Sabtu, 14 November 2020

Kewajiban Hadir Pada Persidangan Pertama Bagi Para Pihak Di Pengadilan Agama

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya pada label Sudut Pandang Hukum telah dibahas perihal "Perbedaan Pilpres Di Amerika Dengan Indonesia", pada kesempatan ini platform Hukumindo.com akan membahas mengenai Kewajiban Hadir Pada Persidangan Pertama Bagi Penggugat Di Pengadilan Agama.

Selama penulis menjalankan profesi sebagai advokat praktik, dalam kasus-kasus perceraian seringkali timbul pertanyaan dari principal (pemberi kuasa) terkait dengan kewajiban untuk hadir pada sidang pertama ketika mengajukan gugatan di Pengadilan Agama. Bagi sebagian besar mereka, mungkin menjadi tanda tanya bahwa ketika seseorang sudah memberikan kuasa kepada seorang kuasa hukum, semua hal ihwal terkait perkaranya di Pengadilan sudah diwakilkan dan menjadi tanggung jawab pengacara, singkat kata mereka tahu nya terima beres saja. Akan tetapi kadang kala aturan hukum berkata lain.

Aturan Hukum

Ketentuan Pasal 82 Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Jo. Undang-undang Nomor: 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Jo. Undang-undang Nomor: 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, berbunyi sebagai berikut:[1]
"(1). Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha mendamaikan kedua pihak;

(2). Dalam sidang perdamaian tersebut, suami-isteri harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu;

(3). Apabila kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka Penggugat pada sidang perdamaian tersebut harus menghadap secara pribadi;

(4). Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan."

Wajib Hadir Secara Pribadi Pada Sidang Pertama 

Dari ketentuan di atas, dapat diartikan bahwa agenda sidang pertama pada sidang perkara perceraian di Pengadilan Agama adalah dengan agenda perdamaian. Kecuali dalam hal suami atau istri bertempat tinggal di luar negeri, maka pada agenda sidang pertama dimaksud adalah wajib hukumnya untuk hadir secara pribadi di depan sidang.

Jika penulis bandingkan dalam tataran praktik, sidang pembaca juga perlu lebih jeli, karena ketentuan ini juga mensyaratkan adanya surat panggilan yang sah dan patut kepada para pihak. Pemanggilan kepada Tergugat mesyaratkan sah dan patut, terkait kepatutan ini dilakukan maksimal 3 (tiga) kali pemanggilan. Hal ini berarti, tidak menutup kemungkinan bahwa pada sidang pertama dan kedua, Tergugat tidak hadir. Dengan demikian agenda sidang dimaksud untuk dilakukan perdamaian oleh majelis hakim pokok perkara tidak selalu dapat dilakukan pada sidang panggilan pertama. Artinya, setelah dilakukan pemanggilan, entah pertama, kedua ataupun panggilan ketiga, baru para pihak hadir (Penggugat dan Tergugat), maka dapatlah agenda perdamaian ini dilaksanakan.

Selanjutnya, dalam hal Penggugat dan Tergugat sudah hadir keduanya, maka hakim pokok perkara akan menanyakan kepada Para Pihak apakah masih mungkin dilakukan perdamaian? Dalam hal jawaban kedua belah pihak terjadi perdamaian, maka perkara akan dicabut. Dalam hal salah satu pihak atau kedua belah pihak menjawab bahwa perkara dilanjutkan atau tidak ada perdamaian, maka hakim pokok perkara akan memerintahkan para pihak untuk melakukan mediasi. Sidang kemudian selesai ditunda untuk dilanjutkan ke agenda berikutnya mendengar hasil mediasi.

Pada proses mediasi, hal yang sama juga akan ditanyakan oleh Mediator, apakah masih mungkin dilakukan perdamaian oleh para pihak. Hanya saja terdapat perbedaan di sini, bahwa yang menjadi pemeriksa adalah mediator, bukan hakim pokok perkara. Demikian informasi ini semoga bermanfaat bagi sidang pembaca yang budiman.

________________
Referensi:

1. Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Jo. Undang-undang Nomor: 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Jo. Undang-undang Nomor: 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Jumat, 13 November 2020

Larangan Menyita Milik Negara

(Dreamstime)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada label praktik hukum, sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Kedudukan Hukum Pemegang Sita Penyesuaian", dan pada kesempatan ini akan dibahas perihal Larangan Menyita Milik Negara.

