Rabu, 11 November 2020

Perbedaan Pilpres Di Amerika Dengan Indonesia

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya dalam label 'Sudut Pandang Hukum', platform Hukumindo.com telah telah membahas mengenai artikel yang berjudul: "Bentuk Dan Cara Demonstrasi Yang Legal", dan pada kesempatan ini akan membahas perihal Perbedaan Mendasar Pilpres di Amerika Serikat Dengan di Indonesia.

Hingar Bingar Pilpres Amerika Serikat

Baru-baru ini publik di dunia maya disuguhkan pemberitaan soal kompetisi antara Donald Trump melawan Joe Biden dalam Pilpres di negeri Paman Sam. Joe Biden dipastikan melenggang ke Gedung Putih dengan 290 suara elektoral yang diraihnya sejauh ini di pilpres AS (pemilihan presiden Amerika Serikat), mengakhiri kepemimpinan 4 tahun Donald Trump. Kemenangan Joe Biden diberitakan oleh media-media ternama AS seperti CNN, NBC News, dan CBS News.[1]

Meskipun nun jauh di sana, soal ini cukup menarik juga di Indonesia karena kedua negara menganut sistem demokrasi. Bahkan Indonesia boleh dikatakan sebagai salah satu negara dengan populasi terbanyak yang menerapkan sistem demokrasi. Meskipun demikian, ternyata ada perbedaan mendasar dalam penerapan sistem demokrasi di Amerika Serikat dengan di Indonesia, khususnya dalam konteks Pemilihan Presiden. Apa perbedaan mendasarnya? Yuk kita simak berikut. 

Pilpres Di Amerika Serikat

Seorang calon presiden Amerika Serikat yang mendapatkan suara terbanyak dari masyarakat belum tentu memenangkan pemilihan presiden. Penyebabnya, presiden AS tidak dipilih secara langung oleh masyarakat, melainkan oleh lembaga yang dikenal dengan istilah electoral college atau lembaga pemilih.[2]

Jadi siapa yang sebenarnya dipilih oleh warga AS? Ketika warga AS datang ke tempat pemungutan suara, mereka sebenarnya memilih orang-orang yang bakal duduk dalam electoral collegeTugas utama anggota electoral college adalah memilih presiden dan wakil presiden. Mereka bekerja setiap empat tahun sekali, yakni beberapa pekan setelah pemungutan suara oleh masyarakat di negara bagian. Pada saat itulah mereka menjalankan tugas.[3] 

Anggota electoral college dicalonkan oleh partai politik di tingkat negara bagian. Mereka biasanya petinggi partai atau sosok yang berafiliasi dengan kandidat presiden dari partainya. Di tempat pemungutan suara, pemilih tidak hanya memberikan suara untuk calon presiden, tapi juga calon anggota electoral collegeDi surat suara, nama mereka biasanya muncul di bawah nama kandidat presiden. Namun ada juga negara bagian yang tidak mencetak nama calon anggota electoral college.[4] Hal ini berarti rakyat Amerika Serikat dalam pemungutan suara memilih wakil yang akan duduk dalam lembaga electoral college, dan rakyat atau pemilih hanya memberikan suara untuk calon presiden. Sedangkan yang akan memilih Presiden adalah para anggota electoral college. Dengan demikian, pemilihan Presiden yang dianut oleh Amerika Serikat adalah secara tidak langsung.

Pilpres Di Indonesia

Sejarah mencatat Pemilu dan Pilpres 2004 merupakan tonggak demokratisasi Indonesia pasca-Reformasi. Kala itu untuk pertama kalinya masyarakat Indonesia dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden, di samping memilih calon anggota legislatif.[5]

Sebelum 2004, pemilihan umum di Indonesia hanya untuk memilih wakil rakyat di DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Tradisi politik ini sudah berlangsung sejak pemilu yang pertama di tahun 1955. Sepanjang pemilu Orde Baru hingga 1999 pun rakyat tidak pernah mendapat kesempatan memilih langsung calon kepala negara mereka.[6]

Dengan berpedoman kepada Undang-Undang No.23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Komisi Pemilihan Umum (KPU) berhasil menyelenggarakan pilpres langsung pada pertengahan 2004. Pilpres pada Pemilu 2004 diselenggarakan sebanyak dua putaran dan menjadi bagian dari rangkaian sembilan tahap Pemilihan Umum Legislatif 2004.[7]

Tahun 2004 menjadi periode tersibuk bagi KPU. Menurut Ketua KPU 2004-2007, Ramlan Surbakti, Pemilu 2004 luar biasa. Kompas (15/10/2004) menuliskan bahwa dalam satu tahun KPU harus menyelenggarakan tiga kali pemilu: pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, pemilu presiden-wakil presiden putaran pertama, dan pemilu presiden-wakil presiden putaran kedua.[8] 

