Senin, 26 Agustus 2019

Masalah yang Terdapat dalam Elemen Kelakuan, Elemen Akibat, dan Elemen Melawan Hukum

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah kita lewati kuliah sebelumnya berjudul: ‘Elemen-elemen Delik’, dan selanjutnya dalam kesempatan ini akan dibahas mengenai masalah-masalah yang terdapat di dalam elemen kelakuan, elemen akibat, dan elemen melawan hukum.

Menurut pandangan yang merumuskan delik sebagai strafbaarfeit dalam arti definisi pendek/hukum positif, maka elemen-elemennya cukup mengambil elemen yang objektif saja, yaitu:[1]
  1. Elemen kelakuan (doen of nalaten);
  2. Elemen akibat dari perbuatan, menurut rumusan delik;
  3. Elemen objektif yang menyertai keadaan delik, yang bersifat kualitas atau yang memberatkan atau meringankan;
  4. Elemen melawan hukum (wederrechtelijkeid).

Akan tetapi pada bagian selanjutnya, yang akan dibahas hanyalah tiga, yaitu elemen kelakuan, elemen akibat dari perbuatan, dan elemen melawan hukum.

A. Elemen Kelakuan

Elemen kelakuan yang dirumuskan dalam delik bentuknya berupa kelakuan dengan berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang seharusnya dilakukan. Di dalam hukum pidana sering disebut dengan kelakuan positif (doen) dan kelakuan negatif (nalaten).[2]

Menurut Vos dalam Bambang Poernomo, pertama menyebutkan suatu pengertian dari kelakuan sebagai gerakan otot yang dikehendaki, pengertian ini berarti tidak dimasukkan terhadap kelakuan negatif, sehingga kurang lengkap. Kedua, pengertian kelakuan sebagai suatu kejadian yang ditimbulkan oleh orang, yang nampak ke luar, dan yang ditujukan kepada suatu tujuan yang menjadi objek norma yang berlaku, pengertian inipun tidak memuaskan. Ketiga, pengertian kelakuan sebagai sikap jasmani yang disadari, tidak termasuk reflek. Pendapat inilah yang disetujui oleh Prof. Moeljatno, S.H., karena dapat mencakup kelakuan positif dan negatif.[3]

B. Elemen Akibat

Elemen akibat dari perbuatan, artinya suatu hubungan antara sebab dan akibat yang dapat menimbulkan kejadian yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Penentuan hubungan antara sebab dan akibat itu, di dalam undang-undang harus ditentukan apakah akibat yang terjadi yang dilarang oleh undang-undang itu disebabkan oleh kelakuan orang yang berbuat, atau dengan perkataan lain apakah disebabkan oleh kelakuan orang itu lalu timbul akibat yang dilarang oleh undang-undang, sehingga harus terbukti bahwa akibat itu disebabkan kelakuan yang bersangkutan atau kelakuan itu menyebabkan akibat yang bersangkutan.[4]

Penentuan hubungan kausalitas yang beraneka ragam dapat dikelompokan menjadi beberapa teori dasar pertumbuhan yurisprudensi:[5]
  1. Teori Conditio Sine Qua Non;
  2. Kelompok teori yang mengindividualisasi;
  3. Kelompok teori yang menggeneralisasi;
  4. Teori Relevansi;
  5. Yurisprudensi mengenai penentuan kasusalitas.

C. Elemen Melawan Hukum

Susunan elemen delik yang mempunyai peranan penting dan masalahnya juga luas adalah elemen melawan hukum (wederrechtelijke). Elemen melawan hukum ini lebih menonjol daripada elemen objektif yang lain, karena dari definisi yang manapun terhadap delik atau strafbaar feit kedudukan elemen melawan hukum selalu tidak berubah. Sebagaimana telah diuraikan di muka, pengertian strafbaarfeit terdapat pertentangan, di satu pihak ada yang mencakup kesalahan dan di lain pihak ada yang memisahkan kesalahan.[6]
_________________________________
1.  “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 106.
2.  Ibid. Hal.: 106.
3.  Ibid. Hal.: 106.
4.  Ibid. Hal.: 107-108.
5.  Ibid. Hal.: 108.
6.  Ibid. Hal.: 113.

Minggu, 18 Agustus 2019

Rehabilitasi Sebagai Hak Penyalahguna Narkotika


(istimewa)

Oleh:
Abdul Ghofur, S.H.
(Divisi Hukum dan Hak Asasi Manusi (HAM) Generasi Anti Narkotika Nasional (GANN) Kota Tangerang.)

Berdasarkan ketentuan umum Pasal 1 angka 1 Undang Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, yang dimaksud narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun emisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapatm enimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika).

Sumber Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan, negara kita sudah masuk ke dalam kondisi 'darurat narkotika' sejak 1971 sampai dengan saat ini oleh karena penyalahgunaan narkotika dengan segala macam jenis dan modusnya.

