Jumat, 10 Juli 2020

Asas Forum Rei Sitae

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Kebolehan Menerapkan Kompetensi Relatif Berdasarkan Tempat Tinggal Penggugat", dan Pada kesempatan ini akan membahas tentang asas forum rei sitae.

Makna forum rei sitae, gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri berdasarkan patokan tempat terletak benda tidak bergerak yang menjadi objek sengketa. Penggarisan forum ini, diatur dalam Pasal 118 ayat (3) HIR kalimat terakhir, yang berbunyi: "atau kalau tuntutan itu tentang barang tetap (tidak bergerak), maka tuntutan itu diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya terletak barang itu".[1]

Ketentuan pasal ini sama dengan Pasal 142 ayat (5) RBg yang menjelaskan: "Dalam gugatannya mengenai barang tetap maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di wilayah beberapa Pengadilan Negeri, gugatan diajukan kepada salah satu Ketua Pengadilan Negeri tersebut atas pilihan Penggugat".[2]

Apa yang digariskan dalam Pasal 142 ayat (5) RBg, diatur dalam Pasal 99 ayat (8) dan (9) Rv: a). Apabila gugatan mengenai sengketa hak atas benda tetap, gugatan diajukan berdasarkan forum rei sitae yakni kepada Pengadilan Negeri meliputi daerah hukum tempat terletak barang tersebut; b). Apabila benda tetap yang digugat terletak di beberapa wilayah hukum Pengadilan Negeri yang berbeda, gugatan dapat diajukan kepada salah satu Pengadilan Negeri atas pilihan Penggugat.[3]

Penerapan yang dikemukakan tersebut dijelaskan dalam putusan Mahkamah Agung Nomor: 1382 K/Sip/1971 tertanggal 4 November 1975 yang memuat pertimbangan: "karena sawah dan kebun yang manjadi objek gugatan terletak di luar wilayah hukum Pengadilan Negeri Takalar, maka Pengadilan Negeri tersebut tidak berwenang mengadilinya, oleh karena itu gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima".[4]

Hal ini dikuatkan oleh Pendapat ahli Subekti dan Soepomo, dapat disimpulkan dari kalimat: "atau jika gugatannya mengenai barang tak bergerak (misalnya tanah), maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam daerah hukumnya barang itu terletak".[5] 

____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 198.
2. Ibid. Hal.: 198.
3. Ibid. Hal.: 198.
4. Ibid. Hal.: 198-199.
5. Ibid. Hal.: 199.

Kamis, 09 Juli 2020

Contoh Perjanjian Sewa Menyewa Tanah

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Kesempatan terdahulu platform Hukumindo.com telah memuat beberapa artikel terkait dengan contoh perjanjian, diantaranya adalah Contoh Perjanjian Jual-Beli TanahContoh Perjanjian Jual-Beli Mobil dan Contoh Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah. Dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Contoh Perjanjian Sewa Menyewa Tanah.

PERJANJIAN SEWA MENYEWA TANAH

Nomor: [...................]

Perjanjian ini dibuat pada hari [..................] tanggal [.............] antara:

[......................] (Sebagai pihak yang menyewakan, untuk selanjutnya disebut sebagai “PIHAK PERTAMA”),

Dan,

[.....................] (Sebagai pihak penyewa, untuk selanjutnya disebut “PIHAK KEDUA”).

MENGINGAT:

Bahwa [..................]
Bahwa [..................]
Bahwa PIHAK KEDUA berkeinginan untuk menyewa tanah seluas [.........] yang terletak di [.............] dengan batas-batas:
- Utara : [.................]
- Selatan : [.................]
- Barat : [.................]
- Timur : [.................]
Bahwa [..................]

MAKA, berkenaan dengan keterangan-keterangan tersebut di atas, kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan Perjanjian Sewa Menyewa Tanah (selanjutnya disebut “Perjanjian”) atas dasar syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

Pasal 1
KESEPAKATAN

PIHAK PERTAMA dengan ini sepakat untuk menyewakan kepada PIHAK KEDUA dan PIHAK KEDUA dengan ini pula sepakat untuk menyewa dari PIHAK PERTAMA sebidang tanah yang berukuran [.....] X [.....], atau seluas [.....] meter persegi yang terletak di wilayah [..............], Kel./Ds.: [..............], Kecamatan [..............], Kab./Kota [..............], dengan batas-batas:
- Utara : [.................]
- Selatan : [.................]
- Barat : [.................]
- Timur : [.................]
(Selanjutnya disebut “Tanah”)  

Pasal 2
TUJUAN

Bahwa PIHAK KEDUA akan mempergunakan Tanah tersebut untuk keperluan [.....................].

Pasal 3
SERAH TERIMA TANAH

Pada saat perjanjian ini ditandatangani, PIHAK PERTAMA menyerahkan Tanah kepada PIHAK KEDUA dan PIHAK KEDUA menerima penyerahan ini sesuai menurut kondisi yang nyata pada hari penyerahan tersebut yang dituangkan dalam suatu Berita Acara Serah Terima (selanjutnya disebut “Berita Acara Serah Terima”).

Pasal 4
JANGKA WAKTU
  1. Sewa menyewa ini dibuat untuk jangka waktu [.......] ([....]) tahun, dan dapat diperpanjang atas persetujuan kedua belah pihak.
  2. Jangka waktu itu dihitung mulai dari tanggal [..............] yang akan berakhir dengan sendirinya menurut hukum pada tanggal [....................].
  3. Apabila PIHAK KEDUA bermaksud untuk memperpanjang Jangka Waktu Sewa ini, maka PIHAK KEDUA wajib untuk memberitahukan secara tertulis kepada PIHAK PERTAMA selambat-lambatnya [....] bulan sebelum berakhirnya Perjanjian ini.

