Senin, 30 Maret 2020

Hukum Kawin Beda Kewarganegaraan

(tribunnews.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Perkawinan antar ras dan bahkan antar warga negara saat ini tentu bukanlah hal baru, apalagi Bumi saat ini makin terkoneksi satu dengan lainnya. Namun, dalam beberapa aspek tetap saja perkawinan sebagaimana dimaksud kerap kali menarik perhatian publik. Salah satu aspek yang menarik untuk ditinjau adalah aspek hukumnya.


Salah satu contoh perkawinan antar warga negara yang pernah terjadi adalah antara pria didaerah Muntilan, Jawa Tengah yang bernama Nur Khamid yang berhasil merangkuh hati seorang wanita bule asal Inggris bernama Polly Alexandria.[1] Contoh lainnya adalah Pria asal Padang, Bayu Kumbara yang menikahi wanita asal Inggris bernama Jennifer Brocklehurst. Pernikahan Bayu Kumbara dan Jennifer Brocklehurst ini pun dilaksanakan, 8 Agustus 2015 lalu. Proses pernikahannya pun dilakukan dengan adat minang. Hingga sampai sekarang keduanya pun telah dikaruniai seorang putri bernama Olivia pada 2016.[2]

Dari kedua contoh perkawinan di atas, dapat diketahui beberapa fakta hukum, pertama diantaranya adalah perkwinan dimaksud adalah perkawinan yang berbeda kewarganegaraan. Perbedaan kedua adalah kewarganegaraan kasus pertama adalah antara warga negara Indonesia (Nur Khamid) dengan warga negara Inggris (Polly Alexandria). Hal yang sama juga terjadi pada kasus yang terakhir, meskipun dengan perbedaan wilayah asal mempelai pada negaranya masing-masing.

Dasar Hukum Perkawinan Beda Kewarganegaraan Di Indonesia


Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan memfasilitasi perkawinan sebagaimana dimaksud. Pada Bagian Ketiga mengenai Perkawinan Campuran, khususnya Pasal 57 berbunyi sebagaimana berikut:

“Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan Indonesia.”
Dengan demikian, yang dimaksud dengan perkawinan beda warga negara dalam Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 adalah perkawinan campuran. Dengan kata lain, salah satu mempelai yang melangsungkan perkawinan di dalam wilayah hukum Indonesia berkewarganegaraan asing selain warga negara Indonesia. Sebagaimana contoh di atas, Polly Alexandria dan Jennifer Brocklehurst adalah berkewarganegaraan Inggris. Bagi anda para expatriat yang merasa kesulitan melangsungkan perkawinan dengan mempelai warga negara Indonesia, anda dapat menghubungi kami di e-mail: mahmudkusuma22@gmail.com
________________________________
1.  "Pernikahannya Sempat Bikin Geger, Nur Khamid Kini Bongkar Kondisi Rumah Tangganya Dengan Bule Cantik Polly Alexandria yang Sekarang Tak Tinggal Serumah", Pop.grid.id., Url: https://pop.grid.id/read/301919273/pernikahannya-sempat-bikin-geger-nur-khamid-kini-bongkar-kondisi-rumah-tangganya-dengan-bule-cantik-polly-alexandria-yang-sekarang-tak-tinggal-serumah?page=all, diakses pada tanggal 29 Maret 2020.
2. 7 Pria Indonesia Ini Nikahi Wanita Bule, Intip Kisah Romantisnya”, liputan6.com, Url: https://hot.liputan6.com/read/4120634/7-pria-indonesia-ini-nikahi-wanita-bule-intip-kisah-romantisnya, diakses pada tanggal 29 Maret 2020.
3.     Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Marriage Law For Different Nationality in Indonesia

(tribunnews.com)

Oleh:
Team of Hukumindo

Inter-racial marriage and even between citizens at this time is certainly not new, especially since the Earth is increasingly connected with each other. However, in some aspects, marriage as intended is often attracting public attention. One interesting aspect to review is the legal aspect.