Semestinya, narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan, pengembangan ilmu pengatahuan dan teknologi. Kata penyalahgunaan mempunyai arti proses, cara, perbuatan menyalahgunakan, penyelewengan, sedangkan penyalah gunan adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Jadi, dari dua pengertian ini dapat disimpulkan bahwa penyalahgunaan narkotika adalah penggunaan narkotika yang bertujuan bukan untuk kepentingan kesehatan, pengembangan pengetahuan dan teknologi serta dilakukan dengan tanpa hak dan melawan hukum.

Umumnya, masyarakat sudah mengetahui dampak negatif penyalahgunaan narkotika. Selain akibat hukum yang berujung pada hukuman penjara bahkan hukuman mati, penyalahgunaan narkotika juga menimbulkan rasa ketergantungan dengan narkotika baik secara fisik maupun psikis.

Ketergantungan narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus dengan takaran (ukuran) yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama. Apabila penggunaannya dikurangi atau justru dihentikan secara tiba-tiba dapat menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.

Dalam rangka pengendalian dan menekan tingginya angka penyalahgunaan narkotika berserta dampaknya, maka pemerintah mewajibkan pecandu dan korban penyahguna narkotika menjalani rehabilitasi. Dengan kata lain, rehabilitasi adalah hak bagi pecandu dan koban penyahgunaan narkotika yang menjadi tersangka atau terdakwa yang sedang dalam proses penyidikan, penuntutan ataupun persidangan di pengadilan.

Bentuk rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika dibagi menjadi dua.

Pertama, rehabilitasi medis, yaitu suatu proses pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. Kedua, rehabilitasi sosial, yaitu suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalah kehidupan masyarakat.

Rehabilitasi secara medis maupun sosial baru dapat dilakukan setelah mendapatkan asesmen dari Tim Asesmen Terpadu. Tim Asesmen Terpadu (TAT) adalah tim yang terdiri dari tim dokter dan tim hukum yang ditetapkan oleh pimpinan satuan kerja setempat berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Nasional Provinsi dan Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota.

Berdasarkan hasil rekomendasi dari Tim Asesmen Terpadu itulah rehabilitasi di lembaga rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika dapat diselenggarakan semestinya.

Hak rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial di lembaga rehabilasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika diklasifikasikan menjadi empat. Pertama, tersangka penyalahgunaan narkotika yang ditangkap atau tertangkap tangan tanpa barang bukti tapi terbukti positiif menggunakan narkotika. Kedua, tersangka penyalahgunaan narkotika yang ditangkap atau tertangkap tangan dan terdapat barang bukti dengan jumlah tertentu serta terbukti positiif menggunakan narkotika. Ketiga, Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang tanpa hak dan melawan hukum yang ditangkap atau tertangkap tangan dengan barang bukti melebihi dari jumlah tertentu dan positif memakai Narkotika; Keempat, tersangka penyalahgunaan narkotika diduga sebagai pengedar.

Batas jumlah tertentu bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika pada klasifikasi kedua di atas ditetapkan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 03 Tahun 2011 dan SEMA Nomor 04 Tahun 2010 sebagai berikut: Kelompok methamphetamine (sabu) seberat 1 (satu) gram. Kelompok MDMA (ekstasi) seberat 24 (dua puluh empat) gram, sama dengan 8 (delapan) butir. Kelompok heroin seberat 1,8 (satu koma delapan) gram. Kelompok kokain seberat 1,8 (satu koma delapan) gram. Kelompok ganja seberat 5 (lima) gram. Kelompok koka seberat 5 (lima) gram. Meskalin seberat 5 (lima) gram.

Kelompok psilosybin sebanyak 3 (tiga) gram; Kelompok LSD (dlysergic acid diethylamide seberat 2 (dua) gram; Kelompok PCP (phecyclidine) seberat 3 (tiga) gram; Kelompok fentanyl seberat 1 (satu) gram; Kelompok metadon seberat 0,5 (nol koma lima) gram; Kelompok morfin seberat 1,8 (satu koma delapan) gram; Kelompok petidin seberat 0,96 (nol koma sembilan puluh enam) gram; Kelompok kodein seberat 72 (tujuh puluh dua) gram; Kelompok bufrenorfin seberat 32 (tiga puluh dua) milligram. Dan untuk barang bukti melebihi jumlah tertentu sebagaimana pada klasifikasi ketiga di atas adalah melebihi jumlah yang telah ditentukan oleh SEMA Nomor: 04 Tahun 2010 ini.

Bagi pecandu, korban dan penyalahgunaan narkotika yang ditangkap atau tertangkap tangan tanpa barang bukti tapi terbukti positiif menggunakan narkotika berhak ditempatkan di tempat rehabilitas milik pemerintah atau pun swasta yang telah ditetapkan sebagai tempat rehabilitasi narkotika. Namun, bagi pecandu, pengedar dan penyalahgunaan narkotika yang ditangkap atau tertangkap tangan dan terdapat barang bukti yang melebihi jumlah sebagaimana diatur dalam SEMA Nomor 04 Tahun 2010 berhak mendapatakan rehabilitasi di tempat rehabilitasi yang ada di dalam lapas, rutan atau cabang rutan.

