Sabtu, 10 Oktober 2020

Kata Mutiara Hukum Terpilih IV (Selected Law Quotes IV)

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah mengembangkan "Kata Mutiara Hukum" sampai dengan tiga bagian, yaitu: "Kata Mutiara Hukum Terpilih I (Selected Law Quotes I)", kemudian "Kata Mutiara Hukum Terpilih II (Selected Law Quotes II)" dan "Kata Mutiara Hukum Terpilih III (Selected Law Quotes III)". Dan pada kesempatan ini akan disajikan ke sidang pembaca yang budiman, yaitu Kata Mutiara Hukum Terpilih IV (Selected Law Quotes IV). Berikut kata mutiara dimaksud.

"Orang baik tidak memerlukan hukum untuk memerintahkan mereka agar bertindak penuh tanggung jawab, sementara orang jahat akan selalu menemukan celah di sekitar Hukum."

Plato (428 SM-348 SM).

"Keadilan tidak ada kaitannya dengan apa yang terjadi di dalam ruang sidang; keadilan adalah apa yang keluar dari ruang sidang itu."

Clarence Darrow (1857 - 1938).

"Ketika fakta memihak Anda, berdebatlah dengan fakta. Ketika Hukum ada di pihak Anda, bertahanlah dengan Hukum. Ketika Anda tak punya dua-duanya, berteriaklah."

Al Gore.

"Ketidakadilan di manapun adalah ancaman bagi keadilan di manapun."

Martin Luther King, Jr.

"Kebohongan sanggup berlari cepat, sedangkan kebenaran hanya bisa berlari maraton. Namun di Pengadilan, kebenaran itu akan memenangkan maraton."

Michael Jackson (1958 - 2009).

"Hukum bernilai bukan karena itu adalah Hukum, melainkan karena ada kebaikan di dalamnya."

Henry Ward Beecher.

"Hukum adalah alat rekayasa Sosial."

Roscoe Pound.

"Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman."

Blaise Pascal.

"Hukum untuk manusia, bukan Manusia untuk Hukum."

Satjipto Rahardjo.

"Ahli Hukum, jurist, kebanyakan sangat legalistis, sangat memegang kepada hukum-hukum yang prevaleren, sangat memegang kepada hukum-hukum yang ada, sehingga jikalau diajak revolusi--revolusi yang berarti melemparkan hukum yang ada, a revolution rejects yesterday...amat sulitlah yang demikian itu."

Soekarno (dengan mengutip Tokoh Liebknecht, dalam Kongres I Persahi).

"Compromise is the best and cheapest lawyer." Artinya: Kompromi adalah pengacara terbaik dan termurah.

Stevenson.

"In Law, nothing is certain but the expense." Artinya: Dalam dunia hukum, tidak ada yang pasti kecuali biaya-biaya yang harus dikeluarkan.

Butler.

"I was made, by the law, a criminal, not because of what I had done, but because of what I stood for, because of what I thought, because of my conscience." Artinya: Saya dicap sebagai seorang penjahat oleh Hukum, bukan karena apa yang telah Saya lakukan, tetapi karena pendirian Saya, karena pemikiran Saya, karena hati nurani yang Saya miliki.

Nelson Mandela.

"No client ever had enough money to bribe my conscience or to stop it's utterance against wrong, and oppression My conscience is my own--my creator--not man's. I shall never sink the rights of mankind to the malice, wrong, or avarice of another's wishes, though those wishes come to me in the relation of client and attorney." Artinya: Tidak ada klien yang punya cukup uang untuk menyuap hati nurani saya atau menghentikan ucapan saya melawan yang salah, dan ketertindasan hati nurani saya adalah karena saya--penciptanya adalah saya sendiri--bukan orang lain. Saya tidak akan pernah menenggelamkan hak-hak manusia pada kejahatan, kesalahan, atau keserakahan keinginan orang lain, meskipun keinginan itu datang kepada saya dalam hubungan klien dan pengacara.

Abraham Lincoln.

"When injustice becomes law, resistance becomes duty." Artinya: Ketika ketidakadilan menjadi Undang-undang, perlawanan menjadi sebuah kewajiban.

Thomas Jefferson.

"Keadilan jadi barang sukar, ketika Hukum hanya tegak pada yang bayar."

Najwa Shihab.
_______________
Referensi: Dikutip dari berbagai sumber.

Jumat, 09 Oktober 2020

Dasar Hukum Surat Gugatan Wajib Bermeterai

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya dalam label 'Sudut Pandang Hukum', platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Hukumnya Mengolok-olok Donald Trump Kena Covid-19", dan pada kesempatan ini akan dibahas terkait Dasar Hukum Surat Gugatan Wajib Bermeterai.

Baru-baru ini penulis yang berprofesi sebagai advokat praktik mempunyai pengalaman yang tidak begitu ideal. Dalam suatu waktu, penulis ditegur oleh salah satu Ketua Majelis Hakim perkara perdata di suatu Pengadilan Negeri di Jakarta agar surat gugatan penulis dibubuhi meterai. Hal ini tentu menambah ketelitian penulis untuk ke depannya dalam menjalankan profesi ini. Pada kesempatan dalam artikel ini, penulis akan membahas mengenai dasar hukum bea meterai dimaksud.

