Selasa, 30 Juni 2020

Kewenangan Relatif Pengadilan Negeri

(iStock Photo)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Kewenangan Absolut Berdasarkan Faktor Instansional", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Kewenangan Relatif Pengadilan Negeri.

Setiap Pengadilan Negeri (District Court) terbatas daerah hukumnya. Hal itu sesuai dengan kedudukan Pengadilan Negeri hanya berada pada wilayah tertentu. Menurut Pasal 4 ayat (1) UU Nomor: 2 Tahun 1986, bahwa: a). Pengadilan Negeri berkedudukan di Kotamadya atau ibukota Kabupaten; b). Daerah hukumnya, meliputi wilayah Kotamadya atau Kabupaten yang bersangkutan.[1]

Berdasarkan pasal itu, kewenangan mengadili Pengadilan Negeri hanya terbatas pada daerah hukumnya, di luar itu tidak berwenang. Daerah hukum masing-masing Pengadilan Negeri hanya meliputi wilayah Kotamadya atau Kabupaten, tempat dia berada dan berkedudukan. Pengadilan Negeri yang berkedudukan di Kabupaten Bekasi, daerah hukumnya terbatas meliputi wilayah Kabupaten Bekasi (saja).[2]

Tempat kedudukan daerah hukum, menentukan batas kompetensi relatif mengadili bagi setiap Pengadilan Negeri. Meskipun perkara yang disengketakan termasuk yurisdiksi absolut lingkungan Peradilan Umum, sehingga secara absolut Pengadilan Negeri berwenang mengadilinya, namun kewenangan absolut itu dibatasi oleh kewenangan mengadili secara relatif. Jika perkara yang terjadi berada di luar daerah hukumnya, secara relatif Pengadilan Negeri tersebut tidak berwenang mengadilinya. Apabila terjadi pelampampauan batas daerah hukum, berarti Pengadilan Negeri bersangkutan melakukan tindakan melampaui batas kewenangan (exceeding its power).[3]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 191.
2. Ibid. Hal.: 191.
3. Ibid. Hal.: 191-192.

Minggu, 28 Juni 2020

Kewenangan Absolut Berdasarkan Faktor Instansional

(iStock Photo)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Kewenangan Absolut Extra Judicial", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Kewenangan Absolut Berdasarkan Faktor Instansional.

Faktor lain yang menjadi dasar terbentuknya kewenangan absolut mengadili adalah faktor instansional. Pasal 10 ayat (3), Pasal 19 dan Pasal 20 UU Nomor: 14 Tahun 1970 (sebagaimana diubah dengan UU Nomor: 35 Tahun 1999), dan sekarang berdasarkan Pasal 21 dan Pasal 22 UU Nomor: 4 Tahun 2004 memperkenalkan sistem instansional penyelesaian perkara:[1]
  1. Pengadilan Tingkat Pertama, menurut Pasal 3 UU Nomor: 2 Tahun 1986, kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Umum, terdiri dari: 1). Pengadilan Negeri (PN), dan 2). Pengadilan Tinggi (PT). Selanjutnya Pasal 6, Pasal 50 mengatur: a). PN Merupakan pengadilan tingkat pertama; b). PN Sebagai pengadilan tingkat pertama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama , dan c). PN Berkedudukan di Kotamadya atau Ibukota Kabupaten.[2]
  2. Pengadilan Tingkat Banding, menurut Pasal 19 UU Nomor: 14 Tahun 1970 sebagaimana diubah dengan UU Nomor: 35 Tahun 1999 dan sekarang berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UU Nomor: 4 Tahun 2004, semua putusan pengadilan pertama dapat diminta banding. Selanjutnya Pasal 6 UU Nomor: 2 Tahun 1986 mengatur yang bertindak sebagai instansi pengadilan tingkat banding adalah Pengadilan Tinggi yang berkedudukan di Ibukota Provinsi.[3]
  3. Pengadilan Kasasi, Pengadilan kasasi menurut Pasal 22 UU Nomor: 4 Tahun 2004, dilakukan oleh MA. Pasal ini mengatakan, terhadap putusan Pengadilan dalam tingkat banding, dapat dimintakan Kasasi kepada MA oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Ketentuan ini sama dengan yang digariskan Pasal 11 ayat (2) huruf "a" UU tersebut yang mengatur, terhadap putusan-putusan yang diberikan tingkat terakhir oleh pengadilan-pengadilan lain dari MA, kasasi dapat dimintakan kepada MA. Hal dimaksud dipertegas lagi dalam UU Nomor: 14 tahun 1985 sebagaimana diubah dalam UU Nomor: 5 Tahun 2004. Pada Pasal 28 ayat (1) huruf "a" mengatakan salah satu kekuasaan MA, bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan permohonan Kasasi.[4]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 190.
2. Ibid. Hal.: 190.
3. Ibid. Hal.: 190.
4. Ibid. Hal.: 191.

