Selasa, 19 Mei 2020

Upaya Hukum Terhadap Penetapan



(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah dibahas mengenai "Kekuatan Pembuktian dari sebuah Penetapan", dan pada kesempatan ini redaksi Hukumindo.com akan membahas mengenai Upaya Hukum Terhadap Penetapan.

Apabila permohonan ditolak oleh Pengadilan, apa upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Pemohon? Guna menjawab hal dimaksud, akan dijelaskan hal-hal sebagaimana berikut ini.[1]

Yang pertama, Penetapan atas Permohonan Merupakan Putusan Tingkat Pertama dan Terakhir. Sesuai dengan doktrin dan praktik yang berlaku, penetapan yang dijatuhkan dalam perkara yang berbentuk permohonan atau voluntair, pada umumnya merupakan putusan yang bersifat tingkat pertama dan terakhir.[2]
 
Yang kedua, terhadap Putusan Peradilan Tingkat Pertama yang bersifat Pertama dan Terakhir, Tidak dapat diajukan Banding. Contohnya adalah Putusan Pengadilan Tinggi Medan tanggal 1 Maret 1952, Nomor: 120 Tahun 1950, terkait dengan permohonan pengangkatan wali, yang menegaskan antara lain:[3]
"Permohonan banding atas putusan PN tentang pengangkatan perwalian berdasarkan Pasal 360 BW, harus dinyatakan niet ontvankelijke verklaard (tidak dapat diterima), karena menurut Pasal 364 BW sendiri dengan tegas mengatakan, bahwa banding atas pengangkatan wali tidak dapat dimohon banding".
Yang ketiga, upaya hukum yang dapat diajukan adalah Kasasi. Kebolehan mengajukan kasasi terhadap Penetapan atas Permohonan merujuk secara analogis pada penjelasan Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor: 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sebagaimana dirubah dengan Undang-undang Nomor: 5 Tahun 2004. Pasal 43 ayat (1) mengatakan, Permohonan Kasasi dapat diajukan hanya jika permohonan terhadap perkara telah menggunakan upaya hukum banding, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang, Terhadap kalimat terakhir pasal ini, dirumuskan penjelasan yang berbunyi: "Pengecualian dalam ayat (1) pasal ini diadakan karena adanya putusan Pengadilan tingkat pertama yang oleh Undang-undang tidak dapat dimohon banding."[4]

____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 42.
2. Ibid. Hal.: 42.
3. Ibid. Hal.: 42-43.
4. Ibid. Hal.: 43.

Senin, 18 Mei 2020

Kekuatan Pembuktian Penetapan


(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah dibahas mengenai putusan permohonan, dan pada kesempatan ini redaksi Hukumindo.com akan membahas mengenai Kekuatan Pembuktian Penetapan.

Mengenai kekuatan pembuktian dari sebuah penetapan, pada prinsipnya adalah sebagai:[1]
  1. Penetapan sebagai Akta Otentik, dalam arti setiap produk yang diterbitkan hakim atau Pengadilan dalam menyelesaikan permasalahan yang diajukan kepadanya, dengan sendirinya merupakan akta otentik. Doktrin ini sesuai dengan yang digariskan Pasal 1868 KUHPerdata. Dengan memperhatikan ketentuan dimaksud, berarti sesuai dengan Pasal 1870 KUHPerdata, pada diri putusan itu, melekat ketentuan pembuktian yang sempurna dan mengikat (volledig en bindende bewijskracht). 
  2. Nilai Kekuatan Pembuktian yang Melekat pada Penetapan Permohonan Hanya Terbatas kepada Diri Sendiri, meskipun penetapan yang dijatuhkan Pengadilan berbentuk akta autentik, namun nilai kekuatan pembuktian yang melekat padanya, berbeda dengan yang terdapat pada putusan yang bersifat contentiosa. Dalam penetapan yang bersifat ex-parte: a). Nilai kekuatan pembuktiannya hanya pada diri pemohon saja; b). Tidak mempunyai kekuatan mengikat kepada orang lain atau kepada pihak ketiga. 
  3. Pada Penetapan Tidak Melekat Azas Ne Bis in Idem, sesuai dengan ketentuan Pasal 1917 KUHPerdata, apabila Putusan yang dijatuhkan pengadilan bersifat positif (menolak untuk mengabulkan), kemudian putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, maka dalam putusan melekat ne bis in idem. Oleh karena itu, terhadap kasus dan pihak yang sama, tidak boleh diajukan untuk kedua kalinya.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 41-42.