HIR, RBg dan Rv Tidak Mengatur Mengenai Bea Meterai

Platform Hukumindo.com telah membahas mengenai syarat-syarat formil sebuah surat gugatan, di antaranya pada artikel berjudul: "Pemberian Tanggal Gugatan". Kemudian juga pada artikel yang berjudul: "Identitas Para Pihak Dalam Gugatan". Ada juga artikel yang berjudul: "Formulasi Surat Gugatan". Pada intinya, terdapat syarat-syarat formil dalam suatu surat gugatan yang harus dipenuhi, dalam hal salah satunya atau beberapa di antaranya tidak terpenuhi, mengakibatkan surat gugatan cacat secara formil. Adapun secara inti, terdapat 7 (tujuh) syarat formil yang harus ada, yaitu:[1]
  1. Ditujukan (Dialamatkan) Kepada PN Sesuai dengan Kompetensi Relatif;
  2. Diberi Tanggal;
  3. Ditandatangani Penggugat atau Kuasa;
  4. Identitas Para Pihak;
  5. Fundamentum Petendi;
  6. Petitum Gugatan; dan
  7. Perumusan Gugatan Asessor (Accesoir).
Jika dilakukan penelitian lebih lanjut tidak ditemukan ketentuan di dalam HIR, RBg maupun Rv terkait dengan Bea Meterai dalam suatu surat gugatan. Ketentuan undang-undang mengenai bea meterai diatur tersendiri di luar ketiga ketentuan hukum acara sebagaimana dimaksud di atas. Ia diatur dalam Undang-undang Nomor: 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai.[2]

Pengertian Meterai, Bea Meterai Dan Fungsi Meterai

Pada Undang-undang Nomor: 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai tidak ditemukan mengenai pengertian "meterai". Penulis harus mencari rujukan lain terkait dengan hal ini ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, KBBI mengartikan "meterai" sebagai: "Cap tanda berupa gambar yang tercantum pada kertas atau terukir (terpateri dan sebagainya) pada kayu, besi, dan sebagainya; cap; tera; segel".[3] Kita sederhanakan mengenai pengertian meterai sebagai cap atau segel. 

Sedangkan yang dimaksud dengan bea meterai menurut id.wikipedia.org adalah: "Bea meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang bersifat perdata dan dokumen untuk digunakan di pengadilan. Nilai bea meterai yang berlaku saat ini Rp. 3.000,00 dan Rp. 6.000,00 yang disesuaikan dengan nilai dokumen dan penggunaan dokumen".[4] 

Mengutip dari laman DJP, bea meterai merupakan pajak atas dokumen yang terutang sejak saat dokumen tersebut ditandatangani oleh pihak-pihak yang berkepentingan, atau diserahkan kepada pihak lain jika dokumen itu hanya dibuat oleh satu pihak.[5] Dengan kata lain, bea meterai adalah sejumlah pajak yang dikenakan terkait dengan cap atau segel resmi dari sebuah negara.

Sedangkan, yang dimaksud fungsi materai adalah pajak dokumen yang dibebankan oleh negara untuk dokumen tertentu. Jadi pada dasarnya, bea meterai adalah pajak atau objek pemasukan kas negara yang dihimpun dari dana masyarakat yang dikenakan terhadap dokumen tertentu.[6] Artinya, fungsi meterai adalah kutipan negara yang berbentuk pajak yang dibebankan pada dokumen tertentu.

Ketentuan Hukum Surat Gugatan Wajib Bermeterai

Pasal 1 ayat (1) huruf "a" Undang-undang Nomor: 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai, berbunyi sebagai berikut: "Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan/atau pihak-pihak yang berkepentingan". Dengan demikian, jika dikaitkan dengan suatu surat gugatan, maka termasuklah sebagai "dokumen" sebagaimana dimaksud pada ketentuan itu.

Pada Bab II dengan titel "Objek, Tarif Dan Yang Terhutang Bea Meterai", khususnya Pasal 2 angka (1) huruf "a" Undang-undang Nomor: 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai berbunyi sebagai berikut: "(1) Dikenakan Bea Meterai atas dokumen yang berbentuk: a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata..." Dengan kata lain, Surat Gugatan adalah termasuk surat lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor: 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan mengenai perbuatan yang bersifat perdata.

Besaran Tarif Bea Meterai Pada Surat Gugatan

Pasal 3 Undang-undang Nomor: 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai berbunyi sebagai berikut: "Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan besarnya tarif Bea Meterai dan besarnya batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Materai, dapat ditiadakan, diturunkan, dinaikkan setinggi-tingginya enam kali atas dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2". 

Sepengalaman penulis dalam berpraktik sebagai advokat, sampai saat artikel ini diposting, bea meterai yang digunakan dalam sebuah surat gugatan rata-rata adalah Rp. 6.000,- (enam ribu Rupiah). Dan meterai yang digunakan adalah meterai tempel. Selain itu ke depannya, mulai tahun 2021, Pemerintah akan menaikkan bea meterai menjadi sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu Rupiah). 

Apa akibatnya jika tidak atau kurang dalam membayar bea meterai? Hal dimaksud diatur dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor: 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai yang bunyinya sebagai berikut: "(1). Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda administrasi sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar; (2). Pemegang dokumen atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)harus melunasi Bea Meterai yang terhutang berikut dendanya dengan cara pemeteraian-kemudian". 

Ketentuan Khusus Bagi Hakim, Panitera, Juru Sita Terkait Bea Meterai

Pada undang-undang tersebut, terdapat ketentuan khusus bagi Hakim, Panitera, dan Juru Sita di Pengadilan terkait dengan bea meterai. Adalah Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor: 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai berbunyi sebagai berikut: "Pejabat Pemerintah, hakim, panitera, jurusita, notaris dan pejabat umum lainnya, masing-masing dalam tugas atau jabatannya tidak dibenarkan: a). menerima, mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang Bea Meterai-nya tidak atau kurang dibayar; b). melekatkan dokumen yang Bea Meterai-nya tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarifnya pada dokumen lain yang berkaitan; c). membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dari dokumen yang Bea Meterai-nya tidak atau kurang dibayar; d). memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarif Bea Meterai-nya".

Terdapat konsekuensi yang diatur pada ayat selanjutnya yang berbunyi sebagai berikut (Pasal 11 ayat (2) Undang-undang Nomor: 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai): "Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenakan sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku". Hal ini berarti dalam hal mereka memproses sebuah dokumen hukum yang wajib bermeterai akan tetapi tidak dilakukan atau besarannya kurang, maka terdapat setidaknya sanksi administratif yang menanti.
________________
Referensi:

1. "Formulasi Surat Gugatan", www.hukumindo.com, tanggal 22 April 2020, Diakses pada tanggal 08 Oktober 2020, https://www.hukumindo.com/2020/04/formulasi-surat-gugatan.html
2. Undang-undang Nomor: 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai
3. "Meterai", kbbi.web.id., Diakses pada tanggal 08 Oktober 2020, https://kbbi.web.id/meterai 
4. "Bea Meterai", id.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 08 Oktober 2020, https://id.wikipedia.org/wiki/Bea_meterai
5. "Bea Meterai: Fungsi & Cara Penggunaannya Pada Dokumen Anda", online-pajak.com., Dina Lathifa, 7 Desember 2019, Diakses pada tanggal 08 Oktober 2020, https://www.online-pajak.com/tentang-pajak-pribadi/bea-materai
6. Ibid.