Dengan demikian perlu dipahami, Pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia baru dilakukan pada tahun 2004 dengan lima pasangan calon dalam dua putaran. Adapun Pemilihan secara langsung Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia harus dikembalikan pada konstitusi kita yaitu Pasal 6A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

Kesimpulan

Meskipun antara Amerika Serikat dengan Indonesia menerapkan sistem demokrasi, akan tetapi terdapat perbedaan mendasar dalam penerapannya, terutama dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Di Amerika Serikat, Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara tidak langsung melalui oleh wakil-wakil yang dipilih rakyat melalui lembaga bernama electoral college. Sedangkan di Indonesia sebaliknya, Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat, yang pasangan calonnya diajukan oleh Partai Politik dan/atau Koalisi Partai Politik. 
_____________________
Referensi:

1. "Hasil Pilpres AS: Raih 290 Suara, Joe Biden Akhiri Kepemimpinan Trump", kompas.com., Aditya Jaya Iswara, Diakses pada tanggal 10 November 2020, https://www.kompas.com/global/read/2020/11/08/000112370/hasil-pilpres-as-raih-290-suara-joe-biden-akhiri-kepemimpinan-trump.
2. "Pemilu Amerika: Apa yang dimaksud dengan electoral college?", bbc.com., 12 Agustus 2020, Diakses pada 10 November 2020, https://www.bbc.com/indonesia/dunia-53733139
3. Ibid.
4. Ibid.
5. "Sejarah Pemilu 2004: Pertama Kali Rakyat Memilih Langsung Presiden", tirto.id., Indira Ardanareswari - 5 Juli 2020, Diakses pada tanggal 10 November 2020, https://tirto.id/sejarah-pemilu-2004-pertama-kali-rakyat-memilih-langsung-presiden-dme7
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Ibid.

Selasa, 10 November 2020

Tata Cara Pemberian Sita Penyesuaian

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya dalam label praktik hukum platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Agunan Tidak Dapat Disita, Tapi Dapat Diterapkan Sita Penyesuaian" dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Tata Cara Pemberian Sita Penyesuaian.

Untuk menjelaskan tata cara pemberian sita penyesuaian, perlu diperhatikan Putusan MA Nomor: 1326 K/Sip/1981. Dikatakan, jika barang yang hendak disita-jaminankan telah disita dalam perkara lain, atau telah dijaminkan kepada orang lain atau telah disita eksekusi, PN hanya boleh memberi dan melakukan vergelijkende beslag dengan jalan mencatat dalam berita acara bahwa barang yang bersangkutan telah dan sedang berada di bawah sita jaminan atau diagunkan kepada pihak lain.[1]

Putusan sebagaimana dimaksud di atas memberi penjelasan tengtang dua hal, yaitu:[2]
  1. Pertama, memberi penjelasan mengenai pengertian vergelijkende beslag, yaitu berisi penegasan yang melarang penyitaan terhadap barang yang telah disita atau yang sedang diagunkan, dan sekaligus memberi penjelasan tindakan hukum yang dibenarkan melayani permohonan sita tersebut berupa sita penyesuaian atau vergelijkende beslag;
  2. Kedua, putusan itu memberi petunjuk tentang tata cara pelaksanaan pemberian sita penyesuaian, yaitu: a). Membuat catatan dalam berita acara sita; b). Isi catatan, berupa penjelasan tentang status barang yang hendak disita sedang berada di bawah sita (sita jaminan atau sita eksekusi) atau sedang diagunkan kepada pihak lain.  
Dapat dilihat, tata cara pemberian sita penyesuaian cukup sederhana. Pengadilan melalui Juru Sita, membuat catatan yang menerangkan barang yang bersangkutan sedang dibebani sita atau agunan kepada Pihak Lain. Catatan itu dituangkan dalam berita acara sita penyesuaian (process verbaal van vergelijkende beslag).[3]

Kemungkinan mengetahui status barang sedang berada di bawah Penyitaan atau agunan, dapat diperoleh dari berbagai sumber, yaitu:[4]
  1. Berdasarkan Pengetahuan Hakim atau Juru Sita sendiri yang bersumber dari berita acara sita yang ada di Pengadilan, atau;
  2. Dari keterangan Tergugat sendiri di dalam atau di luar Persidangan berdasarkan dokumen berita acara sita atau Perjanjian Kredit.
Oleh karena itu, jika ditemukan fakta tentang status barang yang sedang berada dalam penyitaan atau diagunkan, Permohonan yang dapat diajukan terhadapnya adalah sita penyesuaian, bukan bentuk sita yang lain. Dan dengan adanya pencatatan tentang hal itu dalam berita acara, secara formil dan resmi pemohon berkedudukan sebagai pemegang sita penyesuaian.[5]
________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 320.
2. Ibid. Hal.: 320-321.
3. Ibid. Hal.: 321.
4. Ibid. Hal.: 321.
5. Ibid. Hal.: 321.