Example of a Marriage Case Between Citizens


One example of a marriage between citizens that has happened is between a man in the Muntilan area, Central Java named Nur Khamid who succeeded in embracing the heart of a Caucasian woman from England named Polly Alexandria. [1] Another example is the man from Padang, Bayu Kumbara who married a British woman named Jennifer Brocklehurst. The wedding of Bayu Kumbara and Jennifer Brocklehurst was also held on 8 August 2015. The marriage process was carried out with Minang custom. Until now both of them have been blessed with a daughter named Olivia in 2016. [2]

From the two examples of marriage above, it can be seen several legal facts, the first of which is the marriage in question is a marriage of different nationality. The second difference is citizenship of the first case is between an Indonesian citizen (Nur Khamid) and a British citizen (Polly Alexandria). The same thing happened in the latter case, although with differences in the region of origin of the bride and groom in their respective countries.

The Legal Basis of Marriage for Different Nationalities in Indonesia


Law Number: 1 of 1974 concerning Marriage facilitates marriage as intended. In Part Three concerning Mixed Marriage, specifically Article 57 reads as follows:

"What is meant by mixed marriages in this Law is a marriage between two people who are in Indonesia subject to different laws, due to differences in Indonesian citizenship."

Therefore, what is meant by a different marriage between citizens in Law Number: 1 of 1974 is a mixed marriage. In other words, one of the brides who entered into a marriage within the jurisdiction of Indonesia is a foreign national other than an Indonesian citizen. As the example above, Polly Alexandria and Jennifer Brocklehurst are British citizens. And if you have any difficulties with this topic, contact us, feel free in 24 hours, we will be glad to help you.


*) For further information please contact:
Mahmud Kusuma Advocate
Law Office
Jakarta - Indonesia.
E-mail: mahmudkusuma22@gmail.com
____________________
References:

1.  "Pernikahannya Sempat Bikin Geger, Nur Khamid Kini Bongkar Kondisi Rumah Tangganya Dengan Bule Cantik Polly Alexandria yang Sekarang Tak Tinggal Serumah", Pop.grid.id., Url: https://pop.grid.id/read/301919273/pernikahannya-sempat-bikin-geger-nur-khamid-kini-bongkar-kondisi-rumah-tangganya-dengan-bule-cantik-polly-alexandria-yang-sekarang-tak-tinggal-serumah?page=all, diakses pada tanggal 29 Maret 2020.
2.   7 Pria Indonesia Ini Nikahi Wanita Bule, Intip Kisah Romantisnya”, liputan6.com, Url: https://hot.liputan6.com/read/4120634/7-pria-indonesia-ini-nikahi-wanita-bule-intip-kisah-romantisnya, diakses pada tanggal 29 Maret 2020.
3.     Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Minggu, 29 Maret 2020

Soekanto Tjokrodiatmodjo, Kapolri Pertama

(cnnindonesia.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Siapa yang mengetahui nama Kapolri yang pertama? Bagi sebagian praktisi hukum pada era millenial ini, tentu tidak semuanya tahu siapa Kapolri pertama. Adalah tugas kita semua untuk turut serta mencari tahu mengenai Kapolri pertama. Tulisan ini bermaksud menyediakan informasi yang memadai guna mengetahui siapa RS Soekanto Tjokrodiatmodjo yang merupakan tokoh Kapolri pertama. Pertama, akan dibahas mengenai sejarah singkat institusi Polri dimana tokoh dimaksud mengabdi. Kedua, dibahas secara singkat perihal riwayat karir pada institusi Polri. Kemudian, ketiga, disinggung mengenai akhir jabatan yang diembannya. Terakhir, atau keempat, disinggung mengenai jasa tokoh dimaksud pada institusi Polri. 

Sejarah Singkat Institusi Polri

Pada tanggal 19 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) membentuk Badan Kepolisian Negara (BKN). Pada tanggal 29 September 1945 Presiden Soekarno melantik Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo menjadi Kepala Kepolisian Negara (KKN). Pada awalnya kepolisian berada dalam lingkungan Kementerian Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara yang hanya bertanggung jawab masalah administrasi, sedangkan masalah operasional bertanggung jawab kepada Jaksa Agung.[1]