Kamis, 08 Oktober 2020

Alasan Permohonan Sita

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com, dalam label Praktik Hukum, telah membahas mengenai "Sita Berdasarkan Permohonan", dan sedangkan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Alasan-alasan Permohonan Sita.

Seperti yang telah dijelaskan, penyitaan merupakan hukuman dan perampasan harta kekayaan Tergugat sebelum putusan berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, penyitaan sebagai tindakan yang bersifat ekseptional, harus benar-benar dilakukan secara cermat berdasarkan alasan yang kuat. Pasal 227 HIR atau Pasal 720 Rv memperingatkan hal itu, agar Penggugat dalam pengajuan sita menunjukan kepada Hakim sejauh mana isi dan dasar gugatan dihubungkan dengan relevansi dan urgensi penyitaan dalam perkara yang bersangkutan.[1]

Menurut Pasal 227 HIR maupun Pasal 720 Rv, alasan-alasan pokok permintaan sita adalah sebagai berikut:
  1. Ada kekhawatiran atau persangkaan bahwa Tergugat: a). Mencari akal untuk menggelapkan atau mengasingkan harta kekayaannya, dan b). Hal itu akan dilakukannya selama proses pemeriksaan perkara berlangsung;[2]
  2. Kekhawatiran atau persangkaan itu harus nyata dan beralasan secara objektif. Hal ini berarti a). Penggugat harus dapat menunjukan fakta tentang adanya langkah-langkah Tergugat untuk menggelapkan atau mengasingkan hartanya selama proses pemeriksaan berlangsung, dan b). Paling tidak Tergugat dapat menunjukan indikasi objektif tentang adanya daya upaya Tergugat untuk menghilangkan atau mengasingkan barang-barangnya guna menghindari Gugatan;[3]
  3. Sedemikian ruapa eratnya isi gugatan dengan Penyitaan, yang apabila penyitaan tidak dilakukan dan Tergugat menggelapkan harta kekayaan, mengakibatkan kerugian kepada Penggugat. Dari penjelasan di atas, Penggugat tidak dibenarkan mengajukan alasan sita hanya berdasarkan kekhawatiran atau persangkaan secara subjektif tentang Penggelapan atau Pengasingan harta kekayaan yang akan dilakukan oleh Tergugat. Menurut Pasal 227 HIR dan Pasal 720 Rv, alasan itu baru objektif, apabila didukung fakta atau petunjuk yang nyata. Paling tidak, Penggugat dapat menjelaskan tentang adanya daya upaya Tergugat yang konkret untuk menghilangkan harta kekayaannya.[4]
Sepengalaman penulis sebagai Advokat praktik, terdapat perbedaan yang cukup menarik dalam tataran teori dan praktik. Pada tataran teori, secara hukum alasan sita mengacu kepada ketentuan Pasal 227 HIR maupun Pasal 720 Rv, hal dimaksud secara umum mengacu kepada adanya kekhawatiran Tergugat akan menggelapkan atau mengasingkan harta kekayaannya, yang dilakukannya selama proses pemeriksaan perkara berlangsung. Pada tataran praktik, sering kali penulis dalam menyusun posita gugatan memakai redaksional terkait permohonan sita sebagai berikut:
"Bahwa, agar Gugatan ini tidak sia-sia/hampa (illusoir), maka Penggugat mohon agar diletakkan Sita Jaminan (Conservatoir Beslaag) terhadap harta tidak bergerak milik Tergugat berupa:......"
Redaksional posita atas permohonan sita di atas dalam praktinya tidak terdapat masalah, hanya saja jika ditelisik lebih lanjut tidak mengakomodasi ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 227 HIR maupuan Pasal 720 Rv. Yang menjadi masalah adalah bagaimana menjelaskannya? Karena di satu sisi tidak secara eksplisit atas permohonan sita dimaksud tidak mencantumkan alasan sita sebagaimana ketentuan Pasal 227 HIR maupuan Pasal 720 Rv, sedangkan di sisi lain dalam praktik dikatakan redaksional permohonon sita hanya dengan menuliskan "agar Gugatan ini tidak sia-sia/hampa (illusoir) maka Penggugat mohon agar diletakkan Sita..." tidaklah menjadi masalah. 

Menurut salah satu kolega penulis yang tidak disebutkan namanya di sini, bahwa ketika seorang Penggugat atau Kuasa Hukumnya menuliskan alasan sita dalam salah satu posita gugatannya mengacu secara eksplisit pada ketentuan Pasal 227 HIR maupuan Pasal 720 Rv adalah perihal formilnya. Sedangkan jika seseorang Penggugat atau Kuasa Hukumnya menuliskan alasan sita dalam salah satu posita gugatannya dengan redaksional "agar Gugatan ini tidak sia-sia/hampa (illusoir) maka Penggugat mohon agar diletakkan Sita..." adalah perihal materiilnya (akibat). 

Penggunaan kedua bentuk alasan sita dalam posita surat gugatan sebagaimana telah disinggung di atas adalah diperbolehkan, serta tidak menjadi masalah. Hal ini bagi penulis cukup menarik, dikarenakan penjelasan tersebut tidak terdapat dalam buku ahli dari M. Yahya Harahap, S.H. yang penulis kutip. Mungkin dapat dimaklumi, bahwa ahli dimaksud mempunyai latar belakang sebagai seorang Hakim, yang tentu saja berbeda posisi hukumnya dengan seorang Advokat.
__________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 Tahun 2010, Hal.: 289.
2. Ibid. Hal.: 289.
3. Ibid. Hal.: 289.
4. Ibid. Hal.: 289-290.