Dalam salah satu Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2539 K/Pdt/1985, tanggal 30 Juli 1985, terdapat penegasan, antara lain:[1]
  1. Pada prinsipnya barang-barang milik Negara tidak dapat dikenakan sita jaminan atau sita eksekusi, atas alasan barang-barang milik negara dipakai dan diperuntukan melaksanakan tugas kenegaraan;
  2. Namun demikian, berdasarkan Pasal 66 ICW (Indische Comptabiliteitswet), memberi kemungkinan menyita barang-barang milik Negara atas izin Mahkamah Agung;
  3. Akan tetapi, kebolehan itu mesti memperhatikan Pasal 66 ICW bahwa terhadap barang-barang milik Negara tertentu baik karena sifatnya atau karena tujuannya menurut Undang-undang tidak boleh disita;
  4. Sehubungan dengan itu, apabila hendak dilakukan penyitaan terhadap barang-barang milik Negara, harus lebih dahulu diteliti apakah barang milik Negara tersebut termasuk barang yang menurut sifat dan tujuannya barang yang dapat disita atau tidak.
Penegasan larangan ini dinyatakan juga dalam Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II bahwa sita jaminan dan sita eksekusi terhadap barang-barang milik Negara dilarang kecuali izin dari Mahkamah Agung setelah mendengar Jaksa Agung. Penegasan larangan ini diambil dari ketentuan Pasal 65 dan 66 ICW (Indische Comptabiliteitswet).

Adapun landasan hukum larangan penyitaan milik Negara sebagaimana terlihat pada Putusan MA Nomor: 2539 K/Pdt/1985, larangan menyita barang-barang milik Negara menunjuk pada Undang-undang Perbendaharaan Negara Nomor: 9, Tahun 1968. Semula Undang-undang ini berawal dari ICW (Indische Comptabiliteitswet), terakhir dengan St. 1925 Nomor: 448 yang berisi ketentuan Pengaturan tentang Cara Pengawasan dan Pertanggungjawaban Keuangan RI.[2]

Larangan itu diatur pada Bagian 10 dengan judul Larangan Menyita Uang, Barang-barang Milik Negara, terdiri dari Pasal 65 dan 66, hanya dua Pasal, sehingga pengaturannya sangat singkat. Secara teknis yang termasuk uang, dan barang-barang milik Negara, bertitik-tolak dari ketentuan Pasal 2, yaitu segala asset atau kekayaan Negara yang masuk dan dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sedang uang atau kekayaan yang berada di luar tidak dibebankan kepada APBN, berada di luar jangkauan pengertian uang, atau barang milik Negara. Barang milik Negara yang seperti itu, selain dipergunakan untuk melaksanakan tugas kenegaraan, juga dikategorikan sebagai barang yang berada di luar perdagangan, sehingga terhadapnya tidak diperkenankan penyitaan.[3]
____________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 322.
2. Ibid., Hal.: 322-323.
3. Ibid., Hal.: 323.

Kamis, 12 November 2020

Kedudukan Hukum Pemegang Sita Penyesuaian

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada label Praktik Hukum, sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Tata Cara Pemberian Sita Penyesuaian", dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Kedudukan Hukum Pemegang Sita Penyesuaian.