Mulai tanggal 1 Juli 1946 dengan Penetapan Pemerintah tahun 1946 No. 11/S.D. Djawatan Kepolisian Negara yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri. Pada masa negera Republik Indonesia Serikat, Jawatan Kepolisian Negara Republik Indonesia Serikat berada di bawah Perdana Menteri dengan perantaraan Jaksa Agung dalam bidang politik dan operasional. Sementara itu dalam hal pemeliharaan dan susunan administrasi bertanggungjawab kepada Menteri Dalam Negeri. Presiden RIS, Soekarno pada tanggal 21 Januari 1950 mengangkat kembali Soekanto Tjokrodiatmodjo sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Republik Indonesia Serikat. Setelah RIS bubar, Soekanto diangkat kembali sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Republik Indonesia.[2]

Pada tahun 1961 Kepolisian Negara menjadi bagian dari angkatan bersenjata. Pada tahun 1962 jabatan kepala jawatan kepolisian diubah menjadi Menteri/Kepala Kepolisian Negara, dan diubah lagi menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian Negara. Pada masa Kabinet Dwikora jabatan Kapolri diubah lagi menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian.[3]

Setelah reorganisasi ABRI tahun 1970, kembali menjadi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) yang berada di bawah komando dari Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Panglima ABRI). Mulai tanggal 1 April 1999, Kepolisian Negara Republik Indonesia dipisahkan dengan Tentara Nasional Indonesia dari ABRI dan menjadi berdiri sendiri. Kapolri dipilih oleh Presiden berdasarkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.[4]

Riwayat Singkat Karir Soekanto Sebagai Polisi

Soekanto lahir di Bogor pada 7 Juni 1908 dan cukup mentereng sejak masa mudanya. Dia adalah lulusan HBS KW III, yang gedungnya kini menjadi kompleks Perpustakaan Nasional di Salemba, Jakarta Pusat. Menurut G. Ambar Wulan dalam Polisi dan Politik: Intelijen Kepolisian Pada Masa Revolusi Tahun 1945-1949 (2009: 33), setelah lulus dari HBS, Soekanto sempat kuliah di Recht Hooge School (sekolah tinggi hukum) Jakarta.[5]

Soekanto kemudian memilih untuk mengikuti jejak ayahnya, yang saat itu merupakan pensiunan mantri polisi di Tangerang. Maka pada 1930, Soekanto mendaftar di Sekolah Aspiran Komisaris Polisi di Sukabumi. Sebelum masuk sekolah polisi itu, dia sempat aktif di Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Sejak 1933, masih menurut Ambar Wulan, Soekanto menjadi aspiran komisaris polisi kelas tiga dan bertugas di bagian lalu lintas di Semarang. Kemudian dia dipindah ke bagian reserse dan berlanjut di Politieke Inlichtingen Dienst (PID). Di antara tiga bagian itu, seperti dicatat buku Bapak Kepolisian Negara Republik Indonesia: Jenderal Polisi R.S. Soekanto (2000: 24), yang paling disukai Soekanto adalah reserse.[6]

Ambar Wulan menyebut (hlm. 34), selain di Semarang, Soekanto pernah pula bertugas pada bagian pengawasan di Purwokerto dengan pangkat komisaris polisi kelas dua dan kemudian menjabat Kepala Polisi Seksi III di Semarang. Sejak 1940, Soekanto ditugaskan menjadi pimpinan teknis di Kalimantan bagian selatan sambil merangkap sebagai Wakil Kepala Polisi Banjarmasin dengan pangkat komisaris polisi kelas satu. Hingga datangnya Jepang, dia masih di sana. Setelahnya dia ditempatkan di Jakarta, lalu dijadikan pengawas di sekolah polisi Sukabumi. Hoegeng Imam Santoso dalam autobiografinya, Hoegeng, Polisi Idaman dan Kenyataan (1993: 137), menyebut Soekanto di zaman Jepang pernah menjadi instruktur di Sekolah Kader Tinggi Polisi di Sukabumi. Di situ, Hoegeng menjadi salah satu murid Soekanto. Ketika Hoegeng menjadi mayor di Polisi Militer di Angkatan Laut, Soekanto adalah orang yang menyadarkan Hoegeng menjadi polisi sipil kembali.[7]

