Sabtu, 19 September 2020

Tempat Dan Biaya Mediasi

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya dalam label praktik hukum, platform Hukumindo.com telah membahas mengenai 5 Tahap Ruang Lingkup Pra Mediasi. Dan selanjutnya pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Tempat dan Biaya Mediasi.
 
Ketentuan mengenai tempat dan biaya mediasi diatur dalam BAB IV PERMA Nomor: 2 Tahun 2003, terdiri dari Pasal 15. Tidak banyak permasalahan teknis yang menyangkut dengan persoalan ini. Adapun hal-hal yang penting adalah sebagai berikut:[1]
  1. Tempat Penyelenggaraan Mediasi, pada umumnya diselenggarakan di salah satu Ruang Pengadilan. Inilah ketentuan umum (general rule) yang harus diterapkan: a). Diselenggarakan di salah satu ruang pengadilan tingkat pertama; b). Jika ketentuan ini dihubungkan dengan sistem proses mediasi yang digariskan Pasal 14 ayat (1), yang menganut asas tidak terbuka untuk umum, penyelenggaraannya tidak mesti pada ruang sidang tertentu; c). Akan tetapi kalau objek mediasi sengketa publik yang menganut asas mutlak terbuka untuk umum sebagaimana yang digariskan Pasal 14 ayat (2), proses mediasi mesti dilakukan pada salah satu ruang sidang yang telah ditentukan. Mediasi juga dapat dilakukan di tempat lain, tidak mutlak di salah satu ruang pengadilan, dengan syarat: a). Disepakati oleh para pihak; b). Bersedia memikul biaya berdasarkan kesepakatan para pihak;
  2. Biaya Penyelenggaraan Mediasi, terkait masalah biaya, biaya mediasi disebut nominal or low cost. Sehubungan dengan itu, agar proses mediasi yang diatur dalam PERMA Nomor: 2 Tahun 2003 tidak mengalami erosi, asas biaya rendah (nominal cost) yang menjadi landasan perkembangan mediasi di negara lain, harus dijaga dan dipelihara. Hal ini meliputi: a). Penyelenggaraan di Ruang Pengadilan, tidak dikenakan biaya; b).  Apabila penyelenggaraan di tempat lain, biaya dibebankan kepada para pihak berdasarkan kesepakatan; c). Penggunaan mediator hakim, jika mediatornya hakim tidak dipungut biaya; d). Jika menggunakan mediator bukan hakim, maka biaya ditanggung para pihak; e). Dalam hal tidak mampu, tidak dipungut biaya mediator.
Hal lain yang perlu dikemukakan berkenaan dengan biaya jasa mediator adalah PERMA tidak mengatur berapa besarnya, menurut ahli M. Yahya Harahap, S.H., hal ini perlu diatur lebih lanjut, supaya terdapat kepastian hukum tentang masalah tersebut.[2] Sepengalaman penulis sebagai advokat praktik, untuk berberapa Pengadilan yang mempunyai beban perkara yang cukup banyak, ribuan perkara per tahunnya, misalnya Pengadilan Agama Jakarta Selatan, sesi mediasi disediakan khusus mediator bersertifikat yang stand by di Pengadilan, sehingga hakim pokok perkara tidak dibebani oleh hal lain di luar tugas utamanya, terkait dengan biaya tentunya tidak gratis layaknya Hakim Mediator pada Pengadilan Negeri, namun juga tidak mahal yaitu di kisaran Rp. 100.000,- (Seratus ribu Rupiah). Harga yang sangat wajar.
______________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Ke-10 tahun 2010, Hal.: 269-270.
2. Ibid., Hal.: 270.

Jumat, 18 September 2020

5 Tahap Ruang Lingkup Pra Mediasi

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Ruang lingkup tahap pra mediasi diatur dalam BAB II PERMA Nomor: 2 Tahun 2003 yang terdiri dari Pasal 3-7. Tahap ini merupakan persiapan ke arah proses tahap mediasi. Sebelum pertemuan dan perundingan membicarakan penyelesaian materi pokok sengketa dimulai, lebih dahulu dipersiapkan prasarana yang dapat menunjang penyelesaian sengketa melalui perdamaian.[1]

