Senin, 22 Juni 2020

Pengertian Wanprestasi

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Kuliah sebelumnya platform Hukumindo.com telah menyampaikan mengenai "Ruang Lingkup Hukum Perjanjian", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Pengertian Wanprestasi.

Dalam membicarakan "wanprestasi" kita tidak bisa terlepas dari masalah "pernyataan lalai" dan "kelalaian" (verzuim).[1]

Adapun pengertian umum tentang wanprestasi adalah "pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya". Kalau begitu seorang debitur disebutkan dan berada dalam keadaan wanprestasi, apabila dia dalam melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah lalai sehingga "terlambat" dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut "sepatutnya/selayaknya".[2]

Seperti yang telah disinggung, akibat yang timbul dari wanprestasi ialah: keharusan atau kemestian bagi debitur membayar "ganti rugi". Atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak yang lainnya dapat menuntut "pembatalan perjanjian". Seperti yang dapat kita lihat dalam keputusan Mahkamah Agung tanggal 21 Mei 1973 No: 70HK/Sip/1972: apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi karena tidak melaksanakan pembayaran barang yang dibeli, pihak yang dirugikan dapat menuntut pembatalan jual-beli.[3]

Wanprestasi sebagai perbuatan melawan hak kreditur, akan hilang atau terhapus atas dasar alasan 'overmacht/keadaan memaksa'. Jika ketidak tepatan waktu pelaksanaan, atau terdapatnya kekurang sempurnaan pelaksanaan prestasi yang merugikan kreditur terjadi 'diluar perhitungan' debitur, dalam hal seperti ini wanprestasi tidak melekat. Kekurang tepatan waktu dan kekurang patutan yang dapat dipakai sebagai dasar 'wanprestasi', adalah jika timbul oleh keadaan-keadaan yang benar-benar dapat "diperkirakan" oleh debitur.[4]
____________________
1.“Segi-segi Hukum Perjanjian”, M. Yahya Harahap, S.H., Alumni, Bandung, 1986, Hal.: 60.
2. Ibid. Hal.: 60.
3. Ibid. Hal.: 60-61.
4. Ibid. Hal.: 61.

Sabtu, 20 Juni 2020

Bentuk Penggabungan Gugatan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "2 Syarat Penggabungan Gugatan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Bentuk Penggabungan Gugatan.

Dalam praktik beracara Perdata, dikenal dua bentuk penggabungan gugatan, yaitu:[1]
  1. Kumulasi Subjektif; dan
  2. Kumulasi Objektif.
Kumulasi Subjektif

Pada bentuk penggabungan gugatan ini, dalam satu surat gugatan terdapat: a). Beberapa orang Penggugat; dan b). Beberapa orang Tergugat. Dapat terjadi variabel sebagai berikut:[2]
  • Penggugat terdiri dari beberapa orang, berhadapan dengan seorang tergugat saja. Dalam hal ini kumulasi subjektifnya terdapat pada pihak Penggugat.
  • Sebaliknya, Penggugat satu orang, sedangkan tergugat terdiri dari beberapa orang. Kumulasi subjektif yang terjadi dalam kasus ini, berada pada pihak Tergugat.
  • Dapat juga terjadi bentuk kumulasi subjektif yang meliputi pihak Penggugat dan Tergugat. Pada kumulasi yang seperti itu, Penggugat terdiri dari beberapa orang berhadapan dengan beberapa orang Tergugat.
Perlu diingatkan kembali bahwa agar kumulasi subjektif tidak bertentangan dengan hukum, harus ada hubungan hukum antara orang tersebut.