Ketika Indonesia baru saja merdeka, Soekanto berhubungan dengan dua kolega lawasnya, Mr. Sartono dan Iwa Kusumasumantri. Kedua penasihat Presiden Sukarno ini mengajak Soekanto ke sidang kabinet pada 29 September 1945. Menurut Ambar Wulan, Sartono dan Iwa sebelumnya tidak memberi tahu bahwa Sukarno sedang membutuhkan orang untuk dijadikan kepala jawatan kepolisian. Ternyata, dalam sidang kabinet itu, Sukarno menunjuk Soekanto untuk mengisi jabatan tersebut. Ketika ditunjuk Sukarno, Soekanto sempat menyampaikan bahwa ada perwira polisi yang lebih senior darinya seperti Asikin Natanegara di Gunseikanbu, Ating Natakusumah di Palembang, dan Raden Joesoef bin Snouck Hurgronje di Bandung. Sukarno pun memberi ketegasan soal pengangkatan Soekanto sebagai Kepala Kepolisian Negara (KKN). Pengangkatan itu terkait masa lalu Soekanto di era pergerakan nasional. “Soekanto diperintahkan oleh Presiden Sukarno untuk membentuk Polisi Negara RI,” tulis Ambar Wulan dan kawan-kawan dalam Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia (2006: 121).[8]

Di awal tugasnya sebagai KKN, Soekanto berada di bawah Menteri Dalam Negeri R.A.A. Wiranatakoesoemah V. Setelah November 1945, atasan Soekanto ganti lagi, yakni Sutan Sjahrir, yang merangkap jabatan Perdana Menteri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Luar Negeri, hingga Maret 1946. Pada 1 Juli 1946 keluar Surat Penetapan No 11/S-D tahun 1946 yang mengeluarkan kepolisian dari Departemen Dalam Negeri untuk menjadi jawatan tersendiri di bawah kendali langsung Perdana Menteri. Soekanto sempat berkantor di Jalan Rijswijk (kini menjadi Jalan Veteran) di kantor Kementerian Dalam Negeri. Ketika ibu kota RI pindah ke Yogyakarta, kepolisian pun ikut pindah ke Purwokerto dari Jakarta. Sementara itu, militer Inggris sebagai perwakilan tentara Sekutu di Indonesia barat pada 16 Januari 1946 membentuk Civil Police (polisi sipil) di Jakarta. Menurut Ambar Wulan (2009: 39), Soekanto pernah ditangkap tentara Inggris dan ditawari bergabung dalam Civil Police, namun dia menolaknya. Soekanto sebagai orang yang pernah dekat dengan pergerakan nasional lebih memilih berdiri di belakang Republik.[9]

Bersama jabatan itu, Soekanto merasakan bahaya revolusi. Dalam suatu kunjungan ke Jawa Timur, seperti diakuinya dalam buku Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan II (1983: 325-326), tempat yang hendak dikunjungi Soekanto dan rombongannya kena bom oleh militer Belanda. Soekanto dan rombongan terhindar dari maut karena mobil yang mereka tumpangi mogok.[10]

Akhir Jabatan Yang Unik

Soekanto menjabat Kepala Kepolisian Negara dari 29 September 1945 hingga 15 Desember 1959. Ketika akan lengser, nama jabatan Soekanto adalah Menteri Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak). Pada era itu polisi mulai menjadi bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).[11]

Mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso menyebut pelengseran Soekanto dari jabatan Menpangak boleh dikata cukup unik. Soekanto didongkel oleh sekelompok perwira tinggi yang menganggap dirinya lebih mementingkan urusan kebatinan ketimbang urusan kepolisian.[12]

Soekanto tutup usia pada 24 Agustus 1993, tepat hari ini 26 tahun lalu, di Jakarta. Dia dimakamkan satu liang dengan istrinya yang lebih dulu meninggal pada 1 Maret 1986, Hadidjah Lena Mokoginta, kakak dari Letnan Jenderal Ahmad Junus Mokoginta. Sebagai kepala polisi pertama, paling tidak namanya telah diabadikan sebagai nama rumah sakit milik kepolisian di Kramat Jati, Jakarta Timur.[13]

Arti Penting Soekanto Tjokrodiatmodjo Sebagai Kapolri Pertama

Menurut salah satu media di tanah air, peran penting Kepala Kepolisian RI (Kapolri) pertama Indonesia, Komisaris Jenderal Polisi Raden Said Soekanto dalam sejarah kepolisian negeri ini adalah menjadi pemula penataan organisasi kepolisian di seluruh wilayah Indonesia.[14] Hal ini tentu tidak dapat dipungkiri.
__________________