Pasal 5
PENGGUNAAN TANAH
  1. PIHAK KEDUA tidak akan mempergunakan Tanah itu untuk tujuan yang lain dari pada yang disepakati dalam Perjanjian ini, kecuali mendapat ijin tertulis terlebih dahulu dari PIHAK PERTAMA.
  2. PIHAK KEDUA wajib melaksanakan [...........] (penggunaan tanah).
  3. PIHAK KEDUA wajib menyelesaikan kegiatan pembangunannya sebagaimana yang ada pada ayat (2) di atas dalam jangka waktu paling lambat [......] ([....]) bulan sejak tanggal dimulainya kegiatan pembangunan tersebut.
  4. PIHAK PERTAMA wajib mentaati dan memenuhi segala perangkat peraturan perundangan yang berlaku sekarang maupun yang akan datang yang ditetapkan oleh Pihak Yang Berwajib mengenai pemakaian bangunan pabrik dan/atau pekarangannya dan segala pelanggaran atas peraturan itu semuanya menjadi tanggungan PIHAK KEDUA.

Pasal 6
HARGA SEWA
  1. Sewa menyewa tanah (selanjutnya disebut “Harga Sewa”) dalam perjanjian ini sebesar [.....] per meter persegi per bulan atau keseluruhannya sebesar [......] per bulan.
  2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas jasa penyewaan Tanah, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terhadap Tanah dan pajak-pajak lain yang ditetapkan oleh Pemerintah yang timbul berdasarkan Perjanjian ini serta sepanjang tidak ada peraturan lain mengenai pajak yang akan diterapkan oleh Pemerintah menjadi tanggung jawab dan harus dibayar oleh [..........].

Pasal 7
PEMBAYARAN HARGA SEWA
  1. Pembayaran Harga Sewa oleh PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA dapat dilakukan dalam mata uang Rupiah. Untuk bukti penerimaan Harga Sewa dan Biaya Perawatan PIHAK PERTAMA akan memberikan tanda bukti penerimaan tersendiri kepada PIHAK KEDUA.
  2. [.................] (Tata cara Pembayaran Sewa):
a. Harga Sewa dibayarkan di muka untuk setiap periode satu bulan (setiap tanggal ...).


Pasal 8
PEMELIHARAAN/PERAWATAN OLEH PIHAK PERTAMA
  1. PIHAK PERTAMA berjanji untuk setiap saat memelihara dan merawat dengan baik seluruh lingkungan dalam wilayah usaha PIHAK PERTAMA termasuk memelihara kebersihan dan kelestarian lingkungan serta sarana-sarana yang digunakan secara bersama-sama.
  2. Selanjutnya PIHAK PERTAMA mengambil tindakan-tindakan pencegahan untuk menjaga keamanan dalam lingkungan wilayah usaha PIHAK PERTAMA, akan tetapi PIHAK PERTAMA tidak bertanggung jawab atas tindakan-tindakan Pihak Ketiga yang dapat mengakibatkan kerusakan dan/atau kerugian pada PIHAK KEDUA.

Pasal 9
PEMELIHARAAN/PERAWATAN OLEH PIHAK KEDUA
  1. PIHAK KEDUA wajib menggunakan dan memelihara Tanah dengan sebaik-baiknya sebagai seorang penyewa yang jujur dan baik serta membayar segala ongkos dan biaya yang ditimbulkan berkenaan dengan pemeliharaan/perawatan dan penggunaan Tanah. Ketentuan di atas berlaku pula bagi bangunan milik PIHAK KEDUA sendiri yang didirikan di atas Tanah yang disewakan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Perjanjian ini, termasuk pula pengecatan secara berkala, sekurang-kurangnya sekali dalam [.......] ([......]) tahun, penyediaan alat-alat pemadam kebakaran secukupnya serta usaha-usaha lainnya untuk menjaga dan mempertahankan kelestarian lingkungan.
  2. PIHAK KEDUA tidak diperbolehkan membuat bangunan, sumur bor atau galian-galian lain di atas Tanah yang disewakan tanpa izin tertulis terlebih dahulu dari PIHAK PERTAMA.
  3. PIHAK KEDUA wajib mentaati dan mematuhi segala perangkat peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang maupun akan datang yang ditetapkan oleh peraturan mengenai pemakaian bangunan pabrik dan/atau pekarangannya dan segala pelanggaran atas peraturan itu semuanya menjadi tanggungan PIHAK KEDUA.

Pasal 10
ASURANSI

Selama berlangsungnya Jangka Waktu Sewa Menyewa, PIHAK KEDUA wajib mengasuransikan bangunan yang didirikan di atas Tanah yang disewanya berikut turutannya serta harta benda yang berada dalam bangunan tersebut terhadap resiko kerugian atau kerusakan karena bahaya kebakaran dan bahaya-bahaya lainnya yang dianggap perlu atas beban dan biaya PIHAK KEDUA.

Pasal 11
JAMINAN PIHAK PERTAMA
  1. PIHAK PERTAMA menjamin PIHAK KEDUA bahwa apa yang disewakan dalam Perjanjian ini adalah merupakan haknya PIHAK PERTAMA, bebas dari sengketa atau sitaan dan tidak dalam keadaan disewakan/dijual kepada pihak lain.
  2. PIHAK PERTAMA selanjutnya menjamin PIHAK KEDUA bahwa PIHAK KEDUA dapat menjalankan hak-haknya sebagai penyewa dari Tanah tersebut dengan tidak mendapat gangguan dari pihak lain dan segala kerugian yang diderita oleh PIHAK KEDUA sebagai akibat dari gangguan-gangguan itu, jika ada, menjadi tanggungan PIHAK PERTAMA, kecuali hal-hal yang terjadi karena Keadaan Kahar (force majeure).
  3. Yang dimaksud dengan Keadaan Kahar adalah keadaan seperti, namun tidak terbatas pada perang, kebakaran, banjir, huru-hara, pemogokan yang timbul dan terjadinya bukan disebabkan oleh kedua belah pihak dalam Perjanjian ini, bencana alam, atau kejadian-kejadian lainnya yang berada di luar kemampuan para pihak yang ada dalam Perjanjian ini.