Dalam penempatan pecandu dan penyalahguna narkotika ke lembaga rehabilitasi milik pemerintah, swasta, maupun lembaga rehabilitasi yang ada di dalam lapas, rutan atau cabang rutan, penyidik atau penuntut umum harus menyesuaikan dengan hasil tes urine, darah, rambut dan/atau DNA, dan membuatkan berita acara pemeriksaan hasil laboratorium, berita acara pemeriksaan oleh penyidik dan telah dinyatakan dengan rekomendasi hasil asesmen dari Tim Asesmen Terpadu.

Rangkaian proses permohonan rehabilitasi dimulai dari saat penangkapan oleh Penyidik Polri dan/atau Penyidik BNN dengan mengajukan permohonan asesmen. Asesmen adalah kegiatan yang meliputi wawancara, tentang riwayat kesehatan, riwayat penggunaan Narkotika, riwayat pengobatan dan perawatan, riwayat psikiatris, serta riwayat keluarga dan sosial tersangka dan/atau terdakwa, observasi atas perilaku tersangka dan pemeriksaan fisik dan psikis. Pada tahap penyidikan, asesmen diajukan oleh penyidik, dan pada saat proses persidangan, asesmen diajukan oleh jaksa penuntut umum. Penyidik atau penuntut umum mengajukan asesmen kepada Tim Asesmen Terpadu secara tertulis selambat-lambatnya 1 x 24 (satu kali dua puluh empat jam) dan ditembuskan ke BNN sesuai dengan tempat kejadian perkara.

Setelah permohonan diterima dengan nomor register asesmen, maka selambat-lambatnya 6 (enam) hari Tim Asesmen Terpadu memberikan rekomendasi hasil asesmen yang telah ditandatangani oleh 2 (dua) orang tim hukum dan rekomendasi pelaksanaan rehabilitasi kepada penyidik ataupun jaksa penuntut umum untuk dilaporkan ke pengadilan negeri setempat dan mendapatkan penetapan. Selanjutnya penyidik ataupun penuntut umum menempatkan pecandu dan korban penyalahguna narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi yang ditunjuk pemerintah dengan dilengkapi berita acara penempatan di lembaga rehabilitasi.

“Tulisan ini dibuat untuk memberikan transendensi kepada kita untuk membantu pecandu dan korban penyalahguna narkotika mendapatkan hak-haknya. Sekaligus memahami teknis dan mekanisme memperjuangkan hak dan martabat mereka sebagai manusia, membantu mereka menjalani konsientisasi hidup yang terrus terarah sebagai proses dimana manusia mendapatkan kesadaran yang semakin mendalam tentang realitas kultural yang melingkupi hidup dan kemampuannya untuk mengubah realitas dari belenggu kejahatan narkotika.”

*) Dikutip dari laman berikut ini.


Senin, 29 Juli 2019

Elemen-elemen Delik

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo


Sebagaimana telah kita lewati kuliah sebelumnya berjudul: ‘Penggolongan Delik’, selanjutnya dalam kesempatan ini akan dibahas mengenai elemen-elemen delik.

Bertalian dengan perumusan delik yang mempunyai sejumlah elemen, di antara para ahli mempunyai jalan pikiran yang berlainan. Sebagian pendapat membagi elemen perumusan delik secara mendasar saja, dan ada pendapat lain yang membagi elemen perumusan delik secara terperinci.[1]

Elemen Delik Secara Mendasar

Pembagian secara mendasar di dalam melihat perumusan delik hanya mempunyai dua elemen dasar yang terdiri atas:[2]
  1. Bagian yang objektif menunjuk delik terdiri dari perbuatan (een doen of nalaten) dan akibat, yang merupakan kejadian yang bertentangan dengan hukum positif sebagai anasir yang melawan hukum (onrechtmatig) yang dapat diancam dengan pidana; dan
  2. Bagian yang subjektif merupakan anasir kesalahan daripada delik.

Menurut van Apeldoorn dalam Bambang Poernomo, elemen delik itu terdiri dari elemen objektif yang berupa adanya suatu kelakuan yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatig/wederrechtelijk) dan elemen subjektif yang berupa adanya seorang pembuat (dader) yang mampu bertanggungjawab atau dapat dipersalahkan (toerekeningsvatbaarheid) terhadap kelakuan yang bertentangan dengan hukum itu.[3]

Kiranya sesuai sekali dengan apa yang diuraikan oleh van Bemmelen dalam Bambang Poernomo yang menyatakan bahwa elemen-elemen dari delik dapat dibedakan menjadi: Elementen voor de strafbaarheid van het feit terletak dalam bidang objektif karena pada dasarnya menyangkut tata kelakuan yang melanggar hukum, seterusnya mengenai elementen voor de strafbaarheid van de dader terletak dalam bidang subjektif karena pada dasarnya menyangkut keadaan/sikap batin orang yang melanggar hukum, yang kesemuanya merupakan elemen yang diperlukan untuk menentukan dijatuhkannya pidana sebagaimana yang diancamkan.[4]