Sabtu, 27 Juni 2020

Kewenangan Absolut Extra Judicial

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Kekuasaan Absolut Mengadili", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Kewenangan Absolut Extra Judicial.

Selain pengadilan negara yang berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman yang digariskan amandemen Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 2 Jo. Pasal 10 ayat (2) UU Nomor: 4 Tahun 2004, terdapat juga sistem penyelesaian sengketa berdasarkan yurisdiksi khusus (specific jurisdiction) yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Sistem dan badan yang bertindak melakukan penyelesaian itu, disebut peradilan semu atau extra judicial.[1] Penulis berpendapat akan lebih tepat jika perdilan dimaksud disebut dengan 'peradilan khusus'. Berikut dijumpai beberapa extra judicial yang memiliki yurisdiksi absolut menyelesaikan jenis sengketa tertentu.

Arbitrase, kedudukan arbitrase dalam sistem hukum Indonesia telah dikenal sejak masa lalu, Pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBg mengakui eksistensi arbitrase. Saat ini, kedudukan dan keberadaan arbitrase dalam sistem hukum Indonesia diperkokoh oleh UU Nomor: 30 Tahun 1999. Undang-undang ini mengatur yurisdiksi absolut arbitrase: a). Pasal 3 menyatakan, Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang terikat dalam perjanjian arbitrase; b). Pasal 11 mempertegas yurisdiksi absolut arbitrase yang disebut dalam Pasal 3, yang menyatakan: 1). Adanya klausul arbitrase dalam perjanjian, meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa yang termuat dalam perjanjian ke PN; 2). PN wajib menolak dan tidak campur tangan di dalam penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal tertentu, misalnya dalam pelaksanaan putusan.[2]

Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, badan ini disingkat dengan P4, keberadaannya dalam sistem hukum Indonesia berdasarkan UU Nomor: 22 tahun 1957. Akan tetapi dengan diterbitkannya UU Nomor: 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial pada tanggal 14 Januari 2004, kewenangan penyelesaian perselisihan yang timbul antara Pengusaha dengan Buruh jatuh menjadi yurisdiksi absolut Pengadilan Hubungan Industrial, yang bertindak: a). Sebagai Pengadilan Khusus; b). Kewenangannya memeriksa, mengadili, dan memberikan putusan terhadap perselisihan hubungan industrial; c). Organisasinya dibentuk di Lingkungan Pengadilan Negeri.[3]

Pengadilan Pajak, peradilan lain yang memiliki yurisdiksi khusus adalah Pengadilan Pajak. Semula diatur dalam UU Nomor: 17 Tahun 1997, diberi nama Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BSPP). Berdasarkan UU Nomor: 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak, BPSP dirubah menjadi Pengadilan Pajak.[4]

Mahkamah Pelayaran, badan ini diatur dalam Ordonansi Majelis Pelayaran, St. 1934-215 (27 April 1934) Jo. St. 1938-2, yurisdiksi khususnya diatur dalam Pasal 1, meliputi kewenangan: a). Memeriksa dan memutus perkara yang timbul dari Pasal 25 ayat (4), (7), (8) dan (11) Ordonansi Kapal 1935 (St. 1939-66); b). Memeriksa dan memutus peristiwa yang disebut Pasal 373 a KUHD yaitu: Nahkoda yang melakukan tindakan yang tidak senonoh terhadap kapal, muatan atau penumpang; c). Memeriksa dan/atau memutus semua hal yang oleh suatu peraturan perundang-undangan dibebankan kepada Mahkamah Pelayaran.[5]

Para pembaca yang budiman tentu dapat menambahkan yurisdiksi absolut lainnya, yang cukup familiar adalah Peradilan Niaga yang mengadili (1) kepailitan dan Peradilan (2) HAM terkait Hak Azasi Manusia. Namun demikian, penulis tidak akan membahas hal ini lebih lanjut.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 183.
2. Ibid. Hal.: 183-184.
3. Ibid. Hal.: 185-187.
4. Ibid. Hal.: 188.
5. Ibid. Hal.: 189.