Pasal 12
PENGALIHAN
  1. PIHAK KEDUA tidak dapat memindahkan ataupun mengalihkan hak sewa berdasarkan Perjanjian ini baik untuk keseluruhan maupun untuk sebagian kepada Pihak lainnya kecuali dengan izin tertulis dari PIHAK PERTAMA, yang dituangkan dalam suatu perjanjian pengalihan sewa-menyewa Tanah.
  2. Sejak Perjanjian pengalihan itu ditandatangani oleh PIHAK PERTAMA, PIHAK KEDUA dan Pihak Ketiga maka Pihak Ketiga yang menerima pengalihan itu wajib membayar Harga Sewa dan memenuhi kewajiban-kewajiban lainnya yang diatur dalam Perjanjian ini dan setuju atas perubahan-perubahan Harga Sewa, Uang Jaminan, Jangka Waktu Sewa serta persyaratan khusus lainnya baik yang diatur dalam Perjanjian ini maupun dalam Perjanjian Pengalihan Sewa Menyewa Tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas.

Pasal 13
PEMUTUSAN PERJANJIAN OLEH PIHAK KEDUA

PIHAK KEDUA berhak setiap saat memutuskan hubungan sewa menyewa berdasarkan Perjanjian ini sebelum saat berakhirnya Jangka Waktu Sewa Menyewa dengan syarat sebagai berikut:
  1. PIHAK KEDUA terlebih dahulu memberitahukan maksudnya secara tertulis sekurang-kurangnya [.....] ([.....]) bulan sebelum Perjanjian ini putus. PIHAK PERTAMA akan memberikan jawaban secara tertulis kepada PIHAK KEDUA tentang permintaan tersebut disertai dengan pemberitahuan hak-hak dan kewajiban-kewajiban lain yang harus dipenuhi kedua belah pihak, termasuk kewajiban untuk memenuhi biaya penggunaan Fasilitas oleh PIHAK KEDUA (dalam hal PIHAK KEDUA menggunakan Fasilitas dari PIHAK PERTAMA).
  2. PIHAK KEDUA tidak berhak menuntut pengembalian uang sewa dan biaya perawatan yang telah diterima oleh PIHAK PERTAMA dari PIHAK KEDUA untuk jangka waktu sewa menyewa yang belum dinikmati oleh PIHAK KEDUA.
  3. PIHAK KEDUA tidak berhak menuntut pengembalian uang jaminan yang telah dibayarkan oleh PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA.

Pasal 14
PEMUTUSAN PERJANJIAN OLEH PIHAK PERTAMA

PIHAK PERTAMA berhak untuk memutuskan hubungan Sewa Menyewa berdasarkan Perjanjian ini dengan segera tanpa pemberitahuan atau peringatan terlebih dahulu kepada PIHAK KEDUA dalam hal-hal sebagai berikut:
  1. Apabila PIHAK KEDUA lalai membayar Harga Sewa, Biaya Perawatan dan/atau tagihan lainnya yang terhutang selama [......] ([......]) bulan setelah pembayaran Harga Sewa dan/atau tagihan tersebut jatuh tempo.
  2. Apabila kegiatan/usaha PIHAK KEDUA dihentikan untuk sementara berdasarkan instruksi/penetapan dari Instansi yang berwenang, atau izin usahanya dicabut oleh PIHAK PERTAMA.

Segala akibat kerugian yang diderita oleh PIHAK KEDUA karena tindakan PIHAK PERTAMA tersebut di atas sepenuhnya menjadi tanggung jawab dan beban PIHAK KEDUA semata-mata dan dengan ini pula PIHAK KEDUA mengikatkan diri untuk tidak mengajukan tuntutan apapun juga terhadap PIHAK PERTAMA berkenaan dengan pengembalian Harga Sewa, Biaya Perawatan, Uang Jaminan yang telah dibayarkan kepada PIHAK PERTAMA dan kerugian lain yang dideritanya.

Pasal 15
PUTUSNYA PERJANJIAN SEWA MENYEWA KARENA KEADAAN MEMAKSA

Apabila karena Keadaan Kahar, Tanah yang disewakan atau bagian daripadanya rusak sedemikian rupa, sehingga tidak dapat lagi digunakan sesuai dengan tujuannya maka Perjanjian Sewa Menyewa ini putus demi hukum terhitung sejak keadaan memaksa itu terjadi. Dalam hal itu PIHAK KEDUA tetap berkewajiban untuk melunasi pembayaran uang sewa, biaya perawatan dan tagihan-tagihan lainnya yang tertunggak.

Pasal 16
PENYERAHAN TANAH PADA SAAT BERAKHIRNYA PERJANJIAN
  1. Apabila Perjanjian ini berakhir karena telah berakhirnya Jangka Waktu Sewa dan apabila Tanah tidak diserahkan kepada Pihak Ketiga atau kepada PIHAK PERTAMA, maka PIHAK KEDUA wajib mengosongkan dan menyerahkan kembali Tanah yang disewakan kepada PIHAK PERTAMA dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya permintaan/pemberitahuan secara tertulis dari PIHAK PERTAMA untuk mengosongkan dan penyerahan tersebut.
  2. Apabila setelah PIHAK KEDUA mengosongkan dan menyerahkan Tanah kepada PIHAK PERTAMA masih juga terdapat barang-barang/mesin-mesin/peralatan-peralatan milik PIHAK KEDUA yang tertinggal di atas Tanah yang disewakan, maka PIHAK PERTAMA berhak untuk menyingkirkan barang-barang/mesin-mesin/peralatan-peralatan tersebut dengan cara yang dianggapnya baik dan wajar. PIHAK KEDUA dengan ini sepakat untuk tidak mengajukan tuntutan dan/atau keberatan-keberatan yang mungkin dapat diajukan terhadap PIHAK PERTAMA berkenaan dengan penyingkiran barang-barang/mesin-mesin/peralatan-peralatan tersebut di atas.
  3. Apabila PIHAK KEDUA lalai untuk mengosongkan dan menyerahkan Tanah yang disewakan pada PIHAK PERTAMA dalam jangka waktu yang ditentukan dalam ayat (1) di atas maka PIHAK PERTAMA berhak membongkar bangunan yang ada di atas Tanah tersebut dan menguasainya dengan cara yang dirasa baik oleh PIHAK PERTAMA tanpa perlu meminta izin dari Pengadilan atau instansi yang berwenang.
  4. Hak untuk melakukan sendiri pengosongan Tanah berikut segala sesuatu yang berada di atas Tanah tersebut adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian ini, sehingga untuk itu suatu Surat Kuasa Khusus tidak diperlukan lagi, jika PIHAK KEDUA cidera janji dan PIHAK PERTAMA akan menggunakan haknya.
  5. PIHAK KEDUA tidak berhak, setelah penyerahan Tanah kepada PIHAK PERTAMA atau sesudahnya, untuk mengajukan tuntutan pembayaran uang pindah ataupun pembayaran atau pengganti lainnya dari biaya-biaya yang mungkin telah dikeluarkannya untuk peningkatan, memperbaiki atau merawat Tanah.
  6. Kewajiban-kewajiban sebagaimana ditetapkan dalam ayat-ayat di atas akan tetap berlaku meskipun Perjanjian ini telah berakhir atau diputuskan.