Kumulasi Objektif

Dalam bentuk penggabungan ini, yang digabungkan adalah gugatan. Penggugat menggabungkan beberapa gugatan dalam satu surat gugatan. Jadi yang menjadi faktor kumulasi adalah gugatannya, dalam arti beberapa gugatan di gabung dalam satu gugatan. Perlu diingatkan kembali, agar sah, harus adanya hubungan yang erat. Contoh penggabungan gugatan yang tidak mempunyai hubungan erat dapat dikemukakan pada Putusan MA Nomor: 1975 K/Pdt/1984, dalam putusan ini mencampurkan gugatan Wanprestasi dan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH).[3] Sayang sekali memang, di atas telah dikutip mengenai yurisprudensi penggabungan gugatan bentuk kumulasi objektif yang salah, akan tetapi tidak dicantumkan yurisprudensi yang menunjukan bentuk kumulasi gugatan yang benar. Sepertinya penulis dan sidang pembaca yang budiman harus berusaha mencarinya sendiri. 
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 106.
2. Ibid. Hal.: 106.
3. Ibid. Hal.: 107.

Kamis, 18 Juni 2020

Ruang Lingkup Hukum Perjanjian

(iStock Photo)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah terdahulu, platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Lahirnya Perjanjian", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Ruang Lingkup Hukum Perjanjian.

Menepati Perjanjian

Menepati perjanjian berarti memenuhi isi perjanjian. Atau dalam arti yang lebih luas lagi yaitu 'melunasi' (betaling) pelaksanaan isi perjanjian. Pelaksanaan isi perjanjian bisa: a). Dilakukan sendiri oleh debitur; b). Dilakukan dengan bantuan orang lain; c). Bisa juga pemenuhan prestasi perjanjian dilakukan oleh pihak ketiga untuk kepentingan dan atas nama debitur.[1]

Perihal menepati perjanjian ini dapat dijabarkan menjadi tiga hal, yaitu:[2]
  1. Kewajiban apa yang hendak dilaksanakan, maka untuk mengetahui hal-hal apa yang wajib dilaksanakan debitur dapat dilihat dari berbagai sumber, yaitu: a). Dari sumber undang-undang sendiri; b). Dari sumber akta/surat perjanjian; c). Dari sifat perjanjiannya sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan perjanjian.
  2. Pelaksanaan yang baik, pertanyaannya kemudian adalah: bagaimana menentukan pelaksanaan (perjanjian) yang baik dan sempurna? Ukurannya didasarkan pada "kepatutan" atau behoorlijk. Artinya, debitur telah melaksanakan kewajibannya menurut yang sepatutnya, sesuai dan layak menurut semestinya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah mereka setujui bersama. Pelaksanaan perjanjian yang telah dilakukan selayaknya atau sepatutnya harus dilihat pada 'saat pelaksanaan' perjanjian.
  3. Pelaksanaan Pemenuhan (nakoming), Setiap pihak yang membuat perjanjian, terutama pihak kreditur, sangat menghendaki agar pelaksanaan perjanjian diusahakan dengan sempurna secara sukarela sesuai dengan isi ketentuan perjanjian. Akan tetapi dalam praktik, tidak semua berjalan sebagaimana mestinya. Boleh jadi debitur inkar janji. Keinkaran debitur inilah yang memberi hak kepada kreditur untuk "memaksa" debitur melaksanakan prestasi. Tentu tidak dengan cara main hakim sendiri. Pada umumnya pemaksaan pelaksanaan prestasi harus melalui kekuatan putusan vonis Pengadilan.
____________________
1.“Segi-segi Hukum Perjanjian”, M. Yahya Harahap, Alumni, Bandung, 1986, Hal.: 56.
2. Ibid. Hal.: 56-58.

Rabu, 17 Juni 2020

2 Syarat Penggabungan Gugatan

(Getty Images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Tujuan Penggabungan Gugatan", dan Pada kesempatan ini akan membahas tentang 2 Syarat Penggabungan Gugatan.

Putusan Mahkamah Agung No: 2990 K/Pdt/1990, tertanggal 23 Mei 1992 memberi gambaran acuan penerapan terkait dengan Penggabungan Gugatan. Adapun alasan yang dapat dibenarkan dalam melakukan penggabungan gugatan adalah atas alasan:[1]
  1. Pertama, gugatan yang digabung sejenis yaitu para Penggugat terdiri dari deposan PT. Bank Pasar Dwiwindu (sebagai tergugat), kasus di mana para deposan secara kumulatif menuntut pengembalian deposito;
  2. Kedua, penyelesaian hukum dan kepentingan yang dituntut para Penggugat adalah sama, menuntut pengembalian deposito;
  3. Ketiga, hubungan hukum antara para penggugat dan tergugat adalah sama, yaitu sebagai deposan berhadapan dengan tergugat sebagai penerima deposito;
  4. Keempat, pembuktian adalah sama dan mudah, sehingga tidak mempersulit pemeriksaan secara kumulasi.   
Dengan demikian, tidak semua perkara perdata dapat dilakukan penggabungan gugatan, hanya yang sesuai dengan tolok ukur yang telah disebutkan di atas saja yang kemudian akan memenuhi syarat secara hukum acara.

