Jumat, 10 April 2020

Perkawinan Menurut Hukum Perdata Eropa (KUHPerdata (BW))


(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: “Pengampuan Menurut KUHPerdata (BW)” telah dibahas mengenai wilayah hukum pengampuan dalam cakupan hukum keluarga yang ketiga. Selanjutnya, pada kesempatan ini akan dijelaskan cakupan hukum keluarga selanjutnya, keempat, yaitu mengenai ‘Perkawinan’ menurut KUHPerdata (BW).

Telah dipahami pada artikel 4 Cakupan Hukum Keluarga Menurut KUHPerdata (BW) sebelumnya, bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan Menurut Hukum Perdata Eropa, berlandaskan pada Pasal 26 KUHPerdata (BW) dan seterusnya, ialah peraturan-peraturan hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan hukum serta akibat-akibatnya antara dua pihak, yaitu seorang laki-laki dan seorang wanita dengan maksud hidup bersama untuk waktu yang lama menurut peraturan perundang-undangan yang ditetapkan.

Kebanyakan isi peraturan mengenai pergaulan hidup suami-isteri diatur dalam norma-norma kegamaan, kesusilaan atau kesopanan. Hukum perkawinan yang diatur dalam KUHPerdata (BW) berdasarkan agama Kristen yang berasaskan monogami (seorang suami hanya diperbolehkan mempunyai seorang isteri).[1]

Syarat-syarat yang pokok yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perkawinan menurut Hukum Perdata Barat antara lain:[2]

  1.  Pihak-pihak calon mempelai dalam keadaan tidak kawin;
  2. Laki-laki berumur 18 tahun, perempuan 15 tahun;
  3. Dilakukan di muka Pegawai Catatan Sipil (Burgerlijke Stand);
  4. Tidak ada pertalian darah yang terlarang;
  5. Dengan kemauan yang bebas, dan sebagainya.

Perlu menjadi perhatian, bahwa pembahasan hukum perkawinan menurut KUHPerdata (BW) ini untuk kini sangat sedikit sekali faedahnya, dikarenakan sudah terbit Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan beserta perubahannya, adapun jika tetap dilakukan pembahasan, tujuannya pada artikel ini hanya semata-mata pembelajaran saja. Dalam perjalanannya, hukum perkawinan menurut Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 dan perubahannya, adalah objek bahasan hukum yang cukup luas, sehingga patut menjadi pembahasan tersendiri.
_______________________
1. “Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka, Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 219.
2.  Ibid. Hal.: 219.


Kamis, 09 April 2020

Pengampuan Menurut KUHPerdata (BW)

(wetrecht.nl)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: “Perwalian Menurut KUHPerdata (BW)” telah dibahas mengenai wilayah hukum perwalian dalam cakupan hukum keluarga yang kedua. Pada kesempatan ini akan dijabarkan cakupan hukum keluarga selanjutnya, ketiga, yaitu mengenai ‘Pengampuan’ (Curatele).

Telah dipahami pada artikel 4 Cakupan Hukum Keluarga Menurut KUHPerdata (BW) sebelumnya, bahwa yang dimaksud dengan Pengampuan sebagaimana dimaksud dengan Pasal 433 KUHPerdata dan seterusnya adalah mengatur mengenai orang yang telah dewasa akan tetapi ia (1) sakit ingatan; (2) Pemboros; (3) Lemah daya atau (4) tidak sanggup mengurus kepentingan sendiri dengan semestinya, disebabkan kelakuan buruk di luar batas atau mengganggu keamanan, memerlukan pengampuan.

Biasanya suami jadi pengampu atas isterinya atau sebaliknya. Akan tetapi mungkin juga Hakim mengangkat orang lain atau perkumpulan-perkumpulan, sedangkan sebagai Pengampu Pengawas ialah Balai Harta Peninggalan.[1] Dengan kata lain, yang dapat menjadi pengampu adalah dapat berupa orang atau perkumpulan.

Penetapan di bawah pengampuan dapat dimintakan oleh suami atau isteri, keluarga sedarah, Kejaksaan dalam hal lemah daya hanya boleh atas permintaan yang berkepentingan saja.[2]

Orang yang dibawah pengampuan disebut Kurandus, dan akibat dari dibawah pengampuan adalah dinyatakan tidak cakap bertindak. Pengampuan berakhir apabila alasan-alasan itu sudah tidak ada lagi. Tentang hubungan hukum antara Kurator dengan Kurandus, tentang syarat-syarat timbul dan hilangnya pengampuan dan sebagainya, kesemuanya itu diatur dalam peraturan tentang pengampuan atau curatele.[3]

Menurut C.S.T. Kansil, terdapat perbedaan dan persamaan antara kekuasaan orang tua, perwalian dan pengampuan.

