuat perjanjian, terutama pihak kreditur, sangat menghendaki agar pelaksanaan perjanjian diusahakan dengan sempurna secara sukarela sesuai dengan isi ketentuan perjanjian. Akan tetapi dalam praktik, tidak semua berjalan sebagaimana mestinya. Boleh jadi debitur inkar janji. Keinkaran debitur inilah yang memberi hak kepada kreditur untuk "memaksa" debitur melaksanakan prestasi. Tentu tidak dengan cara main hakim sendiri. Pada umumnya pemaksaan pelaksanaan prestasi harus melalui kekuatan putusan vonis Pengadilan.
____________________
1.“Segi-segi Hukum Perjanjian”, M. Yahya Harahap, Alumni, Bandung, 1986, Hal.: 56.
2. Ibid. Hal.: 56-58.

Rabu, 17 Juni 2020

2 Syarat Penggabungan Gugatan

(Getty Images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Tujuan Penggabungan Gugatan", dan Pada kesempatan ini akan membahas tentang 2 Syarat Penggabungan Gugatan.

Putusan Mahkamah Agung No: 2990 K/Pdt/1990, tertanggal 23 Mei 1992 memberi gambaran acuan penerapan terkait dengan Penggabungan Gugatan. Adapun alasan yang dapat dibenarkan dalam melakukan penggabungan gugatan adalah atas alasan:[1]
  1. Pertama, gugatan yang digabung sejenis yaitu para Penggugat terdiri dari deposan PT. Bank Pasar Dwiwindu (sebagai tergugat), kasus di mana para deposan secara kumulatif menuntut pengembalian deposito;
  2. Kedua, penyelesaian hukum dan kepentingan yang dituntut para Penggugat adalah sama, menuntut pengembalian deposito;
  3. Ketiga, hubungan hukum antara para penggugat dan tergugat adalah sama, yaitu sebagai deposan berhadapan dengan tergugat sebagai penerima deposito;
  4. Keempat, pembuktian adalah sama dan mudah, sehingga tidak mempersulit pemeriksaan secara kumulasi.   
Dengan demikian, tidak semua perkara perdata dapat dilakukan penggabungan gugatan, hanya yang sesuai dengan tolok ukur yang telah disebutkan di atas saja yang kemudian akan memenuhi syarat secara hukum acara.

Dari keempat tolok ukur di atas, dapat dikemukakan syarat pokok kumulasi seperti dijelaskan berikut ini:[2]
  1. Terdapat hubungan erat, menurut Soepomo dalam M. Yahya Harahap "antara gugatan-gugatan yang digabung itu harus ada hubungan batin (innerlijke samenhang)". Dalam praktik tidak mudah mengkonstruksi hubungan erat antara gugatan yang satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh kasus Putusan MA Nomor: 1715 K/Pdt/1983. Pada gugatan pertama, Penggugat mengajukan posita mengenai jual beli saham PT. PROSAM, yaitu penggugat telah membeli saham perseroan itu dari Tergugat, sehingga Penggugat satu-satunya pemegang (saham) yang sah. Sehubungan dengan itu, dalam petitum gugatan, menuntut agar Penggugat dinyatakan (sebagai) pemegang saham, dan menyatakan saham atas nama Tergugat adalah milik Penggugat. Pada gugatan kedua, diajukan posita perbuatan melawan hukum (PMH). Para Tergugat menghalangi Penggugat atas pemilikan dan penguasaan pelaksanaan proyek PT. PROSAM, berupa pembangunan kompleks perbelanjaan Pasar Atom Surabaya. Dalam kasus ini MA berpendapat, kumulasi objektif yang diajukan Penggugat, tidak dapat dibenarkan atas alasan: Antara Gugatan yang satu dengan yang lain adalah kasus yang berdiri sendiri. Antara keduanya tidak terdapat koneksitas atau hubungan erat.
  2. Terdapat hubungan hukum, dalam artian terdapat hubungan hukum antara para Penggugat atau antara para Tergugat. Jika dalam kumulasi subjektif yang diajukan beberapa orang sedangkan di antara mereka maupun terhadap objek perkara yang sama sekali tidak ada hubungan hukum, gugatan wajib diajukan secara terpisah sendiri-sendiri. Dalam hal ini pun tidak mudah menentukan apakah di antara para Penggugat atau Tergugat terdapat hubungan hukum. Sebagai contoh, dapat dikemukakan putusan MA Nomor: 1742 K/Pdt/1983. Gugatan diajukan kepada beberapa orang Tergugat (Tergugat I dan Tergugat II). Padahal antara Tergugat I dan Tergugat II tidak ada hubungan hukum. Dalam kasus ini MA mengatakan, oleh karena tidak ada hubungan hukum di antara tergugat, maka sesuai dengan Putusan 20 Juni 1979, Nomor: 415 K/Sip/1975, gugatan tidak dapat diajukan secara kumulasi, tetapi harus masing-masing berdiri sendiri terhadap para Tergugat.
Penulis berpendapat, bahwa ahli M. Yahya Harahap, sebagaimana telah dikutip di atas, telah gagal menemukan yurisprudensi mengenai syarat pokok penggabungan gugatan, yaitu syarat adanya 'hubungan erat' dan 'terdapatnya hubungan hukum'. Tanpa berpretensi terlebih dahulu, karena tentunya penulis juga belum mengkaji yurisprudensi lain yang terkait, akan sulit melaksanakan kedua syarat dimaksud ke dalam tataran praktik. Oleh karena itu, sebagai seorang praktisi hukum, penulis menyarankan agar dihindari saja melakukan penggabungan gugatan, dikarenakan sangat kecil nilai keberhasilannya.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 104-105.
2. Ibid. Hal.: 105-106.

What is a Bridging Visa?

( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Indonesia Immigration Implements Bridging ...