Senin, 09 November 2020

Agunan Tidak Dapat Disita, Tapi Dapat Diterapkan Sita Penyesuaian

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Atas Barang Yang Telah Disita, Dapat Diletakkan Sita Penyesuaian", dan pada kesempatan ini akan dibahas perihal Agunan Tidak Dapat Disita, Tapi Dapat Diterapkan Sita Penyesuaian.

Jangkauan prinsip sita penyesuaian, tidak hanya terbatas pada larangan menyita barang yang disita pada waktu yang bersamaan atas permintaan pihak ketiga, tetapi meliputi juga terhadap barang agunan atau barang yang dijadikan jaminan utang. Larangan itu meliputi segala bentuk agunan, baik hipotek atas kapal atau pesawat terbang atau hak tanggungan atas tanah maupun gadai dan fidusia. Bahkan tidak terbatas pada bentuk agunan yang memiliki hak preferens (hak privilege) dan titel eksekutorial seperti hipotek, hak tanggungan, fidusia, dan gadai, tetapi juga pada bentuk agunan biasa. Misalnya, A mengagunkan tanah dan rumahnya sebagai jaminan kredit kepada bank berdasarkan perjanjian yang dibuat tanggal 1 Januari 2003. Pada bulan Maret 2003, B menggubat A dan meminta agar tanah dan rumah A diletakkan sita jaminan untuk menjamin pembayaran utangnya apabila putusan telah berkekuatan hukum tetap.[1]

Pada contoh di atas, Peradilan harus menegakkan prinsip sita penyesuaian. Pengadilan dilarang mengabulkan dan meletakkan sita di atas tanah dan rumah A tersebut, karena pada barang itu telah lebih dahulu melekat hak agunan bank di atasnya. Yang dapat dikabulkan dan diterapkan hanya sita penyesuaian atas alasan, di atas barang itu telah melekat lebih dahulu hak agunan kepada pihak lain. Demikian penegasan Putusan MA Nomor: 1829 K/Pdt/1992. Dalam kasus ini, pengadilan telah meletakkan sita jaminan di atas barang agunan kredit. Tindakan itu pada tingkat Kasasi dibatalkan MA dengan pertimbangan, bahwa praktik peradilan telah lama menerapkan azas vergelijkende beslag yang diatur Pasal 463 Rv sebagai ketentuan tata tertib beracara. Berdasarkan prinsip tersebut terhadap barang yang telah dijadikan agunan kredit tidak boleh diletakkan sita jaminan. Yang dapat diterapkan adalah sita penyesuaian yang menempatkan pemohon sita berada pada urutan berikutnya di bawah hak agunan yang dipegang kreditur.[2]

Memperhatikan penjelasan di atas, dapat dikemukakan patokan penerapan prinsip sita penyesuaian dihubungkan dengan pemintaan sita jaminan atau penyitaan pada umumnya terhadap barang jaminan kredit, yaitu:[3]
  • Pengadilan atau Hakim dilarang mengabulkan dan meletakkan sita jaminan terhadap barang yang diagunkan dan dijaminkan pada waktu yang bersamaan;
  • Permohonan sita terhadap barang yang sedang diagunkan harus ditolak, demi melindungi kepentingan pihak pemegang agunan;
  • Yang dapat diberikan Pengadilan atas Permintaan Sita tersebut, hanya sebatas sita penyesuaian atau vergelijkende beslag.
Dengan demikian menurut hukum, permintaan sita jaminan maupun sita pada umumnya, hanya dapat diletakkan di atas barang:[4]
  • Secara murni benar-benar bebas dari pembebanan dari segala bentuk penyitaan (beslag) maupun dari segala bentuk pengagunan;
  • Prinsip ini harus konsekuen ditegakkan penerapannya demi melindungi kepentingan Pemegang Sita atau pemegang hak agunan terdahulu.
Apabila terjadi kekeliruan atau kelalaian mengabulkan sita di atas barang yang diagunkan, misalnya dengan barang yang diikat dengan hak tanggungan, pasti terjadi tabrakan antara pemegang sita jaminan dengan pemegang hak tanggungan, dan tabrakan itu dapat menimbulkan penyesuaian yang rumit, karena masing-masing pihak mengatakan dirinya yang lebih unggul prioritasnya.[5]
________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 319.
2. Ibid. Hal.: 319.
3. Ibid. Hal.: 320.
4. Ibid. Hal.: 320.
5. Ibid. Hal.: 320.

