Tampilkan postingan dengan label Sudut Pandang Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sudut Pandang Hukum. Tampilkan semua postingan

Senin, 08 April 2019

Menggagas Acara Televisi Bertema Edukasi Hukum

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Belum lama ini terjadi polemik di Daerah Istimewa Yogyakarta di mana salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia cabang daerah tersebut (Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU DIY) mengeluarkan Fatwa Haram menonton acara televisi Indonesia Lawyers Club (ILC) di tvOne.

Adapun alasan utama dikeluarkannya Fatwa Haram tersebut adalah karena dinilai tayangan ILC adalah provokatif dan mencemarkan nama baik.

Adapun latar belakang dikeluarkannya Fatwa Haram ini, menurut Ketua LBM PWNU DIY yaitu Fajar, adalah berangkat dari keresahan masyarakat terhadap tayangan televisi yang provokatif, salah satunya adalah tayangan ILC ini.

Konten provokatif dinilai bisa menimbulkan fitnah di tengah masyarakat, selain itu warga juga bisa saling mencela dan menghujat akibat terprovokasi konten tersebut.

Sebagaimana dikutip Detik.com, ILC dipandang menampilkan orang-orang yang sangat bersebrangan, sehingga dalam acara tersebut terjadi saling bully, saling mencaci dan sebagainya.

Perbedaan Dasar Hukum

Atas Fatwa Haram menonton tayangan televisi yang mempunyai konten provokatif seperti dimaksud di atas, LBM PWNU DIY mendasarkan diri pada ketetapan/nash Al-Qur'an, seperti keterangan dalam Surat Al-Maidah ayat 8 dan nash hadist.

Selain itu juga dari Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali serta Kitab-kitab Kuning lainnya. Adalah sebuah kewajaran mendasarkan analisa atas tayangan televisi dimaksud sesuai dengan latar belakang organisasi masyarakat masing-masing.

Sebagai sebuah tayangan televisi, maka acara televisi Indonesia Lawyers Club (ILC) di tvOne sepatutnya tunduk pada dasar hukum negara, diantaranya adalah Undang-undang Nomor: 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Undang-undang Nomor: 40 Tahun 1999 tentang Pers

Menurut penulis, dua undang-undang inilah yang seharusnya menjadi koridor dalam memproduksi sebuah acara televisi, tidak terkecuali pada acara ILC ini.

Dalam pembelaannya, Karni Ilyas, S.H. sebagai pembawa acara ILC berpendapat bahwa acara ILC selalu berimbang dan menjalankan fungsi wartawannya sebagai watch dog.

Sedangkan pendapat lain dari Dewan PWI Pusat yang beranggapan tindakan LBM PWNU DIY bertentangan dengan Pasal 4 Undang-undang Nomor: 40 Tahun 1999 tentang Pers, terkait 'Pembredelan' atau 'Penyensoran terhadap Produk Pers' menurut penulis adalah pernyataan yang berlebihan, karena sederhana saja, LBM PWNU DIY, bukan lembaga yang mempunyai kapasitas melakukan itu.   

Mungkin terlalu masuk ke dalam teknis hukum jika kita mengutip dasar-dasar hukum baik dari versi LBM PWNU DIY maupun versi ILC.

Akan tetapi, sederhana saja, menurut LBM PWNU DIY konten provokatif dinilai bisa menimbulkan fitnah di tengah masyarakat, selain itu warga juga bisa saling mencela dan menghujat akibat terprovokasi konten tersebut pada hilirnya membuat orang-orang awam menjadi kebingungan.

Penulis berpendapat bahwa LBM PWNU DIY ada benarnya, dalam konteks kepentingan masyarakat, seharusnya ILC juga memperhatikan acara penyiaran televisinya sebagai media pendidikan (vide Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor: 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran).

Tapi ketika kita bicara Penyiaran dalam konteks kontemporer, dalam hal yang lebih khusus adalah acara televisi, tentu fungsi penyiaran sebagai sarana pendidikan tidak selalu bisa dimunculkan, ia sangat tergantung faktor-faktor lain seperti fungsi pers dengan dalih watch dog, ketergantungan pada iklan, rating acara, dll.