Adapun 5 tahap pra mediasi dimaksud adalah sebagai berikut:[2]
  1. Hakim memerintahkan Menempuh Mediasi, langkah pertama yang mesti dilakukan Hakim pada tahap pra mediasi adalah memerintahkan para pihak lebih dahulu untuk menempuh mediasi, perintah dilakukan pada sidang pertama, sebelum membuka acara replik-duplik, dan syarat penyampaian perintah adalah sidang dihadiri kedua belah pihak.
  2. Hakim wajib menunda persidangan, hal ini berarti hakim wajib menunda persidangan, dan para pihak wajib lebih dahulu menempuh proses mediasi. Penundaan dimaksud adalah untuk memberi kesempatan para pihak agar menyelesaikan sengketa melalui proses mediasi.
  3. Hakim wajib memberi penjelasan tentang Prosedur dan Biaya Mediasi, pada bagian ini hakim wajib memberi penjelasan mengenai tata cara dan prosedur mediasi, seperti pemilihan mediator dll. Serta mengenai biaya mediasi, juga wajib diberikan penjelasan oleh hakim. 
  4. Wajib memilih Mediator, hal mengenai kewenangan untuk memilih mediator sepenuhnya adalah prerogatif para pihak yang berperkara, berdasarkan kesepakatan dan hakim tidak mempunyai kewenangan untuk menunjuk mediator secara ex-officio dalam keadaan normal.
  5. Proses Mediasi oleh Mediator Luar, pada dasarnya apa yang digariskan di sini tidak termasuk lingkup pra mediasi, namun lebih tepatnya sebagai tahap mediasi. Untuk mengikuti alur berpikir PERMA, tidak salah jika dimasukkan di sini. Hal ini adalah proses mediasi menggunakan mediator di luar daftar mediator yang dimiliki pengadilan. 
Jika penulis bandingkan dengan praktik di lapangan, maka setelah pemanggilan para pihak lengkap, hakim akan memerintahkan untuk dilakukan mediasi. Dengan demikian konsekwensinya adalah sidang pokok perkara ditunda, sampai ada hasil mediasi, umumnya 30 hari namun juga bisa ditambah. Terkait prosedur akan dijelaskan oleh hakim yang mengadili pokok perkara dan juga oleh hakim mediator atau mediator bersertifikat, bahkan dalam tahap advance tidak lagi dijelaskan, karena para pihak melalui kuasa hukumnya sudah paham mengenai prosedur yang akan ditempuh dalam mediasi. Terkait biaya, sering dijumpai para pihak memilih hakim mediator yang ditunjuk oleh majelis hakim pokok perkara, pertimbangannya adalah hal ekonomi, karena sudah include dalam biaya panjar perkara, atau setidaknya berbiaya minim. Hal ini belum menjadi perhatian di kalangan profesi advokat, karena bisa saja ditunjuk mediator bersertifikat dan konsekwensinya tentu saja adalah charge ke klien bertambah. 
______________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Ke-10 tahun 2010, Hal.: 251-259.

Kamis, 17 September 2020

Lingkup Integrasi Mediasi Dalam Sistem Peradilan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu, dalam label Praktik Hukum, platform Hukumindo.com telah membahas mengenai Landasan Formil Prosedur Mediasi,  dan pada kesempatan ini akan membahas mengenai Lingkup Integrasi Mediasi dalam Sistem Peradilan.

Lingkup integrasi mediasi dalam sistem peradilan yang diatur dalam PERMA Nomor: 2  Tahun 2003, meliputi hal-hal sebagaimana berikut:[1]
  1. Institusionalisasi Proses Mediasi dalam Sistem Peradilan, merupakan pelembagaan proses mediasi dalam badan peradilan;
  2. Pengertian Mediasi, adalah proses penyelesaian sengketa di Pengadilan melalui perundingan antara pihak yang berperkara, serta perundingan yang dilakukan para pihak dibantu oleh mediator;
  3. Yang Bertindak Sebagai Mediator, klasifikasi mediator diatur dalam Pasal 1 butir 2 dan Pasal 5 ayat (1) PERMA Nomor: 2  Tahun 2003;
  4. Lingkup Yurisdiksi, adalah batas-batas kewenangan berlakunya proses integrasi mediasi dalam sistem Peradilan;
  5. Proses Mediasi Bersifat Memaksa, bersifat memaksa atau compulsory. Artinya, para pihak yang berperkara tidak mempunyai pilihan selain mesti dan wajib menaatinya (comply);
  6. Jangka Waktu Proses Mediasi, mengenai jangka waktu mediasi terdapat dua versi, pertama sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) yaitu 30 hari kerja, dan kedua yaitu sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) yaitu dua puluh hari kerja.
__________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Ke-10 tahun 2010, Hal.: 244-251.  

Rabu, 16 September 2020

Landasan Formil Prosedur Mediasi

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai Kenyataan Mediasi di Pengadilan, dan untuk kesempatan ini, masih dalam label praktik hukum, akan membahas perihal Landasan Formil Prosedur Mediasi.