Elemen Delik Secara Terperinci

Adapun pembagian elemen delik secara terperinci melihat delik didasarkan atas susunan isi perumusan dari tiap-tiap delik yang bersangkutan, sehingga secara alternatif setiap delik harus mempunyai elemen yang pada umumnya sesuai dengan luasnya isi rumusan delik yang berkembang dalam ilmu pengetahuan. Tidak terdapat satu kesatuan doktrin dari para ahli dalam menentukan pembagian perincian elemen dalam sesuatu delik.[5]

Menurut Hazewinkel Suringa dalam Bambang Poernomo, di dalam suatu delik dimungkinkan adanya beberapa elemen yaitu:[6]
  1. Elemen kelakuan orang;
  2. Elemen akibat, yang ditetapkan dalam rumusan undang-undang karena pembagian delik formil dan materiil;
  3. Elemen psikis, seperti ‘dengan maksud’ atau ‘dengan sengaja’ atau ‘karena kealpaannya’;
  4. Elemen objektif yang menyertai keadaan delik seperti elemen ‘di muka umum’;
  5. Syarat tambahan untuk dapat dipidananya perbuatan, seperti dalam Pasal 164 dan 165 disyaratkan apabila kejahatan terjadi;
  6. Elemen melawan hukum (wederrechtelijkheid) sebagai elemen yang memegang peranan penting, seperti dalam Pasal 167 dan 406.
_________________________________
1.  “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 103.
2.  Ibid. Hal.: 103.
3.  Ibid. Hal.: 103.
4.  Ibid. Hal.: 103.
5.  Ibid. Hal.: 103.
6.  Ibid. Hal.: 104.

Kamis, 25 Juli 2019

Penggolongan Delik

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebagaimana telah kita lewati kuliah sebelumnya berjudul: ‘Subjek dan Rumusan Delik’, selanjutnya dalam kesempatan ini akan dibahas mengenai penggolongan daripada delik.

Penggolongan Delik

Penggolongan jenis-jenis delik di dalam KUHP, terdiri atas kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Penggolongan untuk kejahatan disusun di dalam Buku II KUHP dan pelanggaran disusun di dalam Buku III KUHP. Undang-undang hanya memberikan penggolongan kejahatan dan pelanggaran, akan tetapi tidak memberikan arti yang jelas.[1] Oleh karena itu, sederhana sekali bahwa berbagai macam delik, khususnya yang terdapat di dalam KUHP, dapat digolongkan ke dalam dua kategori, pertama adalah delik kejahatan dan kedua adalah delik pelanggaran. Berikut dijelaskan mengenai perbedaan antara Kejahatan dengan Pelanggaran.

Kejahatan

Risalah penjelasan undang-undang (Mvt) yang terdapat di negara Belanda membuat ukuran kejahatan atas dasar teoritis bahwa kejahatan adalah “rechtdelicten”. Ilmu Pengetahuan kemudian menjelaskan bahwa rechtdelicten merupakan perbuatan dalam keinsyafan batin manusia yang dirasakan sebagai perbuatan tidak adil dan disamping itu juga sebagai perbuatan tidak adil menurut undang-undang.[2]

Kejahatan adalah “crimineel-onrecht”, merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan hukum. Ada juga yang memberikan pendapat lain bahwa arti crimineel-onrecht sebagai perbuatan bertentangan dengan norma-norma menurut kebudayaan atau keadilan yang ditentukan oleh Tuhan atau membahayakan kepentingan hukum.[3]

Pelanggaran

Risalah penjelasan undang-undang (Mvt) yang terdapat di negara Belanda membuat ukuran kejahatan atas dasar teoritis bahwa pelanggaran adalah “wetsdelicten”. Ilmu Pengetahuan kemudian menjelaskan bahwa wetdelicten merupakan perbuatan yang menurut keinsyafan batin manusia tidak dirasakan sebagai perbuatan tidak adil, tetapi baru dirasakan sebagai perbuatan terlarang karena undang-undang mengancam dengan pidana.[4]

Pelanggaran adalah “politie-onrecht”, yaitu merupakan perbuatan yang tidak mentaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa negara. Politie-onrecht ini menitikberatkan sebagai perbuatan yang pada umumnya dilarang oleh peraturan penguasa atau negara.[5]

Sebagai kesimpulan, Bambang Poernomo menjelaskan, bahwa perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran dikarenakan sifat dan hakikatnya, seperti ukuran perbedaan yang telah diuraikan terdahulu, akan tetapi adapula perbedaan kejahatan dan pelanggaran didasarkan atas ukuran pelanggaran itu dipandang dari sudut kriminologi tidak begitu berat dibandingkan dengan kejahatan. Perbedaan yang demikian itu disebut perbedaan secara kualitatif dan kuantitatif.[6]
_________________________________
1.  “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 95-96.
2.  Ibid. Hal.: 96.
3.  Ibid. Hal.: 96.
4.  Ibid. Hal.: 96.
5.  Ibid. Hal.: 96.
6.  Ibid. Hal.: 97.