Pasal 17
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
  1. Perselisihan yang terjadi antara PIHAK PERTAMA dengan PIHAK KEDUA mengenai Perjanjian ini atau setiap bagian dari padanya akan diselesaikan secara musyawarah oleh kedua belah pihak.
  2. Apabila tidak diperoleh penyelesaian, maka kedua belah Pihak dengan ini memilih tempat kediaman yang sah dan tidak berubah di Kantor Pengadilan Negeri [.....................].

Pasal 18
HUKUM YANG BERLAKU

Perjanjian ini tunduk pada hukum serta peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia. Selanjutnya yang berkaitan dengan Perjanjian ini kedua belah pihak sepakat untuk mengesampingkan Pasal 1266 dan Pasal 1267 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan kuasa yang diberikan berdasarkan Perjanjian ini merupakan kuasa yang tidak dapat dicabut kembali karena alasan apapun termasuk alasan yang termuat dalam Pasal 1813 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Pasal 19
KETENTUAN LAIN-LAIN
  1. Jika terjadi perubahan terhadap syarat-syarat yang menyimpang dari Perjanjian ini dilihat dalam konteksnya secara menyeluruh maka hal demikian tidak dapat diartikan bahwa seolah-olah PIHAK PERTAMA telah melepaskan haknya untuk mengajukan tuntutan terhadap PIHAK KEDUA berkenaan dengan cidera janji oleh PIHAK KEDUA yang berkaitan dengan kewajiban-kewajibannya berdasarkan Perjanjian ini.
  2. Perubahan dan/atau tambahan atas ketentuan-ketentuan serta pengaturan atas hal-hal yang belum/belum cukup diatur dalam Perjanjian ini hanya dapat dilakukan dengan suatu addendum yang disepakati oleh kedua belah pihak dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian ini.
Perjanjian ini dibuat dan ditanda tangani oleh Para Pihak dalam keadaan sadar dan tanpa paksaan dari pihak manapun. Perjanjian ini dibuat rangkap dua dan dibubuhi meterai cukup dan keduanya mempunyai kekuatan hukum yang sah.


PIHAK PERTAMA    PIHAK KEDUA


(___________)         (___________)

Saksi-saksi

Saksi Pihak Pertama Saksi Pihak Kedua


(___________)         (___________)

__________________________


Referensi: "Mengurus Sendiri Surat-surat Penting dan Surat Izin Usaha", Burhanudin Ali, SDB, Jakarta, Hi-Fest Publishing, 2008, Hal.: 175-182.

Senin, 06 Juli 2020

Bicara Hukum Perceraian Laudya Cynthia Bella

(Terkini.id)

Oleh:
Mahmud Kusuma, S.H., M.H.

Baru-baru ini kabar perceraian datang dari pasangan selebrity lintas negara tetangga, yaitu Laudya Cynthia Bella dan Engku Emran. Dalam keterangan pers-nya, Laudya Cynthia Bella mengaku hubungannya 'sudah selesai' dengan Engku Emran. 

Kabar Perceraian

Sebagaimana dikutip Detik.com, pengakuan Laudya Cynthia Bella terkait pemberitaan tentang rumah tangganya: "Saya ingin menjelaskan bahwa kami berdua sudah sama-sama sepakat untuk berpisah secara baik-baik". Laudya Cynthia Bella mengatakan sudah berusaha semampu tenaga untuk mempertahankan rumah tangganya dengan Engku Emran. Namun, takdir berkata lain mengenai hal itu. Sudah berbagai upaya yang kami lakukan dan ini adalah takdir Allah SWT, rumah tangga kami hanya sampai di sini. Sudah segala proses kami lalui dan saat ini sudah selesai." beber Laudya Cynthia Bella lagi. "2 tahun beliau menjadi suami saya. Banyak sekali kebaikan, hikmah dan pembelajaran yang saya dapat. Insyaallah hikmah, pembelajaran semua yang saya dapat ini, bisa saya jadikan bekal, bisa saya simpan untuk saya menjadi wanita yang Insyaallah bisa jauh lebih baik lagi, amin," terang Laudya Cynthia Bella.[1]

Kabar perceraian ini tentu merupakan kabar yang pilu. Dikarenakan sebelumnya, perceraian juga terjadi pada pasangan lintas negara tetangga, yaitu antara Bunga Citra Lestari dengan Ashraf Sinclair, hanya saja pada pasangan terakhir ini cerainya adalah cerai mati, bukan cerai hidup. Kembali ke soal perceraian Laudya Cynthia Bella dengan Engku Emran, akan menarik jika soal ini ditarik ke dalam ranah hukum, khususnya hukum Indonesia. Tapi sidang pembaca harap maklum dikarenakan terbatasnya data yang Penulis peroleh, akan tetapi hal ini tentu saja tidak menjadikan suatu halangan dalam berkarya berupa memberikan semacam opini hukum kilat.