Singkat kata, menyajikan sebuah acara televisi yang berkonten mendidik, sebagaimana tersirat dari keinginan LBM PWNU DIY, adalah pekerjaan yang tidak mudah, sebaliknya lembaga penyiaran, dalam hal ini menunjuk televisi, kerap kali dengan tuntutan dan kondisi zaman, justru lebih mengedepankan unsur 'hiburan'.

Acara televisi bertemakan hukum yang edukatif sekaligus mempunyai rating yang baik sangat minim, bahkan sepengetahuan penulis belum ada.

Menggagas Acara Televisi Bertema Hukum yang Edukatif

Disinilah terjadi kekosongan, yaitu saluran televisi nasional belum bisa menyajikan acara televisi bertemakan hukum yang mendidik sekaligus mempunyai rating yang baik. Jika saya seorang pengusaha penyiaran, saya tentu akan memperhatikan peluang ini.

Kekosongan ini hampir tidak terlalu diperdulikan oleh insan-insan Pers, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam era demokrasi, hukum menjadi penting, dan edukasi hukum yang baik secara massal melalui media televisi seharusnya tidak terelakan. Apa tujuannya? Menciptakan masyarakat sadar hukum.

Lalu bagaimana riil acara televisi bertema hukum yang edukatif? Penulis sendiri bukan insan pers, penulis adalah seorang praktisi hukum, seorang advokat.

Jika ditanya demikian, tentu juga perlu belajar lagi dalam mengaktualisasikan ide acara televisi bertema hukum yang edukatif. Namun, menurut hemat penulis, ada dua premis dimana kita berangkat tadi, yaitu:

Acara televisi bertemakan hukum dimaksud adalah solusi alternatif dari acara televisi yang mempunyai konten provokatif yang bisa saling mencela dan menghujat;
Acara televisi bertemakan hukum dimaksud mempunyai konten edukatif yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Kata kunci acara televisi bertemakan hukum dimaksud adalah Edukatif dan Bermanfaat bagi masyarakat. Menyajikan sebuah acara televisi dengan kriteria dimaksud tentu tidak mudah, karena jujur saja, hukum pun bukan sesuatu hal yang mudah, apalagi menyajikannya kepada masyarakat luas yang awam.

Namun menurut penulis, hal ini justru tantangan bagi insan Pers dan Penyiaran untuk 'mengemas' acara televisi bertema hukum yang berkualitas.

Masyarakat dan Kebutuhan Akan Edukasi Hukum

Menggagas acara televisi bertema hukum yang edukatif pertama-tama berarti menelusuri kebutuhan masyarakat akan hukum.

Tayangan televisi yang menghadirkan para ahli hukum yang bersebrangan pendapat satu dengan yang lainnya adalah jauh dari kebutuhan masyarakat awam akan hukum.

Hampir bisa dipastikan manfaat langsungnya sangat sedikit. Penulis hampir bisa memastikan bahwa tayangan televisi sebagaimana dimaksud lebih kental aroma 'hiburan'-nya daripada aroma hukumnya.

Menelusuri kebutuhan masyarakat akan hukum adalah meneropong persoalan hukum apa saja yang dihadapi masyarakat.