Kedudukan hukum pemegang sita penyesuaian terhadap barang yang disita atau diagunkan kepada orang lain adalah sebagai berikut:[1]
  1. Berada setingkat di bawah pemegang sita atau agunan. Hal ini berarti pemegang sita atau agunan, berada pada tingkat pertama, dan pemegang sita penyesuaian berada di bawahnya;
  2. Pengambilan pemenuhan atas pembayaran tuntutan dari barang tersebut, diberikan prioritas utama kepada pemegang sita atau agunan, baru menyusul pemegang sita penyesuaian dengan acuan penerapan: a). Apabila hasil penjualan hanya mencukupi untuk melunasi tuntutan pemegang sita atau agunan, sepenuhnya jumlah itu menjadi hak pemegang sita atau agunan, tanpa mengurangi pembagian hasil penjualan secara berimbang dalam eksekusi serentak berdasarkan Pasal 202 HIR, Pasal 219 dan Pasal 220 RBg dan pemegang sita atau agunan tidak berkedudukan sebagai kreditor yang mempunyai hak privilege atas barang tersebut; b). Sekiranya hasil penjualan barang melebihi tuntutan pemegang sita atau agunan, maka sisa kelebihan itu menjadi hak pemegang sita penyesuaian;
  3. Selama sita atau agunan belum diangkat atau dicabut, kedudukannya tetap berstatus sebagai pemegang sita penyesuaian;
  4. Apabila sita jaminan atau agunan terlebih dahulu diangkat, posisi, hak dan kedudukan pemegang sita penyesuaian, dengan sendirinya menurut hukum berubah menjadi pemegang sita jaminan (CB).
Demikian ketentuan hukum mengenai kedudukan pemegang sita penyesuaian berhadapan dengan pemegang sita atau pemegang agunan terdahulu. Hak pemegang sita penyesuaian atas barang sita atau agunan, baru dapat berwujud menjadi sita jaminan, apabila sita atau agunan terdahulu itu diangkat atau dicabut.[2]

Sedangkan apabila barang itu dijual lelang, yang mempunyai hak prioritas pertama mendapat pelunasan adalah pemegang sita atau agunan terdahulu, dan pemegang sita penyesuaian hanya berhak atas sisanya (jika ada), dan dia tidak berhak dan mempunyai kedudukan memperoleh pembayaran berimbang (fond-fond gewijs) tanpa mengurangi kemungkinan penerapan Pasal 201 dan 202 HIR.[3] 

Adapun bunyi Pasal 201 HIR adalah sebagai berikut:[4]
"Jika pada suatu waktu bersama-sama diajukan dua permintaan atau lebih untuk pelaksanaan keputusan hakim yang dijatuhkan kepada seorang debitur, maka dengan satu berita acara disitalah sekian banyak barangnya, sehingga hakimnya cukup untuk mengganti jumlah uang dari semua keputusan biaya pelaksanaan keputusan itu."
Sedangkan bunyi Pasal 202 HIR adalah sebagaimana dikutip berikut ini:[5]
"Jika sesudah dilakukan suatu penyitaan, tetapi sebelum dijual barang yang disita itu, diterima lagi permintaan lain untuk melaksanakan keputusan yang dijatuhkan pada debitur itu, maka hasil penyitaan itu dapat dipergunakan juga untuk mengganti uang yang mesti dibayar menurut keputusan yang dimaksud dengan permintaan itu; jika perlu, ketua dapat memberi perintah untuk melanjutkan penyitaan atas sekian banyak barang yang belum disita, sampai cukup untuk mengganti jumlah uang yang harus dibayar menurut keputusan itu serta biaya untuk penyitaan lanjutan itu."
_________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 321-322.
2. Ibid. Hal.: 322.
3. Ibid. Hal.: 322.
4. Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R.);
5. Ibid.

Rabu, 11 November 2020

Perbedaan Pilpres Di Amerika Dengan Indonesia

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya dalam label 'Sudut Pandang Hukum', platform Hukumindo.com telah telah membahas mengenai artikel yang berjudul: "Bentuk Dan Cara Demonstrasi Yang Legal", dan pada kesempatan ini akan membahas perihal Perbedaan Mendasar Pilpres di Amerika Serikat Dengan di Indonesia.

Hingar Bingar Pilpres Amerika Serikat

Baru-baru ini publik di dunia maya disuguhkan pemberitaan soal kompetisi antara Donald Trump melawan Joe Biden dalam Pilpres di negeri Paman Sam. Joe Biden dipastikan melenggang ke Gedung Putih dengan 290 suara elektoral yang diraihnya sejauh ini di pilpres AS (pemilihan presiden Amerika Serikat), mengakhiri kepemimpinan 4 tahun Donald Trump. Kemenangan Joe Biden diberitakan oleh media-media ternama AS seperti CNN, NBC News, dan CBS News.[1]

Meskipun nun jauh di sana, soal ini cukup menarik juga di Indonesia karena kedua negara menganut sistem demokrasi. Bahkan Indonesia boleh dikatakan sebagai salah satu negara dengan populasi terbanyak yang menerapkan sistem demokrasi. Meskipun demikian, ternyata ada perbedaan mendasar dalam penerapan sistem demokrasi di Amerika Serikat dengan di Indonesia, khususnya dalam konteks Pemilihan Presiden. Apa perbedaan mendasarnya? Yuk kita simak berikut. 