Duduk Perkara Singkat

Laudya Cynthia Bella menikah dengan Engku Emran di Malaysia pada 8 September 2017. Pernikahan itu pun digelar sangat jauh dari pemberitaan media. Bahkan media Malaysia juga tak diizinkan untuk mengambil gambar pernikahan itu.[2]

Tak lama kemudian, Laudya Cynthia Bella dengan Engku Emran mengadakan resepsi (pernikahan) di Bandung, Jawa Barat. Dalam resepsi itu, Laudya Cynthia Bella mengundang teman-temannya yang tidak hadir di Malaysia saat ijab-kabul berlangsung.[3]

Setelah menikah, Laudya Cynthia Bella memutuskan untuk tinggal di Malaysia bersama sang suami. Namun untuk urusan pekerjaan, Laudya Cynthia Bella masih bolak-balik Jakarta-Malaysia. Dari pernikahan itu, Laudya Cynthia Bella tersebut belum dikaruniai momongan. Sedangkan Engku Emran sendiri sudah memiliki anak dari pernikahan sebelumnya.[4]

Fakta-fakta Hukum & Ketentuan Hukum

Fakta hukum pertama yang harus dicermati tentu saja adalah Pernikahannya. Sebagaimana telah dikutip di atas, bahwa "Laudya Cynthia Bella menikah dengan Engku Emran di Malaysia pada 8 September 2017". Fakta hukum pertama yang penting dan harus digaris bawahi di sini adalah bahwa pernikahan kedua sejoli ini dilakukan di Malaysia. Sedangkan soal resepsi pernikahan yang diadakan di Bandung adalah peristiwa seremonial, tidak terkait langsung sebagai fakta hukum.

Jika dikaitkan dengan ketentuan hukum Indonesia, yaitu Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, khususnya Pasal 56 ayat (1) dan (2) yang berbunyi sebagai berikut:
"(1) Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan warga negara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-undang ini".
Dengan demikian, jika dikaitkan antara fakta hukum di atas bahwa pernikahan antara Laudya Cynthia Bella dan Engku Emran adalah terjadi di Malaysia, dengan ketentuan hukum Indonesia yaitu Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, khususnya Pasal 56 ayat (1) yang baru saja dikutip, maka sepanjang perkawinan dimaksud tidak melanggar ketentuan Undang-undang Perkawinan Indonesia, perkawinan antara Laudya Cynthia Bella menikah dengan Engku Emran yang terjadi di Malaysia adalah juga sah menurut hukum Indonesia. 

Kemudian Pasal 56 ayat (2) Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tersebut adalah berbunyi sebagai berikut:
"(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami-isteri itu kembali di wilayah Indonesia surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka".
Dengan demikian, jika dikaitkan antara ketentuan hukum Pasal 56 ayat (2) Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dengan fakta hukum dimaksud bahwa seharusnya sebelum jangka waktu 1 (satu) tahun setelah tanggal  8 September 2017, pasangan ini mendaftarkan perkawinannya di Kantor Pencatatan Perkawinan di Indonesia di wilayah dimana mereka tinggal. Akan tetapi hal ini hanya menjadi asumsi, dikarenakan penulis tidak mendapat data mengenai benar atau tidaknya pasangan ini kemudian mendaftarkan pernikahannya di tanah air. Jikapun memang benar bahwa pada tanggal 8 September 2017 pasangan ini telah menikah di Malaysia dan berlaku hukum Malaysia, namun tidak mendaftarkannya dalam jangka waktu dimaksud kepada otoritas yang ditunjuk oleh hukum Indonesia, maka dimata hukum Perkawinan kedua pasangan ini menjadi tidak tercatat. Penulis boleh berpendapat dalam hal demikian, maka perkawinannya adalah semacam perkawinan siri di dalam konteks praktik negara kita.

Fakta hukum kedua yang harus dicermati adalah Perceraiannya. Dalam lanjutan keterangan pers-nya, Laudya Cynthia Bella mengatakan: "Sudah berbagai upaya yang kami lakukan dan ini adalah takdir Allah SWT, rumah tangga kami hanya sampai di sini. Sudah segala proses kami lalui dan saat ini sudah selesai", jelasnya.[5]

Fakta hukum kedua yang penting dan harus digaris bawahi di sini adalah bahwa segala proses kami lalui dan saat ini sudah selesai. Frase "sudah selesai" inilah yang menekankan pentingnya fakta hukum di sini, namun tentu saja menyisakan beberapa pertanyaan kemudian. Fakta hukum di atas jika dikaitkan dengan ketentuan hukum Indonesia yaitu Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, khususnya Pasal 39 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut:
"(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhenti mendamaikan kedua belah pihak.
..."
Juga tunduk dengan ketentuan Pasal 40 ayat (1) Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang berbunyi sebagai berikut: 
"(1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
..." 
Maka, dalam hal perkawinan antara Laudya Cynthia Bella dengan Engku Emran ini dilakukan di Malaysia dan telah didaftarkan di Indonesia ke otoritas yang ditunjuk Undang-undang, dan selanjutnya proses perceraiannya pun sudah seharusnya melalui prosedur Gugatan di Pengadilan. Namun dari fakta yang penulis dapatkan dari kalimat bahwa "segala proses kami lalui dan saat ini sudah selesai", ketentuan hukum yang mengatur bahwa Laudya Cynthia Bella harus menggugat cerai Engku Emran di Pengadilan di wilayah hukum Indonesia tidak didukung oleh fakta. Dari kalimat di sebutkan sebelumnya "segala proses kami lalui dan saat ini sudah selesai", mungkin saja proses hukum perceraian kedua pasangan ini telah dilakukan di Malaysia dengan aturan hukum di negara tersebut.