Sepengetahuan penulis, persoalan hukum yang dihadapi masyarakat adalah beragam, namun bentuk riil-nya bisa langsung penulis sebutkan sebagai berikut:
  • Bagaimana proses pensertifikatan tanah dengan segala kesulitan-kesulitannya?
  • Bagaimana proses mendapatkan surat-surat terkait penerbitan hak atas tanah di Desa/Kelurahan?
  • Bagaimana prosedur yang harus ditempuh ketika seseorang ingin pindah alamat?
  • Bagaimana prosedur penerbitan SIM yang benar?
  • Bagaimana prosedur penerbitan KIR yang benar?
  • Bagaimana melakukan pengecekan atas legalitas sebuah Biro Perjalanan Umroh?
  • Bagaimana penyelesaian hukum atas Tindak Pidana Ringan seperti Tilang?
  • Bagaimana proses mengajukan perceraian tanpa Advokat di Pengadilan?
  • Bagaimana mengurus Penetapan Ahli Waris atas harta waris?
  • Bagaimana proses mendapatkan IMB?
  • Bagaimana proses mendirikan PT?
  • Bagaimana tahapan seorang menjadi anggota Dewan?
  • Bagaimana tahapan seseorang menjadi Polisi?
  • Bagaimana tahapan seseorang menjadi anggota TNI?
  • Bagaimana tahapan seseorang menjadi PNS?
  • Bagaimana proses mendirikan CV?
  • Bagaimana proses mendaftarkan Perusahaan?
  • Bagaimana proses mendapatkan IUP?
  • Bagaimana mendapatkan NPWP?
  • Bagaimana tahapan Pengangkatan seseorang sebagai Pegawai Tetap di sebuah Perusahaan?
  • Apa saja hak-hak seorang pekerja yang bekerja di sebuah Perusahaan?
  • Bagaimana prosedur mendapatkan Akta Kelahiran Anak?
  • Bagaimana prosedur mendapatkan Kartu Keluarga?
  • Bagaimana proses mendapatkan SKCK?
  • Bagaimana proses mendapatkan Akta Perkawinan dari KUA?
  • Bagaimana caranya mengadukan oknum Kelurahan dan KUA yang menjadi Calo di Pengadilan?
  • Bagaimana solusi hukum jika Keluarga dikawin Siri?
  • Bagaimana proses mendapatkan Hak Asuh Anak di Pengadilan?
  • Bagaimana proses mendapatkan Harta Bersama Perkawinan di Pengadilan?
  • Bagaimana proses menjadi anggota BPJS Kesehatan?
  • Bagaimana proses pidana jika anggota keluarga yang terkena delik Pidana Narkoba?
  • Bagaimana proses mengajukan Rehabilitasi di BNN?
  • Bagaimana melakukan pengecekan legalitas seorang Advokat?
  • Bagaimana mengajukan Izin Perceraian bagi PNS di Badan Kepegawaian Daerah?
  • Bagaimana cara mendapatkan KTP Elektronik?
  • Bagaimana proses bekerja di Luar Negeri yang Legal?
  • Bagaimana prosedur melakuan pengaduan tindak Pidana di Kepolisian dan KPK?
  • Bagaimana upaya hukum bila seseorang terkena Penggusuran?
Dan banyak lagi persoalan hukum lainnya yang dihadapi masyarakat kita. Jika disederhanakan, maka acara televisi yang lebih dibutuhkan masyarakat dalam bidang hukum adalah semacam 'klinik hukum'.

Jika dibandingkan dengan acara televisi bertema kesehatan diantaranya adalah semacam acara 'Dr. Oz Indonesia'.

Jika diasumsikan bahwa inilah yang merupakan kebutuhan masyarakat akan hukum, maka tinggal tugas para insan Pers dan Penyiaran yang melakukan 'packaging' menarik agar acara dimaksud kelak diterima oleh masyarakat. Ini tantangannya.

Ancaman Hukum Menyelenggarakan Perayaan Hajatan yang Mengganggu Jalan

(iStock)

Oleh: 
Tim Hukumindo

Di bumi pertiwi ini, salah satu fenomena yang kerap kali mudah dijumpai pada akhir pekan adalah 'hajatan', atau beragam istilah lain yang menunjuk pada hal yang sama seperti 'jagung manten' kalau di Jogja, atau istilah lain seperti 'kawinan'. Biasanya pada hari Sabtu dan Minggu di berbagai tempat mudah dijumpai penyelengaraan hajatan. Pada umumnya digelar untuk resepsi perkawinan, namun ada juga untuk gelaran sunatan serta memperingati kehamilan usia tujuh bulan. Secara budaya, hajatan bisa diartikan sebuah manifestasi rasa syukur atas sebuah tahapan berkehidupan, melalui semacam mekanisme perayaan.       

Perayaan sebuah hajatan tentu kerap kali mempunyai konsekwensi energi dan ruang. Pada masyarakat urban yang berkecukupan, penyelenggaraannya sudah well organize, bahkan dengan budget yang tentu di atas rata-rata dan di tempat-tempat yang representatif seperti Gedung atau Balai. 