Referensi:

1. "Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia", www.wikipedia.org., Url: https://id.wikipedia.org/wiki/Kepala_Kepolisian_Negara_Republik_Indonesia, diakses pada tanggal 21 Maret 2020.
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. "RS Soekanto: Sejarah Kapolri Pertama yang Teguh di Jalur Kebatinan", tirto.id., Url: https://tirto.id/rs-soekanto-sejarah-kapolri-pertama-yang-teguh-di-jalur-kebatinan-egLw, diakses pada tanggal 21 Maret 2020.
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Ibid.
9. Ibid.
10. Ibid.
11. Ibid.
12. Ibid.
13. Ibid.
14. "Mengenal Kapolri Pertama Indonesia, Raden Said Soekanto...", www.kompas.com, Url: https://nasional.kompas.com/read/2019/07/01/11371501/mengenal-kapolri-pertama-indonesia-raden-said-soekanto?page=all., diakses pada tanggal 21 Maret 2020.

Sabtu, 28 Maret 2020

Hukum Social & Physical Distancing Terkait COVID-19

(detikNews)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terkait wabah COVID-19 yang sedang melanda negara ini, pada kesempatan terdahulu telah dibahas mengenai "Mengenal Istilah Hukum Kekarantinaan Terkait COVID-19" dan "Azas-azas Kekarantinaan Dalam Penanganan COVID-19", sebagai bagian dari pengenalan kita terhadap hukum Kekarantinaan Kesehatan. Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai aspek hukum social distancing dan physical distancing.

Istilah Social Distancing & Physical Distancing

Sebagaimana diketahui, Presiden Joko Widodo menegaskan tidak akan menerapkan lock down nasional menanggapi COVID-19 ini, namun menerapkan kebijakan social distancing dan kemudian physical distancing. Apa yang dimaksud dengan social distancing dan physical distancing? Social distancing menurut "Pedoman Penanganan Cepat Medis dan Kesehatan Masyarakat COVID-19 di Indonesia", social distancing adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah.[1] Penjelasan istilah ini bagi penulis kurang memuaskan, terdapat penjelasan dari Wikipedia.org. lebih baik dengan mengartikannya sebagai serangkaian tindakan pengendalian infeksi nonfarmasi yang dimaksudkan untuk menghentikan atau memperlambat penyebaran penyakit menular. Tujuan dari pembatasan sosial adalah untuk mengurangi kemungkinan kontak antara orang terinfeksi dan orang lain yang tidak terinfeksi, sehingga dapat meminimalkan penularan penyakit, morbiditas, dan terutama, kematian.[2]


Sedangkan terkait dengan istilah physical distancing, bisa diterjemahkan sebagai jaga jarak atau jaga jarak aman dan disiplin untuk melaksanakannya, demikian seperti dikutip dari situs web Sekretariat Kabinet. Selain itu, BNPB menerjemahkannya sebagai "Jaga jarak ini bukan hanya berlaku di tempat umum, tetapi juga berlaku di seluruh rumah tangga di setiap keluarga. Karena diantara keluarga belum tentu semuanya itu negatif, belum tentu seluruh anggota keluarga itu aman dari Virus Korona ini,” ujar Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Doni Monardo, menyampaikan hasil rapat dengan Jokowi.[3]

Hukum Social Dan Physical Distancing Terkait COVID-19

Terkait dengan penanganan COVID-19 di Indonesia, salah satu undang-undang yang mengaturnya adalah Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Mengacu kepada undang-undang sebagaimana dimaksud, istilah social distancing dan physical distancing dapat dilacak dasar hukumnya pada Pasal 59 Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan yang berbunyi sebagai berikut:[4]
"(1) Pembatasan Sosial Berskala Besar merupakan bagian dari respons Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
(2) Pembatasan Sosial Berskala Besar bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang sedang terjadi antar orang di suatu  wilayah tertentu.
(3) Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. peliburan sekolah dan tempat kerja; b. pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
(4) Penyelenggaraan Pembatasan Sosial Berskala Besar berkoordinasi dan bekerja sama dengan berbagai pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan."
Khususnya pada ayat (1), (2) dan (3) Pasal 59 Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan mengacu pada istilah "Pembatasan Sosial Berskala Besar" sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, yang mengartikannya sebagai pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.[5]