Kesimpulan

Berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh, asumsi hukum serta aturan yang ada, maka apabila ditelisik lebih dalam, dalam hal memang pernikahan pasangan ini tidak pernah mendaftarkannya di wilayah hukum Indonesia, a.k.a Perkawinan Siri, maka tidak ada kewajiban, khususnya bagi Laudya Cynthia Bella yang menyandang status kewarganegaraan Indonesia untuk menggugat Engku Emran di Pengadilan Indonesia terkait perceraiannya. Dengan demikian, hubungan pasangan ini 'telah selesai' dengan sendirinya.
___________________________
1. "Laudya Cynthia Bella dan Engku Emran Sudah Resmi Cerai!", www.Detik.com, 01 Juli 2020, https://hot.detik.com/celeb/d-5074949/laudya-cynthia-bella-dan-engku-emran-sudah-resmi-cerai
2. www.Detik.com, Ibid.
3. www.Detik.com, Ibid.
4. www.Detik.com, Ibid.
5. "Laudya Cynthia Bella dan Engku Emran Cerai, Cuma Bertahan 2 Tahun", www.Detik.com, 04 Juli 2020, https://hot.detik.com/celeb/d-5079676/laudya-cynthia-bella-dan-engku-emran-cerai-cuma-bertahan-2-tahun

Sabtu, 04 Juli 2020

Kebolehan Menerapkan Kompetensi Relatif Berdasarkan Tempat Tinggal Penggugat

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Actor Sequitor Forum Rei Tanpa Hak Opsi", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Kebolehan Menerapkan Kompetensi Relatif Berdasarkan Tempat Tinggal Penggugat.

Pasal 118 ayat (3) HIR kalimat pertama, memberi hak kepada Penggugat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri tempat tinggal Penggugat. Kebolehan menerapkan kompetensi relatif berdasarkan tempat tinggal Penggugat, dengan syarat sebagai berikut:[1]

  • Apabila tempat tinggal atau kediaman Tergugat tidak diketahui. Maksudnya, tempat tinggal atau kediaman tergugat tidak diketahui. Rumusan Pasal 118 ayat (3) HIR mempergunakan juga kata-kata tempat tinggal Tergugat tidak dikenal dianggap tidak rasional. Maksud yang sebenarnya, tempat tinggal tergugat tidak diketahui. Pasal 390 ayat (3) HIR, telah mengatur tata cara pemanggilannya melalui panggilan umum oleh Walikota atau Bupati.
  • Penerapan katentuan ini, tidak boleh dimanipulasi oleh Penggugat. Agar penerapan yang memberi hak bagi Penggugat mengajukan Gugatan kepada Pengadilan Negeri, di tempat tinggal Penggugat, perlu diikuti dengan surat keterangan dai pejabat yang berwenang, yang menyatakan tempat tinggal Tergugat tidak diketahui. Yang dianggap paling objektif dan kompeten mengeluarkan surat keterangan tentang itu adalah Kepala Desa (atau Lurah) tempat terakhir Tergugat bertempat tinggal.
Ketentuan mengenai kebolehan penerapan ini, lebih jelas diatur dalam Pasal 99 ayat (3) Rv, yang berbunyi: "Jika ia (Tergugat) tidak mempunyai tempat tinggal yang diakui, dihadapan hakim di tempat tinggal Penggugat". Penerapan ketentuan ini beralasan, dan efektif mengatasi Tergugat yang beritikad buruk menghilangkan jejak tempat tinggalnya. Karena dengan ketentuan ini, undang-undang membuka jalan bagi Penggugat membela dan mempertahankan haknya melalui Pengadilan, meskipun Tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya.[2] 
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 197.
2. Ibid. Hal.: 197.

Kamis, 02 Juli 2020

Actor Sequitor Forum Rei Tanpa Hak Opsi

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Actor Sequitor Forum Rei dengan Hak Opsi", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Actor Sequitor Forum Rei Tanpa Hak Opsi.

Kebalikan dari penerapan actor sequitor forum rei dengan hak opsi adalah tanpa opsi. Undang-undang tidak memberi hak opsi kepada Penggugat, meskipun pihak Tergugat terdiri dari beberapa orang. Ketentuannya diatur pada kalimat kedua Pasal 118 ayat (2) HIR dan Pasal 99 ayat (6) Rv yang menjelaskan:[1]
  • Dalam hal para tergugat satu sama lain mempunyai hubungan: a). Yang satu berkedudukan sebagai debitur pokok atau debitur principal; b). Sedangkan yang selebihnya, berkedudukan sebagai penjamin (borgtocht; guarantor) berdasarkan Pasal 1820 KUHPerdata;
  • Maka dalam kasus yang demikian, kompetensi relatif Pengadilan Negeri yang mengadili perkara adalah: a). Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal debitur pokok (principal); b). Kepada penggugat tidak diberi hak mempergunakan hak opsi untuk memilih Pengadilan Negeri berdasarkan daerah hukum tempat tinggal penjamin.
Menghadapi kompetensi relatif yang berkenaan dengan sengketa yang timbul antara kreditur dengan debitur serta penjamin, undang-undang tetap mempertahankan sifat asesor perjanjian penjaminan, sehingga untuk menentukan kompetensi relatif Pengadilan Negeri dalam penyelesaian sengketa, mutlak berpatokan pada tempat tinggal debitur pokok (principal). Oleh karena itu, hukum tidak membenarkan pengajuan gugatan kepada Pengadilan Negeri berdasarkan daerah hukum tempat tinggal penjamin.[2] Penulis berpendapat bahwa rasio legis yang digunakan oleh undang-undang cukup jelas, meskipun kedudukan guarantor juga penting, akan tetapi tetaplah kedudukan guarantor adalah sebagai ikutan dari perjanjian pokok yang timbul antara kreditur dengan debitur.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 196.
2. Ibid. Hal.: 196-197.

Actor Sequitor Forum Rei dengan Hak Opsi

(Getty Images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu redaksi Hukumindo.com telah membahas mengenai "Asas Actor Sequitor Forum Rei", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Actor Sequitor Forum Rei dengan Hak Opsi.