Sedangkan bagi masyarakat yang secara ekonomi masih menengah ke bawah, meskipun dalam kondisi tertentu tidak selalu, penyelenggaraannya kerap kali menyesuaikan dengan kondisi yang ada, termasuk mengenai tempat. Tempat yang dipilih biasanya adalah rumah, umumnya rumah mempelai wanita. Masalah terjadi ketika tempat hajatan dekat dengan jalan sehingga mengganggu kelancaran lalu lintas, atau bahkan dalam realitanya di lapangan, perayaan hajatan dimaksud justru menggunakan jalan sebagai area penerimaan tamu dan sebagai lahan parkir kendaraan, bahkan yang lebih ekstrim adalah jalannya ditutup secara sepihak tanpa izin sehingga pelintas harus memutar jauh.    

Ancaman Merintangi Jalan Umum dan Terganggunya Fungsi Jalan

Mengacu pada norma hukum positif yang berlaku, setidaknya ada dua aturan yang berhubungan lansung terkait hal dimaksud yang mengancam jika jalan umum dirintangi atau jika fungsi dari sebuah jalan terganggu, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-undang Nomor: 38 Tahun 2004 tentang Jalan.

Ketentuan pertama adalah Pasal 192 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: "Barangsiapa dengan sengaja membinasakan, membuat hingga tidak dapat dipakai lagi, atau merusakkan sesuatu pekerjaan untuk lalu lintas bagi umum, merintangi sesuatu jalan umum, baik jalan didarat maupun jalan di air, atau merintangi sesuatu tindakan yang diambil untuk keselamatan bagi pekerjaan atau jalan yang serupa itu dihukum: 1e. Penjara selama-lamanya sembilan tahun, jika perbuatan itu dapat mendatangkan bahaya bagi keselamatan lalu lintas. 2e. Penjara selama-lamanya lima belas tahun, jika perbuatan itu dapat mendatangkan bahaya bagi keselamatan lalu lintas dan ada orang mati lantaran itu."

Ketentuan berikutnya adalah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor: 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Pasal 11 angka 2 Undang-undang Nomor: 38 Tahun 2004 tentang Jalan, mengatur mengenai "ruang manfaat jalan" adalah: meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya. Pasal 11 angka 3 Undang-undang Nomor: 38 Tahun 2004 tentang Jalan, mengatur mengenai "ruang milik jalan" adalah: meliputi ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan. Dan Pasal 11 angka 4 Undang-undang Nomor: 38 Tahun 2004 tentang Jalan, mengatur mengenai "ruang pengawasan jalan" adalah: merupakan ruang tertentu di luar ruang milik jalan yang ada di bawah pengawasan penyelenggara jalan.

Undang-undang Nomor: 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Pasal 12 berbunyi sebagai berikut: (1). Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan, (2). Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang milik jalan, dan (3). Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang pengawasan jalan.

Pasal 63 Undang-undang Nomor: 38 Tahun 2004 tentang Jalan berbunyi sebagai berikut: (1). Setiap orang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) bulan atau denda paling banyak Rp. 1. 500.000.000,- (Satu miliar lima ratus juta Rupiah), (2). 

Setiap orang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang milik jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (Lima ratus juta Rupiah), dan (3). Setiap orang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang pengawasan jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (Dua ratus juta Rupiah).

Pasal 64 Undang-undang Nomor: 38 Tahun 2004 tentang Jalan berbunyi sebagai berikut: (1). Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (Tiga ratus juta Rupiah), (2). 

Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang milik jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 12 (dua belas) hari atau denda paling banyak Rp. 120.000.000,- (Seratus dua puluh juta Rupiah) dan (3). Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang pengawasan jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 12 (dua belas) hari atau denda paling banyak Rp. 120.000.000,- (Seratus dua puluh juta Rupiah).