  • Persamaannya adalah bahwa kesemua itu mengawasi dan menyelenggarakan hubungan hukum orang-orang yang dinyatakan tidak cakap bertindak.[4]

Sedangkan Perbedaan antara kekuasaan orang tua, perwalian dengan pengampuan adalah:[5]
  • Pada kekuasaan orang tua, kekuasaan asli dilaksanakan oleh orang tuanya sendiri yang masih dalam ikatan perkawinan terhadap anak-anaknya yang belum dewasa. Pada Perwalian, pemeliharaan dan bimbingan dilaksanakan oleh wali, dapat salah satu ibunya atau bapaknya yang tidak dalam keadaan ikatan perkawinan lagi atau orang lain terhadap anak-anak yang belum dewasa. Sedangkan pada Pengampuan bimbingan dilaksanakan oleh kurator (yaitu keluarga sedarah atau orang yang ditunjuk) terhadap orang-orang dewasa yang karena sesuatu sebab dinyatakan tidak cakap bertindak di dalam lalu lintas hukum.
_______________________
1. “Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka, Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 218.
2.  Ibid. Hal.: 218.
3.  Ibid. Hal.: 219.
4.  Ibid. Hal.: 219.
5.  Ibid. Hal.: 219.

Rabu, 08 April 2020

Perwalian Menurut KUHPerdata (BW)

(stearn-law.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: “Kekuasaan Orang Tua Menurut KUHPerdata (BW)” telah dibahas mengenai wilayah hukum kekuasaan orang tua menurut KUHPerdata. Pada kesempatan ini akan dijabarkan cakupan hukum keluarga yang kedua, yaitu mengenai ‘Perwalian’ (Voogdij).

Telah dipahami pada artikel 4 Cakupan Hukum Keluarga Menurut KUHPerdata (BW) sebelumnya, bahwa yang dimaksud dengan Perwalian sebagaimana diatur dalam Pasal 331 KUHPerdata dan seterusnya, adalah tentang anak yatim piatu atau anak-anak yang belum cukup umur namun tidak dalam kekuasaan orang tua secara hukum tetap memerlukan pemeliharaan dan bimbingan, oleh karenanya harus ditunjuk wali, yaitu orang atau perkumpulan yang akan menyelenggarakan keperluan hidup anak tersebut.

Wali ditetapkan oleh Hakim atau dapat pula karena wasiat orang tua sebelum ia meninggal. Sedapat mungkin wali diangkat dari orang-orang yang mempunyai pertalian darah terdekat dengan si anak itu atau bapaknya yang karena sesuatu hal telah bercerai atau saudara-saudaranya yang dianggap cakap untu itu. Hakim juga dapat menetapkan seseorang atau perkumpulan-perkumpulan sebagai wali.[1] Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa yang dapat diangkat sebagai wali adalah perorangan atau perkumpulan.

Perwalian dapat terjadi karena: a). Perkawinan orang tua putus, baik disebabkan salah seorang meninggal dunia atau karena bercerai; b). Kekuasaan orang tua dipecat atau dibebaskan, maka Hakim mengangkat seorang Wali yang disertai Wali Pengawas yang harus mengawasi pekerjaan Wali tersebut. Wali Pengawas di Indonesia dijalankan oleh pejabat Balai Harta Peninggalan (Weeskamer).[2] Pada umumnya, perwalian dapat terjadi karena dua hal, yaitu perkawinan yang putus atau dipecatnya orang tua oleh Hakim.

Yang perlu ditegaskan di sini, perbedaan antara wali dengan orang tua adalah bahwa wali tidak mempunyai hubungan darah langsung dengan anak, meskipun sangat disarankan masih mempunyai hubungan keluarga, sedangkan orang tua mempunyai hubungan darah langsung dengan anak.
_______________________
1.  “Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka, Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 218.
2.  Ibid. Hal.: 218.

Selasa, 07 April 2020

Kekuasaan Orang Tua Menurut KUHPerdata (BW)

(iStock)


Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: “4 Cakupan Hukum Keluarga Menurut KUHPerdata (BW)” telah dibahas mengenai batas mana saja yang termasuk hukum keluarga menurut KUHPerdata. Pada kesempatan ini akan dijabarkan cakupan yang pertama, yaitu ‘Kekuasaan Orang Tua’ (ouderlijke macht).

Setiap anak yang belum dewasa (21 tahun dan belum kawin menurut KUHPerdata) dianggap belum cakap bertindak secara hukum.[1] Oleh karena itu sebagai ganti dari keadaan yang demikian, tugas orang tua dimata hukum adalah menggantikan segala tindakan dan kecakapannya.