Jumat, 06 November 2020

Barang Yang Telah Disita, Dapat Diletakkan Sita Penyesuaian

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Pengertian Sita Penyesuaian", dan pada kesempatan ini akan dibahas perihal Barang yang Telah Disita, Dapat Diletakkan Sita Penyesuaian.

Sesuai dengan prinsip yang digariskan oleh Pasal 463 Rv, tidak dibenarkan meletakkan sita terhadap barang yang telah disita, tetapi yang harus diletakkan ialah sita penyesuaian (vergelijkende beslag). Kalau begitu, apabila atas permintaan Penggugat atau Kreditor telah diletakkan sita jaminan (conservatoir beslag), sita revindicatoir , sita eksekusi (executorial beslag) atau sita maritaal (maritaal beslag), maka:[1]
  • Pada waktu yang bersamaan, tidak dapat diminta dan dilaksanakan penyitaan terhadap barang itu atas permintaan Penggugat atau Kreditor lain, sesuai dengan azas bahwa pada waktu yang bersamaan hanya dapat diletakkan satu kali saja penyitaan terhadap barang yang sama;
  • Permintaan sita yang kedua dari Pihak Ketiga, harus ditolak atau tidak dapat diterima atas alasan pada barang yang bersangkutan telah diletakkan sita sebelumnya atas permintaan Penggugat atau Kreditor terdahulu;
  • Yang dapat dikabulkan kepada Pemohon yang belakangan hanya berbentuk Sita Penyesuaian (vergelijkende beslag).
Sebagai contoh, A menggugat B yang dibarengi dengan permintaan sita jaminan atas harta kekayaan B, dan permintaan itu dikabulkan dengan jalan meletakkan sita atas tanah dan rumah B. Beberapa saat kemudian C mengajukan gugatan kepada B dan meminta agar tanah dan rumah B diletakkan sita jaminan. Dalam kasus ini, apabila terbukti sita jaminan yang diminta A telah terdaftar dan diumumkan sebelum C mengajukan permintaan sita, permintaan sita yang diajukan C terhadap barang yang sama pada waktu yang bersamaan, ditegakkan penerapan prinsip Sita Penyesuaian. Dalam arti permintaan sita yang diajukan C, ditolak dan kepadanya hanya diberikan kedudukan dan kapasitas sebagai pemegang sita penyesuaian. Caranya mencatat kedudukan itu dalam berita acara sita yang menerangkan:[2]
  • Barang yang bersangkutan berada dalam keadaan tersita (dalam contoh ini atas permintaan Penggugat A sehubungan dengan perkara antara A dan B),
  • Berdasarkan hal itu, kepada Pemohon C hanya dapat diberikan kedudukan sebagai pemegang sita penyesuaian.
Asas ini bertujuan untuk melindungi kepentingan pemegang sita jaminan pertama (A). Karena dia yang lebih dahulu mengajukan permintaan, dan dikabulkan serta penyitaan sudah didaftarkan dan diumumkan lebih dahulu sebelum C mengajukan permintaan, cukup dasar alasan untuk melindunginya sebagai pemegang prioritas pertama, sedangkan pemohon belakangan hanya diberikan posisi berikutnya dengan ketentuan:[3]
  • Apabila sita pertama diangkat, pemegang sita penyesuaian naik peringkatnya menjadi pemegang sita pertama, atau
  • Jika barang sitaan dijual lelang, dan dari hasil penjualan terdapat sita setelah dilunasi pembayaran kepada pemegang sita pertama, maka sisa itu jatuh menjadi hak pemegang sita penyesuaian.
Prinsip dan penerapan sebagaimana dijelaskan di atas, ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1362 K/Sip/1982. Menurut putusan ini, jika benar atas barang-barang dalam perkara ini telah diletakkan sita jaminan, maka dalam perkara lain yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, yang dapat dimohonkan hanyalah sita penyesuaian (vergelijkende beslag) berdasarkan Pasal 463 Rv.[4]

Memperhatikan penjelasan di atas, sangat keliru tindakan Pengadilan yang memperkenankan dan mengabulkan permintaan sita jaminan atau sita eksekusi terhadap barang yang telah disita lebih dahulu. Kekeliruan itu sering menimbulkan kericuhan pelaksanaan eksekusi, apabila pada waktu yang bersamaan muncul dua permintaan atas objek barang yang sama berdasarkan dua putusan pengadilan yang berbeda. Masing-masing Pemohon eksekusi menganggap dirinya paling berhak atas barang sitaan. Yang paling fatal, apabila perkara yang kedua lebih dahulu memperoleh kekuatan hukum tetap, sehingga dapat lebih dahulu meminta eksekusi dari perkara yang pertama, meskipun penyitaannya lebih dahulu dari yang kedua.[5]
___________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 317.
2. Ibid. Hal.: 317-318.
3. Ibid. Hal.: 318 
4. Ibid. Hal.: 318.
5. Ibid. Hal.: 318-319.