Kamis, 18 Juli 2019

Subjek Dan Rumusan Delik

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah kita lewati kuliah sebelumnya berjudul: ‘Istilah dan Pengertian Delik’, selanjutnya dalam kesempatan ini akan dibahas mengenai Subjek delik dan Rumusan delik.

Subjek Delik

Delik mempunyai sifat melarang atau mengharuskan suatu perbuatan tertentu dengan ancaman pidana kepada barangsiapa yang melakukannya. Delik ditujukan kepada yang memperkosa kepentingan hukum, membahayakan kepentingan hukum, dengan tujuan untuk menjaga kepentingan hukum. Kepentingan hukum yang dimaksudkan meliputi kepentingan negara, kepentingan masyarakat, dan kepentingan individu.[1]

Hubungan antara sifat delik yang demikian itu dan kepentingan hukum yang harus dilindungi, maka yang menjadi subjek delik pada umumnya adalah manusia (een natuurlijk persoon). Vos dalam Bambang Poernomo memberikan penjelasan mengapa hanya manusia yang dapat menjadi subjek delik:[2]
  1. Terdapat rumusan yang dimulai dengan “hij die...” di dalam peraturan undang-undang pada umumnya, yang berarti tidak lain adalah manusia;
  2. Jenis-jenis pidana pokok hanya dapat dijalankan tidak lain daripada oleh manusia;
  3. Di dalam hukum pidana berlaku azas kesalahan bagi seorang manusia pribadi.

Bambang Poernomo menambahkan, perkembangan di dalam perundang-undangan hukum pidana baru ternyata bagi badan hukum (rechtspersoon) dapat juga dipidana dengan penetapan sebagai tindakan, dan di dalam undang-undang fiscal dapat dipidana badan hukum dengan reele executie atas harta kekayaannya.[3]

Rumusan Delik

Di dalam bahasannya, Bambang Poernomo membandingkan rumusan delik dari para ahli hukum pidana seperti Jonkers dan Vos. Dengan asumsi berbagai bentuk perumusan delik disebabkan oleh faktor-faktor seperti teknis-yuridis, yuridis-sosiologis dan politis.[4]

Jonkers mengenal empat jenis metode rumusan delik di dalam undang-undang, terdiri atas:[5]
  1. Yang lazim menyebutkan rumusan dengan cara menerangkan isi delik dan keterangan itu dapat dijabarkan menjadi unsur-unsur perbuatan yang dapat dipidana, seperti misalnya Pasal 279, 281, 286, 242 dan sebagainya dalam KUHP;
  2. Dengan cara menerangkan unsur-unsur dan memberikan pensifatan (kualifikasi), seperti misalnya pemalsuan Pasal 263, pencurian Pasal 362, Penggelapan Pasal 372, penipuan Pasal 378 dalam KUHP;
  3. Cara yang jarang dipakai adalah hanya memberikan pensifatan kualifikasi saja seperti misalnya Penganiayaan Pasal 351, pembunuhan Pasal 338 dalam KUHP;
  4. Kadang kala undang-undang merumuskan ancaman pidananya saja untuk peraturan-peraturan yang masih akan dibuat kemudian seperti misalnya Pasal 521 dan Pasal 122 ayat (1) KUHP;

Vos berpendapat hanya mengenal tiga macam rumusan delik, yaitu:[6]
  1. Rumusan yang merupakan bagian-bagian delik (de kenmerken of feitelijke bestanddelen), misalnya Pasal 362, 372, 378 KUHP, dan Pasal 167 dan sebagainya dalam KUHP, akan tetapi tentang pencurian, penggelapan dan sebagainya itu mengandung pula rumusan kualifikasi;
  2. Rumusan yang menyebutkan kualifikasi delik (de juridische benaming of qualificatie), seperti misalnya Pasal 351 tentang Penganiayaan, Pasal 297 tentang Perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum cukup umur dan sebagainya dalam KUHP;
  3. Rumusan yang hanya memuat ancaman pidana (de strafbedreiging) seperti misalnya Pasal 122, 564, 566 KUHP.

Metode perumusan delik dari Vos maupun Jonkers tidak ada perbedaannya dan pendapat inilah yang sekiranya dapat diikuti untuk mengenal metode, perumusan delik atas dasar teknik penyusunan. Ada pendapat lain yang mengatakan rumusan delik dapat dibagi atas dasar tingkah lakunya (gedraging) yang dapat menjadi perumusan kelakuan positif/handelen sebagai “commissiedelict”, atau sebaliknya dengan kelakuan negatif/nalaten sebagai “ommissiedelict”, sehingga kedua rumusan dengan bentuk nyata-nyata dari kelakuan itu dinamakan “formeeldelict”, sedangkan rumusan akibat dari kelakuan dinamakan “materieldelict”.[7]
_________________________________
1.  “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 92-93.
2.  Ibid. Hal.: 93.
3.  Ibid. Hal.: 93.
4.  Ibid. Hal.: 94-95.
5.  Ibid. Hal.: 94.
6.  Ibid. Hal.: 94-95.
7.  Ibid. Hal.: 95.