Rabu, 07 Oktober 2020

Mr. Sartono, Advokat Soekarno Di Meja Hijau

(id.wikipedia.org)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com, pada label Tokoh Hukum, telah membahas "Maria Ulfah, Sarjana Hukum Perempuan Pertama Indonesia". Pada kesempatan ini akan dibahas Mr. Sartono, salah satu pengacara Soekarno melawan penjajahan Belanda.

Sebagaimana dikutip id.wikipedia.org., nama lengkapnya adalah Mr. Raden Mas Sartono, beliau lahir di Baturetno, Wonogiri, 5 Agustus 1900 dan  meninggal di Jakarta pada tanggal 15 Oktober 1968. Mr. Sartono merupakan tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia sekaligus menteri pada kabinet pertama Republik Indonesia. Beliau dikenal sebagai salah satu tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partindo, pernah menjabat ketua parlemen sementara (DPRS) pada Republik Indonesia Serikat (1949) dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat antara tahun 1950 sampai 1959, serta pernah juga menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia.[1]

Latar Belakang Keluarga & Pendidikan

Nama Sartono, berasal dari kata Jawa, yaitu sarto dan ono. Arti nama tersebut ialah "keberadaannya menjadi pelengkap". Kelak dalam perjalanan hidupnya terbukti Sartono selalu menjadi pelengkap dari kekurangan masyarakat atau bangsanya. Beliau lahir dari keluarga bangsawan. Nama kedua orang tuanya adalah Raden Mas Martodikaryo dan Raden Ajeng Ramini. Ayahnya adalah cicit dari Mangkunegoro II, sedangkan ibunya adalah cucu dari Mangkunegoro III.[2]

Sartono menikah dengan Siti Zaenab yang merupakan anak dari Wiryowiguno, seorang saudagar batik yang sukses dan mempunyai reputasi tinggi di kalangan masyarakat Solo pada tanggal 26 Mei 1930. Beliau menikah di kediaman keluarga Wiryowiguno yang terletak sekitar 100 meter dari rumah KH Samanhudi, pendiri Sarekat Islam. Sartono dikaruniai 3 anak yang bernama R.M. Gunadi, R.A. Sri Mulyati, dan R.A. Rukmini.[3]

Dilahirkan sebagai keturunan bangsawan Jawa, Sartono berturut-turut mengikuti pendidikan di HIS, MULO, AMS, dan RHS yang ditamatkannya pada tahun 1922. Ia kemudian meneruskan pendidikannya ke Universitas Leiden Belanda dan mendapatkan gelar Meester in de Rechten pada tahun 1926.[4] Sepertinya Mr. Sartono ini cukup beruntung dalam hal pendidikan, tidak mengherankan berhasil menggondol gelar Meester in de Rechten dari Universitas Leiden.

Profesi Advokat & Pembelaan Kepada Soekarno

Mr. Sartono juga berprofesi sebagai Advokat, Anggota Tyuuoo Sangi In. Sartono yang aktivis berbagai organisasi pergerakan itu membuka praktek pengacara di Bandung (1925). Dia bersama Mr. Sastromoeljono dan Mr. Iskaq menjadi pembela perkara Soekarno. Pada tahun 1937, telah menjadi pengacara pada Mahkamah Agung Hindia Belanda.[5] Mungkin maksudnya di sini pada tahun 1937 beliau telah memperoleh lisensi sebagai advokat dari Mahkamah Agung Hindia Belanda.

Seperti termuat dalam buku "Mr Sartono, Karya dan Pengabdiannya" ditulis Nyak Wali AT, 1985, pledoi Mr. Sartono menganggap Bung Karno tak bersalah sesuai tuduhan penuntut umum. Beliau memberikan pembelaan kepada Bung Karno sebagai berikut:[6]
"Tuan Presiden! Yang tertuduh pertama (tuan Ir. Soekarno) telah berbicara panjang lebar dan membuktikan dengan jalan yang bagus dan membangkitkan kepercayaan, bahwa mereka bersih daripada perbuatan yang dituduhkan kepada mereka. Oleh sebab itu surat pembelaan atau pledoi kami hanya akan tertuju kepada beberapa keterangan-keterangan yang bergantung dengan surat penyerahan kepada persidangan Landraad (surat tuduhan acte van wervijzing), dengan caranya memberi bukti (bewijsvoering) dan harganya tanda-tanda bukti (berwijsmiddeelen)."

Sebagai hasilnya, Landraad (Pengadilan Negeri Bandung) menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara kepada Bung Karno. Aktivis PNI lainnya Gatot Mangkoepradja dihukum 2 tahun, Maskoen dihukum 1 tahun 8 bulan, dan Soepriadinata 1 tahun 3 bulan. Seperti disebut dalam Bung Karno di Hadapan Pengadilan Kolonial, Bung Karno akhirnya mendapat remisi sehingga hukumannya menjadi dua tahun.[7]  

Salah satu arti penting Mr. Sartono dalam rentang sejarah pergerakan Indonesia, terutama tokoh pejuang kemerdekaan, beliau adalah advokat utama yang membela Bung Karno ketika berhadapan dengan penjajahan Belanda di meja hijau.

__________________

Referensi:

1. "Sartono (Politikus)", id.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 3 Oktober 2020, https://id.wikipedia.org/wiki/Sartono_(politikus);
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. "Mr. Sartono Pembela Soekarno Di Pengadilan Kolonial", lawyer.co.id., Diakses pada tanggal 3 Oktober 2020, https://lawyer.co.id/2018/10/31/mr-sartono-pembela-soekarno-di-pengadilan-kolonial/
6. Ibid.
7. Ibid.

Selasa, 06 Oktober 2020

Adagium Hukum III

(Getty Images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Platform Hukumindo.com sebelumnya telah menyajikan Adagium Hukum I dan Adagium Hukum II, dan sebagai penutup, akan disajikan pada kesempatan ini Adagium Hukum III.