Kamis, 05 November 2020

Pengertian Sita Penyesuaian

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Dilarang Memindahkan Atau Membebani Barang Sitaan", dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Pengertian Sita Penyesuaian.

Sita penyesuaian atau dalam bahasa Belanda disebut dengan Vergelijkende Beslag, tidak diatur dalam HIR maupun RBg, akan tetapi diatur dalam Rv. Pasal ini mengatur prinsip saisie sur saisie ne vaut, yaitu:[1]
  1. Sita jaminan atau sita eksekusi atau sita pada umumnya, hanya boleh diletakkan satu kali atau suatu barang yang sama pada saat yang bersamaan;
  2. Oleh karena itu, apabila Pihak Ketiga meminta sita diletakkan atas suatu barang debitur atau Tergugat yang telah diletakkan sita sebelumnya, atas permintaan kreditur atau Penggugat, maka: a). Permintaan sita tersebut (yang belakangan) harus dinyatakan tidak dapat diterima atau ditolak; b). Sebagai gantinya, hanya dapat diletakkan sita persamaan, yang dinyatakan dan dicatat dalam berita sita yang menjelaskan, oleh karena atas barang yang diminta sita telah lebih dahulu disita atas permintaan orang lain, maka yang dapat dikabulkan adalah Sita Penyesuaian.
Meskipun HIR dan RBg tidak mengatur vergelijkde beslag, asas ini telah diakomodasi dalam praktik peradilan berdasarkan process doelmatigheid. Demi kelancaran dan kepastian penegakkan hukum mengenai penyitaan, Pasal 463 Rv dianggap perlu dijadikkan prinsip agar tidak terjadi penyitaan yang tumpang tindih atas barang debitur yang sama pada waktu yang bersamaan.[2]

Pengambilan prinsip sita persamaan dalam praktik, antara lain ditegaskan dalam Putusan MA Nomor: 1829 K/Pdt/1992 yang menegaskan praktik peradilan sudah lama mengambil asas vergelijkde beslag yang diatur dalam Pasal 463 Rv sebagai prinsip atau sistem beracara, berdasarkan ajaran process doelmatigheid.[3]

Dengan demikian, demi terciptanya kepastian perlindungan kepada Penggugat yang bertindak meminta pengajuan sita, hakim dan juru sita seharusnya dengan tegas menerapkan prinsip di atas tersebut. Mengenai terjemahan vergelijkde beslag, menurut Marianne Termorshuizen tidak berbeda dengan keterangan ahli M. Yahya Harahap, S.H. dalam bukunya yang berjudul: "Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata", yaitu sita persamaan atau perbandingan, atau sita penyesuaian.[4]
____________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 316.
2. Ibid. Hal.: 316.
3. Ibid. Hal.: 316-317. 
4. Ibid. Hal.: 317.

Rabu, 04 November 2020

Dilarang Memindahkan Atau Membebani Barang Sitaan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Masih dalam label praktik hukum, sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Kekuatan Mengikat Sita Sejak Diumumkan", selanjutnya dalam artikel ini akan membahas Dilarang Memindahkan Atau Membebani Barang Sitaan.