Rabu, 10 Juli 2019

Istilah Dan Pengertian Delik

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Kuliah sebelumnya berjudul: ‘Azas-azas Tidak Tertulis Dalam Hukum Pidana’, telah kita lalui, selanjutnya dalam kesempatan ini akan dibahas mengenai Istilah dan pengertian dari "delik".

Istilah Delik

Di dalam KUHP (WvS) dikenal dengan istilah strafbaar feit. Kepustakaan hukum pidana sering mempergunakan istilah ‘delik’, sedangkan pembuat undang-undang dalam merumuskan undang-undang mempergunakan istilah ‘peristiwa pidana’ atau ‘perbuatan pidana’, atau ‘tindak pidana’. Tanpa mempersoalkan perbedaan istilah seperti tersebut di atas, yang nantinya akan ditulis tersendiri, pada kesempatan ini akan dicari pengertian strafbaar feit lebih dahulu menurut pendapat para ahli hukum Belanda.[1]

Pengertian Delik

Vos dalam Bambang Poernomo terlebih dahulu mengemukakan arti delict sebagai “Tatbestandmassigheit” dan delik sebagai “Wesenschau”. Makna “Tatbestandmassigheit” merupakan kelakuan yang mencocoki lukisan ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan, maka dari situ telah ada delik. Sedangkan makna “Wesenschau” merupakan kelakuan yang mencocoki ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan, maka baru merupakan delik apabila kelakuan itu “dem Wesen nach” yaitu menurut sifatnya cocok dengan makna dari ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan.[2]

Delik menurut pengertian sebagai “Wesenschau” telah diikuti oleh para ahli hukum pidana dan jurisprudensi di negeri Belanda dalam hubungannya dengan ajaran sifat melawan hukum yang materiil.[3]

Pengertian dari istilah “strafbaar feit” menurut Vos dalam Bambang Poernomo adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilaran dengan ancaman pidana.[4]

Menurut Pompe dalam Bambang Poernomo, pengertian “strafbaar feit” dibedakan atas:[5]
  1. Definisi menurut teori memberikan pengertian ‘strafbaar feit’ adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum;
  2. Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian ‘strafbaar feit’ adalah suatu kejadian (feit) yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.


Sejalan dengan definisi yang membedakan antara pengertian menurut teori dan menurut hukum positif itu, juga dapat dikemukakan pandangan dari Jonkers yang telah memberikan definisi ‘strafbaar feit’ menjadi dua pengertian:[6]
  1. Definisi pendek memberikan pengertian ‘strafbaar feit’ adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang;
  2. Definisi panjang atau lebih mendalam yang memberikan pengertian ‘strafbaar feit’ adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.


Jalan pikiran menurut definisi pendek pada hakikatnya menyatakan bahwa pastilah untuk setiap delik yang dapat dipidana harus berdasarkan undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang dan pendapat umum tidak dapat menentukan lain daripada yang telah ditentukan oleh undang-undang.[7]
Sedangkan dalam definisi yang panjang menitikberatkan kepada sifat melawan hukum dan pertanggungan jawab yang merupakan unsur-unsur yang telah dirumuskan secara tegas di dalam setiap delik, atau unsur-unsur yang tersembunyi secara diam-diam dianggap ada. Apabila dirumuskan secara tegas justru dalam membuktikan unsur-unsur delik tersebut akan banyak persoalan, untuk setiap kali harus dibuktikan yang merupakan beban yang berat bagi penuntut umum.[8]

Di dalam mencari elemen yang terdapat di dalam ‘strafbaar feit’ oleh Vos telah ditunjuk pendapat dari Simons yang menyatakan suatu ‘strafbaar feit’ adalah perbuatan yang melawan hukum dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Dari pengertian ini dapat dikatakan suatu ‘strafbaar feit’ mempunyai elemen “wederrechtelijkheid” dan “schuld”.[9]

Bambang Poernomo menyimpulkan, semakin jelas bahwa pengertian strafbaar feit mempunyai dua arti, yaitu menunjuk kepada perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, dan menunjuk kepada perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.[10]

_________________________________
1.  “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 90.
2.  Ibid. Hal.: 90.
3.  Ibid. Hal.: 91.
4.  Ibid. Hal.: 91.
5.  Ibid. Hal.: 91.
6.  Ibid. Hal.: 91.
7.  Ibid. Hal.: 91.
8.  Ibid. Hal.: 91-92.
9.  Ibid. Hal.: 92.
10.        Ibid. Hal.: 92.