Kamis, 25 Juni 2020

Kekuasaan Absolut Mengadili

(Shutterstock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Kekuasaan Mengadili Merupakan Syarat Formal", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Kekuasaan Absolut Mengadili.

Ditinjau dari segi kekuasaan absolut atau yurisdiksi absolut mengadili, kedudukan Pengadilan Negeri (PN) dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama adalah berdasarkan sistem pembagian lingkungan peradilan, Pengadilan Negeri (PN) berhadapan dengan kewenangan absolut lingkungan peradilan lain.[1]

Menurut amandeman Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) UU Nomor: 14 Tahun 1970 sebagaimana diubah dengan UU Nomor: 35 Tahun 1999 dan sekarang diganti dengan Pasal 2 Jo. Pasal 10 ayat (2) UU Nomor: 4 Tahun 2004, mengenai Kekuasaan Kehakiman (Judicial Power) yang berada di bawah Mahkamah Agung (MA), dilakukan dan dilaksanakan oleh beberapa lingkungan peradilan yang terdiri dari:[2]
  1. Peradilan Umum;
  2. Peradilan Agama;
  3. Peradilan Militer; dan
  4. Peradilan Tata Usaha Negara.
Peradilan Umum sebagaimana yang digariskan Pasal 50 dan Pasal 51 UU Nomor: 2 Tahun 1986 (Tentang Peradilan Umum), hanya berwenang mengadili Perkara:
  1. Pidana (Pidana Umum dan Khusus) dan
  2. Perdata (Perdata umum dan niaga).
Peradilan Agama berdasarkan Pasal 49 UU Nomor: 7 Tahun 1989 (Tentang Peradilan Agama), hanya berwenang mengadili perkara bagi rakyat yang beragama Islam, mengenai:
  1. Perkawinan;
  2. Kewarisan (Meliputi wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam),
  3. Wakaf dan shadaqoh. Penulis meneruskan, yang juga harus ditambahkan adalah ekonomi syariah.
Peradilan TUN, menurut Pasal 47 UU Nomor: 5 Tahun 1986 (Tentang Peradilan TUN), kewenangannya terbatas dan tertentu untuk mengadili sengketa Tata Usaha Negara.[3]

Peradilan Militer, sesuai dengan ketentuan Pasal 40 UU Nomor: 31 Tahun 1997, hanya berwenang mengadili perkara pidana yang terdakwanya terdiri dari Prajurit TNI berdasarkan ketentuan tertentu.[4]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 180.
2. Ibid. Hal.: 180.
3. Ibid. Hal.: 181.
4. Ibid. Hal.: 181.

Rabu, 24 Juni 2020

Kekuasaan Mengadili Merupakan Syarat Formal

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terakhir platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Penggabungan Gugatan Cerai dengan Pembagian Harta Bersama Bagi Non Muslim", dan Pada kesempatan selanjutnya kita akan melangkah dari topik penggabungan gugatan ke topik Kekuasaan Mengadili. Pada artikel ini akan akan membahas tentang Kekuasaan Mengadili Merupakan Syarat Formal.

Keberadaan peradilan perdata bertujuan menyelesaikan sengketa yang timbul di antara anggota masyarakat. Sengketa yang terjadi, berbagai ragam. Ada yang berkenaan dengan pengingkaran atau pemecahan perjanjian, perbuatan melawan hukum, sengketa hak milik, perceraian, pailit, penyalahgunaan wewenang oleh penguasa yang merugikan pihak tertentu, dan sebagainya. Timbulnya sengketa di atas menimbulkan permasalahan kekuasaan mengadili atau kompetensi maupun kewenangan mengadili, yaitu pengadilan yang berwenang mengadili sengketa tertentu sesuai dengan ketentuan yang digariskan peraturan perundang-undangan.[1]

Tujuan utama membahas kewenangan mengadili adalah untuk memberi penjelasan mengenai masalah pengadilan mana yang benar dan tepat berwenang mengadili suatu sengketa atau kasus yang timbul, agar pengajuan dan penyampaiannya kepada pengadilan tidak keliru.[2]

Kekeliruan mengajukan gugatan kepada lingkungan peradilan atau pengadilan yang tidak berwenang mengakibatkan gugatan salah alamat sehingga tidak sah dan dinyatakan tidak dapat diterima dengan alasan gugatan yang diajukan tidak termasuk yurisdiksi absolut atau relatif pengadilan yang bersangkutan.[3]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 179.
2. Ibid. Hal.: 180.
3. Ibid. Hal.: 180.

Basic Requirements for Foreign Direct Investment in Indonesia

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " Suspect Still Underage, Murder Case in ...