Jangkauan kekuatan mengikat sita jaminan yang telah diumumkan secara sah oleh Juru Sita dijelaskan pada Pasal 199 ayat (1), dan Pasal 200 HIR (Pasal 214 ayat (1) dan Pasal 215 RBg). Berdasarkan ketentuan tersebut, kekuatan mengikat sita jaminan meliputi:[1]
  1. Para Pihak yang berperkara, dan
  2. Juga menjangkau pihak lain (Pihak Ketiga) yang tidak ikut sebagai pihak dalam perkara.
Meskipun penyitaan menjangkau pihak ketiga, hak pihak ketiga untuk mengajukan derden verzet atas penyitaan tidaklah hilang berdasarkan Pasal 195 ayat (6) HIR, apabila barang yang disita adalah miliknya. Oleh karena itu, jangan sampai keliru memahami kekuatan mengikat sita kepada pihak ketiga, yaitu bukan untuk melenyapkan hak pihak ketiga mengajukan perlawanan terhadap sita yang dilakukan kepada hak miliknya. Jangkauan kekuatan mengikat sita yang diatur dalam Pasal 199 ayat (1) HIR:[2]
  • Tidak melenyapkan hak pihak ketiga mempertahankan haknya terhadap barang sitaan melalui derden verzet berdasarkan Pasal 195 ayat (6) HIR;
  • Tetapi hanya meliputi larangan kepada pihak ketiga untuk mengadakan transaksi yang bersifat pemindahan hak atau pembebanan atas objek barang yang disita.
Sehubungan dengan itu, bertitik tolak dari ketentuan Pasal 199 ayat (1) HIR, terdapat beberapa larangan yang tidak boleh dilakukan terhadap objek barang yang disita, yaitu:[3]
  1. Dilarang memindahkan, Membebani, atau Menyewakan Barang Sitaan, terhitung sejak pemberitahuan atau pengumuman barang yang disita pada kantor pendaftaran yang ditentukan untuk itu, hukum melarang untuk: a). Memindahkan barang sita kepada Pihak orang lain; b). Membebani barang itu kepada orang lain; c). Menyewakan barang sitaan kepada orang lain.
  2. Akibat Hukum atas Pelanggaran Larangan, Transaksi Batal Demi Hukum, menurut Pasal 199 ayat (2) HIR, setiap Perjanjian transaksi pemindahan, pembebanan atau penyewaan barang yang disita, dianggap merupakan: a). Pelanggaran atas larangan yang digariskan Pasal 199 ayat (1) HIR; b). Oleh karena itu, perjanjian transaksi dinyatakan batal demi hukum (null and void). Dapat dilihat, penyitaan yang sudah diumumkan mengikat kepada Pihak Ketiga. Pada dasarnya pihak ketiga yang mengadakan transaksi jual-beli atau bentuk lain dengan Tersita atas barang yang disita, tidak dapat mempergunakan alasan itikad baik (good faith).
  3. Pihak Ketiga Tidak Dapat Mempergunakan Upaya Derden Verzet untuk Mempertahankan Kepemilikan atas Perolehan Barang yang Disita, penegasan ini diatur dalam Pasal 199 ayat (2) HIR. Setiap perjanjian transaksi yang melanggar larangan yang digariskan Pasal 199 ayat (1) HIR, tidak dapat dijadikan dalih atau dasar alasan mengajukan derden verzet atas sita eksekusi atau atas eksekusi barang sitaan.
  4. Pelanggaran Terhadap Pasal 199 ayat (1) HIR Dapat Dipidana Berdasarkan Pasal 231 KUHP, akibat yang timbul atas pelanggaran Pasal 199 ayat (1) HIR, bukan hanya dari segi Perdata saja, yaitu transaksi tersebut batal demi hukum, tetapi juga dari segi pidana. Dari segi Pidana, tindakan itu dianggap melanggar delik Pasal 231 KUHP. Unsurnya: a). Barang siapa dengan sengaja melepaskan barang yang disita, atau melepaskan dari simpanan, atau menyembunyikan barang sitaan, dan; b). Dia mengetahui barang itu dilepaskan dari sitaan; c). Perbuatan itu diancam Pidana Penjara maksimal empat tahun. Bahkan menurut Pasal 231 ayat (3) KUHP, orang yang menyimpan yang dengan sengaja membiarkan perbuatan itu atau membantu orang yang melakukan kejahatan itu, diancam dengan penjara maksimal lima tahun.
___________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 313.
2. Ibid. Hal.: 313-314.
3. Ibid. Hal.: 314-316.

Selasa, 03 November 2020

Bentuk Dan Cara Demonstrasi Yang Legal

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada label Sudut Pandang Hukum, sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Inisiator Omnibus Law Cipta (Lapangan) Kerja", dan pada kesempatan ini akan dibahas tentang  Bentuk dan Cara Demonstrasi yang Legal.

Baru-baru ini kita sering disuguhkan berita aksi-aksi demonstrasi terkait dengan disahkannya Undang-undang Cipta Kerja, tidak sering diantaranya berakhir dengan kerusuhan. Tentu saja selain bertentangan dengan hukum, secara akal sehat tindakan demikian adalah kontra produktif. Artikel ini bermaksud memberikan semacam informasi hukum mengenai bentuk dan tata cara menyampaikan pendapat di muka umum yang sah. 

Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum Adalah Hak Asasi Manusia

Pada zaman pemerintahan otoriter Orde Baru, menyampaikan pendapat di muka umum adalah hal yang tabu. Kegiatan-kegiatan yang mengarah dan bertentangan dengan arah rezim akan langsung diberangus dengan cara-cara 'senyap'. Kebebasan berpendapat hampir sebuah hal yang tidak mungkin dan sangat membahayakan jiwa. Baru setelah reformasi dan rezim Soeharto jatuh, keran-keran mengemukakan pendapat terbuka lebar.