Senin, 08 Juli 2019

Azas-azas Tidak Tertulis Dalam Hukum Pidana

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Kuliah sebelumnya berjudul: 'Azas Hukum Pidana Menurut Waktu’, telah kita lalui, selanjutnya dalam kesempatan ini akan dibahas mengenai azas-azas tidak tertulis dalam hukum pidana. Kenapa di dalam tulisan ini dinamai azas-azas yang tidak tertulis dalam hukum pidana? Jawabannya adalah azas yang tidak tertulis atau tidak dirumuskan dengan tegas dalam KUHP akan tetapi telah dianggap berlaku di dalam praktik hukum pidana.[1]

Hal dimaksud meliputi empat hal, yaitu: [2]
  1. Tidak dipidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld);
  2. Alasan pembenar (rechtsvaardigingsgronden);
  3. Alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden);
  4. Alasan penghapus penuntutan (onvervolgbaarheid/vervolgbaarheid).


Tiada Pidana Tanpa Kesalahan

Azas tiada pidana tanpa kesalahan dan azas penghapusan kesalahan merupakan dua hal yang mempunyai titik kesamaan, akan tetapi penggunaannya berbeda. Tiada pidana tanpa kesalahaan adalah azas penghapusan pidana yang bersifat umum dan luas yang biasanya “schuld” itu mengandung tiga macam sifat atau elemen yang terdiri atas: pertama tentang adanya kemampuan bertanggung jawab dari pembuat, kedua tentang adanya keadaan batin tertentu dari pembuat yang dihubungkan dengan kejadian dengan bentuk kesengajaan atau kealpaan, dan ketiga karena tidak terdapatnya pertanggungjawaban dari suatu kejadian atas pembuat.[3]

Syarat kemampuan bertanggung jawab dari pembuat merupakan elemen pokok dalam azas kesalahan, ketidakmampuan bertanggungjawab berlaku bagi seseorang yang tidak dapat menginsyafi arti perbuatannya, misalkan karena di bawah umur, atau karena fungsi batrinnya tidak normal atau sakit jiwa. Bagi mereka ini tidak dapat dipidana.[4]

Elemen kedua adalah culpa atau opzet, yaitu merupakan hubungan antara keadaan batin dan kejadian karena kelakuan pembuat yang di dalam KUHP dirumuskan menjadi delik.[5]

Elemen ketiga yaitu tentang tidak terdapatnya pertanggungan jawab dari suatu keadaan batin si pembuat yang menjadi elemen ketiga dari kesalahan dan merupakan dasar untuk alasan penghapus pidana. Misalnya adalah seorang dokter yang melakukan perbuatan daya paksa (pasal 48), seseorang yang memukul orang lain karena perbuatan pembelaan terpaksa (pasal 49 ayat (2)).[6]

Alasan Pembenar

Suatu keadaan tertentu dari perbuatan seseorang yang menghapuskan atau meniadakan sifat elemen hukum sehingga perbuatan yang bersangkutan tidak melawan atau bertentangan dengan hukum (alasan pembenar), seperti misalnya perbuatan orang karena pembelaan terpaksa (noodweer) dalam pasal 49 ayat (1), atau perbuatan seseorang karena melaksanakan ketentuan undang-undang dalam pasal 50 KUHP.[7]

Alasan Pemaaf

Dasar pikiran “schulduitsluitinggronden” artinya perbuatan seseorang tetap sebagai perbuatan melawan hukum yang karena alasan tertentu perbuatan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pembuat sehingga kesalahannya dihapuskan (dimaafkan).[8]

Alasan Penghapus Penuntutan

Vos dalam Bambang Poernomo menerangkan kejahatan harta kekayaan antara suami-isteri tidak terpisah kekayaannya atau pisah ranjang dan meja, perbuatan yang dijamin dengan parlementaire immuniteit, kesemuanya itu merupakan hal-hal tertentu yang menjadi alasan penghapusan penuntutan. Dasar logika untuk alasan penghapusan penuntutan, bagi Pasal 367 dan seterusnya karena hubungan hidup kekeluargaan, dan bagi parlementaire immuniteit untuk kepentingan bebas berbicara di dalam persidangan parlemen.[9]

Dibandingkan dengan “strafuitsluitingsgronden” yang lain, maka peniadaan pidana yang berdasarkan “vervolgbaarheid uitsluiten” mempunyai keuntungan praktis, karena tidak perlu memakan waktu dan membuang tenaga untuk sampai pada putusan Hakim untuk melepaskan dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtsvervolging), melainkan cukup pernyataan tidak diterimanya penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum atas dasar pertimbangan politik kriminil pemerintah melalui saluran penghentian penuntutan.[10]  
_________________________________
1. “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 80.
2.  Ibid. Hal.: 80.
3.  Ibid. Hal.: 81.
4.  Ibid. Hal.: 81.
5.  Ibid. Hal.: 81.
6.  Ibid. Hal.: 82.
7.  Ibid. Hal.: 82.
8.  Ibid. Hal.: 82.
9.  Ibid. Hal.: 83.
10. Ibid. Hal.: 83.