Dari keempat tolok ukur di atas, dapat dikemukakan syarat pokok kumulasi seperti dijelaskan berikut ini:[2]
  1. Terdapat hubungan erat, menurut Soepomo dalam M. Yahya Harahap "antara gugatan-gugatan yang digabung itu harus ada hubungan batin (innerlijke samenhang)". Dalam praktik tidak mudah mengkonstruksi hubungan erat antara gugatan yang satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh kasus Putusan MA Nomor: 1715 K/Pdt/1983. Pada gugatan pertama, Penggugat mengajukan posita mengenai jual beli saham PT. PROSAM, yaitu penggugat telah membeli saham perseroan itu dari Tergugat, sehingga Penggugat satu-satunya pemegang (saham) yang sah. Sehubungan dengan itu, dalam petitum gugatan, menuntut agar Penggugat dinyatakan (sebagai) pemegang saham, dan menyatakan saham atas nama Tergugat adalah milik Penggugat. Pada gugatan kedua, diajukan posita perbuatan melawan hukum (PMH). Para Tergugat menghalangi Penggugat atas pemilikan dan penguasaan pelaksanaan proyek PT. PROSAM, berupa pembangunan kompleks perbelanjaan Pasar Atom Surabaya. Dalam kasus ini MA berpendapat, kumulasi objektif yang diajukan Penggugat, tidak dapat dibenarkan atas alasan: Antara Gugatan yang satu dengan yang lain adalah kasus yang berdiri sendiri. Antara keduanya tidak terdapat koneksitas atau hubungan erat.
  2. Terdapat hubungan hukum, dalam artian terdapat hubungan hukum antara para Penggugat atau antara para Tergugat. Jika dalam kumulasi subjektif yang diajukan beberapa orang sedangkan di antara mereka maupun terhadap objek perkara yang sama sekali tidak ada hubungan hukum, gugatan wajib diajukan secara terpisah sendiri-sendiri. Dalam hal ini pun tidak mudah menentukan apakah di antara para Penggugat atau Tergugat terdapat hubungan hukum. Sebagai contoh, dapat dikemukakan putusan MA Nomor: 1742 K/Pdt/1983. Gugatan diajukan kepada beberapa orang Tergugat (Tergugat I dan Tergugat II). Padahal antara Tergugat I dan Tergugat II tidak ada hubungan hukum. Dalam kasus ini MA mengatakan, oleh karena tidak ada hubungan hukum di antara tergugat, maka sesuai dengan Putusan 20 Juni 1979, Nomor: 415 K/Sip/1975, gugatan tidak dapat diajukan secara kumulasi, tetapi harus masing-masing berdiri sendiri terhadap para Tergugat.
Penulis berpendapat, bahwa ahli M. Yahya Harahap, sebagaimana telah dikutip di atas, telah gagal menemukan yurisprudensi mengenai syarat pokok penggabungan gugatan, yaitu syarat adanya 'hubungan erat' dan 'terdapatnya hubungan hukum'. Tanpa berpretensi terlebih dahulu, karena tentunya penulis juga belum mengkaji yurisprudensi lain yang terkait, akan sulit melaksanakan kedua syarat dimaksud ke dalam tataran praktik. Oleh karena itu, sebagai seorang praktisi hukum, penulis menyarankan agar dihindari saja melakukan penggabungan gugatan, dikarenakan sangat kecil nilai keberhasilannya.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 104-105.
2. Ibid. Hal.: 105-106.