Pilpres Di Amerika Serikat

Seorang calon presiden Amerika Serikat yang mendapatkan suara terbanyak dari masyarakat belum tentu memenangkan pemilihan presiden. Penyebabnya, presiden AS tidak dipilih secara langung oleh masyarakat, melainkan oleh lembaga yang dikenal dengan istilah electoral college atau lembaga pemilih.[2]

Jadi siapa yang sebenarnya dipilih oleh warga AS? Ketika warga AS datang ke tempat pemungutan suara, mereka sebenarnya memilih orang-orang yang bakal duduk dalam electoral collegeTugas utama anggota electoral college adalah memilih presiden dan wakil presiden. Mereka bekerja setiap empat tahun sekali, yakni beberapa pekan setelah pemungutan suara oleh masyarakat di negara bagian. Pada saat itulah mereka menjalankan tugas.[3] 

Anggota electoral college dicalonkan oleh partai politik di tingkat negara bagian. Mereka biasanya petinggi partai atau sosok yang berafiliasi dengan kandidat presiden dari partainya. Di tempat pemungutan suara, pemilih tidak hanya memberikan suara untuk calon presiden, tapi juga calon anggota electoral collegeDi surat suara, nama mereka biasanya muncul di bawah nama kandidat presiden. Namun ada juga negara bagian yang tidak mencetak nama calon anggota electoral college.[4] Hal ini berarti rakyat Amerika Serikat dalam pemungutan suara memilih wakil yang akan duduk dalam lembaga electoral college, dan rakyat atau pemilih hanya memberikan suara untuk calon presiden. Sedangkan yang akan memilih Presiden adalah para anggota electoral college. Dengan demikian, pemilihan Presiden yang dianut oleh Amerika Serikat adalah secara tidak langsung.

Pilpres Di Indonesia

Sejarah mencatat Pemilu dan Pilpres 2004 merupakan tonggak demokratisasi Indonesia pasca-Reformasi. Kala itu untuk pertama kalinya masyarakat Indonesia dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden, di samping memilih calon anggota legislatif.[5]

Sebelum 2004, pemilihan umum di Indonesia hanya untuk memilih wakil rakyat di DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Tradisi politik ini sudah berlangsung sejak pemilu yang pertama di tahun 1955. Sepanjang pemilu Orde Baru hingga 1999 pun rakyat tidak pernah mendapat kesempatan memilih langsung calon kepala negara mereka.[6]

Dengan berpedoman kepada Undang-Undang No.23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Komisi Pemilihan Umum (KPU) berhasil menyelenggarakan pilpres langsung pada pertengahan 2004. Pilpres pada Pemilu 2004 diselenggarakan sebanyak dua putaran dan menjadi bagian dari rangkaian sembilan tahap Pemilihan Umum Legislatif 2004.[7]

Tahun 2004 menjadi periode tersibuk bagi KPU. Menurut Ketua KPU 2004-2007, Ramlan Surbakti, Pemilu 2004 luar biasa. Kompas (15/10/2004) menuliskan bahwa dalam satu tahun KPU harus menyelenggarakan tiga kali pemilu: pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, pemilu presiden-wakil presiden putaran pertama, dan pemilu presiden-wakil presiden putaran kedua.[8] 

Dengan demikian perlu dipahami, Pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia baru dilakukan pada tahun 2004 dengan lima pasangan calon dalam dua putaran. Adapun Pemilihan secara langsung Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia harus dikembalikan pada konstitusi kita yaitu Pasal 6A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

Kesimpulan

Meskipun antara Amerika Serikat dengan Indonesia menerapkan sistem demokrasi, akan tetapi terdapat perbedaan mendasar dalam penerapannya, terutama dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Di Amerika Serikat, Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara tidak langsung melalui oleh wakil-wakil yang dipilih rakyat melalui lembaga bernama electoral college. Sedangkan di Indonesia sebaliknya, Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat, yang pasangan calonnya diajukan oleh Partai Politik dan/atau Koalisi Partai Politik. 
_____________________
Referensi:

1. "Hasil Pilpres AS: Raih 290 Suara, Joe Biden Akhiri Kepemimpinan Trump", kompas.com., Aditya Jaya Iswara, Diakses pada tanggal 10 November 2020, https://www.kompas.com/global/read/2020/11/08/000112370/hasil-pilpres-as-raih-290-suara-joe-biden-akhiri-kepemimpinan-trump.
2. "Pemilu Amerika: Apa yang dimaksud dengan electoral college?", bbc.com., 12 Agustus 2020, Diakses pada 10 November 2020, https://www.bbc.com/indonesia/dunia-53733139
3. Ibid.
4. Ibid.
5. "Sejarah Pemilu 2004: Pertama Kali Rakyat Memilih Langsung Presiden", tirto.id., Indira Ardanareswari - 5 Juli 2020, Diakses pada tanggal 10 November 2020, https://tirto.id/sejarah-pemilu-2004-pertama-kali-rakyat-memilih-langsung-presiden-dme7
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Ibid.

Selasa, 10 November 2020

Tata Cara Pemberian Sita Penyesuaian

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya dalam label praktik hukum platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Agunan Tidak Dapat Disita, Tapi Dapat Diterapkan Sita Penyesuaian" dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Tata Cara Pemberian Sita Penyesuaian.

Untuk menjelaskan tata cara pemberian sita penyesuaian, perlu diperhatikan Putusan MA Nomor: 1326 K/Sip/1981. Dikatakan, jika barang yang hendak disita-jaminankan telah disita dalam perkara lain, atau telah dijaminkan kepada orang lain atau telah disita eksekusi, PN hanya boleh memberi dan melakukan vergelijkende beslag dengan jalan mencatat dalam berita acara bahwa barang yang bersangkutan telah dan sedang berada di bawah sita jaminan atau diagunkan kepada pihak lain.[1]

Putusan sebagaimana dimaksud di atas memberi penjelasan tengtang dua hal, yaitu:[2]
  1. Pertama, memberi penjelasan mengenai pengertian vergelijkende beslag, yaitu berisi penegasan yang melarang penyitaan terhadap barang yang telah disita atau yang sedang diagunkan, dan sekaligus memberi penjelasan tindakan hukum yang dibenarkan melayani permohonan sita tersebut berupa sita penyesuaian atau vergelijkende beslag;
  2. Kedua, putusan itu memberi petunjuk tentang tata cara pelaksanaan pemberian sita penyesuaian, yaitu: a). Membuat catatan dalam berita acara sita; b). Isi catatan, berupa penjelasan tentang status barang yang hendak disita sedang berada di bawah sita (sita jaminan atau sita eksekusi) atau sedang diagunkan kepada pihak lain.  
Dapat dilihat, tata cara pemberian sita penyesuaian cukup sederhana. Pengadilan melalui Juru Sita, membuat catatan yang menerangkan barang yang bersangkutan sedang dibebani sita atau agunan kepada Pihak Lain. Catatan itu dituangkan dalam berita acara sita penyesuaian (process verbaal van vergelijkende beslag).[3]

Kemungkinan mengetahui status barang sedang berada di bawah Penyitaan atau agunan, dapat diperoleh dari berbagai sumber, yaitu:[4]
  1. Berdasarkan Pengetahuan Hakim atau Juru Sita sendiri yang bersumber dari berita acara sita yang ada di Pengadilan, atau;
  2. Dari keterangan Tergugat sendiri di dalam atau di luar Persidangan berdasarkan dokumen berita acara sita atau Perjanjian Kredit.
Oleh karena itu, jika ditemukan fakta tentang status barang yang sedang berada dalam penyitaan atau diagunkan, Permohonan yang dapat diajukan terhadapnya adalah sita penyesuaian, bukan bentuk sita yang lain. Dan dengan adanya pencatatan tentang hal itu dalam berita acara, secara formil dan resmi pemohon berkedudukan sebagai pemegang sita penyesuaian.[5]
________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 320.
2. Ibid. Hal.: 320-321.
3. Ibid. Hal.: 321.
4. Ibid. Hal.: 321.
5. Ibid. Hal.: 321.

Senin, 09 November 2020

Agunan Tidak Dapat Disita, Tapi Dapat Diterapkan Sita Penyesuaian

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Atas Barang Yang Telah Disita, Dapat Diletakkan Sita Penyesuaian", dan pada kesempatan ini akan dibahas perihal Agunan Tidak Dapat Disita, Tapi Dapat Diterapkan Sita Penyesuaian.