Adagium Hukum memang cukup banyak, dan dari beragam ranah hukum seperti Pidana, Perdata, maupun Tata Usaha Negara. Artikel ini hanya memuat adagium-adagium hukum yang sifatnya populer saja. Telah diterangkan di atas perihal Adagium I dan Adagium II, dan pada kesempatan ini akan disajikan sebagai penutup, yaitu adagium bagian ketiga. 
  1. "JUSTITIAE NON EST NEGANDA, NON DIFFERENDA", terjemahan dalam bahasa Inggrisnya adalah sebagai berikut: Justice is not to be denied or delayed, artinya: Keadilan tidak dapat disangkal atau ditunda;[1]
  2. "IGNORANTIA JURIS NON EXCUSAT", terjemahan dalam bahasa Inggrisnya adalah:  "Ignorance of the law does not excuse", artinya ketidaktahuan akan hukum tidak dimaafkan.[2]
  3. "LEX DURA, SED TAMEN SCRIPTA", artinya sekalipun isi undang-undang itu terasa kejam, tetapi memang demikianlah bunyinya, dan harus dilaksanakan.[3]
  4. "NEMO JUDEX IN CAUSA SUA", terjemahannya dalam bahasa Inggris yaitu: No man can be a judge in his own cause, artinya hakim tidak boleh mengatur/mengadili dirinya sendiri.[4]
  5. "POLITIAE LEGIUS NON LEGES POLITII ADOPTANDAE", artinya politik harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya.[5]
  6. "INTERPRETATIO CESSAT IN CLARIS", artinya jika teks atau redaksi Undang-undang telah terang benderang dan jelas, maka tidak diperkenankan lagi menafsirkannya.[6]
  7. "HEARES EST CADEM PERSONA CUM ANTECESSORE", artinya ahli waris sama kedudukannya dengan pendahulunya.[7]
  8. "EI INCUMBIT PROBATIO QUIDICIT, NONQUI NEGAT", terjemahannya dalam bahasa Inggris: "The burden of the proof rest upon the person who affirms, not the one who denies", artinya beban dari bukti disandarkan pada orang yang menugaskan tuduhan bukan yang menyangkal.[8]
  9. "DEBET QUIS JURI SUBJACERE RRBI DELINQUIT", terjemahannya dalam bahasa Inggris: "Any offender should be subject to the law of the place where he offends", artinya seseorang Penggugat harus mengacu pada hukum yang berlaku di tempat dia mengajukan gugatan.[9]
  10. "JUDEX DEBET JUDICARE SECUNDUM ALLEGATA ET PROBATA", terjemahannya dalam Bahasa Inggris: "The judge ought to give judgment according to the allegations and the proofs", artinya seorang hakim harus memberikan penilaian berdasarkan fakta-fakta dan pernyataan.[10]
  11. "QUIQUID EST IN TERRITORIO, ETIAM EST DE TERRITORIO", artinya asas dalam hukum internasional yang menyatakan bahwa apa yang berada dalam batas-batas wilayah negara tunduk kepada hukum negara itu.[11]
___________
Referensi:

1. "Adagium Hukum", pa-bengkulukota.go.id., Diakses pada tanggal 3 Oktober 2020, http://www.pa-bengkulukota.go.id/foto/Adagium%20Hukum.pdf
2. "Adagium Hukum", rendratopan.com, Diakses pada tanggal 3 Oktober 2020, https://rendratopan.com/2019/03/18/adagium-hukum/
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid.
6. "Adagium-adagium Dalam Ilmu Hukum", triwidodowutomo.blogspot.com, Diakses pada tanggal 3 Oktober 2020, http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/10/adagium-adagium-dalam-ilmu-hukum.html
7. Ibid. 
8. Ibid.
9. Ibid.
10. Ibid.
11. Ibid.

Senin, 05 Oktober 2020

Hukumnya Mengolok-olok Donald Trump Kena COVID-19

(liputan6.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya, pada label sudut pandang hukum, platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Waktu Tunggu Bagi Perempuan Muslim Setelah Perceraian", lihat juga artikel "Menakar Pidana yang Mengintai Pengacara Djoko S. Tjandra" dan pada kesempatan ini akan dibahas berita yang tengah aktual, yaitu Hukumnya Mengolok-olok Donald Trump Kena COVID-19.

Baru baru ini jagad berita di dunia maya dihebohkan dengan adanya pemberitaan mengenai Presiden AS yang didiagnosa positif terinfeksi COVID-19. Hal ini tentu membuat reaksi yang beragam dari seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Tidak sedikit yang kemudian memberikan reaksi yang negatif dengan beragam bentuknya di dunia maya, salah satunya adalah dengan cara mengolok-oloknya. Hal ini tentu saja mempunyai konsekwensi hukum. Artikel ini bermaksud melakukan pengkajian atas perbuatan orang-orang yang mempunyai reaksi negatif atas terinfeksinya Donald Trump dari sudut pandang hukum.

Donald Trump Positif Terinfeksi COVID-19

Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan dia dan ibu negara Melania Trump dinyatakan positif Virus Corona COVID-19. Dalam sebuah unggahan di Twitter, seperti dikutip dari CNBC, Jumat (2/10/2020), ia menyampaikan informasi tersebut. "Kami akan segera memulai proses karantina dan pemulihan. Kita akan melewati ini bersama!"[1]

Mengutip CNN, Donald Trump mengumumkan kondisinya pada Jumat pagi waktu setempat. Malam harinya, ia sempat mengatakan akan melakukan karantina. Sebelumnya, salah satu penasihat Presiden AS Donald Trump, Hope Hicks, dinyatakan positif terpapar Virus Corona COVID-19. Dikutip dari laman BBC, penasihat presiden itu sempat melakukan perjalanan bersama Trump dengan Air Force One ke lokasi debat presiden AS di Ohio pada Selasa kemarin.[2]

Trump kemudian mengalami beberapa gejala medis. Selain CNN, ABC juga melaporkan presiden berusia 74 tahun itu juga mengalami demam, menggigil, mampet, dan batuk karena virus corona. Adapun berdasarkan rilis pemerintah, sang presiden menderita kelelahan, demam ringan, dan gejala seperti kedinginan ketika positif Covid-19.[3]

Setelah terkonfirmasi positif COVID-19, Trump kemudian dilarikan ke rumah sakit. AFP melaporkan bahwa Trump terlihat keluar dari Gedung Putih menggunakan masker pada Jumat (2/10) waktu setempat. Ia langsung masuk ke helikopter Marine One dan menuju rumah sakit di Walter Reed, Bethesda. Ia tiba di rumah sakit tak lama setelah itu. Gedung Putih menyatakan bahwa Trump akan dirawat di rumah sakit itu untuk beberapa hari. "Atas rekomendasi dari ahli medis, presiden akan bekerja dari kantor kepresidenan di Walter Reed untuk beberapa hari," ujar sekretaris pers Gedung Putih, Kayleigh McEnany. Tak lama setelah tiba di Bethesda, Trump mengunggah video di akun Twitter resminya. Ia berterima kasih kepada para pendukungnya dan memastikan bahwa semua akan baik-baik saja.[4] Setelah positif terjangkit COVID-19, Donald Trump dibawa ke rumah sakit, dan sampai dengan artikel ini diposting, beliau masih dalam masa perawatan.