Tujuan Penggabungan Gugatan

(Getty Images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Pengertian dan Pengaturan Penggabungan Gugatan", dan Pada kesempatan ini akan membahas tentang Tujuan Penggabungan Gugatan.

Jika memperhatikan kembali Putusan Mahkamah Agung Nomor: 575 K/Pdt/1983, begitu juga dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 880 K/Sip/1970, terdapat pertimbangan mengenai manfaat dan tujuan penggabungan gugatan, yaitu bermanfaat dari segi acara (procesuel doelmatig).[1]

Memperhatikan Putusan di atas, dapat dikemukakan manfaat dan tujuan Penggabungan Gugatan adalah sebagai berikut:[2]
  1. Mewujudkan Peradilan Sederhana, melalui sistem penggabungan gugatan dalam satu gugatan, dapat dilaksanakan penyelesaian beberapa perkara melalui proses tunggal, dan dipertimbangkan serta diputuskan dalam satu putusan. Sebagai contoh, gugatan penggarapan atau penguasaan tanah yang dilakukan 20 orang. Melalui sistem penggabungan ini pelaksanaan penyelesaian perkara menjadi bersifat sederhana, cepat dan biaya murah.
  2. Menghindari Putusan yang Saling Bertentangan, manfaat lainnya melalui sistem penggabungan gugatan ini adalah dapat dihindari munculnya putusan yang saling bertentangan dalam kasus yang sama. 
Dari penjabaran di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa penggabungan gugatan bukan hanya bermanfaat untuk mewujudkan peradilan cepat dan biaya ringan, namun juga menghindari putusan yang saling bertentangan satu dengan lainnya.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 103.
2. Ibid. Hal.: 104.
3. Ibid. Hal.: 104.

Selasa, 16 Juni 2020

Pengertian dan Pengaturan Penggabungan Gugatan

(Getty Images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai topik perubahan gugatan, dan pada artikel terakhir telah membahas tentang "Perubahan Gugatan Pada Tingkat Banding", dan Pada kesempatan selanjutnya adalah terkait topik 'Penggabungan Gugatan'. Sebagai bagian awal topik, maka artikel ini akan membahas perihal Pengertian dan Pengaturan Penggabungan Gugatan.

Pengertian Penggabungan Gugatan

Secara teknis, penggabungan gugatan berarti penggabungan beberapa gugatan dalam satu gugatan. Disebut juga kumulasi gugatan atau istilah dalam bahasa Belandanya adalah samenvoeging van vordering, yaitu penggabungan lebih dari satu tuntutan hukum ke dalam satu gugatan. Pada prinsipnya, setiap gugatan harus berdiri sendiri. Masing-masing gugatan diajukan dalam satu surat gugatan yang terpisah serta berdiri sendiri. Akan tetapi dalam hal batas-batas tertentu, dibolehkan melakukan penggabungan gugatan dalam satu surat gugatan, apabila antara satu gugatan dengan gugatan yang lain terdapat hubungan erat atau koneksitas.[1] Sederhananya adalah penyatuan lebih dari satu gugatan, bahkan lebih, ke dalam satu gugatan.

Pengaturan Penggabungan Gugatan

Hukum positif tidak mengatur mengenai penggabungan gugatan. Baik HIR maupun RBg tidak mengaturnya. Hal yang sama juga dengan Rv, tidak diatur di dalamnya, setidaknya tidak diatur secara tegas, namun juga tidak melarangnya. Yang dilarang adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 103 Rv, yaitu hanya terbatas pada penggabungan atau kumulasi gugatan antara tuntutan hak menguasai (bezit) dengan tuntutan hak milik. Oleh M. Yahya Harahap hal ini ditafsirkan secara a contrario dengan mengartikannya sebagai pembolehan terkait penggabungan gugatan.[2]