Secara umum dapat dipahami bahwa ketentuan Pasal 63 Undang-undang Nomor: 38 Tahun 2004 tentang Jalan adalah mengatur ancaman terkait kesengajaan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan, sedangkan Pasal 64 Undang-undang Nomor: 38 Tahun 2004 tentang Jalan adalah terkait dengan ancaman atas kealpaan. Dari dua ketentuan hukum positif di atas, menurut penulis tidak ada alasan yang sifatnya normatif, karena aturan hukum tertulisnya telah tersedia.

Pentingnya Sosialisasi  

Jika dikaitkan antara ketentuan Pasal 192 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 63 dan Pasal 64 Undang-undang Nomor: 38 Tahun 2004 tentang Jalan adalah mengatur ancaman terkait merintangi sesuatu jalan umum, kesengajaan dan kealpaan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan dengan fenomena perayaan sebuah hajatan yang kerap kali bertentangan dengan aturan hukum dimaksud, maka resiko pelanggaran atas aturan hukum dimaksud cukup terbuka lebar.

Potensi pelanggaran hukum atas perayaan sebuah hajatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan dan atau merintangi sesuatu jalan umum yang cukup terbuka lebar tadi, belum diimbangi oleh sosialisasi yang memadai tentang adanya aturan hukum dimaksud. Bahkan secara kasat mata, kerugian masyarakat secara luas atas akibat terganggunya fungsi jalan dan lebih jauh mungkin perintangan sesuatu jalan umum dengan adanya perayaan acara hajatan dimaksud telah terjadi. 

Hal yang paling sederhana serta berkaitan langsung adalah kerugian materiil berupa bertambahnya bahan bakar dan waktu yang harus dikeluarkan seorang pengendara kendaraan bermotor ketika harus memutar atau terjebak kemacetan akibat dari perayaan sebuah hajatan.

 Hanya saja dalam masyarakat kita, seringkali hukum dicari setelah akibat-akibat terburuk muncul. Artinya hukum dicari ketika akibat dari suatu perbuatan sudah pada tataran 'mendatangkan bahaya' misalnya dengan timbulnya korban jiwa. Padahal, sisi hukum yang lain juga menampilkan fungsi preventif guna mencegah hal-hal negatif yang mungkin terjadi. 

Praktiknya, penggunaan balai desa/kelurahan sebagai tempat perayaan hajatan masih relatif kecil sebagai salah satu solusi guna meminimalisasi dampak negatif dari kegiatan dimaksud. Hal ini mengandaikan pentingnya sosialisasi atas aturan-aturan hukum terkait oleh para pemangku kepentingan, misalnya aparat Kepolisian dan aparat Pemerintahan. Masyarakat harus diedukasi agar tindakan-tindakannya yang berakibat pada orang lain tidak menimbulkan kerugian, terlebih lagi mendatangkan bahaya.

Solusi Hukum Ketika Rumah Tinggal Tidak Diberikan Akses Keluar-Masuk

(iStock)

Oleh: 
Tim Hukumindo

Eko Purwanto, pemilik rumah yang terkepung rumah tetangganya di Kampung Sukagalih, Desa Pasirjati, Kecamatan Ujungberung, Kota Bandung -- Jawa Barat, disadari atau tidak tengah menghadapai masalah hukum serius.

Sebagaimana diberitakan laman Kompas.com (11/9/2018), Eko terpaksa meninggalkan rumahnya sendiri sebagaimana alamat di atas, dikarenakan tidak mempunyai akses jalan akibat terhalang tembok rumah tetangga. Rumah tersebut sudah ditinggalkan Eko sejak tahun 2016 silam, akses jalan masuk-keluar rumah dimaksud ditutup oleh bangunan rumah tetangganya baik dari kiri, kanan, depan dan belakang.

Menurut keterangan Eko, ia sebelumnya sempat tinggal bersama isterinya di rumah itu pada tahun 2008 ketika masih ada akses jalan. Namun pada tahun 2016, ada warga yang membeli tanah di depan dan samping rumahnya. Kedua pemilik rumah depan dan samping tersebut sama-sama membangun berbarengan.

Menurut pengakuannya, Eko sempat bernegosiasi dengan pemilik tanah depan rumahnya untuk membeli sebagian tanahnya sebagai akses masuk-keluar dirinya, seharga 10 Juta Rupiah, namun ditolak oleh pemilik tanah dimaksud.