Landasan formil mengenai integrasi mediasi dalam sistem peradilan pada dasarnya tetap bertitik tolak dari ketentuan Pasal 130 HIR dan Pasal 145 RBg. Namun untuk lebih memberdayakan dan mengefektifkannya, Mahkamah Agung memodifikasinya ke arah yang bersifat memaksa (compulsory). Adapun penjabarannya adalah sebagai berikut:[1]
  1. Semula Diatur dalam SEMA No. 1 Tahun 2002, SEMA ini diterbitkan pada tanggal 30 Januari 2002 yang berjudul Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR). Penerbitan SEMA tersebut bertitik tolak dari salah satu hasil Rakernas MA di Yogyakarta pada tanggal 24 s.d. 27 September 2001. Motivasi yang mendorongnya, adalah untuk membatasi perkara kasasi secara substantif dan prosesual. Sebab apabila peradilan tingkat pertama mampu menyelesaikan perkara melalui perdamaian, akan berakibat turunnya jumlah perkara pada tingkat Kasasi.
  2. Disempurnakan dalam PERMA No. 2 Tahun 2003, umur SEMA No. 1 Tahun 2002, hanya 1 Tahun 9 bulan, pada tanggal 11 September 2003, MA mengeluarkan PERMA No. 2 Tahun 2003 sebagai penggantinya. Pasal 17 PERMA ini menegaskan: "Dengan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) ini, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/ 145 RBg) dinyatakan tidak berlaku".
  3. Alasan Penerbitan PERMA, dalam konsiderans dikemukakan beberapa alasan yang melatarbelakangi penerbitan PERMA menggantikan SEMA No. 1 Tahun 2002, antara lain: a). Mengatasi penumpukan perkara; b). SEMA No. 1 Tahun 2002, belum lengkap; c). Pasal 130 HIR, Pasal 154 RBg, dianggap tidak memadai.
_______________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Ke-10 Tahun 2010, Hal.: 242-243.

Selasa, 15 September 2020

Kenyataan Mediasi Di Pengadilan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah memposting artikel berjudul: "Upaya Mendamaikan Bersifat Imperatif", sebagai kelanjutannya, berikut akan dibahas tentang Kenyataan Mediasi Di Pengadilan.

Kenyataan praktik yang dihadapi, jarang dijumpai putusan perdamaian. Produk yang dihasilkan peradilan dalam penyelesaian perkara yang diajukan kepadanya, hampir 100% berupa putusan konvensional yang bercorak menang atau kalah (winning or losing). Berdasarkan fakta ini, kesungguhan, kemampuan dan dedikasi hakim untuk mendamaikan boleh dikatakan sangat mandul. Akibatnya, keberadaan Pasal 130 HIR, Pasal 154 RBg dalam hukum acara, tidak lebih dari hiasan belaka atau rumusan mati.[1] Penulis sependapat bahwa selama menjalani praktik beracara di Pengadilan, sangat sedikit perkara yang berhasil dengan jalan damai.

Ada yang berpendapat, kemandulan itu bukan semata-mata disebabkan faktor kurangnya kemampuan, kecakapan dan dedikasi haki, tetapi lebih didominasi motivasi dan peran advokat atau kuasa hukum. Mereka lebih cenderung mengarahkan proses litigasi berjalan terus mulai dari peradilan tingkat pertama sampai peninjauan kembali, demi mengejar professional fee yang besar dan berlanjut.[2] Dapat penulis tambahkan di sini, Penulis telah mengalami sendiri perkara-perkara yang terjadi perdamaian atau berlanjut ke pokok perkara, argumentasi bahwa dominasi motivasi peran advokat atau kuasa hukum dalam kemandulan keberhasilan mediasi di Pengadilan adalah tidak benar, banyak hal yang menjadi faktor penentu keberhasilan sebuah mediasi di Pengadilan, dan sepanjang Penulis berpraktik, sebagai advokat profesional hukumnya adalah wajib menjelaskan hukum materiil dan prosedur hukum (acara) yang akan dilalui oleh klien beserta implikasi yang akan didapatkannya. Maka keputusan terjadinya perdamaian atau tidak (berlanjut pada tahap litigasi berikutnya) ada di tangan klien, bukan advokat atau kuasa hukum.

Pada umumnya sikap dan perilaku hakim menerapkan Pasal 130 HIR, hanya bersifat formalitas. Kalau begitu, kemandulan peradilan menghasilkan penyelesaian melalui perdamaian bukan karena distorsi pihak advokat atau kuasa hukum, tetapi melekat pada diri hakim yang lebih mengedepankan sikap formalitas daripada panggilan dedikasi dan seruan moral sesuai dengan ungkapan yang mengatakan: "Keadilan yang hakiki diperoleh pihak yang bersengketa melalui Perdamaian".[3] Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Penulis berpendapat keputusan untuk berdamai ada pada para pihak yang berperkara, tidak dibebankan kepada kuasa hukum atau hakim mediator.
__________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Ke-10 Tahun 2010, Hal.: 241.
2. Ibid. Hal.: 241.
3. Ibid. Hal.: 241.

Not Paying 3 Months' Rent, Man Allegedly Locked by Apartment Owner Until He Starved to Death

( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Expired Indonesia Driving License Can be E...