Meskipun HIR dan RBg maupun Rv tidak mengatur, peradilan sudah lama menerapkannya. Supomo menunjukkan salah satu putusan Raad Justisie Jakarta pada tanggal 20 Juni 1939 yang memperbolehkan penggabungan gugatan, asal antara gugatan-gugatan itu, terdapat hubungan erat (innerlijke samenhang). Pendapat yang sama ditegaskan juga dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 575 K/Pdt/1983, yang penjelasannya antara lain:[3]
  • Meskipun Pasal 393 ayat (1) HIR mengatakan hukum acara yang diperhatikan hanya HIR, namun untuk mewujudkan tercapai process doelmatigheid, dimungkinkan menerapkan lembaga dan ketentuan acara di luar yang diatur dalam HIR, asal dalam penerapan itu berpedoman pada ukuran: a). Benar-benar untuk memudahkan atau menyederhanakan proses pemeriksaan; b). Menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan;
  • Berdasarkan alasan itu, boleh dilakukan penggabungan (samenvoeging) atau kumulasi objektif maupun subjektif, asal terdapat innerlijke samenhangen atau koneksitas erat di antaranya. Ternyata dalam kasus ini, hal itu tidak terdapat, karena utang yang terjadi adalah utang yang masing-masing berdiri sendiri, sehingga tidak bisa dikumulasi.
__________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 102.
2. Ibid. Hal.: 103.
3. Ibid. Hal.: 103.

Senin, 15 Juni 2020

Perubahan Gugatan Pada Tingkat Banding

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "3 Syarat Perubahan Gugatan", kemudian juga telah dibahas mengenai "Batas Waktu Pengajuan Perubahan Gugatan", serta "Tiga Larangan Hukum Acara Terkait Merubah Surat Gugatan", maka Pada kesempatan ini akan membahas tentang Perubahan Gugatan Pada Tingkat Banding.

Pada prinsipnya perubahan gugatan dilakukan pada peradilan tingkat pertama, yaitu Pengadilan Negeri. Oleh karena itu, tidak dapat dilakukan pada tingkat banding pada instansi Pengadilan Tinggi. Akan tetapi, tanpa mengurangi prinsip tersebut, Asikin dalam Yahya Harahap berpendapat: "dimungkinkan mengajukan atau melakukan perubahan gugatan pada tingkat banding. Demikian juga halnya Pengadilan Tinggi yang berfungsi sebagai tingkat banding juga adalah peradilan yang memeriksa fakta-fakta. Oleh karena itu, perubahan gugatan dapat juga diajukan dalam tingkat banding, asal saja pihak tergugat diberi kesempatan mengemukakan pendapat dan membela diri".[1] Jika penulis cermati, maka statement di atas bertitik tolak dari anggapan bahwa Pengadilan Banding adalah juga masih memeriksa perkara yang sifatnya faktawi (judex facti), sehingga dimungkinkan diajukan perubahan gugatan sebagaimana layaknya tingkat pertama.

Pasal 344 Rv juga melarang pengajuan tuntutan baru pada tingkat banding. Hal ini dengan rincian: a). Dilarang mengajukan tuntutan baru pada Tingkat Banding, perlu dicermati di sini yang dilarang bukan merubah gugatan, tapi mengajukan tuntutan baru. Yang dimaksud dengan tuntutan baru adalah yang merubah pokok perkara. Misalnya telah disinggung terdahulu, salah satu contohnya adalah merubah pokok perkara dari gugatan wanprestasi menjadi gugatan waris. b). Boleh mengajukan tuntutan baru secara exceptional, antara lain tuntutan Uitvoerbaar Bij Voorraad. Pasal ini memungkinkan mengajukan tuntutan baru seperti uang bunga, dll., biaya kerugian dan bunga karena kerugian yang diderita, serta putusan serta merta/dijalankan terlebih dahulu.[2] Yang dimaksud dengan tuntutan exceptional di atas adalah sebenarnya merupakan tuntutan assesoir, bukan tuntutan pokok.