Beragam Bentuk Olok-olok Pasca Donald Trump Terinfeksi COVID-19

Berita Presiden Amerika Serikat Donald Trump terinfeksi virus Corona dimanfaatkan oleh para netizen China untuk mengolok-olok pemimpin AS itu. Media-media pemerintah negara tersebut juga ramai mengangkat berita ini. Para pengamat dan media pemerintah China menyebut diagnosis positif Trump dan Ibu Negara Melania menunjukkan seberapa luas dan parahnya situasi virus Corona di AS. Media China Daily menyebut diagnosis positif Trump ini adalah "pengingat bahwa virus Corona terus menyebar" meskipun dia berusaha untuk meremehkan bahaya yang ditimbulkan oleh pandemi ini.[5]

"Sejak muncul awal tahun ini, Trump, Gedung Putih, dan kampanyenya telah meremehkan ancaman tersebut dan menolak untuk mematuhi pedoman kesehatan masyarakat dasar--termasuk yang dikeluarkan oleh pemerintahannya sendiri--seperti mengenakan masker di depan umum dan mempraktikkan jarak sosial," tulis media China itu. Pada hari Jumat (2/10), Trump memposting di Twitter bahwa dia dan Ibu Negara Melania telah dites positif terinfeksi Corona. Tweet itu dilaporkan secara luas oleh media pemerintah China dan tagar "Pasangan Trump dinyatakan positif COVID-19" menjadi topik trending teratas di situs micro-blogging Weibo, dengan lebih dari 800 juta views hingga Jumat (2/10) pukul 16.00 di Beijing.[6]

Seperti dilansir The Straits Times, Sabtu (3/10/2020, banyak netizen China menggunakan kesempatan itu untuk mengolok-olok pemimpin AS itu. Komentar seperti "Trump mungkin akan mengatakan tidak ada yang memahami COVID-19 lebih dari saya" dan "Lihat apa yang terjadi jika Anda tidak memakai masker" banyak dilontarkan para netizen.[7]

Banyak yang mengomentari secara positif, namun ada juga yang sebaliknya. Salah satu reaksi negatif adalah sebagai berikut. Misalnya ada yang mengunggah potongan adegan dari tayangan kartu satir The Simpson:[8]
(medcom.id)

Dapat penulis tambahkan, bahwa dalam salah satu sequel film kartun The Simpsons tersebut Trump diceritakan meninggal dunia. Atau bisa dilihat dari respons lainnya melalui Instagram di negara India sebagaimana berikut:[9]

(Instagram/koransurya.com)

Pada intinya terdapat respons yang beragam atas didiagnosanya Donal Trump positif Covid-19, dan secara umum dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu respons positif dan negatif. Respons positif sepertinya tidak menimbulkan reaksi hukum, paling tidak ia di-tag balik dengan imoji 'like' jika meminjam aplikasi pada Facebook. Yang akan dibicarakan kemudian di sini adalah terkait respons netizen yang negatif, yang tentunya dapat mempunyai konsekuensi hukum. Dalam artikel ini terutama akan dianalisis dari sisi hukum pidana. 

Hukumnya Mengolok-olok Donald Trump Kena COVID-19

Guna membicarakan aspek hukum ketika seorang Netizen mengolok-olok Donald Trump yang terkena COVID-19, menurut hemat penulis, terlebih dahulu ada beberapa variabel yang harus dijawab. Pertama adalah locus delicti, dan kedua adalah tempus delicti.

Secara sederhana, yang dimaksud dengan locus delicti adalah suatu lokasi atau tempat terjadinya suatu tindak pidana. Sedangkan yang dimaksud dengan tempus delicti secara sederhana adalah waktu terjadinya tindak pidana adapun tujuan diketahuinya. Pada prinsipnya, locus delicti juga berkaitan dengan hukum positif yang mengaturnya, dikarenakan ditempat terjadinya suatu peristiwa pidana hampir bisa dipastikan terdapat hukum pidana yang mengaturnya. 

Jika kita kembali ke Hukum Acara Pidana di Indonesia, maka ketentuan terkait dengan locus delicti diatur dalam Pasal 84 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya”. Dengan kata lain, jika terjadi di Indonesia, maka yang berlaku adalah hukum Indonesia dan diadili pada Pengadilan Negeri terkait dimana peristiwa tersebut terjadi. Sedangkan Ketentuan hukum acara terkait dengan tempus delicti misalnya adalah terkait daluarsa penuntutan suatu perkara.

Setelah membicarakan beberapa variabel hukum di atas, baru kita dapat beranjak ke pertanyaan intinya, apa hukumnya mengolok-olok Donald Trump Kena COVID-19? Untuk menjawab pertanyaan ini, juga harus mempertimbangkan varibel-variabel hukum di atas. Dapat penulis sampaikan dari riset referensi artikel ini, bahwa Netizen yang berkomentar negatif di antaranya adalah datang dari China dan India. Dan dilakukan melaui aplikasi lintas negara seperti Twitter dan Instagram. Jikapun ingin dilakukan, tentu saja hal ini menyulitkan penindakan hukum. Atau setidaknya hukum positif suatu negara tidak dapat atau setidaknya kesulitan untuk menjangkau para pelaku kejahatan siber yang berdiam di negara lain.