Ketentuan penerapan asas actor sequitor forum rei yang memberi hak opsi kepada Penggugat memilih salah satu Pengadilan Negeri diatur dalam Pasal 118 ayat (2) HIR, kalimat pertama yang menegaskan: "Jika tergugat lebih dari seorang, sedangkan mereka tidak tinggal di dalam itu, dimajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat salah seorang dari Tergugat itu, yang dipilih oleh Penggugat".[1]

Ketentuan tersebut sama dengan Pasal 99 ayat (6) Rv. Bahkan rumusan Rv lebih jelas, yang berbunyi sebagai berikut: "Dalam hal ada beberapa Tergugat, di hadapan hakim di tempat tinggal salah satu tergugat atas pilihan Penggugat".[2]

Bertitik tolak dari ketentuan itu, kepada Penggugat diberi hak opsi pengajuan Gugatan berdasarkan asas actor sequitor forum rei dengan acuan penerapan:[3]
  • Tergugat yang ditarik sebagai pihak, terdiri dari beberapa orang (lebih dari satu orang);
  • Masing-masing Tergugat, bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan Negeri yang berbeda. Misalnya, A bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan Negeri Bogor, B di daerah hukum Pengadilan Negeri Sukabumi, dan C di daerah hukum Pengadilan Negeri Yogyakarta;
  • Dalam kasus yang seperti ini, undang-undang memberi hak opsi kepada Penggugat untuk memilih salah satu Pengadilan Negeri yang dianggapnya paling menguntungkan. Gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Negeri Bogor, Pengadilan Negeri Sukabumi, atau Pengadilan Negeri Yogyakarta.
Menghadapi kasus seperti ini, Penggugat tidak diharuskan mengajukan gugatan kepada masing-masing Tergugat secara terpisah dan berdiri sendiri kepada setiap Pengadilan Negeri sesuai dengan asas actor sequitor forum rei. Gugatan sah diakumulasi kepada semua Tergugat, dan kompetensi relatifnya dapat diajukan kepada salah satu Pengadilan Negeri yang dipilih Penggugat. Penerapannya yang demikian ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 261 K/Sip/1973, tertanggal 19 Agustus 1975.[4]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 195.
2. Ibid. Hal.: 195.
3. Ibid. Hal.: 195.
4. Ibid. Hal.: 195.

Rabu, 01 Juli 2020

Asas Actor Sequitor Forum Rei

(Getty Images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Kewenangan Relatif Pengadilan Negeri", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Actor Sequitor Forum Rei.

Patokan menentukan kewenangan mengadili dihubungkan dengan batas daerah hukum Pengadilan Negeri, merujuk pada ketentuan Pasal 118 HIR (Pasal 142 RBg). Akan tetapi, untuk memperjelas pembahasannya, sengaja berorientasi juga pada Pasal 99 Rv. Berdasarkan ketentuan-ketentuan itu, dapat dijelaskan beberapa patokan menentukan kompetensi relatif sebagaimana dijelaskan berikut ini.[1]

1. Actor Sequitor Forum Rei

Patokan ini digariskan Pasal 118 ayat (1) HIR yang menegaskan: a). Yang berwenang mengadili suatu perkara adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal Tergugat; b). Oleh karena itu, agar gugatan yang diajukan Penggugat tidak melanggar batas kompetensi relatif, gugatan harus diajukan dan dimasukkan kepada Pengadilan Negeri yang berkedudukan di wilayah atau daerah hukum tempat tinggal Tergugat.[2]

Mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri di luar wilayah tempat tinggal Tergugat, tidak dibenarkan. Rasio (legis) penegakkan patokan actor sequitor forum rei atau forum domisili, bertujuan untuk melindungi Tergugat. Siapapun tidak dilarang menggugat seseorang, tetapi kepentingan Tergugat harus dilindungi dengan cara melakukan pemeriksaan di Pengadilan Negeri tempat tinggalnya, bukan di tempat tinggal Penggugat.[3]

a. Yang dimaksud dengan Tempat Tinggal Tergugat

-Tempat kediaman, atau
-Tempat alamat tertentu, atau
-Tempat kediaman sebenarnya.[4]

b. Sumber Menentukan Tempat Tinggal Tergugat

-Berdasarkan KTP,
-Kartu Rumah Tangga,
-Surat Pajak, dan
-Anggaran Dasar Perseroan.[5]

c. Perubahan Tempat Tinggal Setelah Gugatan Diajukan

Apabila terjadi perubahan tempat tinggal, setelah gugatan diajukan:
- Tidak memengaruhi keabsahan gugatan ditinjau dari segi kompetensi relatif;
- Hal ini demi menjamin kepastian hukum (legal certainty) dan melindungi kepentingan Penggugat dari kesewenangan dan itikad buruk Tergugat.[6]

d. Diajukan kepada Salah Satu Tempat Tinggal Tergugat

Apabila Tergugat memiliki dua atau lebih tempat tinggal yang jelas dan resmi, gugatan dapat diajukan Penggugat kepada salah satu Pengadilan Negeri, sesuai dengan daerah hukum tempat tinggal tersebut. Hal ini ditegaskan dalam Putusan MA Nomor: 604 K/Pdt/1984, tertanggal 28-9-1985.[7]

e. Kompetensi Relatif Tidak Didasarkan Atas Kejadian Peristiwa yang Disengketakan

Seperti yang sudah dijelaskan, Pasal 118 ayat (1) HIR telah menetapkan patokan kompetensi relatif Pengadilan Negeri mengadili suatu perkara, berdasarkan tempat tinggal tergugat (actor sequitor forum rei). Patokannya bukan locus delicti seperti yang diterapkan dalam perkara pidana.[8]

f. Penerapan Asas Actor Sequitor Forum Rei Apabila Objek Sengketa Benda Bergerak dan Tuntutan Ganti Kerugian Atas Perbuatan Melawan Hukum