Kepada orang tua dibebankan kewajiban menafkahi (alimentasi), yaitu kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya yang belum cukup umur. Sebaliknya, anak-anak yang telah dewasa mempunyai kewajiban untuk memelihara orang tuanya dan keluarganya menurut garis lurus ke atas.[2] Hal ini mempunyai makna bahwa sepasang orang tua kewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya adalah selama jangka waktu sebelum anak dimaksud dewasa.

Kekuasaan orang tua terhadap anak-anaknya terhenti apabila: a). Anak tersebut dewasa; b). Perkawinan orang tua putus; c). Kekuasaan orang tua dipecat oleh Hakim (melalui Putusan Pengadilan); d). Pembebasan dari kekuasaan orang tua, misalnya kelakuan si anak luar biasa nakalnya.[3] Untuk huruf ‘b’, maka bisa saja perkawinan orang tuanya putus, dalam hal ini cerai.

Jadi, segala hak dan kewajiban yang timbul antara anak dengan orang tua seperti akibat-akibat kekuasaan bapak terhadap si anak dan harta bendanya, pembebasan dan pemecatan kekuasaan orang tua, kewajiban timbal balik orang tua dan anak tersebut kesemuanya diatur dalam peraturan tentang kekuasaan orang tua.[4] Dengan demikian, hubungan timbal balik antara orang tua dengan anaknya, selama anak belum dewasa dan setelah orang tua menjadi renta, diatur oleh hukum, khususnya oleh KUHPerdata.
_______________________
1. “Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka, Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 217.
2.  Ibid. Hal.: 217.
3.  Ibid. Hal.: 217.
4.  Ibid. Hal.: 218.

Senin, 06 April 2020

4 Cakupan Hukum Keluarga Menurut KUHPerdata (BW)

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: “Hukum Perorangan (Personenrecht)” telah dibahas mengenai manusia dan badan hukum sebagai pembawa hak dan kewajiban. Pada kesempatan ini, kita akan melangkah lebih jauh dengan mengkaji hukum yang melingkupi beberapa orang yang terikat dalam suatu ikatan hukum berdasarkan darah dan ikatan perkawinan, umumnya ikatan dimaksud disebut sebagai ikatan keluarga.

Hukum keluarga memuat rangkaian peraturan-peraturan hukum yang ditimbulkan dari pergaulan kekeluargaan. Cakupan hukum keluarga tentu sangat luas, akan tetapi jika disederhanakan termasuk di dalamnya adalah:

Kekuasaan Orang Tua, Pasal 198 KUHPerdata dan seterusnya mewajibkan setiap anak untuk patuh dan hormat kepada orang tuanya. Sebaliknya, orang tua wajib memelihara dan membimbing anak-anaknya yang belum cukup umur sesuai dengan kemampuannya masing-masing.[1] Peraturan ini mencakup hak dan kewajiban orang tua terhadap anaknya, sampai anak-anaknya dimaksud dewasa.

Perwalian, Pasal 331 KUHPerdata dan seterusnya, mengatur tentang anak yatim piatu atau anak-anak yang belum cukup umur namun tidak dalam kekuasaan orang tua secara hukum tetap memerlukan pemeliharaan dan bimbingan, oleh karenanya harus ditunjuk wali, yaitu orang atau perkumpulan yang akan menyelenggarakan keperluan hidup anak tersebut.[2] Hal ini berarti aturan hukum mengenai 'pengganti orang tua' dalam konteks anak dimaksud yatim piatu, sampai ia dewasa.

Pengampuan, Pasal 433 KUHPerdata dan seterusnya, mengatur mengenai orang yang telah dewasa akan tetapi ia (1) sakit ingatan; (2) Pemboros; (3) Lemah daya atau (4) tidak sanggup mengurus kepentingan sendiri dengan semestinya, disebabkan kelakuan buruk di luar batas atau mengganggu keamanan, memerlukan pengampuan.[3] Hukum pengampuan berarti mengatur pengalihan kapasitas hukum orang dewasa, namun tidak dapat menjalankan dirinya sebagai subjek hukum.

Perkawinan Menurut Hukum Perdata Eropa, Pasal 26 KUHPerdata dan seterusnya, ialah peraturan-peraturan hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan hukum serta akibat-akibatnya antara dua pihak, yaitu seorang laki-laki dan seorang wanita dengan maksud hidup bersama untuk waktu yang lama menurut peraturan perundang-undangan yang ditetapkan.[4] Hal ini berarti mengatur ikatan hukum antara seorang pria dan wanita dalam konteks perkawinan.
_______________________
1. “Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka, Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 217-218.
2.  Ibid. Hal.: 218.
3.  Ibid. Hal.: 218-219.
4.  Ibid. Hal.: 219-222.

What is a Bridging Visa?

( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Indonesia Immigration Implements Bridging ...