Menanggapi kemungkinan sebagaimana diatur dalam Pasal 344 Rv dan pendapat ahli Asikin di atas, penulis berpendapat sebagai seorang advokat praktik yang berpijak khususnya pada pengalaman beracara, akan sangat sulit mengharapkan hasil positif dari perubahan gugatan yang diajukan pada tingkat banding. Meskipun secara normatif ternyata juga tidak dilarang, akan tetapi sepengalaman penulis, perubahan gugatan yang diajukan pada tingkat banding adalah tidak populer. Umumnya lawan akan merasa keberatan dengan adanya perubahan gugatan dimaksud, hal mana juga diatur dalam Pasal 127 Rv bahwa perubahan gugatan tidak boleh merugikan Tergugat. Di sisi lain, dalam hal perkara memakai jasa kuasa hukum, patut dipertanyakan kapasitas dan kompetensi kuasa hukum jika memang sejak awal (sejak surat gugatan didaftarkan pada pengadilan negeri) tidak cermat dan tidak mampu mengkonstruksi sebuah surat gugatan yang baik dari perkara yang telah dikuasakan kepadanya. Dengan demikian, penulis lebih sependapat dengan argumentasi hukum bahwa pada prinsipnya perubahan gugatan dilakukan pada peradilan tingkat pertama, yaitu Pengadilan Negeri, dan tidak populer dilakukan pada tingkat banding.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 101.
2. Ibid. Hal.: 102.

Sabtu, 13 Juni 2020

3 Syarat Perubahan Gugatan

(Bigstock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu redaksi Hukumindo.com telah membahas mengenai "Batas waktu Pengajuan Perubahan Gugatan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Syarat Perubahan Gugatan.

Pasal 127 Rv tidak menyebut syarat formil pengajuan perubahan gugatan. Dalam praktik peradilan, ditemukan dalam Buku Pedoman yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung sebagai berikut:[1]

Pengajuan Perubahan Pada sidang yang Pertama Dihadiri Tergugat, syarat yang pertama ini berarti perubahan gugatan diajukan oleh Penggugat pada sidang pertama, dan dihadiri oleh Para Pihak. Sebaliknya hal ini berarti Penggugat tidak diperkenankan mengajukan perubahan gugatan dalam hal diajukan di luar hari sidang, dan pada sidang yang tidak dihadiri oleh Tergugat.[2] Disini terlihat bahwa perubahan gugatan yang diajukan sampai Replik-Duplik ataupun sebelum Putusan sangat sulit dilaksanakan, dalam hal ini ahli M. Yahya Harahap tidak menyinggungnya pendapatnya lagi bahwa perubahan gugatan diajukan sampai batas Replik-Duplik (lihat pendapat beliau di artikel sebelumnya), namun secara eksplisit setuju diajukan pada sidang pertama.

Memberi Hak Kepada Tergugat Menanggapi, syarat ini berarti perubahan gugatan yang diajukan Penggugat tanpa mendengar pendapat Tergugat dianggap tidak sah. Serta memberi hak dan kesempatan kepada Tergugat untuk menanggapi dan membela kepentingannya.[3] Sepengalaman penulis berpraktik sebagai advokat, kesempatan ini kadang dipergunakan oleh Parat Tergugat dan Turut Tergugat dan kadang juga tidak dipergunakan, bahkan kadang kala ada Tergugat yang sampai mempermasalahkan hal-hal yang tidak substansial seperti salah ketik.

Tidak Menghambat Acara Pemeriksaan, syarat ini dikemukakan dalam catatan perkara Mahkamah Agung Nomor: 943 K/Pdt./1984. Ditegaskan bahwa kebolehan perubahan gugatan tidak menghambat acara pemeriksaan perkara. Menurut ahli M. Yahya Harahap hal ini dapat disetujui, meskipun agak sulit mengkonstruksikannya dalam tataran praktik. Sebagai catatan, hal dimaksud harus diterapkan secara cermat dan kasuistik.[4] Sepengalaman penulis beracara sebagai advokat, belum pernah bersinggungan dengan aturan yang satu ini, meskipun penulis tentu saja harus menyetujui bahwa perubahan gugatan sudah selayaknya tidak menghambat pemeriksaan perkara.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 95.
2. Ibid. Hal.: 95.
3. Ibid. Hal.: 95-96.
4. Ibid. Hal.: 96.

Jumat, 12 Juni 2020

Batas Waktu Pengajuan Perubahan Gugatan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu redaksi Hukumindo.com telah membahas mengenai "Merubah Gugatan Adalah Hak Penggugat", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Batas Waktu Pengajuan Perubahan Gugatan.