Kesimpulan

Jika ditelusuri aspek hukum dari kebijakan social distancing dan physical distancing yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo terkait penanganan COVID-19 di Indonesia, maka hal dimaksud adalah sebagai bentuk perwujudan "Pembatasan Sosial Berskala Besar" sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. 
_________________________
Referensi:
  1. "Alasan Social Distancing Saat Pandemi Virus Corona Covid-19 Begitu Penting", www.liputan6.com, URL: https://www.liputan6.com/bola/read/4211246/alasan-social-distancing-saat-pandemi-virus-corona-covid-19-begitu-penting, diakses pada tanggal 27 Maret 2020.
  2. "Pembatasan sosial", www.wikipedia.org., URL: https://id.wikipedia.org/wiki/Pembatasan_sosial, diakses pada tanggal 27 Maret 2020.
  3. "Arti Physical Distancing dan Social Distancing, Apa Perbedaannya?", tirto.id., URL: https://tirto.id/arti-physical-distancing-dan-social-distancing-apa-perbedaannya-eHNf, diakses pada tanggal 27 Maret 2020.
  4. Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.
  5. "Mengenal Istilah Hukum Kekarantinaan Terkait COVID-19", www.hukumindo.com, URL: https://www.hukumindo.com/2020/03/mengenal-istilah-hukum-kekarantinaan.html, diakses pada tanggal 27 Maret 2020. 

Kamis, 26 Maret 2020

Azas-azas Kekarantinaan Dalam Penanganan COVID-19

(covid19.kemenkes.go.id)

Oleh:
Tim Hukumindo

Dalam penanganan COVID-19 yang saat ini telah mewabah dan menjadi ancaman kesehatan secara global, dalam menanganinya, negara Indonesia berpegang kepada Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dalam undang-undang dimaksud, khususnya pada Pasal 2, diatur mengenai azas-azas dalam penanganan kekarantinaan kesehatan.

Azas-azas sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan berbunyi sebagai berikut:
"Kekarantinaan Kesehatan berasaskan: a. Perikemanusiaan; b. Manfaat; c. Perlindungan; d. Keadilan; e. Nondiskriminatif; f. Kepentingan Umum; g. Keterpaduan; h. Kesadaran Hukum; dan i. Kedaulatan Negara".
Adapun Penjelasan Pasal 2 Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan menerangkan sebagai berikut:

  1. Perikemanusiaan adalah bahwa penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan harus dilandasi atas pelindungan dan penghormatan pada nilai-nilai kemanusiaan yang beradab dan universal.
  2. Manfaat adalah bahwa Kekarantinaan Kesehatan harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pelindungan kepentingan nasional dalam rangka peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
  3. Perlindungan adalah bahwa Kekarantinaan Kesehatan harus mampu melindungi seluruh masyarakat dari penyakit dan faktor risiko kesehatan yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
  4. Keadilan adalah bahwa dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan harus mampu memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada Setiap Orang.
  5. Nondiskriminatif adalah bahwa dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan tidak membedakan perlakuan atas dasar agama, suku, jenis kelamin, dan status sosial yang berakibat pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
  6. Kepentingan umum adalah bahwa dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan harus mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau golongan tertentu.
  7. Keterpaduaan adalah bahwa penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan dilakukan secara terpadu melibatkan lintas sektor.
  8. Kesadaran hukum adalah bahwa dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan menuntut peran serta kesadaran dan kepatuhan hukum dari masyarakat.
  9. Kedaulatan adalah bahwa dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan harus mengutamakan kepentingan nasional dan ikut meningkatkan upaya pengendalian Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang meresahkan dunia.
Dengan demikian, penanganan COVID-19 di Indonesia tidak boleh lepas dari azas-azas Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana telah dijelaskan di atas.
__________________
Referensi:
  • Undang-undang Nomor: 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Knowing Joint Venture Companies in FDI Indonesia

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Basic Requirements for Foreign Direct I...