Minggu, 17 Mei 2020

Putusan Permohonan


(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya telah dibahas mengenai prinsip pembuktian pada Permohonan, pada kesempatan ini redaksi Hukumindo.com akan membahas mengenai Putusan Permohonan.

Adapun bentuk penetapan terkait permohonan berisi pertimbangan dan diktum penyelesaian permohonan dituangkan dalam bentuk penetapan, dan namanya juga disebut penetapan atas ketetapan (beschikking; decree). Bentuk ini membedakan penyelesaian yang dijatuhkan Pengadilan dalam gugatan contentiosa. Dalam gugatan perdata yang bersifat partai, penyelesaian yang dijatuhkan berbentuk putusan atau vonis (award).[1]

Pada permohonan, diktum bersifat deklarator, yaitu:[2]
  1. Diktumnya hanya berisi penegasan pernyataan atau deklarasi hukum tentang hal yang diminta;
  2. Pengadilan tidak boleh mencantumkan diktum condemnatoir (yang mengandung hukuman) terhadap siapa pun;
  3. Juga tidak dapat memuat amar konstitutif, yaitu yang menciptakan suatu keadaan baru, seperti membatalkan perjanjian, menyatakan sebagai pemilik atau sesuatu barang, dan sebagainya.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 40.
2. Ibid. Hal.: 40-41.

Jumat, 15 Mei 2020

Prinsip Pembuktian Pada Permohonan


(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya telah dibahas mengenai proses pemeriksaan permohonan, masih pada pokok yang berkaitan, pada kesempatan ini redaksi Hukumindo.com akan membahas mengenai Prinsip Pembuktian Pada Permohonan.

Berbeda dengan proses pemeriksaan permohonan dimana terdapat beberapa asas yang tidak ditegakkan, pada proses pembuktiannya tetap harus menegakkan prinsip-prinsip pembuktian pada umumnya di hukum acara perdata.

Prinsip ajaran dan sistem pembuktian, harus ditegakkan dan diterapkan sepenuhnya dalam proses pemeriksaan dan penyelesaian permohonan. Mengabaikan penegakkan dan penerapan ajaran dan sistem pembuktian dalam pemeriksaan permohonan, dapat menimbulkan akibat yang sangat fatal. Misalnya, permohonan izin poligami. Ternyata bukti yang diajukan pemohon adalah surat keterangan persetujuan dari wanita lain, bukan dari istri pertama Pemohon. Jika Pengadilan hanya bersikap formil, bukti itu dianggap sudah cukup bagi hakim memberi izin poligami. Akan tetapi, apabila ditegakkan ukuran batas minimal pembuktian, surat dimaksud belum cukup memenuhi batas minimal. Oleh karena itu, harus ditambah lagi dengan alat bukti lain, seperti keterangan saksi.[1]

Oleh karena itu, prinsip dan sistem pembuktian yang harus ditegakkan dan diterapkan, adalah sebagaimana berikut:[2]
  1. Pembuktian harus berdasarkan alat bukti yang ditentukan Undang-undang, yaitu sesuai yang dirinci secara enumeratif dalam Pasal 164 HIR (Pasal 284 RBG) atau Pasal 1866 KUHPerdata, alat bukti yang sah terdiri dari: a). Tulisan (akta); b). Keterangan saksi; c). Persangkaan; d). Pengakuan; dan d). Sumpah.
  2. Ajaran pembebanan pembuktian berdasarkan Pasal 163 HIR (Pasal 203 RBG) atau Pasal 1865 KUHPerdata, dalam hal ini sepenuhnya beban wajib bukti dibebankan kepada Pemohon.
  3. Nilai kekuatan pembuktian yang sah, harus mencapai batas minimal pembuktian, dengan kata lain, apabila alat bukti yang diajukan oleh Pemohon hanya bernilai sebagai alat bukti permulaan atau alat bukti yang diajukan hanya satu saksi dan tanpa alat bukti yang lain, dalam hal seperti ini, alat bukti yang diajukan Pemohon belum mencapai batas minimal untuk membuktikan dalil Permohonan.
  4. Yang sah sebagai alat bukti, hanya terbatas pada alat bukti yang memenuhi syarat formil dan materiil, paling tidak asas dan sistem pembuktian yang jelas di atas, harus ditegakkan dan diterapkan Pengadilan dalam memutus dan menyelesaikan permohonan.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 39.
2. Ibid. Hal.: 40.