Salah satu buah reformasi yang berkaitan dengan kebebasan berpendapat adalah dimasukkannya kebebasan berpendapat sebagai salah satu hak asasi manusia. Langsung dijamin oleh konstitusi! Pasal 28 Undang Undang Dasar 1945 yang berbunyi: 
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang."
Adapun undang-undang organik dari Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana dimaksud di atas adalah Undang-undang Nomor: 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.

Bentuk Dan Cara Demonstrasi Yang Legal

Bagi para pihak yang berkepentingan dengan menyampaikan pendapat di muka umum, baru-baru ini seperti halnya organisasi pekerja, mahasiswa, pelajar dan pihak-pihak lainnya, menjadi penting mematuhi undang-undang agar penyampaian pendapat di muka umum/demonstrasi sejalan dengan undang-undang, atau dengan kata lain sesuai dengan hukum yang berlaku.

Undang-undang Nomor: 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum telah mengatur mengenai bentuk-bentuk dan tata cara menyampaikan pendapat di muka umum. Adapun bentuk-bentuk menyampaikan pendapat di muka umum sebagaimana diatur Pasal 9 ayat (1) undang-undang dimaksud adalah:
  1. Unjuk rasa atau demonstrasi;
  2. Pawai;
  3. Rapat umum; dan atau
  4. Mimbar bebas.
Adapun yang dimaksud dengan "unjuk rasa" adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum. "Pawai" adalah cara penyampaian pendapat dengan arak-arakan di jalan umum. "Rapat umum" adalah pertemuan terbuka yang dilakukan untuk menyampaikan pendapat dengan tema tertentu. Dan yang dimaksud dengan "Mimbar Bebas" adalah kegiatan penyampaian pendapat di muka umum yang dilakukan secara bebas dan terbuka tanpa tema tertentu.

Adapun tata cara menyampaikan pendapat di muka umum diatur pada Pasal 10 Undang-undang Nomor: 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, yang isinya adalah sebagaimana dikutip berikut:
"(1). Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri;

(2). Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin, atau penanggung jawab kelompok;

(3).  Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat.

(4). Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan."

Adapun tata cara kemudian yang harus dilakukan adalah mengacu pada ketentuan Pasal 11 Undang-undang Nomor: 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, yang isinya adalah sebagaimana dikutip berikut:

"Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) memuat:

  1. maksud dan tujuan;
  2. tempat, lokasi, dan rute;
  3. waktu dan lama;
  4. bentuk;
  5. penanggung jawab;
  6. nama dan alamat organisasi, kelompok atau perorangan;
  7. alat peraga yang dipergunakan; dan atau
  8. jumlah peserta."
Selain itu, perlu diperhatikan juga mengenai ketentuan Pasal 12 Undang-undang Nomor: 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, yang isinya adalah sebagaimana dikutip berikut:
  1. "Penanggung jawab kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 9, dan Pasal 11 wajib bertanggung jawab agar kegiatan tersebut terlaksana secara aman, tertib dan damai.
  2. Setiap sampai 100 (seratus) orang pelaku atau peserta unjuk rasa atau demonstrasi dan pawai harus ada seorang sampai dengan 5 (lima) orang penanggung jawab".
Penulis mengucapkan selamat menyampaikan pendapat di muka umum bagi pembaca yang budiman. Sampaikan pendapat anda sesuai dengan kaidah-kaidah hukum.
________________
Referensi:

1. Undang-undang Dasar 1945
2. Undang-undang Nomor: 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum

Senin, 02 November 2020

Kekuatan Mengikat Sita Sejak Diumumkan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Penjagaan Sita Tidak Boleh Diberikan Kepaa Penggugat", dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Kekuatan Mengikat Sita Sejak Diumumkan.