Memang hal ini tidak disebut secara tegas dalam Pasal 118 ayat (1) HIR, namun hal itu disimpulkan jika ketentuan ini dihubungkan dengan Pasal 118 ayat (3), yang menegaskan, apabila objek gugatan barang tidak bergerak, Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili adalah Pengadilan Negeri yang di daerah hukumnya barang tersebut terletak. Dalam Rv, hal itu disebut dengan tegas dalam Pasal 99 ayat (1) yang berbunyi: "Seorang tergugat dalam perkara pribadi yang murni mengenai benda-benda bergerak dituntut di hadapan hakim di tempat tinggalnya". Penerapannya ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2558 K/Pdt/1984, tanggal 20 Januari 1986. Menurut putusan ini, oleh karena yang disengketakan bukan mengenai benda tetap (barang tidak bergerak), melainkan tentang ganti kerugian atas dasar perbuatan melawan hukum (PMH) kebun Penggugat terbakar, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 142 ayat (1) RBg (sama dengan Pasal 118 ayat (1) HIR), kompetensi relatif yang harus ditegakkan dalam penyelesaian perkara adalah berdasarkan asas actor sequitor forum rei, bukan asas forum rei sitae (letak barang) yang digariskan Pasal 142 (4) RBg (Pasal 118 ayat (3) HIR).[9]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 192.
2. Ibid. Hal.: 192.
3. Ibid. Hal.: 192.
4. Ibid. Hal.: 192. 
5. Ibid. Hal.: 193.
6. Ibid. Hal.: 193.
7. Ibid. Hal.: 193.
8. Ibid. Hal.: 193-194
9. Ibid. Hal.: 194.

Selasa, 30 Juni 2020

Kewenangan Relatif Pengadilan Negeri

(iStock Photo)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Kewenangan Absolut Berdasarkan Faktor Instansional", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Kewenangan Relatif Pengadilan Negeri.

Setiap Pengadilan Negeri (District Court) terbatas daerah hukumnya. Hal itu sesuai dengan kedudukan Pengadilan Negeri hanya berada pada wilayah tertentu. Menurut Pasal 4 ayat (1) UU Nomor: 2 Tahun 1986, bahwa: a). Pengadilan Negeri berkedudukan di Kotamadya atau ibukota Kabupaten; b). Daerah hukumnya, meliputi wilayah Kotamadya atau Kabupaten yang bersangkutan.[1]

Berdasarkan pasal itu, kewenangan mengadili Pengadilan Negeri hanya terbatas pada daerah hukumnya, di luar itu tidak berwenang. Daerah hukum masing-masing Pengadilan Negeri hanya meliputi wilayah Kotamadya atau Kabupaten, tempat dia berada dan berkedudukan. Pengadilan Negeri yang berkedudukan di Kabupaten Bekasi, daerah hukumnya terbatas meliputi wilayah Kabupaten Bekasi (saja).[2]

Tempat kedudukan daerah hukum, menentukan batas kompetensi relatif mengadili bagi setiap Pengadilan Negeri. Meskipun perkara yang disengketakan termasuk yurisdiksi absolut lingkungan Peradilan Umum, sehingga secara absolut Pengadilan Negeri berwenang mengadilinya, namun kewenangan absolut itu dibatasi oleh kewenangan mengadili secara relatif. Jika perkara yang terjadi berada di luar daerah hukumnya, secara relatif Pengadilan Negeri tersebut tidak berwenang mengadilinya. Apabila terjadi pelampampauan batas daerah hukum, berarti Pengadilan Negeri bersangkutan melakukan tindakan melampaui batas kewenangan (exceeding its power).[3]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 191.
2. Ibid. Hal.: 191.
3. Ibid. Hal.: 191-192.

Minggu, 28 Juni 2020

Kewenangan Absolut Berdasarkan Faktor Instansional

(iStock Photo)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Kewenangan Absolut Extra Judicial", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Kewenangan Absolut Berdasarkan Faktor Instansional.

Faktor lain yang menjadi dasar terbentuknya kewenangan absolut mengadili adalah faktor instansional. Pasal 10 ayat (3), Pasal 19 dan Pasal 20 UU Nomor: 14 Tahun 1970 (sebagaimana diubah dengan UU Nomor: 35 Tahun 1999), dan sekarang berdasarkan Pasal 21 dan Pasal 22 UU Nomor: 4 Tahun 2004 memperkenalkan sistem instansional penyelesaian perkara:[1]
  1. Pengadilan Tingkat Pertama, menurut Pasal 3 UU Nomor: 2 Tahun 1986, kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Umum, terdiri dari: 1). Pengadilan Negeri (PN), dan 2). Pengadilan Tinggi (PT). Selanjutnya Pasal 6, Pasal 50 mengatur: a). PN Merupakan pengadilan tingkat pertama; b). PN Sebagai pengadilan tingkat pertama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama , dan c). PN Berkedudukan di Kotamadya atau Ibukota Kabupaten.[2]
  2. Pengadilan Tingkat Banding, menurut Pasal 19 UU Nomor: 14 Tahun 1970 sebagaimana diubah dengan UU Nomor: 35 Tahun 1999 dan sekarang berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UU Nomor: 4 Tahun 2004, semua putusan pengadilan pertama dapat diminta banding. Selanjutnya Pasal 6 UU Nomor: 2 Tahun 1986 mengatur yang bertindak sebagai instansi pengadilan tingkat banding adalah Pengadilan Tinggi yang berkedudukan di Ibukota Provinsi.[3]
  3. Pengadilan Kasasi, Pengadilan kasasi menurut Pasal 22 UU Nomor: 4 Tahun 2004, dilakukan oleh MA. Pasal ini mengatakan, terhadap putusan Pengadilan dalam tingkat banding, dapat dimintakan Kasasi kepada MA oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Ketentuan ini sama dengan yang digariskan Pasal 11 ayat (2) huruf "a" UU tersebut yang mengatur, terhadap putusan-putusan yang diberikan tingkat terakhir oleh pengadilan-pengadilan lain dari MA, kasasi dapat dimintakan kepada MA. Hal dimaksud dipertegas lagi dalam UU Nomor: 14 tahun 1985 sebagaimana diubah dalam UU Nomor: 5 Tahun 2004. Pada Pasal 28 ayat (1) huruf "a" mengatakan salah satu kekuasaan MA, bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan permohonan Kasasi.[4]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 190.
2. Ibid. Hal.: 190.
3. Ibid. Hal.: 190.
4. Ibid. Hal.: 191.

Not Paying 3 Months' Rent, Man Allegedly Locked by Apartment Owner Until He Starved to Death

( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Expired Indonesia Driving License Can be E...