Mengenai batas waktu pengajuan perubahan gugatan terdapat sedikitnya dua versi. Versi pertama adalah sampai saat perkara diputus. Tenggang batas jangka waktu ini ditegaskan dalam rumusan Pasal 127 Rv yang menyatakan, Penggugat berhak mengubah atau mengurangi tuntutan sampai saat perkara diputus. Pada catatan yang diberikan pada Putusan MA Nomor: 943 K/Sip/1987, tanggal 19 September 1985, terdapat penegasan yang memperbolehkan perubahan gugatan selama persidangan. Ahli M. Yahya Harahap, S.H. kurang setuju dengan ketentuan batas jangka waktu ini, hal ini dianggap kesewenang-wenangan terhadap Tergugat.[1] Sepanjang pengalaman penulis beracara sebagai advokat, memang belum menemukan majelis hakim yang memberikan keleluasaan dalam melakukan perubahan gugatan sampai sebelum putusan dijatuhkan. Dan harap maklum, harus diakui oleh penulis, bahwa penulis pun baru mengetahui adanya yurisprudensi tertanggal 19 September 1985 di atas.

Versi kedua adalah sampai dengan hari sidang pertama. Hal ini berpedoman pada Buku Pedoman yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung. Selain harus diajukan pada hari sidang pertama, disyaratkan para pihak harus hadir. Dari segi hukum, perubahan gugatan dimaksud untuk memperbaiki dan menyempurnakan gugatan. Menurut M. Yahya Harahap, S.H., hal ini justru terlalu membatasi, sehingga kurang realistis.[2] Sedikit berkomentar, sepengalaman penulis dalam beracara sebagai advokat, inilah jangka waktu lazimnya diajukan perubahan gugatan, yaitu pada sidang pertama. Praktik di lapangan adalah Penggugat mengajukan perubahan gugatan kepada majelis hakim pemeriksa perkara pada sidang pertama, dan pada sidang selanjunya paper/berkas sudah diserahkan ke Majelis hakim. Dan sidang setelahnya, baru giliran para tergugat dan turut tergugat mengajukan Jawabannya masing-masing. 

M. Yahya Harahap, S.H. berpendapat bahwa perubahan gugatan masih dapat dilakukan sampai agenda Replik-Duplik. Hal ini dengan alasan bahwa versi pertama terlalu memberikan keleluasaan jika perubahan gugatan masih dapat diajukan sebelum putusan dijatuhkan. Sebaliknya, versi kedua, terlalu membatasi jika perubahan gugatan hanya dapat diajukan pada saat sidang pertama. Menurut salah satu ahli dimaksud (M. Yahya Harahap, S.H.), lebih baik menerapkan tenggang waktu yang bersifat moderat, dalam arti membolehkan pengajuan perubahan gugatan tidak hanya terbatas pada sidang pertama, namun diperbolehkan sampai dengan agenda Replik-Duplik.[3]

Menurut hemat penulis sebagai advokat, pendapat terakhir ini juga kurang pas, karena dalam praktik akan berimbas pada berubahnya konstruksi tulisan, baik itu gugatan maupun jawaban, bahkan seterusnya. Tidak akan terlalu bermasalah jika perubahan gugatan dimaksud hanya sebatas salah ketik, namun apabila lebih dari itu, misalnya mengurangi tuntutan atau kesalahan pada perhitungan, maka imbasnya cukup signifikan pada konstruksi tulisan posita, bahkan petitum. Sepengalaman penulis, sudah cukup jika perubahan gugatan diajukan pada sidang pertama. Hakim akan menilai jika perubahan gugatan dimaksud cukup signifikan, maka sudah selayaknya diberikan waktu yang relatif lebih lama atau setidaknya proporsional. Sehingga ketika memasuki agenda jawaban, replik dan duplik, para pihak dan majelis hakim yang mengadili telah terbebas dari urusan perubahan gugatan ini.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 94.
2. Ibid. Hal.: 94.
3. Ibid. Hal.: 94-95.

Three Ways to Conduct FDI in Indonesia

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Knowing Joint Venture Companies in FDI ...