Pengumuman berita acara sita merupakan syarat formil untuk mendukung keabsahan dan kekuatan mengikat sita kepada Pihak Ketiga. Selama belum diumumkan, keabsahan dan kekuatan formilnya baru mengikat kepada Para Pihak yang bersengketa, belum mengikat kepada Pihak Ketiga. Berarti selama penyitaan belum diumumkan, Pihak Ketiga yang melakukan transaksi atas barang itu, dapat dilindungi sebagai pembeli atau pemegang jaminan maupun penyewa yang beritikad baik.[1]

Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 199 ayat (1) HIR. Terhitung sejak hari pengumuman atau pemberitahuan penyitaan, tersita dilarang memindahkan, menggunakan, atau menyewakannya kepada Pihak Ketiga. Setiap perjanjian yang bertentangan dengan larangan itu, tidak dapat dipergunakan Pihak Ketiga sebagai dasar mengajukan upaya derden verzet. Sedemikian rupa pentingnya arti pendaftaran dan pengumuman penyitaan tersebut. Apabila Juru Sita lalai mendaftarkannya, penyitaan hanya mengikat kepada para pihak yang berperkara saja, tetapi tidak mengikat kepada Pihak Ketiga, sehingga Pihak Ketiga yang beritikad baik memperoleh barang itu dari Tersita, harus dilindungi. Akan tetapi, meskipun makna pendaftaran dan pengumuman sita sedemikian rupa pentingnya untuk melindungi kepentingan Penggugat (Pemohon Sita), dalam praktik sering hakim atau Juru Sita mengabaikan hal itu. Memperhatikan pengabaian atau kelalaian itu, MA melalui SEMA Nomor: 5 Tahun 1975 mengingatkan semua Jajaran Pengadilan, agar setiap penyitaan didaftarkan atau dicatatkan sesuai ketentuan Pasal 198 HIR/Pasal 214 RBg dengan cara menyanmpaikan salinan berita acara kepada Kantor Pendaftaran Tanah atau Kantor Pejabat yang berwenang untuk itu[2]

Adapun langkah-langkah yang ditempuh untuk merealisasikan pengumuman penyitaan berdasarkan Pasal 198 HIR, Pasal 214 RBg, adalah sebagai berikut:[3]
  1. Membuat salinan Berita Acara Sita, Juru Sita membuat salinan berita acara. Tindakan tersebut merupakan langkah pertama yang mesti dilakukan Juru Sita, apabila menurut ketentuan Undang-undang, objek barang yang disita didaftarkan pada kantor atau pejabat tertentu. Misalnya tanah berdasarkan PP Nomor: 10 tahun 1961 sebagaimana diubah dengan PP Nomor: 24 Tahun 1997, didaftarkan di Kantor Pendaftaran Tanah (aka BPN), dan Kapal di Kantor Syahbandar.
  2. Mendaftarkan Salinan Berita Acara, juru sita mendaftarkan salinan berita acara sita di Kantor Pendaftaran yang tersedia untuk itu menurut Undang-undang. Kalau barang yang disita adalah tanah, salinan berita acara didaftarkan di Kantor Pendaftaran Tanah, dan kalau Kapal di Kantor Syahbandar, serta kalau barang jaminan fidusia didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia (KEMENKUMHAM).
  3. Menyebut Jam, Hari, Bulan, dan Tahun Pendaftaran, pendaftaran salinan berita acara menyebut jam, hari, bulan dan tahun pendaftaran. Terhitung sejak itu, penyitaan sah dan berkekuatan mengikat kepada Pihak Ketiga. Kepada Pihak Tersita dan Pihak Ketiga berlaku sepenuhnya kekuatan Pasal 199 HIR, berupa larangan memindahkan, membebani, atau menyewakan barang sitaan itu.
  4. Juru Sita Memerintahkan Pejabat Pendaftaran Melakukan Pengumuman Sita, mengenai perintah Pengumuman sita diatur dalam Pasal 198 ayat (1) dan ayat (2) HIR. Sehubungan dengan itu, perintah pengumuman sita yang mesti disampaikan Juru Sita, adalah: a). Perintah untuk mengumumkan Pendaftaran Berita Acara Sita disampaikan juru sita kepada Pejabat Kantor tempat pendaftaran dilakukan. b). Apabila pendaftaran itu disampaikan kepada Kantor Kepala Desa, maka perintah untuk mengumumkan penyitaan disampaikan Juru Sita kepada Kepala Desa. Cara pengumuman tidak ditentukan secara rinci. Namun paling tidak, perlu diperhatikan Pokok pengumuman, yaitu: Dibuat dalam bentuk tertulis, menyebut nomor dan tanggal penetapan sita, identitas pemohon sita dan dalam perkara apa, Juru Sita melaksanakan sita, dan pengumuman menurut kebiasaan setempat bisa ditempelkan di tempat yang sering dikunjungi orang. 
  5. Tujuan Pengumuman Sita, tujuan utama Pengumuman Sita, agar diketahui oleh umum atau Pihak Ketiga. Dengan pengumuman itu secara formil telah terpenuhi asas Publisitas atas Sita tersebut.
___________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.:  311.
2. Ibid. Hal.:  311.
3. Ibid. Hal.:  311-313.

Knowing Joint Venture Companies in FDI Indonesia

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Basic Requirements for Foreign Direct I...