Jangkauan prinsip sita penyesuaian, tidak hanya terbatas pada larangan menyita barang yang disita pada waktu yang bersamaan atas permintaan pihak ketiga, tetapi meliputi juga terhadap barang agunan atau barang yang dijadikan jaminan utang. Larangan itu meliputi segala bentuk agunan, baik hipotek atas kapal atau pesawat terbang atau hak tanggungan atas tanah maupun gadai dan fidusia. Bahkan tidak terbatas pada bentuk agunan yang memiliki hak preferens (hak privilege) dan titel eksekutorial seperti hipotek, hak tanggungan, fidusia, dan gadai, tetapi juga pada bentuk agunan biasa. Misalnya, A mengagunkan tanah dan rumahnya sebagai jaminan kredit kepada bank berdasarkan perjanjian yang dibuat tanggal 1 Januari 2003. Pada bulan Maret 2003, B menggubat A dan meminta agar tanah dan rumah A diletakkan sita jaminan untuk menjamin pembayaran utangnya apabila putusan telah berkekuatan hukum tetap.[1]

Pada contoh di atas, Peradilan harus menegakkan prinsip sita penyesuaian. Pengadilan dilarang mengabulkan dan meletakkan sita di atas tanah dan rumah A tersebut, karena pada barang itu telah lebih dahulu melekat hak agunan bank di atasnya. Yang dapat dikabulkan dan diterapkan hanya sita penyesuaian atas alasan, di atas barang itu telah melekat lebih dahulu hak agunan kepada pihak lain. Demikian penegasan Putusan MA Nomor: 1829 K/Pdt/1992. Dalam kasus ini, pengadilan telah meletakkan sita jaminan di atas barang agunan kredit. Tindakan itu pada tingkat Kasasi dibatalkan MA dengan pertimbangan, bahwa praktik peradilan telah lama menerapkan azas vergelijkende beslag yang diatur Pasal 463 Rv sebagai ketentuan tata tertib beracara. Berdasarkan prinsip tersebut terhadap barang yang telah dijadikan agunan kredit tidak boleh diletakkan sita jaminan. Yang dapat diterapkan adalah sita penyesuaian yang menempatkan pemohon sita berada pada urutan berikutnya di bawah hak agunan yang dipegang kreditur.[2]

Memperhatikan penjelasan di atas, dapat dikemukakan patokan penerapan prinsip sita penyesuaian dihubungkan dengan pemintaan sita jaminan atau penyitaan pada umumnya terhadap barang jaminan kredit, yaitu:[3]
  • Pengadilan atau Hakim dilarang mengabulkan dan meletakkan sita jaminan terhadap barang yang diagunkan dan dijaminkan pada waktu yang bersamaan;
  • Permohonan sita terhadap barang yang sedang diagunkan harus ditolak, demi melindungi kepentingan pihak pemegang agunan;
  • Yang dapat diberikan Pengadilan atas Permintaan Sita tersebut, hanya sebatas sita penyesuaian atau vergelijkende beslag.
Dengan demikian menurut hukum, permintaan sita jaminan maupun sita pada umumnya, hanya dapat diletakkan di atas barang:[4]
  • Secara murni benar-benar bebas dari pembebanan dari segala bentuk penyitaan (beslag) maupun dari segala bentuk pengagunan;
  • Prinsip ini harus konsekuen ditegakkan penerapannya demi melindungi kepentingan Pemegang Sita atau pemegang hak agunan terdahulu.
Apabila terjadi kekeliruan atau kelalaian mengabulkan sita di atas barang yang diagunkan, misalnya dengan barang yang diikat dengan hak tanggungan, pasti terjadi tabrakan antara pemegang sita jaminan dengan pemegang hak tanggungan, dan tabrakan itu dapat menimbulkan penyesuaian yang rumit, karena masing-masing pihak mengatakan dirinya yang lebih unggul prioritasnya.[5]
________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 319.
2. Ibid. Hal.: 319.
3. Ibid. Hal.: 320.
4. Ibid. Hal.: 320.
5. Ibid. Hal.: 320.

Basic Requirements for Foreign Direct Investment in Indonesia

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Suspect Still Underage, Murder Case in ...