Kamis, 14 Mei 2020

Proses Pemeriksaan Permohonan


(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya telah dibahas mengenai Petitum Permohonan, pada kesempatan ini redaksi Hukumindo.com akan membahas mengenai proses pemeriksaan permohonan.

Dalam pemeriksaan permohonan, jalannya proses pemeriksaan dilakukan secara ex-parte. Dikarenakan yang terlibat dalam permohonan hanya sepihak, yaitu Pemohon sendiri, proses pemeriksaan permohonan hanya secara sepihak atau bersifat ex-parte, sedangkan yang hadir dan tampil dalam pemeriksaan persidangan, hanya pemohon atau kuasanya. Tidak ada pihak lawan atau Tergugat pemeriksaan sidang benar-benar hadir untuk kepentingan Pemohon. Prinsip ex-parte bersifat sederhana, yaitu:[1]
  1. Hanya mendengar keterangan Pemohon atau kuasanya sehubungan dengan Permohonan;
  2. Memeriksa bukti surat atau saksi yang diajukan oleh Pemohon; dan
  3. Tidak ada tahap replik-duplik dan kesimpulan.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam proses pemeriksaan permohonan adalah yang diperiksa di Sidang hanya Keterangan dan Bukti Pemohon. Dengan kata lain, pemeriksaan tidak berlangsung secara contradictoir, maksudnya dalam pemeriksaan tidak ada bantahan dari Pihak Lain. Selain itu, tidak dipermasalahkan penegakkan seluruh asas persidangan, asas seperti kebebasan peradilan dan peradilan yang adil tetap ditegakkan, namun asas seperti audi alteram partem (mendengar jawaban dari pihak lawan) dan asas memberi kesempatan yang sama tidaklah perlu.[2]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 38.
2. Ibid. Hal.: 38-39.

Rabu, 13 Mei 2020

Petitum Permohonan


(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Setelah sebelumnya dibahas mengenai Istilah & Pengertian Yuridis Permohonan (Gugatan Voluntair), redaksi Hukumindo.com akan membahas mengenai Petitum Permohonan.

Pada kasus permohonan, pihak yang ada hanya pemohon sendiri. Tidak ada pihak lain yang ditarik sebagai lawan atau tergugat. Pada prinsipnya, tujuan permohonan untuk menyelesaikan kepentingan pemohon sendiri tanpa melibatkan pihak lawa. Dalam kerangka demikian, petitum permohonan harus mengacu pada penyelesaian kepentingan pemohon secara sepihak.[1]

Sehubungan dengan hal di atas, petitum permohonan tidak boleh melanggar atau melampaui hak orang lain. Oleh karena itu, terdapat acuan sebagai berikut:[2]
  1. Isi petitum permohonan bersifat deklaratif (memuat kata-kata: "menyatakan bahwa Pemohon adalah orang yang berkepentingan atas masalah yang dimohon");
  2. Petitum tidak boleh melibatkan pihak lain yang tidak ikut sebagai Pemohon;
  3. Tidak boleh memuat petitum yang bersifat condemnatoir (mengandung hukuman);
  4. Petitum permohonan harus dirinci satu per satu tentang hal-hal yang dikehendaki pemohon untuk ditetapkan Pengadilan kepadanya;
  5. Petitum tidak boleh bersifat compositur ex aequo et bono (tidak dibenarkan hanya memohon keadilan semata).
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 37.
2. Ibid. Hal.: 37-38.

What is a Bridging Visa?

( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Indonesia Immigration Implements Bridging ...