Lain halnya jika kemudian terjadi di satu negara dan dilakukan oleh warga negara yang sama seperti Indonesia. Hal ini relatif lebih mudah untuk dilakukan penindakan. Contoh terakhir adalah kasus pengunggah foto kolase Ma'ruf Amin - 'Kakek Sugiono'.[10] Adapun undang-undang yang potensial menjeratnya adalah Undang-undang Nomor: 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Jo. Undang-undang Nomor: 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor: 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
___________________
Referensi:

1. "Donald Trump Positif COVID-19", liputan6.com, 02 Oktober 2020, https://www.liputan6.com/global/read/4372005/donald-trump-positif-covid-19
2. Ibid.
3. "Positif Virus Corona, Trump Alami Kelelahan Dan Kesulitan Bernafas", kompas.com, 03 Oktober 2020, https://www.kompas.com/global/read/2020/10/03/123114470/positif-virus-corona-trump-alami-kelelahan-dan-kesulitan-bernapas?page=all
4. "COVID-19, Trump Dilarikan ke Rumah Sakit Pakai Helikopter", cnnindonesia.com, 03 Oktober 2020, https://www.cnnindonesia.com/internasional/20201003064535-134-553917/covid-19-trump-dilarikan-ke-rumah-sakit-pakai-helikopter
5. "Netizen China Ramai Mengolok-olok Trump yang Positif Corona", news.detik.com, Sabtu, 03 Oktober 2020, https://news.detik.com/internasional/d-5198331/netizen-china-ramai-mengolok-olok-trump-yang-positif-corona
6. Ibid.
7. Ibid.
8. "Cuitan Presiden AS Positif COVID-19 Ramai Direspons Netizen", medcom.id., 02 Oktober 2020, https://www.medcom.id/teknologi/news-teknologi/5b2elYMN-cuitan-presiden-as-positif-covid-19-ramai-direspons-netizen
9. "Donald Trump Positif Covid-19, Begini Respon Kocak Netizen di Kota Palopo", koranseruya.com, 02 Oktober 2020, https://koranseruya.com/donald-trump-positif-covid-19-begini-respon-kocak-netizen-di-kota-palopo.html
10. "Terjerat Pidana, Ini Pesan Pengunggah Foto Kolase Ma'ruf Amin-'Kakek Sugiono'", news.detik.com, 03 Oktober 2020, https://news.detik.com/berita/d-5198475/terjerat-pidana-ini-pesan-pengunggah-foto-kolase-maruf-amin-kakek-sugiono

Sabtu, 03 Oktober 2020

Adagium Hukum II

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah mengetengahkan kepada sidang pembaca yang budiman perihal Adagium Hukum I, selanjutnya pada kesempatan ini akan dibahas lanjutannya, yaitu Adagium Hukum II.

Penulis memaknai adagium sebagai pepatah yang turun temurun dan telah dianggap benar yang berkaitan dengan hukum. Berikut Adagium Hukum II:
  1. "IN DUBIO PRO REO", artinya dalam keragu-raguan diberlakukan ketentuan yang paling menguntungkan bagi si Terdakwa;
  2. "LEX SPECIALIS DEROGAT LEX GENERALI", artinya undang-undang yang khusus didahulukan berlakunya daripada undang-undang yang umum;
  3. "LEX SUPERIOR DEROGAT LEGI INFERIORI", artinya undang-undang yang lebih tinggi  mengenyampingkan undang-undang yang lebih rendah tingkatannya;
  4. "PACTA SUNT SERVANDA", artinya setiap perjanjian itu mengikat para pihak dan harus ditaati dengan itikad baik;
  5. "PRESUMPTION OF INNOCENCE", dikenal dengan asas praduga tidak bersalah, artinya: seseorang dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan hakim yang menyatakan ia bersalah dan putusan hakim tersebut telah mempunyai kekuatan tetap;
  6. "HET VERMOEDEN VAN RECHMATIGHEID", artinya kebijakan Pemerintah harus dianggap benar dan memiliki kekuatan hukum mengikat sampai dibuktikan sebaliknya;
  7. "KOOP BREEKT GEEN HUUR", artinya jual beli tidak memutuskan sewa-menyewa. Perjanjian sewa-menyewa tidak berubah, walaupun barang yang disewanya beralih beralih tangan – pasal 1576 KUHPerdata;
  8. "IUDEX NON ULTRA PETITA atau ULTRA PETITA NON COGNOSCITUR" artinya hakim hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya;
  9. "IUDEX NE PROCEDAT EX OFFICIO", artinya hakim bersifat pasif menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya.
____________
Referensi:

1. "Adagium Hukum", rendratopan.com, diakses pada 3 Oktober 2020, https://rendratopan.com/2019/03/18/adagium-hukum/
2. "Adagium-adagium Dalam Ilmu Hukum", triwidodowutomo.blogspot.com., diakses pada 3 Oktober 2020, http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/10/adagium-adagium-dalam-ilmu-hukum.html 

Jumat, 02 Oktober 2020

Sita Berdasarkan Permohonan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Esensi Tindakan Penyitaan", dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Sita Berdasarkan Permohonan.

Menurut Pasal 226 dan Pasal 227 HIR atau Pasal 720 Rv maupun berdasarkan SEMA No.: 5 Tahun 1975, pengabulan dan perintah pelaksanaan sita, bertitik tolak dari permintaan atau permohonan Penggugat. Perintah penyitaan tidak dibenarkan berdasarkan ex-officio hakim.[1] Hal ini menerangkan bahwa titik tolak adanya pengabulan dan perintah sita adalah dari adanya niat dari Penggugat yang diwujudkan dengan sebuah permohonan.