Sabtu, 06 Juli 2019

Azas Hukum Pidana Menurut Waktu

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya berjudul: ‘Azas Hukum Pidana Menurut Tempat’, kita telah mengerti mengenai azas-azas hukum pidana menurut tempat, maka untuk kuliah selanjutnya kita mendalami azas hukum pidana menurut waktu.

Sumber utama tentang berlakunya undang-undang hukum pidana menurut waktu, tersimpul di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Antara lain pengertian yang dapat diberikan kepada Pasal 1 ayat (1) KUHP adalah:[1]

  1. Mempunyai makna “nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali”, artinya: tiada delik, tiada pidana, tanpa peraturan yang mengancam pidana lebih dahulu. (Sifat umum adagium di dalam ilmu hukum pidana);
  2. Mempunyai makna “undang-undang hukum pidana tidak mempunyai kekuatan berlaku surut” (Mr. J.E. Jonkers 1946: 37);
  3. Mempunyai makna “lex temporis delicti”, yang artinya undang-undang berlaku terhadap delik yang terjadi pada saat itu (Mr. D.H. Suringa 1968: 305).


Pada mulanya timbul pikiran klasik melalui saluran politik untuk melindungi kepentingan “rakyat banyak” dari kekuasaan sewenang-wenang dari Raja-raja yang absolut, dengan cara membatasi kekuasaan Raja untuk menuntut dan menjatuhkan putusan pengadilan yang bertentangan dengan azas-azas yang diakui sesuai dengan hak asasi manusia.[2]

Perlindungan kepentingan rakyat di negara Barat itu ternyata lebih menitikberatkan kepada kepentingan individu yang terkandung dalam deklarasi Magna Charta 1215 dan Habeas Corpus Act 1679. Di Eropa, terutama Prancis, dianggap tokoh yang pertama adalah Montesquieu menyatakan perlunya perlindungan kemerdekaan dan pribadi individu terhadap suatu tuntutan serta tindakan hakim yang sewenang-wenang. Seorang sarjana Jerman bernama A. Von Feurbach merumuskan adagium dalam bahasa Latin “Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali” yang terkandung dalam buku karangan “Lehrbuch des peinlichen Rechts” (1801).[3]

Sepanjang sejarah perkembangan hukum pidana dengan segala faktor-faktor yang mempengaruhi, kiranya dapat disusun dalam empat macam sifat ajaran yang dikandung oleh azas legalitas:[4]

  1. Azas legalitas hukum pidana, yang mendasarkan titik berat pada perlindungan individu untuk memperoleh kepastian dan persamaan hukum (rechtszekerheid en rechtsgelijkheid) terhadap penguasa agar tidak sewenang-wenang.
  2. Azas legalitas hukum pidana, yang mendasarkan titik berat pada dasar dan tujuan pemidanaan agar dengan sanksi pidana itu hukum pidana bermanfaat bagi masyarakat serta tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anggota masyarakat serta tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anggota masyarakat, karena itu masyarakat harus mengetahui lebih dahulu rumusan peraturan yang memuat tentang perbuatan pidana dan ancaman pidananya.
  3. Azas legalitas hukum pidana, yang mendasarkan titik berat pada dua unsur yang sama pentingnya, yaitu bahwa yang diatur oleh hukum pidana tidak hanya memuat ketentuan tentang perbuatan pidana saja agar orang mau menghindari perbuatan itu, tetapi harus juga diatur mengenai ancaman pidananya agar penguasa tidak sewenang-wenang dalam menjatuhkan pidana.
  4. Azas legalitas hukum pidana, yang mendasarkan titik berat pada perlindungan hukum lebih utama kepada negara dan masyarakat daripada kepentingan individu, dengan pokok pikiran tertuju kepada “a crime is a socially dangerous act of commission of ommission as prescribed in criminal law”.


Berlakunya azas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP sebenarnya tidaklah mutlak, dengan alasan bahwa KUHP bukan merupakan undang-undang dasar melainkan sekedar kodifikasi undang-undang hukum pidana, dan selain itu derajat undang-undang selalu dimungkinkan dapat diubah oleh pembentuk undang-undang (DPR bersama Pemerintah) jika dipandang perlu. Lain halnya apabila asas legalitas itu sekaligus ada perumusannya di dalam Undang-undang Dasar yang tidak secara mudah untuk mengadakan perubahannya.[5]

Pembentuk undang-undang telah menetapkan pengecualiannya Pasal 1 ayat (1) KUHP di dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP yang mempunyai dua ketentuan pokok, yaitu: a). Sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan; b). Dipakai aturan yang meringankan/menguntungkan. [6]

_________________________________
1. “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 68.
2.  Ibid. Hal.: 68.
3.  Ibid. Hal.: 69.
4.  Ibid. Hal.: 72-73.
5.  Ibid. Hal.: 76.
6.  Ibid. Hal.: 76.

Three Ways to Conduct FDI in Indonesia

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Knowing Joint Venture Companies in FDI ...