Hak Atas Tanah Mempunyai Fungsi Sosial

Terkait dengan permasalahan hukum yang sedang dihadapi oleh Eko Purwanto di atas, sangat jelas dan terang sekali diatur dalam Undang-undang Nomor: 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, khususnya Pasal 6 diatur bahwa: "Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial". Sangat disayangkan jika kemudian masalah ini terjadi, terlebih lagi telah pernah ada tawaran dari Eko kepada pemilik depan rumahnya untuk membeli sebagian tanahnya sebagai akses masuk-keluar.

Lalu apa yang dimaksud dengan 'fungsi sosial hak atas tanah?' Sebagaimana Memori Penjelasan atas Rancangan Undang-undang Pokok Agraria (dikutip dari buku Karangan Purnadi Purbacaraka & A. Ridwan Halim, "Sendi-sendi Hukum Agraria", Ghalia Indonesia, 1983, Jakarta Timur), yang dimaksud semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial adalah hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang atau badan hukum tidaklah dibenarkan bahwa tanah itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi jika hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya, serta bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Dengan kata lain, antara kepentingan perseorangan dan kepentingan masyarakat harus saling berimbang, agar akhirnya tercapai tujuan pokoknya, yaitu kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.

Jika dikaitkan antara permasalahan hukum Eko Purwanto dengan ketentuan Undang-undang Nomor: 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, khususnya Pasal 6 serta Memori Penjelasan atas Rancangan Undang-undang Pokok Agraria, maka secara norma telah selesai bahwa seyogyanya, Eko Purwanto diberikan akses bagi masuk-keluar dari kediaman rumahnya, khususnya pada bagian depan, terlebih telah ada tawaran ganti rugi sebesar 10 Juta Rupiah terkait hal dimaksud, sehingga ketentuan Undang-undang Nomor: 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dapat terlaksana.

Tidak dilaksanakannya ketentuan Undang-undang Nomor: 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, khususnya Pasal 6 dimaksud memang sungguh disayangkan, dan dalam kenyataan hidup, saling silang kepentingan memang kerap kali terjadi. Terdapat dugaan adanya masalah antara Eko Purwanto dengan dengan pemilik sekelilingnya. Atas keadaan dimaksud, dengan berat hati Penulis mengkategorikannya sebagai objek sengketa keperdataan, yang secara hukum formil, biasanya mesti diselesaikan lewat jalur pengadilan.

Yang dimaksud dengan sengketa keperdataan secara umum adalah suatu klaim kebenaran, biasanya lebih dari satu pihak, atas suatu objek atau perihal. Para pihak yang terkait dengan hal atau objek perkara merasa sama-sama benar. Menurut hukum formil, pengujiannya adalah melalui lembaga peradilan.

Dalam hal ini, jika menyimak objek perkara yang berada di Kampung Sukagalih, Desa Pasirjati, Kecamatan Ujungberung, Kota Bandung -- Jawa Barat, maka masuk ke dalam jurisdiksi Pengadilan Negeri Bandung. Adapun jenis gugatan yang layaknya diajukan oleh Eko Purwanto adalah Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan tetangga sekeliling rumahnya dikarenakan tidak memberinya akses masuk-keluar atas rumahnya.

Masih menurut laman Kompas.com, aparat eksekutif pada tingkat Kecamatan dan Kelurahan sudah diminta untuk turun mengecek ke lapangan, hal ini tentu sebuah tindakan mulia, lebih jauh mungkin bermaksud mendamaikan perihal di atas.

Akan tetapi menurut hemat penulis, lebih tepat Eko Purwanto pribadi segera melakukan langkah hukum dengan melayangkan gugatan Perbuatan Melawan Hukum pada Pengadilan Negeri Bandung, atau segera rekan-rekan penggiat Lembaga Bantuan Hukum di seluruh wilayah Bandung pro aktif turun membantu masyarakat pencari keadilan tersebut.

Three Ways to Conduct FDI in Indonesia

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Knowing Joint Venture Companies in FDI ...