Adapun bentuk permohonannya bertitik tolak dari prinsip pemeriksaan persidangan yang dianut dalam HIR-RBg, terutama terkait proses beracara secara lisan, dihubungkan dengan ketentuan Pasal 226 dan Pasal 227 HIR, maka bentuk permohonan sita adalah:[2]
  1. Bentuk lisan (oral), hal ini sesuai dengan prinsip yang dianut dalam HIR-RBg bahwa jalannya proses pemeriksaan di persidangan adalah beracara secara lisan (mondelinge procedure). Apabila permohonan sita diajukan dengan lisan, permintaan itu dicatat dalam berita acara sidang, dan berdasarkan itulah hakim mengeluarkan perintah sita apabila permohonan dianggap mempunyai dasar alasan yang cukup;
  2. Bentuk tertulis, bentuk ini dianggap paling tepat karena memenuhi administrasi yustisial yang lebih baik. Itu sebabnya Pasal 227 ayat (1) HIR menghendaki agar sita diajukan dalam bentuk tertulis berupa surat permintaan: a). Permintaan disatukan dengan surat gugatan, artinya diajukan bersama-sama dengan surat gugatan; dan b). Diajukan dalam surat tersendiri, artinya pengajuan sita dilakukan secara terpisah dari pokok perkara. Berarti permohonan sita diajukan tersendiri di samping gugatan pokok perkara. Menurut ahli M. Yahya Harahap, sikap ini dianggap berlebihan, karena dengan cara ini terdapat permohonan sita secara ganda.
Sangat lumrah jika sita diajukan dengan dua cara di atas, akan tetapi terkait dengan permohonan secara lisan, saat ini sudah sangat jarang. Sepengalaman penulis berpraktik sebagai advokat, lazimnya permohonan sita diajukan secara tertulis. Adapun hal yang menarik adalah, terkadang ada juga kuasa hukum yang mengajukan sita secara ganda, yaitu tidak hanya diajukan dalam surat gugatan, namun diajukan juga terpisah dalam persidangan. Salah satu alasannya adalah supaya ada penegasan, hal ini tidak dilarang, akan tetapi di lain sisi memang hal demikian menjadi overlapping
____________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 287.
2. Ibid., Hal.: 288-289.

Kamis, 01 Oktober 2020

Adagium Hukum I

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas "Kata Mutiara Hukum Terpilih III (Selected Law Quotes III)" dan pada kesempatan ini akan dibahas perihal Adagium Hukum I.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, adagium adalah 'pepatah; peribahasa'.[1]  Sedangkan yang dimaksud dengan adagium menurut wikipedia.org yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah "Pepatah singkat, mudah diingat, dan biasanya filosofis yang mengkomunikasikan kebenaran penting yang berasal dari pengalaman, adat istiadat, atau keduanya, dan yang banyak orang anggap benar dan kredibel karena tradisi panjangnya, yaitu diturunkan dari generasi ke generasi, atau memetika replikasi."[2] Dapat dimaknai bahwa yang dimaksud dengan adagium adalah pepatah yang turun temurun dan telah dianggap benar. Perlu diperhatikan juga bahwa adagium ini berbeda dengan kata mutiara, sidang pembaca dapat menelitinya kemudian terkait perbedaan dimaksud.

Adagium hukum yang ada di jagad maya cukup banyak jumlahnya, akan tetapi penulis hanya akan menyajikannya pada konteks yang populer saja, check it out:
  1. "AUDI ET ALTERAM PARTEMATAU AUDIATUR ET ALTERA PARS", artinya para pihak harus didengar. Apabila persidangan dimulai, hakim harus mendengar dari kedua belah pihak yang bersengketa, bukan hanya dari satu pihak saja;[3]
  2. "EQUALITY BEFORE THE LAW", artinya setiap orang bersamaan kedudukannya dalam hukum.[4]
  3. "FIAT JUSTITIA RUAT COELUM ATAU FIAT JUSTITIA PEREAT MUNDUS", terjemahannya dalam bahasa Inggris: Let justice be done though the heaven should fall, artinya sekalipun esok langit akan runtuh, meski dunia akan musnah, atau walaupun harus mengorbankan kebaikan,keadilan harustetap ditegakkan;[5]
  4. "GEEN STRAF ZONDER SCHULD", artinya tiada hukum tanpa kesalahan.[6]
  5. "JUDEX SET LEX LAGUENS" terjemahannya dalam bahasa Inggris: The judge is the sepaking law, artinya Sang hakim ialah hukum yang berbicara;[7]
  6. "LEX POSTERIOR DEROGAT PRIORI", terjemahannya dalam bahasa Inggris: "A later statute repeals an earlier one", artinya Undang-undang yang baru menghapus Undang-undang yang lama;[8]
  7. "UBI SOCIETAS, IBI JUS", artinya di mana ada masyarakat, di situ ada hukumnya;[9]
  8. "IUS CURIA NOVIT", artinya seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya;[10]
  9. "UNUS TESTIS NULLUS TESTIS", artinya satu orang saksi bukanlah saksi;[11] 
  10. "TESTIMONIUM DE AUDITU", artinya kesaksian yang didengar dari orang lain;[12]
  11. "NULLUM DELICTUM NOELA POENA SINE PRAEVIA LEGE POENALI", artinya suatu aturan hukum tidak bisa diterapkan terhadap suatu peristiwa yang timbul sebelum aturan hukum yang mengatur tentang peristiwa itu dibuat dan diberlakukan. Dapat juga diartikan sebagai tiada suatu perbuatan dapat dihukum, kecuali atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang telah ada lebih dahulu daripada perbuatan itu.[13]
_______________
Referensi:

1. "Adagium", Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, Diakses pada tanggal 1 Oktober 2020, https://kbbi.web.id/adagium
2. "Adage", en.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 1 Oktober 2020, https://en.wikipedia.org/wiki/Adage 
3. "Adagium Hukum", rendratopan.com, diakses pada tanggal 1 Oktober 2020, https://rendratopan.com/2019/03/18/adagium-hukum/
4. Ibid.
5. Ibid.
6. Ibid.
7. "Adagium Hukum", pa-bengkulukota.go.id, Diakses pada tanggal 1 Oktober 2020, http://www.pa-bengkulukota.go.id/foto/Adagium%20Hukum.pdf
8. Ibid.
9. "Adagium-adagium Dalam Ilmu Hukum", triwidodowutomo.blogspot.com, Diakses pada tanggal 1 Oktober 2020, http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/10/adagium-adagium-dalam-ilmu-hukum.html
10. Ibid.
11. Ibid.
12. Ibid.
13. Ibid.

Not Paying 3 Months' Rent, Man Allegedly Locked by Apartment Owner Until He Starved to Death

( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Expired Indonesia Driving License Can be E...